LOGINBeberapa hari kemudian, tibalah hari yang dinanti—malam reuni kampus Universitas Azzura.
Kinanti berdiri di depan cermin besar di kamarnya, memandangi bayangan dirinya sendiri yang tampak begitu memukau dalam balutan gaun hitam sederhana dengan potongan elegan yang menonjolkan lekuk tubuhnya Meski desainnya tidak berlebihan, kemewahan tetap terpancar dari setiap detailnya, terutama dari perhiasan berlian yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya. Aura anggun dan mahal benar-benar keluar dari sosoknya malam itu. Tangannya sempat bergetar sedikit saat ia merapikan anting, bukan karena gugup, melainkan karena hatinya masih menyimpan bara amarah yang belum padam. Luka batin akibat pengkhianatan Bara belum kering sepenuhnya, tapi malam ini, Kinanti bertekad tampil sempurna—untuk menunjukkan pada dunia bahwa dirinya tidak hancur. Suara langkah sepatu terdengar mendekat. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, menampakkan sosok pria dengan jas hitam rapi. Bara berdiri di ambang pintu, wajahnya datar, tapi ada gurat canggung di sana. “Apa kau sudah siap?” tanyanya, suaranya tenang tapi hambar. Kinanti tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap bayangannya di cermin, lalu mengembuskan napas pelan. “Sebaiknya kita memakai mobil masing-masing,” ucapnya datar tanpa menoleh. Bara mengerutkan kening. “Apa yang kau bicarakan, Kinanti? Kita sudah membahas ini—” Kinanti akhirnya menoleh, menatap suaminya dengan sorot mata yang dingin dan tajam. Sejak perselingkuhan Bara terbongkar, pria itu memang terus menolak perceraian. Begitu pula keluarga besar mereka—yang lebih mementingkan nama baik daripada kebahagiaan putrinya sendiri. “Tidak usah diperpanjang,” potong Kinanti tajam. “Aku malas berbicara denganmu.” Ia meraih clutch hitam kecil di atas meja rias dan berjalan keluar kamar tanpa menunggu respons. Bara hanya bisa mengekor di belakangnya dalam diam. ••• Sepanjang perjalanan menuju hotel tempat reuni diadakan, suasana di dalam mobil terasa begitu sunyi. Hanya suara mesin dan hembusan AC yang terdengar. Kinanti menatap ke luar jendela, berusaha menahan gelombang perasaan yang terus bergolak. Bara sesekali meliriknya, tapi tak berani berkata apa-apa. Ketika mobil akhirnya berhenti di pelataran hotel bintang lima, Bara turun lebih dulu dan membukakan pintu. Kinanti keluar tanpa sepatah kata, menatap megahnya gedung di hadapan mereka—tempat semua kenangan masa muda dulu bermula. Begitu mereka memasuki ballroom, sorak dan tawa menyambut dari berbagai penjuru ruangan. Musik lembut mengalun, gelas beradu, dan aroma wine memenuhi udara. “Bara!!” seru seseorang dari kejauhan. Bara menoleh. Seorang pria bertubuh besar dengan wajah ramah menghampirinya. “Andrew!” Bara tersenyum tipis. Andrew kemudian melirik ke arah Kinanti dan berdecak kagum. “Wah... Kinanti, kau tambah cantik saja. Masih seperti dulu—mantan dewi kampus kita.” Kinanti tersenyum kecil, sopan tapi datar. “Bisa saja kamu. Mana Nina? Aku tidak melihatnya.” “Di dalam,” jawab Andrew. “Lagi hamil tua tapi memaksa ingin ikut.” “Baiklah... aku mau menyapa teman-teman yang lain dulu, ya.” Kinanti beranjak, meninggalkan Bara dan Andrew yang mulai berbincang. Langkahnya anggun namun penuh wibawa. Dari kejauhan, sepasang mata tajam mengikuti setiap gerakannya. ••• Dari arah mini bar, seorang pria dengan jas abu-abu berdiri sambil