Satu bulan berlalu...
Keringat mengalir di pelipis Kinanti, tubuhnya bergetar di bawah desahan panjang yang lolos dari bibirnya. "Ngghhh... Ganendra... aku... aku sudah tidak kuat..." suaranya parau, bercampur antara kenikmatan dan kelelahan. Ganendra menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari milik Kinanti, napasnya memburu, tubuhnya menegang hingga urat di lehernya mencuat. "Kinanti... aku tidak memakai pengaman..." bisiknya, nyaris seperti ancaman sekaligus pengakuan. Mata Kinanti terpejam rapat, kepalanya terhentak ke belakang. "Keluarkan... di dalam saja..." ia meliuk, tubuhnya menegang dalam kepasrahan yang nikmat. "Aku ingin seorang anak... ahhh..." Hembusan napas berat Ganendra terdengar di telinganya. "Kinantiiii... Arrrggghhh!!" Tubuh atletis lelaki itu akhirnya terkulai, dadanya naik turun dengan cepat, sementara peluh membasahi kulitnya. Ia menindih Kinanti sejenak, merasakan detak jantung keduanya berpacu gila. Dengan sisa tenaga, Ganendra menggulingkan tubuhnya ke samping, menarik Kinanti yang lunglai ke dalam pelukannya. Ia mengecup kening wanita itu, suaranya masih terengah. "Aku mengeluarkan semuanya di dalam... benihku kini sudah ada di rahimmu..." Kinanti hanya terdiam, matanya kosong menatap langit-langit kamar hotel mewah itu. Lalu, dengan suara lirih namun tegas, ia berucap, "Lebih baik kalau benihmu tumbuh... semoga aku bisa segera hamil." Ganendra menatapnya serius, kali ini tanpa senyum. Jemarinya menyusuri lengan Kinanti, lalu ia mendekatkan wajahnya. "Jadilah wanitaku, Kinanti. Tinggalkan Bara. Ceraikan dia." Wanita itu menghela napas panjang, menarik selimut tipis untuk menutupi tubuhnya yang polos. Ia bangkit duduk di tepi ranjang, punggungnya membelakangi Ganendra. "Tidak bisa, Ganendra..." suaranya nyaris berbisik, namun penuh keyakinan. Ganendra ikut bangkit, duduk di sampingnya, lalu mengecup bahu polos Kinanti. "Kenapa tidak? Suamimu berselingkuh, dan sekarang selingkuhannya sedang hamil. Kau masih mau bertahan di pernikahan busuk itu?" Kinanti menoleh, mata mereka bertemu, kening saling menempel. Bibirnya bergetar, namun ia tersenyum getir. "Apa bedanya dengan kita? Aku juga berselingkuh dengan sahabatnya. Kita sama saja, Ganendra." Lelaki itu menggenggam wajahnya, menatap dalam-dalam. "Ceraikan Bara... menikahlah denganku. Aku akan membahagiakanmu." Kinanti menggeleng pelan, menahan tangis. "Aku sudah tidak percaya dengan pernikahan, Ganendra. Bagiku, itu hanya jerat... tali yang akan menyeretku ke dalam jurang." Ia menarik napas, lalu melanjutkan dengan suara bergetar. "Lihatlah kenyataannya. Bara—tiga tahun menikah denganku, bisa dengan mudah berselingkuh, bahkan sejak tahun kedua pernikahan kami. Kau pikir ikatan itu akan menjamin kesetiaan?" Ganendra mengusap pipinya lembut, berusaha meyakinkan. "Aku berbeda, Kinanti. Aku bukan Bara." Wanita itu menatapnya, getir. "Kau lelaki, Ganendra. Sama saja. Insting kalian sama, tergoda pada daun muda. Jangan bicara soal janji. Aku hanya ingin satu hal sekarang—bukan perceraian, bukan pernikahan lagi." Ia menatap lurus ke arah jendela yang menampilkan panorama sore kota. "Aku hanya ingin seorang anak... agar aku bisa menampar Bara dengan keras. Supaya dia tahu... kalau dia bisa menghamili perempuan lain, aku juga bisa mengandung anak dari pria lain." Hening menyelimuti ruangan. Kinanti bangkit perlahan, meraih gaun tipis yang tergeletak di kursi, seolah hendak meninggalkan ranjang. "Jika kau keberatan... kita akhiri saja. Aku bisa mencari pria lain, Ganendra." Tangan kekar itu tiba-tiba melingkar di pinggangnya, menariknya kembali ke pelukan hangat yang menuntut. "Jangan, Kinanti..." suara Ganendra serak, nyaris putus asa. "Kau wanitaku. Milikku. Aku tidak akan membiarkan lelaki lain menyentuhmu. Termasuk