Keesokan harinya, Alena memutuskan untuk menjelajahi lingkungan barunya. Dulu, eksplorasi seperti ini selalu dilakukan dengan Adrian, yang akan segera meneliti restoran terbaik, rute paling efisien, dan potensi masalah keselamatan. Saat ini, Alena berjalan tanpa tujuan, tanpa rencana, tanpa Google Maps.Ia menemukan kedai kopi kecil yang terletak di pojok jalan. Interiornya eklektik dan agak semrawut - tipe tempat yang persis seperti itu akan membuat Adrian tidak nyaman karena "tidak bersih" atau "terlalu ramai". Tapi Alena merasa tertarik pada energi itu.Ia memesan latte dengan rasa yang belum pernah ia coba sebelumnya - madu lavender. Adrian selalu menyukai pesanan klasik, mengatakan bahwa rasa eksotis sering kali mengecewakan dan tidak sebanding dengan risikonya. Tapi hari ini, Alena ingin mengambil resiko itu.Latte-nya ternyata enak.Sambil menikmati kopi-nya, Alena mengamati orang-orang di sekitarnya. Ada seorang seniman yang membuat sketsa di meja sudut, pasangan yang sedang b
Apakah ia mencintai siapa Alena sebenarnya, atau ia mencintai versi Alena yang sudah ia bentuknya sesuai dengan preferensi-nya?Pertanyaan-pertanyaan ini sangat menyakitkan karena jawabannya tidak hitam dan putih. Adrian benar-benar peduli pada Alena. Ia ingin ia bahagia, ia ingin ia aman, ia ingin ia sukses. Tapi cara ia mengungkapkan kepedulian itu... mungkin tidak sehat.Ia mengingat kata-kata Alena: "Hormati itu bukan hanya soal bersikap sopan atau tidak berteriak-teriak. Hormati itu soal mengakui bahwa aku punya agensi untuk menentukan pilihanku sendiri."Agen. Kata yang tidak pernah benar-benar Adrian ingat dalam konteks hubungan. Ia selalu berpikir bahwa kemitraan itu tentang pengambilan keputusan bersama, tapi "bersama" dalam definisinya artinya ia menyajikan pilihan dan Alena setuju atau tidak setuju. Ia tidak pernah benar-benar mempertimbangkan bahwa Alena mungkin mempunyai ide atau preferensi yang benar-benar berbeda dari yang ia antisipasi.Dan ketika Alena tidak menyuarak
Setelah pintu apartemen tertutup di belakang Alena, Adrian berdiri terpaku di tengah ruang tamu yang masih dihiasi lilin-lilin romantis yang kini terasa mocking. Carbonara yang ia masak dengan penuh harapan sudah dingin di atas meja, dan aroma wine yang ia buka untuk merayakan rekonsiliasi yang tidak pernah terjadi kini tercium pahit.Ia merosot ke sofa yang masih hangat bekas tempat duduk Alena, tangannya meremas rambut dengan frustasi. Kata-kata Alena berputar-putar di kepalanya seperti rekaman yang tidak bisa berhenti."Kamu treat aku seperti anak kecil yang perlu di-guide, bukan seperti equal partner.""Aku sudah lupa siapa diriku yang sebenarnya.""Aku need partner yang membuat aku feel more like myself ketika aku bersamanya, bukan less."Adrian menggelengkan kepala keras-keras. Tidak, Alena salah paham. Semua yang ia lakukan adalah untuk kebaikan mereka. Ia bukan tipe yang controlling atau possessive. Ia hanya... peduli. Sangat peduli.Ia bangkit dari sofa dan mulai mondar-mandi
Setelah pintu apartemen tertutup di belakang Alena, Adrian berdiri terpaku di tengah ruang tamu yang masih dihiasi lilin-lilin romantis yang kini terasa mocking. Carbonara yang ia masak dengan penuh harapan sudah dingin di atas meja, dan aroma wine yang ia buka untuk merayakan rekonsiliasi yang tidak pernah terjadi kini tercium pahit.Ia merosot ke sofa yang masih hangat bekas tempat duduk Alena, tangannya meremas rambut dengan frustasi. Kata-kata Alena berputar-putar di kepalanya seperti rekaman yang tidak bisa berhenti."Kamu treat aku seperti anak kecil yang perlu di-guide, bukan seperti equal partner.""Aku sudah lupa siapa diriku yang sebenarnya.""Aku need partner yang membuat aku feel more like myself ketika aku bersamanya, bukan less."Adrian menggelengkan kepala keras-keras. Tidak, Alena salah paham. Semua yang ia lakukan adalah untuk kebaikan mereka. Ia bukan tipe yang controlling atau possessive. Ia hanya... peduli. Sangat peduli.Ia bangkit dari sofa dan mulai mondar-mandi
Alena menatap layar ponselnya yang menampilkan nama Adrian. Sudah tiga hari sejak insiden di restoran, dan Adrian telah mengirimkan puluhan pesan - dari yang memohon untuk bertemu, hingga yang menganalisis "kesalahpahaman" mereka, sampai yang mencoba menjelaskan mengapa reaksinya kemarin wajar sebagai bentuk "kepedulian".Tapi Alena tahu bahwa conversation yang mereka butuhkan tidak bisa dilakukan melalui pesan. Terlalu banyak hal yang perlu dikatakan dengan jujur, dan ia tidak ingin ada lagi ruang untuk misinterpretasi atau manipulation.Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia mengetik: "Kita perlu bicara. Bisa ketemu di apartemenmu jam 7 malam?"Balasan Adrian datang dalam hitungan detik: "Tentu. Aku masak dinner untuk kita?""Terima kasih, tapi aku sudah makan. Ini hanya untuk ngobrol.""Oh... okay. Sampai nanti."Alena bisa merasakan kekecewaan dalam pesan singkat itu. Adrian selalu menggunakan aktivitas bersama - makan, menonton film, atau bahkan seks - sebagai cara untuk mengali
"Kamu ingat kan, dulu kamu juga punya phase ingin kerja di NGO atau start up social enterprise. Untung aku remind kamu untuk lebih realistic."Alena terdiam. Ia memang pernah memiliki mimpi-mimpi seperti itu. Dan Adrian memang yang membuat ia "sadar" bahwa mimpi-mimpi itu tidak praktis. Tapi sekarang, setelah conversation dengan Dimas, ia mulai mempertanyakan: apakah itu betul-betul kesadaran, atau manipulation?"Ngomong-ngomong," lanjut Adrian, "mungkin sebaiknya kamu limit interaksi dengan teman-teman lama yang bisa trigger nostalgia seperti itu. Kamu kan sudah move on dari phase itu."Dan di situlah batas yang akhirnya terlewati. Adrian tidak hanya ingin mengontrol masa depan Alena, tapi juga siapa yang boleh ia temui dari masa lalunya."Adrian," kata Alena pelan, "kamu tidak bisa memutuskan siapa yang boleh dan tidak boleh aku temui.""Aku tidak memutuskan. Aku hanya suggest. Karena aku care sama kamu dan aku tidak ingin kamu terpengaruh dengan hal-hal yang bisa disrupt progress y