Malam itu terasa sangat berbeda. Setelah pertemuan singkat mereka sebelumnya di ruang tamu, Reno tampak lebih tenang, tetapi tatapan matanya mengandung sesuatu yang lebih dalam—kekecewaan yang tak terucapkan. Alena merasakannya, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan yang begitu berat ini.
Reno, yang biasanya penyabar dan pengertian, kini terlihat lebih serius dari biasanya. Ia duduk di ujung sofa, matanya terfokus pada Alena, yang merasa seolah-olah ada jurang besar antara mereka yang belum pernah ada sebelumnya. Suasana semakin berat, seiring dengan waktu yang berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulut mereka.
Akhirnya, Reno membuka mulut. "Aku tidak bisa berpura-pura lagi, Alena," katanya, suara yang lebih rendah, namun tegas. "Aku melihatmu tadi, bersama Adrian. Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku merasa seperti ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku."
Alena terdiam, seluruh tubuhnya terasa kaku. Ia tahu bahwa ia harus berkata juj
Malam itu, Alena mengumpulkan keberanian yang tersisa dalam dirinya. Setelah percakapan dengan ibunya, sesuatu dalam hatinya telah bergeser—seperti jendela yang terbuka sedikit setelah terkunci rapat bertahun-tahun. Ia memutuskan untuk berbicara jujur dengan Adrian tentang perasaannya.Adrian sedang duduk di sofa, menonton berita sambil sesekali mengetik di laptopnya. Wajahnya tenang, bahkan terlihat puas—seperti seorang raja yang merasa kerajaannya berjalan dengan sempurna."Adrian," panggil Alena pelan, duduk di ujung sofa yang berlawanan. "Aku ingin bicara denganmu.""Hmm?" Adrian tidak mengalihkan pandangannya dari layar TV. "Tentang apa?""Tentang kita. Tentang hubungan kita."Kali ini Adrian menoleh, alisnya terangkat dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Ada masalah?"Alena menarik napas dalam-dalam. "Aku merasa... aku merasa tidak bisa bernapas dalam hubungan ini."Keheningan mengisi ruangan. Adrian mematikan TV dengan remote, kemudian menutup laptopnya dengan gerakan yang sanga
Setiap pagi ia bangun dengan rutinitas yang sama—menunggu Adrian memilihkan pakaiannya, menunggu persetujuan untuk sarapan apa yang akan dibuat, menunggu jadwal hari itu yang sudah disusun Adrian dengan rapi."Hari ini kita akan makan siang di restoran Italia," ucap Adrian sambil menyiapkan dasi. "Yang dekat kantorku. Kau bisa ke sana naik taksi online—aku sudah order. Jangan terlambat, aku hanya punya waktu satu jam."Alena mengangguk dari cermin rias. "Baik.""Dan ingat, jangan bicara dengan driver kecuali perlu. Beberapa dari mereka suka bertanya-tanya tentang penumpang.""Adrian," Alena berbalik dari cermin, "mereka hanya basa-basi. Itu normal.""Normal untukmu, tapi tidak untukku." Adrian mendekat, mengecup keningnya. "Kau terlalu ramah, sayang. Itu bisa disalahartikan."Setelah Adrian berangkat, Alena duduk di sofa sambil menatap TV yang menyala tanpa suara. Ia tidak ingat kapan terakhir kali memilih acara yang ingin ditontonnya. Bahkan remote TV seolah menjadi benda asing di ta
Tiga hari setelah panggilan dari Reno, Adrian mulai memperhatikan perubahan halus dalam diri Alena. Caranya menatap ke luar jendela terlalu lama, responnya yang sedikit terlambat saat diajak bicara, dan yang paling mengganggu—ada kekosongan dalam matanya yang tidak pernah ada sebelumnya."Kau sedang memikirkan apa?" tanya Adrian saat mereka sedang makan malam. Alena tersentak, seolah tersadar dari lamunan yang dalam."Tidak ada. Hanya... pekerjaan."Adrian meletakkan sendoknya dengan perlahan. "Bohong.""Apa?""Kau berbohong padaku, Alena." Suaranya tenang, tapi ada ancaman tersembunyi di baliknya. "Aku kenal setiap ekspresi wajahmu. Ini bukan wajah orang yang memikirkan pekerjaan."