Bara." Ia menunduk, membenamkan wajahnya di lekuk leher Kinanti, menciumi kulitnya yang harum. Kinanti hanya menutup mata, air mata jatuh perlahan di pipinya. "Dia bahkan tidak pernah menyentuhku lagi... sejak bertemu selingkuhannya," gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Kinanti Atmadja, perempuan berusia dua puluh empat tahun, adalah sosok yang sejak lahir sudah digariskan untuk hidup dalam kemewahan dan aturan yang ketat. Ia terlahir dari keluarga terpandang, berakar pada garis darah biru yang membuat namanya selalu diperhitungkan di kalangan elite. Pada usia yang masih relatif muda, dua puluh satu tahun, ia dinikahkan dengan seorang pria pilihan keluarga—Barata Pramayudha. Tiga tahun sudah Kinanti menjalani rumah tangga bersama Bara. Di mata publik, mereka adalah pasangan ideal—bahagia, serasi, penuh keharmonisan. Namun, di balik pintu rumah megah yang berdiri di kawasan premium Jakarta itu, kenyataan begitu berbeda. Bara selingkuh, bahkan selingkuhannya sudah hamil. Disaat dia merasa terpuruk, sebulan lalu... diacara reuni kampus, dia bertemu dengan Ganendra. Ganendra Adipati. Sosok yang tidak asing, sahabat dekat Bara sejak lama. Dia datang menawarkan cinta, Kinanti tidak menolak. ••• Malam itu, jarum jam sudah menunjuk pukul sebelas lewat. Suasana di mansion Kinanti dan Bara lengang, hanya suara jam antik di ruang tengah yang berdetak pelan. Klik. Pintu kamar Kinanti terbuka perlahan. Ia masuk dengan langkah ringan tapi wajahnya menyimpan dingin yang beku. Namun baru saja ia hendak menutup pintu, suara berat nan familiar terdengar dari arah lorong. "Kau darimana, Kinanti? Jam sebelas malam baru pulang?' Bara muncul dari pintu kamarnya sendiri, kamar yang berbeda dengan kamar sang istri. Ia bersandar di kusen pintu dengan wajah gelap, tubuh masih mengenakan kemeja rumah. Tatapannya penuh tuduhan. Kinanti menghentikan langkahnya, lalu menoleh. Bibirnya melengkung sinis. "Kau bahkan sudah berhari-hari tidak pulang, Bara. Ada hak apa kau menanyaiku?" suaranya datar, dingin seperti baja. Pria itu melangkah maju, matanya menyipit. "Kau istriku, tentu saja aku berhak tahu." Kinanti tertawa pendek, getir. Ia menatap Bara dengan pandangan jijik, seolah setiap inci tubuh suaminya hanya menimbulkan rasa muak. "Istri?" ulangnya sambil mendengus. "Istri yang bahkan sudah tidak pernah kau hiraukan? Jangan pernah berani mengusik urusan pribadiku, Bara. Urus saja perempuan jalangmu yang sedang hamil anakmu itu. Dan kalau memang kau lelaki... ceraikan aku. Beranikah kau?" Blugh! Kinanti mendorong pintu keras-keras, membantingnya tepat di depan wajah Bara. Kayu bergetar, suara hentakannya memantul di lorong panjang. Bara mengumpat, rahangnya mengeras. "Damn it!" makinya, kepalan tangannya menghantam dinding. Seakan menjawab amarahnya, ponsel di saku celana Bara berdering. Ia segera mengangkat. |Halo, Nadia... ada apa? Apa kau baik-baik saja, sayang? suaranya tiba-tiba berubah lembut, penuh perhatian—kontras dengan kemarahan barusan. Dengan senyum samar, Bara melangkah masuk ke kamarnya sendiri, menutup pintu, meninggalkan lorong yang kembali hening. Di sisi lain pintu, Kinanti berdiri bersandar. Napasnya berat, tapi bukan karena marah, melainkan karena menahan emosi yang sudah mengering. "Kau memang brengsek, Bara..." bisiknya, suaranya gemetar tapi tanpa air mata. "Kau lihat? Aku bahkan sudah tidak ingin menangis lagi. Aku tidak peduli. Hatiku sudah mati untukmu." Ia melangkah masuk, menyingkirkan heels yang masih menempel di kakinya, lalu melepaskan jas tipis yang melekat di bahunya. Tangannya membuka kancing blus satu per satu sambil berjalan menuju kamar mandi. Lampu kamar mandi menyala, cermin besar menampilkan bayangan seorang wanita muda yang tampak rapuh sekaligus