memegang segelas red wine. Sorot matanya tak lepas dari sosok Kinanti. “Kau... masih secantik dulu, Kinanti,” gumamnya pelan, nyaris seperti doa. “Cantik... dan rapuh.” Pria itu adalah Ganendra Adipati—lelaki matang dengan aura tenang dan karisma alami. Ia baru saja kembali dari luar negeri setelah bertahun-tahun memimpin ekspansi perusahaannya, G. Holdings. Dan kini, nasib mempertemukannya kembali dengan wanita yang pernah ia cintai diam-diam sejak masa kuliah. Ganendra berjalan mendekati Bara dan Andrew. “Ganendra!” seru Bara, antusias. Mereka berpelukan singkat. “Kapan terakhir kita bertemu? Di New York, ya?” “Ya, sekitar setahun lalu,” jawab Ganendra tenang. “Aku memutuskan untuk kembali dan fokus di Indonesia sekarang.” Namun, di tengah obrolan santai mereka, ponsel Bara tiba-tiba berdering keras. Ia menatap layar, dan wajahnya mendadak pucat. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghampiri Kinanti yang sedang berbincang dengan beberapa teman lamanya. “Kinanti,” ucap Bara terburu-buru, menarik lembut tangan istrinya. Mereka berjalan keluar ballroom. “Aku harus pergi. Nadia jatuh di kamar mandi.” Kinanti menatapnya tak percaya. “Kau gila, Bara?! Kau mau meninggalkanku sendiri di sini? Apa yang akan teman-teman kita pikirkan?” “Dia sedang hamil, Kinanti. Apa kau tidak punya hati?” “Aku?” suara Kinanti meninggi. “Aku yang tidak punya hati? Kau bisa menyuruh asistennya membawa gundikmu ke rumah sakit!” Bara hanya menggeleng keras. “Sudahlah. Aku tidak ingin berdebat. Aku pergi!” Ia berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkan Kinanti berdiri dengan mata berair dan dada sesak. “Brengsek kau, Bara...” bisiknya dengan gemetar. “Lihat saja. Malam ini aku akan mencari pria lain... dan aku akan tidur dengan siapa pun yang aku mau.” Kinanti berbalik dengan langkah cepat—dan. Brukkk! Tubuhnya menabrak seseorang dengan keras. “Aah!” pekik Kinanti pelan, hampir terjatuh. Namun sepasang tangan kuat segera menangkap pinggangnya. “Hati-hati,” suara berat itu membuat Kinanti mendongak. Tatapan mereka bertemu. “Ganendra?” suaranya lirih. Pria itu tersenyum samar. “Hai, Kinanti... sudah lama sekali. Bagaimana kabarmu?” Kinanti mencoba tersenyum, meski hatinya masih bergolak. “Aku baik-baik saja. Kau... kapan kembali ke Indonesia?” “Sudah beberapa minggu ini,” jawab Ganendra singkat, menatapnya dalam. Ada jeda di antara mereka—hening, tapi penuh muatan. Kinanti menggigit bibir bawahnya pelan, pikirannya kalut. Ia tahu apa yang dipikirkannya salah, tapi rasa sakit membuat logikanya memudar. “Ganendra...” ucapnya pelan. “Apa kau sudah berkeluarga?” “Belum,” jawab Ganendra lembut. “Aku masih sendiri.” Kinanti menatap matanya dalam-dalam. Satu langkah ia maju, jarak mereka semakin dekat. “Ganendra... apa kau bisa... menemani aku malam ini?” Ganendra terdiam, menatap wanita itu dengan sorot tak terbaca. “Kinanti... apa kau mabuk?” tanyanya hati-hati. “Tidak,” jawab Kinanti cepat. “Aku hanya... butuh pelampiasan. Aku ingin tidur dengan seseorang malam ini. Apa kau mau?” Kata-katanya tajam, tapi bergetar. Suara perempuan yang terluka. Ganendra menghela napas panjang. “Kinanti, kau sudah menikah.” Sekilas kesadaran menamparnya. Kinanti menunduk, Kinanti tahu, keluar Ganendra bukan keluarga sembarangan. Tidak mungkin Ganendra mau terlibat skandal murahan seperti itu. Apalagi... meniduri istri dari sahabatnya