Malam itu, Alena kembali ke apartemen dengan langkah pelan. Sepulang dari Taman Suropati bersama Reno—setelah percakapan yang lama terpendam akhirnya menemukan ruangnya—ada banyak hal yang menggantung di hatinya. Hangat, tapi juga berat. Seolah ia baru membuka lemari kenangan yang lama terkunci, dan sekarang harus menghadapi isinya satu per satu.Saat membuka pintu, cahaya lampu temaram menyambutnya. Di ruang tamu, Adrian sedang duduk di sofa, laptop terbuka, headset menyangkut di telinga. Ia sedang dalam panggilan video dengan klien dari luar negeri, seperti biasa. Tatapannya serius, fokus sepenuhnya pada layar.Alena hanya tersenyum kecil dan mengangguk. Adrian sempat melambaikan tangan sekilas, tapi tak memutus pembicaraan.Alena berjalan ke dapur, membuka lemari es dan menuang segelas air dingin. Ia duduk di meja makan, diam. Memperhatikan sekitar—ruang yang dulu terasa seperti tempat aman, kini justru terasa terlalu rapi, terlalu senyap. Tidak ada tawa. Tidak ada pertanyaan seper
"Alena?"Suara itu mengalun pelan, tapi langsung menembus lapisan hati yang sudah lama membeku. Lebih dalam dari yang ia ingat. Atau mungkin... ia memang sudah terlalu lama tidak mendengarnya. Suara yang menyebut namanya dengan cara paling lembut dan penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang memanggil rumahnya sendiri setelah lama tersesat.Alena menoleh. "Hai, Reno."Langkahnya terhenti di depan bangku taman yang tak banyak berubah sejak terakhir kali mereka duduk bersama. Tangannya gemetar sedikit, tapi senyumnya mencoba tetap stabil."Boleh duduk?""Tentu," jawab Reno sambil bergeser. "Ini... masih bangku kita, kan?"Kata "kita" melayang di udara sore yang mulai teduh, menggantung di antara dua hati yang belum benar-benar sembuh tapi saling mengenal.Mereka duduk bersebelahan, berjarak satu lengan. Tidak terlalu dekat untuk menyentuh luka lama, tapi cukup dekat untuk merasakan kembali getaran yang dulu pernah begitu familiar."Sering ke sini?" tanya Alena sambil menatap pohon ber
Studio apartemen yang Alena datangi ternyata lebih kecil dari yang ia bayangkan. Tapi justru itu yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Ruangan mungil itu terasa hangat, jujur, dan menyambut—seperti pelukan yang tak banyak bicara, tapi cukup untuk menenangkan.Ukuran ruang hanya sekitar tiga kali empat meter, tapi sebuah jendela besar menghadap timur terbuka lebar, membiarkan cahaya pagi menyusup masuk dengan lembut. Alena berdiri di tengah ruangan, membayangkan kanvas tergantung di dinding, cat minyak yang mengering di palet, dan dirinya duduk bersila di lantai, melukis dalam keheningan yang damai."Ini sudah termasuk listrik, air, dan Wi-Fi, Mbak. Kalau mau ambil kontrak setahun, bisa saya kurangin harganya sedikit," kata Pak Budi, pemilik unit itu, dengan senyum ramah.Alena mengangguk sambil memandang sekeliling. Dapur kecil dengan wastafel mungil dan kompor portable terletak di pojok ruangan. Tak ada yang mewah, tapi semuanya terasa cukup. Cukup untuk memulai kembali
Setelah percakapan panjang dengan Adrian, Alena memutuskan untuk tidak langsung menuju studio apartemen dengan kendaraan. Ia memilih berjalan kaki—menyusuri hiruk-pikuk kota yang biasa ia pandang dari balik kaca apartemen mewah lantai 25. Kini, ia ingin merasakannya… debu, panas, bunyi klakson, dan suara pedagang kaki lima yang bersahutan. Semuanya terasa nyata, berisik… tapi hidup.Langkahnya berhenti saat ia sampai di Taman Suropati. Ada sesuatu yang menggetarkan dadanya, seperti riak kecil yang tiba-tiba mengganggu permukaan tenang danau dalam. Ia duduk di bangku kayu tua di bawah pohon beringin yang rimbun. Bangku yang pernah jadi saksi percakapan penting dalam hidupnya—dengan Reno."Len, kamu pernah merasa kosong nggak? Di tengah keramaian?"Suara itu muncul dalam ingatannya, jernih seperti baru kemarin. Waktu itu mereka baru selesai makan bakso di gerobak pinggir jalan. Reno tiba-tiba mengajaknya duduk di taman ini."Kosong gimana maksudnya?" tanya Alena sambil memainkan daun ke
Pagi itu, Alena sedang bersiap untuk melihat studio apartemen barunya. Ia baru saja selesai menggulung lukisan kain kanvas kecil yang akan dibawa sebagai referensi cahaya saat bel pintu berbunyi.Seorang petugas pengantar berdiri di depan pintu, tersenyum canggung sambil menyerahkan tiga buket besar mawar merah.“Untuk Alena,” katanya. “Dari… ‘A’.”Alena mematung. Ketika membaca kartu kecil yang diselipkan di antara bunga-bunga yang segar dan mahal itu, perutnya langsung terasa mual.“Untuk calon pelukis terkenal. Proud of you. – A.”Adrian.Tentu saja. Ia selalu tahu kapan harus muncul. Selalu tahu kapan Alena mulai berdiri tegak, dan selalu datang tepat saat itu, seperti bayangan yang menolak hilang meski matahari sudah tinggi.Buket itu diletakkan begitu saja di meja ruang tamu. Alena hanya memandangi kelopak-kelopak merah yang begitu indah… tapi terasa hambar. Tidak ada makna, tidak ada ketulusan. Hanya simbol dari seseorang yang mengira cinta bisa dibeli dan dikemas dalam tampila
Tiga hari setelah ia mengirimkan lukisannya untuk pameran, Alena bangun di tempat yang sama. Di apartemen mewah lantai 25, dengan interior elegan dan pemandangan Jakarta yang gemerlap di kejauhan—semua hal yang dulu membuatnya merasa spesial.Tapi pagi ini, kemewahan itu terasa hampa.Seolah ia tinggal di etalase toko furnitur mahal. Indah, rapi, tapi dingin. Tidak ada jejak kehidupan nyata.Ia melangkah ke dapur yang dipenuhi perlengkapan stainless steel, semua masih tampak baru. Dulu, Reno sering berkata, “Ngapain masak? Kita bisa makan di mana saja.” Dan Alena, yang saat itu masih merasa sedang hidup dalam mimpi, hanya mengangguk setuju.Kulkas sebesar pintu lemari itu kini nyaris kosong. Hanya ada botol air mineral premium, yogurt organik yang sudah basi, dan buah impor yang mulai layu. Ironis, untuk alat sebesar itu, isinya lebih menyedihkan dari warung kecil.Dengan enggan, ia membuat sarapan: roti tawar dengan selai kacang. Murah, sederhana, tapi justru membawa rasa nyaman yang