Alena menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di ruang tamu apartemennya. Keheningan menyelimuti ruangan yang biasanya diisi dengan suara percakapan atau musik lembut. Lampu-lampu kota berkedip-kedip di luar jendela, menciptakan permainan bayangan di lantai. Malam terasa sunyi dan dingin.Jemarinya menggenggam ponsel, berulang kali mengusap layar hanya untuk mengunci kembali. Nama Reno muncul di daftar kontaknya, berhenti sejenak sebelum ibu jarinya mundur, tidak jadi menekan tombol panggilan."Apa yang harus kukatakan?" bisiknya pada diri sendiri.Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di kafe itu. Pertemuan yang berakhir dengan keheningan canggung dan tanda tanya yang menggantung. Reno menatapnya dengan mata yang tak bisa ia baca—perpaduan antara kekecewaan dan pengertian. Seolah ia tahu bahwa Alena tidak sepenuhnya hadir dalam percakapan mereka.Alena bangkit, berjalan menuju dapur. Apartemen yang sebelumnya selalu terasa seperti tempat berlindung kini hanya terasa se
Alena menatap pantulan dirinya di cermin lift, mengamati wajahnya yang semakin hari semakin tampak lelah. Sudah hampir sebulan sejak Adrian mulai berubah—perlahan, hampir tidak terlihat, tapi Alena merasakannya. Cara ia selalu ingin tahu di mana Alena berada, dengan siapa ia berbicara, bahkan apa yang ia pikirkan.Pintu lift terbuka, dan Alena melangkah keluar, menuju apartemen yang kini ia dan Adrian tinggali bersama. Apartemen itu luas dan indah, dengan pemandangan kota yang menakjubkan—jauh lebih baik dari tempat tinggalnya yang lama. Adrian telah menyarankan—atau lebih tepatnya, meyakinkannya—untuk pindah tiga minggu lalu."Ini akan lebih mudah bagi kita," katanya saat itu. "Aku bisa memastikan kau aman, dan kita bisa lebih sering bersama."Alena memasukkan kunci dan membuka pintu. Aroma masakan menyambutnya—Adrian sudah di rumah dan sedang memasak makan malam. Sebagian hatinya merasa hangat melihat Adrian berd
Adrian mengetuk-ngetuk penanya di atas meja kerja, matanya terpaku pada layar ponsel. Sudah lima belas menit sejak pesan terakhirnya kepada Alena, dan belum ada balasan. Kecemasan merambat di dadanya seperti sulur tanaman rambat, pelan namun persisten."Lima belas menit tanpa balasan," gumamnya pada diri sendiri. "Apa yang dia lakukan?"Pertemuannya dengan Sophia kemarin malam terus bermain di benaknya. Wanita itu telah menunjukkan foto-foto Alena bertemu dengan seorang pria yang tidak ia kenal, serta beberapa dokumen yang menunjukkan masa lalu Alena yang tidak pernah diceritakan padanya."Dia menyembunyikan banyak hal darimu, Adrian," kata-kata Sophia bergema dalam pikirannya. "Bagaimana kau bisa mencintai seseorang yang bahkan tidak kau kenal sepenuhnya?"Adrian menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran-pikiran itu. Namun, benih keraguan sudah tertanam. Ia meraih ponselnya lagi dan menekan tombol panggilan."Halo?" Suara Alena akhirnya terdengar setelah deringan ketiga."Di ma
Mata Sophia menyipit saat ia mengamati Adrian dan Alena dari kejauhan. Mereka tampak bahagia, tangan saling bertaut sementara tawa mereka mengisi udara. Pemandangan itu membuat rahang Sophia mengeras. Sejak awal, Sophia telah yakin Alena hanyalah masalah yang berjalan dalam kehidupan Adrian. Seorang wanita dengan masa lalu yang rumit dan terlalu banyak rahasia."Mereka tidak akan bertahan," gumam Sophia pada dirinya sendiri, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kafe tempatnya duduk mengawasi. "Adrian terlalu baik untuk melihat siapa Alena sebenarnya."Sophia menyesap kopinya yang mulai dingin sambil berpikir. Inilah saatnya bertindak. Setelah berbulan-bulan mengamati dan menunggu, ia melihat celah dalam hubungan mereka. Adrian telah menceritakan tentang proyek penting di kantornya, bagaimana ia harus bekerja lembur untuk memenuhi tenggat waktu. Sementara itu, Alena semakin sering menerima telepon misterius yang membuatnya gelisah.Sophia merogoh tasnya dan mengeluarkan secarik kertas. Dua h