sendiri. Kinanti mundur selangkah. “Maafkan aku... pikiranku sedang kacau. Lupakan saja ucapanku tadi.” Ia berbalik hendak pergi, tapi sebelum sempat melangkah, tangan Ganendra meraih lengannya dan menariknya lembut ke dalam dekapannya. Tubuh Kinanti membeku di dada pria itu. Napasnya tercekat saat Ganendra mengangkat dagunya dan tanpa aba-aba mencium bibirnya. Ciuman itu dalam, spontan, dan penuh perasaan yang lama terpendam. Ketika mereka akhirnya terlepas, Kinanti menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ganendra menatap balik, suaranya rendah namun tegas. “Tapi dengan satu syarat, Kinanti...” katanya pelan. “Aku tidak ingin kalau ini hanya hubungan cinta satu malam.” Malam ini... Kinanti menyerahkan dirinya, kepelukan sahabat suaminya sendiri. ••• To be continued—Kinanti buru-buru menghapus air matanya menggunakan punggung tangan. Kelopak matanya memerah, hidungnya bergetar menahan sesenggukan. “Ayah… Ibu, aku pergi membeli makanan dulu…” ucap Kinanti pelan, berusaha terdengar normal meskipun suaranya serak. Dia berbalik. Pandangannya dan pandangan Ganendra bertemu—singkat, tapi cukup untuk membuat dada keduanya terasa sesak. Ingin sekali pria itu menarik tubuh Kinanti ke dalam pelukannya, menghapus air matanya satu per satu, sambil berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun keberadaan orang tua Kinanti menahan gerakannya. Kinanti mengangguk pelan, lirih. “Aku duluan… Ganendra.” ucapnya. Saat ia melangkah melewati lelaki itu, jemari mereka sempat bersentuhan. Hanya sepersekian detik—ringan, tidak disengaja—tapi cukup untuk membuat napas Kinanti bergetar. Sentuhan itu seperti pengingat bahwa dia tidak sendiri, meski dunia terasa kacau. Setelah Kinanti keluar, Ganendra maju beberapa langkah mendekati Gibran—menunjukkan sopan santu
𝙒𝙤𝙧𝙠𝙨𝙝𝙤𝙥 𝙆𝙞𝙣𝙖𝙣𝙩𝙞. “Kak… tempat embroidery biasa cancel,” ucap Hana begitu membuka pintu ruang desain Kinanti tanpa sempat menarik napas.Kinanti yang sejak tadi fokus pada sketsa gaun pengantin untuk klien VIP langsung mendongak. Ia melepas kacamatanya pelan, menaruh pensil di atas meja kaca, lalu memusatkan perhatian pada asistennya itu.“Hah? bagaimana bisa?” tanyanya cepat, suara sudah penuh tegang.Hana menelan ludah sebelum menjawab, “Iya, Kak. Barusan dia kirim email… semua pesanan untuk tiga bulan ke depan di-cancel. Katanya… dia harus menemani ibunya berobat ke luar negeri.”Dalam hitungan detik, wajah Kinanti berubah pucat.Bukan karena marah—tapi karena membayangkan efek domino dari masalah itu.Kebanyakan klien mereka adalah keturunan Chinese, dan elemen seperti embroidery, beading, serta detail kerajinan tangan tradisional adalah napas utama kualitas gaun yang ia buat. Jika bagian itu berhenti, reputasi workshop bisa porak-poranda.“Ya Tuhan…” Kinanti memij
“Katakan padaku… apa yang Bara lakukan padamu di dalam mobil semalam?” Deg! Pertanyaan itu menghantam jantung Kinanti seketika. Tangannya yang semula memegang sisir terhenti di udara, sementara tatapannya membeku menatap bayangannya sendiri di cermin. Jantungnya berdetak cepat, seolah darahnya berhenti mengalir. Ia tidak menoleh, tidak juga menjawab. Suasana ruangan langsung berubah senyap, hanya terdengar suara detik jam di dinding dan desiran napas Ganendra di belakangnya. Pria itu mempererat pelukannya lagi, kini bukan karena manja, tapi karena khawatir—dan marah pada waktu yang sama. “Aku melihatnya, Kinanti,” lanjutnya pelan namun tegas. “Aku melihat Bara menarikmu dengan kasar malam itu. Aku bahkan sempat menyuruh sekuriti datang ke arah mobilnya.” Mata Kinanti perlahan terpejam. Air hangat mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia tetap diam. Ganendra menunduk lebih dekat ke telinganya. “Kau tidak perlu berbohong padaku…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Aku hanya ingin