berbahaya. Kinanti berdiri di depan cermin, satu per satu melepas sisa pakaiannya hingga tubuh putih mulusnya terpampang. Dan di sana... jelas terlihat bercak-bercak merah di tulang selangka, dada, dan pinggang—jejak cinta yang ditinggalkan Ganendra sepanjang sore tadi di hotel. Jari-jarinya menyusuri bekas itu, bibirnya melengkung senyum samar. "Ganendra..." lirihnya, senyum itu bertambah hangat sejenak kala ingatan deras membanjiri pikirannya—sentuhan, ciuman, desahan yang membuatnya merasa hidup kembali. Namun senyum itu segera hilang, digantikan sorot mata tajam. Kinanti menatap bayangannya sendiri di cermin. "Aku harus segera hamil..." gumamnya lirih, hampir seperti janji. Ia menghela napas panjang, suaranya kemudian berubah menjadi bisikan penuh dendam. "Kau harus merasakan rasanya direndahkan seperti yang kurasakan, Bara. Kau bisa dengan mudah berselingkuh, bahkan tidak repot-repot menyembunyikannya dariku. Maka kehamilanku nanti... akan jadi balas dendam terindah untukmu." Tanpa ragu, ia melangkah ke bilik shower. Suara air mengucur deras, membasahi tubuhnya yang masih dipenuhi bekas gairah sore tadi. Ia menyandarkan dahi ke tembok dingin, membiarkan air panas menghapus jejak ganendra di kulitnya—tapi tidak di hatinya. Di antara kabut uap dan derasnya air, matanya kembali terpejam. Senyum tipis muncul di bibirnya. Balas dendam sudah tertanam dalam rahimnya sebagai tujuan. Dan satu-satunya yang bisa memberinya itu hanyalah lelaki yang baru saja menyalakan kembali nyala hidupnya—Ganendra. ••• To Be Continued—Ponsel Kinanti bergetar lagi, nada dering yang sama berulang tanpa henti. Nama Bara terus muncul di layar, berkali-kali, seolah pria itu tak akan berhenti sampai wanita itu mengangkatnya.Namun Kinanti hanya menatap sekilas, bibirnya mengerucut jengkel. Dengan gerakan cepat, ia menekan tombol merah lalu menonaktifkan ponselnya.Tidak ada niat sama sekali untuk menjawab, apalagi berurusan dengan Bara malam ini.Gerakan kecil itu ternyata membuat Ganendra terusik. Ia sempat membuka mata yang terpejam, lalu melirik ke arah Kinanti yang tengah meraih nakas untuk meletakkan ponselnya."Ummhhh... ada apa, Kinan? Kau belum tidur?" suara beratnya terdengar serak, masih lelah setelah bercinta.Ia bergeser pelan, mengganti posisi. Kini tubuh Kinanti yang mungil justru bersandar nyaman di dadanya yang bidang, seperti menemukan sandaran yang sempurna.Kinanti menarik napas panjang sebelum bersuara."Apa kita harus memiliki tempat khusus?" tanyanya tiba-tiba, suaranya datar tapi serius."Hmmm?" al
Basement Penthouse, Malam Itu.Blugh!Suara pintu mobil tertutup keras, menggema di parkiran bawah tanah yang sunyi. Lampu neon putih keperakan memantulkan kilau mobil sport berwarna hitam yang baru saja diparkir.Kinanti Atmadja baru saja melangkah keluar. Tumit stilettonya beradu dengan lantai marmer abu-abu, meninggalkan denting elegan di ruang yang lengang.Tubuh rampingnya bersandar di kap mobil, tangan kanan menahan tubuhnya, sementara tangan kirinya merogoh tas kulit mewah.Ia menarik ponselnya, layar menyala, menyorot wajah cantiknya yang pucat namun tetap memesona. Jemarinya mengetik cepat.Kinanti: Kau dimana?Beberapa detik kemudian, layar ponsel bergetar. Notifikasi balasan masuk—sebuah foto.Gambar itu memperlihatkan Ganendra Adipati shirtless, tubuhnya berbaring di atas ranjang king-size, dada bidangnya terbuka, otot-otot sixpack perutnya jelas, kulitnya berkilau samar tertimpa cahaya lampu kamar. Tatapannya ke kamera dalam, menggoda, penuh undangan.Ganendra: Aku di ata