Adrian mengetahui bahwa Reno telah pergi, dan bukannya merasa bersalah, ia justru semakin gencar menunjukkan perhatiannya pada Alena. Ia kini muncul setiap hari dengan berbagai alasan—membawakan dokumen penting, mengantarkan makanan, atau sekadar "kebetulan lewat" di sekitar rumah Alena.Malam itu, Adrian mengajak Alena makan malam di sebuah restoran Italia mewah di pusat kota. Tempat itu redup dengan pencahayaan lilin dan alunan musik klasik yang lembut. Alena merasa tidak nyaman, namun ia tidak bisa menolak—Adrian adalah satu-satunya orang yang tahu tentang dokumen-dokumen itu, satu-satunya sekutunya dalam masalah besar yang kini ia hadapi."Kau terlihat cantik malam ini," puji Adrian sambil menuangkan anggur merah ke gelas Alena. "Aku senang akhirnya bisa melihatmu lebih rileks."Alena tersenyum tipis, matanya masih menyiratkan kegelisahan. "Aku tidak rileks, Adrian. Bagaimana bisa? Reno pergi, dan dokumen-dokumen itu—""Ssst," Adrian meletakkan jarinya di bibir sendiri, mengisyara
Sophia tersenyum. "Kedengarannya sempurna. Sangat kau sekali."Petugas memberi tanda bahwa waktu telah habis. Sophia bangkit dari kursinya."Selamat tinggal, Adrian. Semoga kau dan Alena mendapatkan kebahagiaan yang kalian berdua layak dapatkan."Adrian juga berdiri. "Terima kasih, Sophia. Dan semoga kau juga menemukan kedamaian."Saat keluar dari ruang kunjungan, Adrian merasa seperti telah menutup sebuah bab dalam hidupnya. Alena berdiri dari kursi di ruang tunggu begitu melihatnya."Bagaimana?" tanyanya cemas.Adrian memeluk Alena erat. "Dia minta maaf. Pada kita berdua."Dalam pelukan kekasihnya, Adrian menceritakan semua yang terjadi selama pertemuan tersebut, termasuk surat pengunduran diri yang kini ada di tangannya."Kau percaya dia benar-benar berubah?" tanya Alena hati-hati."Entahlah," jawab Adrian jujur. "Tapi aku ingin percaya bahwa setiap orang mampu berubah, seburuk apapun kesalahan yang telah mereka lakukan."Mereka berjalan keluar dari penjara menuju mobil yang terpar
Dengan ragu, Adrian menerima panggilan itu. "Halo?""Tuan Evans," suara Tomas terdengar di ujung telepon. "Saya menelepon untuk memberitahu bahwa Sophia ingin bertemu dengan Anda sebelum persidangannya minggu depan."Adrian tersentak. "Bertemu denganku? Untuk apa?""Dia tidak memberitahu saya detailnya," jawab Tomas. "Tapi dia sangat bersikeras. Dia bilang ada sesuatu yang penting yang ingin dia bicarakan dengan Anda.""Aku tidak yakin itu ide yang bagus," ucap Adrian. "Setelah semua yang terjadi.""Saya mengerti kekhawatiran Anda," Tomas berbicara dengan nada profesional. "Tapi pertemuan ini akan diadakan di penjara, dengan pengawasan penuh. Anda tidak akan berada dalam bahaya."Adrian menatap Alena, yang tampak khawatir mendengar percakapan itu. "Biarkan saya bicara dengan Alena terlebih dahulu," jawab Adrian akhirnya. "Saya akan memberitahu keputusan saya besok."Setelah menutup telepon, Adrian menceritakan semuanya pada Alena.
Ia mengarahkan pistol ke arah Alena. "Kau duluan, pencuri. Kau yang telah mengambil segalanya dariku."Alena menutup matanya, bersiap untuk yang terburuk. Namun, suara Adrian membuatnya kembali membuka mata."Jika kau ingin menembak seseorang, tembak aku," ucap Adrian dengan suara tegas. "Jangan sentuh Alena."Sophia berbalik, menatap Adrian dengan mata yang berkaca-kaca. "Kau rela mati untuknya? Setelah semua yang kita lewati bersama?""Ya," jawab Adrian tanpa ragu. "Karena aku mencintainya, Sophia. Aku mencintainya dengan cara yang tidak pernah kurasakan untukmu."Kata-kata itu menghantam Sophia seperti pukulan fisik. Pistol di tangannya mulai bergetar, dan air mata mulai mengalir di pipinya."Kau..." suaranya pecah. "Kau tidak pernah mencintaiku seperti itu, bukan?"Adrian menatapnya dengan tatapan yang penuh kesedihan. "Sophia, aku pernah mencintaimu. Tetapi cinta itu berubah ketika kau berubah. Kau menjadi posesif, manipulatif, dan tidak mempe
Dengan ragu, Alena mengambil ponsel itu. Ia tahu ia seharusnya tidak melakukan ini, tetapi kekhawatirannya tentang Adrian mengalahkan rasa bersalahnya.Untungnya, ponsel itu tidak dikunci. Alena dengan cepat memeriksa pesan-pesan terakhir dan matanya tertuju pada pesan dari nomor tak dikenal:Jika kau ingin tahu siapa Alena sebenarnya, datang ke gudang di pelabuhan nomor 7 malam ini pukul 8. Datang sendiri.Jantung Alena seolah berhenti berdetak. Adrian pergi ke pelabuhan malam ini, dan itu karena seseorang mengatakan sesuatu tentang dirinya. Ia tidak perlu bertanya siapa yang mengirim pesan itu; ia tahu pasti itu adalah Sophia.Tanpa berpikir panjang, Alena mengambil jaketnya dan kunci mobilnya. Ia harus pergi ke pelabuhan sekarang juga.Hujan masih turun dengan deras saat Alena tiba di pelabuhan. Dengan langkah tergesa, ia mencari gudang nomor 7. Tempat itu terlihat gelap dan mencekam, tetapi Alena tidak peduli. Ia hanya ingin menemukan