“Ganendra…” Dan dengan langkah tenang, ia mulai melepas satu per satu pakaiannya, membiarkan gaun tidurnya meluncur jatuh ke lantai marmer. Setelah itu, tanpa ragu, ia melangkah masuk menuju kamar mandi Kinanti membuka sisa kain ditubuhnya, dan masuk ke bilik shower menghampiri Ganendra. Grepp! “Apa kau merindukan ku? ”bisik Kinanti. Ganendra tersenyum smirk, lalu berbalik. “Aku sengaja menunggumu di dalam sini, Kinan...”ucap Ganendra. “Aku akan membantumu, menyabuni tubuhmu...”bisik Kinanti. Dia mengambil satu pump sabun cair ke tangannya, lalu mulai menggosok telapak tangannya hingga menghasilkan busa. Kinanti mulai menyabuni bagian dada bidang Ganendra. “Kita saling menyabuni... Bagaimana?”Tanya Ganendra. “Ide yang bagus... Lebih efisien, dan menghemat waktu.”jawab Kinanti. Ganendra mulai melakukan hal yang sama, setelah tubuh Kinanti basah oleh air dari shower. Dia mulai memakaikan sabun ke setiap lekuk tubuh Kinanti. “Nngghhhh... ”Kinanti mulai m
Keesokan paginya, suasana di kamar rawat Tuan Gibran masih tenang. Aroma antiseptik samar bercampur dengan wangi bunga segar di vas kecil di atas meja. Dari kamar mandi terdengar suara lembut air mengalir—Kinanti baru saja selesai membersihkan diri setelah semalaman menunggui ayahnya yang sempat tak sadarkan diri. Begitu keluar dengan rambut yang masih agak lembap, wanita anggun itu melihat sosok sang ayah sudah terbangun. Tuan Gibran bersandar pada sandaran ranjang rumah sakit, tampak lemah tapi sadar sepenuhnya. Di sisi ranjang, Nimas—ibunda Kinanti—sedang menyuapi bubur hangat perlahan, memastikan setiap sendoknya habis. Kinanti tersenyum kecil dan segera mendekat. “Ayah…” panggilnya lembut. Nimas menoleh, wajahnya sedikit lega. “Ayahmu baru bangun, Kinanti. Barusan saja, pas kamu masih di kamar mandi.” Namun, tidak ada balasan dari Gibran. Tatapannya tidak diarahkan pada putrinya, seolah sengaja menghindar. Wajahnya kaku, dingin, dan penuh ganjalan. Kinanti menarik napas dal
Kinanti menarik napas dalam sebelum membuka pintu mobil. Ia menatap Ganendra yang masih menunggu dengan tatapan lembut di balik kemudi.“Sebaiknya kau pulang, Ganendra… aku harus kembali ke ruangan ayah. Ibu di sana bersama Bara,” ucapnya pelan.Pria itu menoleh, menatapnya dengan cemas.“Apa kau sudah merasa lebih baik sekarang?”Kinanti mengangguk kecil, lalu jemarinya yang halus menyentuh sisi rahang Ganendra dengan lembut.“Aku merasa lebih baik setelah bertemu dan memelukmu,” katanya tulus.Ganendra tersenyum. “Baiklah… besok aku akan menjenguk Tuan Gibran. Aku bawakan makanan untukmu, ya?”Kinanti menatapnya sebentar, lalu mengangguk lagi.“Terima kasih, Ganendra…”Ia membuka pintu dan bersiap turun.“Langsung pergi saja setelah ini, ya. Jangan berlama-lama di sini… aku takut ada wartawan yang mengintai,” ucapnya cepat, sedikit cemas.“Baiklah, hati-hati, Tuan Putri,” balas Ganendra dengan nada lembut yang membuat wanita itu tersenyum tipis sebelum menutup pintu.Mobil itu perla