Dua hari kemudian, di Rumah Mode Kinanti.Gedung modern itu berdiri anggun di kawasan elit SCBD, dinding kaca memantulkan cahaya matahari siang yang terik.Di lantai tiga, ruang kerja pribadi Kinanti terasa begitu rapi, elegan, namun sekaligus dingin—persis seperti pemiliknya.Kinanti duduk di meja kerjanya, rambut hitam panjangnya tergerai ke satu sisi. Sejak tadi, pensil di tangannya hanya menari di atas kertas putih, membentuk coretan-coretan acak yang bahkan tak bisa disebut sketsa.Tangannya bergerak, tetapi pikirannya jelas jauh melayang entah ke mana.Wanita itu menarik napas dalam-dalam, lalu meletakkan pensil. Jemarinya menekan pelipis. Seorang fashion designer muda yang namanya sedang melambung di kalangan sosialita, selebriti, bahkan politikus ibu kota.Dia dicari-cari untuk gaun gala, pesta pernikahan, hingga sekadar private fitting. Namun di balik semua itu, hari ini dia justru duduk bengong.Ceklek.Pintu ruang kerja terbuka."Halo, kak." Suara ceria terdengar. Dari bali
Satu bulan berlalu... Keringat mengalir di pelipis Kinanti, tubuhnya bergetar di bawah desahan panjang yang lolos dari bibirnya."Ngghhh... Ganendra... aku... aku sudah tidak kuat..." suaranya parau, bercampur antara kenikmatan dan kelelahan.Ganendra menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari milik Kinanti, napasnya memburu, tubuhnya menegang hingga urat di lehernya mencuat."Kinanti... aku tidak memakai pengaman..." bisiknya, nyaris seperti ancaman sekaligus pengakuan.Mata Kinanti terpejam rapat, kepalanya terhentak ke belakang."Keluarkan... di dalam saja..." ia meliuk, tubuhnya menegang dalam kepasrahan yang nikmat."Aku ingin seorang anak... ahhh..."Hembusan napas berat Ganendra terdengar di telinganya."Kinantiiii... Arrrggghhh!!"Tubuh atletis lelaki itu akhirnya terkulai, dadanya naik turun dengan cepat, sementara peluh membasahi kulitnya.Ia menindih Kinanti sejenak, merasakan detak jantung keduanya berpacu gila.Dengan sisa tenaga, Ganendra menggulingkan tubuhnya ke samping,
Beberapa hari kemudian, tibalah hari yang dinanti—malam reuni kampus Universitas Azzura.Kinanti berdiri di depan cermin besar di kamarnya, memandangi bayangan dirinya sendiri yang tampak begitu memukau dalam balutan gaun hitam sederhana dengan potongan elegan yang menonjolkan lekuk tubuhnyaMeski desainnya tidak berlebihan, kemewahan tetap terpancar dari setiap detailnya, terutama dari perhiasan berlian yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya. Aura anggun dan mahal benar-benar keluar dari sosoknya malam itu.Tangannya sempat bergetar sedikit saat ia merapikan anting, bukan karena gugup, melainkan karena hatinya masih menyimpan bara amarah yang belum padam. Luka batin akibat pengkhianatan Bara belum kering sepenuhnya, tapi malam ini, Kinanti bertekad tampil sempurna—untuk menunjukkan pada dunia bahwa dirinya tidak hancur.Suara langkah sepatu terdengar mendekat. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, menampakkan sosok pria dengan jas hitam rapi. Bara berdiri di ambang pintu, w
RUMAH MODE KINANTI. Kinanti Atmadja, mengenakan kemeja putih dan rok pensil hitam, berjalan melewati deretan kain satin dan manekin yang dipajang rapi di lorong utama. Tatapannya fokus, wajahnya tenang—nyaris tak menunjukkan bahwa hidup pribadinya baru saja porak-poranda.“Kak,” panggil seseorang di belakangnya.Asisten pribadinya, Hana, berlari kecil menyusul sambil membawa tablet di tangannya.“Nanti siang ada klien, Kak. Kakak tahu kan influencer yang lagi booming itu? Tarina?” ucapnya cepat sambil menyesuaikan langkah.Kinanti melirik sekilas, bibirnya membentuk senyum tipis.“Ah, yang viral karena video dia nangis itu, kan?” tanyanya datar.Ceklek.Pintu ruang kerja Kinanti terbuka. Aroma teh melati langsung menyambut begitu ia masuk. Ia meletakkan tas tangan di atas meja kerja kayu mahoni yang bersih dari berkas, hanya ada tumpukan sketsa dan laptop terbuka.“Iya, Kak, yang itu,” lanjut Hana sambil berdiri di depan meja. “Dia mau bikin pesta ulang tahun mewah minggu depan, dan