"Adrian," panggil Alena pelan. "Kau marah?"Tidak ada jawaban. Adrian terus mengetik dengan keras, seolah-olah setiap ketukan tombol adalah ungkapan kekesalannya."Adrian, kumohon. Jangan seperti ini."Akhirnya Adrian mengangkat wajahnya, menatap Alena dengan ekspresi yang dingin. "Seperti apa?""Seperti... aku tidak ada.""Oh, jadi sekarang aku yang salah?" Adrian menutup laptopnya dengan keras. "Aku yang salah karena merasa terluka saat pacarku lebih memilih menghabiskan waktu dengan orang yang jelas-jelas tidak menyukai hubungan kita?""Nadira tidak—""Nadira apa?" Adrian berdiri, suaranya mulai meninggi. "Kau selalu membela orang lain di depanku, Alena. Aku sudah memberikan segalanya untukmu, tapi kau masih mencari validasi dari orang lain."Alena merasakan dada sesak. Inilah yang paling ia takutkan—Adrian yang dingin, Adrian yang membuat ia merasa seperti orang yang paling egois di dunia."Maafkan aku," bisiknya. "A
Sophia berdiri di depan mesin kopi kantor, menunggu momen yang tepat. Ketika Miranda dari divisi keuangan mendekat, ia langsung melancarkan serangan pertamanya."Miranda, kau perhatikan tidak sih Adrian belakangan ini?" tanya Sophia dengan nada penuh keprihatinan. "Dia terlihat... berbeda."Miranda mengangkat alis. "Berbeda bagaimana?""Yah, aku tidak mau menggosip," Sophia menggelengkan kepala sambil menuang kopi, "tapi sebagai teman dekatnya, aku khawatir. Dia jadi sering terlambat rapat, kehilangan fokus saat presentasi, bahkan kemarin dia lupa meeting dengan investor besar." Sophia menghela napas dramatis. "Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya."Miranda tampak tertarik. "Memangnya ada apa dengan dia?""Aku dengar dia sedang menjalin hubungan serius dengan seseorang," bisik Sophia, memastikan suaranya cukup pelan untuk menciptakan kesan rahasia. "Perempuan itu sepertinya... sangat menguasai hidupnya. Adrian yang dulu selalu memprioritaskan pekerjaan sekarang malah sibuk mengat
Malam itu, Adrian tidak bisa tidur. Ia berbaring di samping Alena yang terlelap, matanya menatap langit-langit kamar yang diselimuti bayangan. Setiap kali Alena menggerakkan tubuhnya dalam tidur, Adrian tersentak, bertanya-tanya apakah ia bermimpi tentang orang lain.Siang tadi, ia melihat Alena tertawa saat berbicara dengan rekan kerjanya di kafe. Tawa yang begitu lepas, begitu murni—tawa yang sudah lama tidak ia lihat ketika mereka berdua. Adrian merasakan sesuatu bergejolak dalam dadanya. Bukan kemarahan, tapi ketakutan yang mencekam."Kau milikku," bisiknya pelan, tangannya membelai rambut Alena yang terurai di bantal.Ponsel Alena bergetar di meja samping tempat tidur. Adrian meraihnya dengan hati-hati, membuka kunci layar dengan kode yang sudah ia hafalkan tanpa sepengetahuan Alena. Sebuah pesan dari Nadira, sahabat Alena:"Hey, besok kita jadi bertemu jam 3? Ada yang perlu kuceritakan padamu."Adrian menghapus pesan itu sebelum meletakkan kembali ponsel di tempatnya. Besok, ia
"Reno," bisiknya di antara isak tangis. "Maafkan aku."Tapi permintaan maaf itu hanya bergema di ruangan kosong. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang menjawab.Alena bangkit dengan langkah gontai, berjalan mengelilingi apartemen yang mendadak terasa asing. Tempat ini pernah menjadi rumah bagi mereka, penuh dengan kenangan dan tawa. Sekarang, ia hanya bisa melihat kekosongan.Di rak buku, foto-foto mereka masih berdiri dengan rapi. Alena dan Reno di pantai. Alena dan Reno di puncak gunung. Alena dan Reno dengan senyum yang tidak dipaksakan. Ia mengambil salah satu bingkai, jemarinya menelusuri wajah Reno yang tersenyum lebar."Apa yang telah kulakukan?" tanyanya pada foto itu.Suara ponselnya membuyarkan renungan. Nama Adrian muncul di layar, mengirimkan pesan singkat."Semalam luar biasa. Kapan kita bisa bertemu lagi?"Alena menatap pesan itu, sekujur tubuhnya terasa dingin meski matahari pagi mulai menembus tirai jendela. Dunia di luar terus berputar, tapi waktunya seolah berhent
Fajar baru saja menyingsing ketika Alena memasukkan kunci ke pintu apartemennya. Tubuhnya lelah, pikiran kusut, dan hatinya—entah di mana hatinya sekarang. Malam bersama Adrian selalu meninggalkan jejak yang sama: campuran antara euforia yang mulai memudar dan rasa bersalah yang semakin menguat.Suara kunci yang berputar dalam gembok terdengar terlalu keras di keheningan pagi. Alena melangkah masuk dengan hati-hati, seperti pencuri di rumahnya sendiri. Sepatu hak tinggi dilepas di ambang pintu, tas tangan diletakkan di meja samping, dan tubuhnya yang masih beraroma parfum Adrian ditarik dengan paksa menuju kamar mandi."Aku butuh mandi," gumamnya pada bayangan di cermin.Wanita yang menatapnya balik memiliki lingkaran hitam di bawah mata, riasan yang sedikit luntur, dan tatapan yang terlalu tua untuk usianya. Alena memalingkan wajah, tidak kuat bertatapan terlalu lama dengan versi dirinya yang ini.Air shower yang panas membasuh tubuhnya, tapi tidak bisa membasuh kenangan malam itu. T
Alena menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di ruang tamu apartemennya. Keheningan menyelimuti ruangan yang biasanya diisi dengan suara percakapan atau musik lembut. Lampu-lampu kota berkedip-kedip di luar jendela, menciptakan permainan bayangan di lantai. Malam terasa sunyi dan dingin.Jemarinya menggenggam ponsel, berulang kali mengusap layar hanya untuk mengunci kembali. Nama Reno muncul di daftar kontaknya, berhenti sejenak sebelum ibu jarinya mundur, tidak jadi menekan tombol panggilan."Apa yang harus kukatakan?" bisiknya pada diri sendiri.Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di kafe itu. Pertemuan yang berakhir dengan keheningan canggung dan tanda tanya yang menggantung. Reno menatapnya dengan mata yang tak bisa ia baca—perpaduan antara kekecewaan dan pengertian. Seolah ia tahu bahwa Alena tidak sepenuhnya hadir dalam percakapan mereka.Alena bangkit, berjalan menuju dapur. Apartemen yang sebelumnya selalu terasa seperti tempat berlindung kini hanya terasa se