Dengan tangan gemetar dan dada bergemuruh, Aira mulai membuka surat dari Zayen.♤♤♤Hai Aira ....Apa kabar cantik?Kalau surat ini sudah kamu pegang, berarti kamu udah sehat, ya?Aira ....Maaf Aku pergi tanpa pamit. Bagaimana aku bisa pamit, Kamu enggak bangun-bangun?Maaf juga, karena diriku kamu harus terbaring di rumah sakit. Sungguh, aku menyesal untuk itu. Tapi aku hanya ingin meluruskan satu hal, Aku dan Widya makan bersama di situ hanya sebuah kebetulan. Kami kebetulan bertemu, Widya mengajak bergabung di mejanya.Aira ....Aku ingin kamu tahu satu hal. Walaupun pernikahan kita berdiri di atas kebohongan, seiring berjalannya waktu, Aku merasa bahwa rasa itu ada. Rasa ingin bersamamu yang sesungguhnya. Aku ingin mengakui satu hal. Aku sering memperhatikan wajahmu saat kamu tertidur. Dan ... aku pernah menciummu. Kamu mau marah? Marah aja! Kamu kan istriku ... hehehheh.***Aira menyapu bulir bening yang mulai lolos dari pelupuk matanya. Kemudian ia berusaha kembali tersenyum s
"Zayeeeen! Kamu jahat! Betapa curangnya caramu membalasku! Pulang Zayen ... pulang! Aku ingin dirimu bukan yang lain!" Aira berbicara sendiri di sela-sela tangisnya. Berulang kali ia memukul bantal yang sering dipakai oleh Zayen.Seperti kehilangan separuh jiwa, itu yang Aira rasakan. Ia benar-benar shock menghadapi kenyataan jika Zayen benar-benar meninggalkannya dan tak aka kembali. Rasa sesal memenuhi rongga dadanya. Aira terlambat menyadari rasa marah yang sering ia tampakkan pada Zayen, bukanlah marah yang sesungguhnya. Yang sesungguhnya ia rasakan adalah rasa cinta dan sayang yang sangat dalam. Sekarang Aira benar-benar merasa kehilangan. Kehilangan teman bertengkar, kehilangan teman bicara, dan kehilangan teman hidup.Aira berulang kali mengacak-ngacak rambutnya yang sudah mulai basah oleh keringat dan air mata yang tak bisa berhenti mengalir. Sesekali ia memukul-mukul kepalanya dengan bantal sambil meringis. Aira marah pada dirinya sendiri. Marah pada kebodohannya, juga marah
Ada rasa bersalah menelusup di hati Aira. Apalagi saatmengingat bagaimana Niko menjaganya di rumah sakit. Aira berusaha menyingkirkan rasa curiganya sejenak. Bagaimanapun juga, Niko adalah anak dari orang yang sudah memberinya kehidupan kedua. Perlahan ia mendekat daj menyentuh tangan Niko untuk membangunkannya. Alangkah terkejutnya Aira saat ia menyentuh lengan Niko. Kulit lelaki tersebut terasa menyengat. Rupanya Niko demam akibat tidur di luar semalaman bersama angin malam. "Nik ... Niko ... bangun Nik!" Aira menggoyang lengannya pelan.Niko membuka matanya dan langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seperti baru tersadar dari mimpi. Niko memegang kepalanya yang terasa pusing."Kenapa enggak pulang, sih Nik! Kalau kamu pulang kan enggak kaya gini jadinya. Mana di rumah enggak ada stok obat penurun panas lagi," sesal Aira.Niko menggeleng dengan lemah. Aira bingung harus berbuat apa. Akhirnya Aira membawa Niko kembali masuk dengan menggandengnya pelan. "Berbaringlah di si
"Baik, Bu." Karena memang masih dilanda rasa bersalah, Aira langsung menyanggupi permintaan Bu Indarti. Aira segera menuju ke kamar Niko.Aira menatap punggung Niko yang membelakanginya. Lagi-lagi ia berhalusinasi jika Niko adalah Zayen."Zayen," desisnya tanpa sadar. Niko sontak membalikkan badan dan menatap Aira dengan wajah sayu dan pucat. "Za ... Eh, Nik!" Panggilnya gugup karena menyadari salah menyebut nama.Aira mendekat dan langsung mengangkat nampan, memindahkannya ke dekat Niko."Makanlah," ucap Aira dengan nada kaku."Hemm ... suapin!" Rengek Niko manja.Aira menarik napas kesal. Tapi tak ingin menambah rasa bersalah, Aira segera meraih sendok dan mulai meyuapkan makanan ke mulut Niko.Hati Aira tiba-tiba merasa sangat sedih. Ia membayangkan sedang menyuap Zayen makan. Hayalan konyol yang membuatnya tersenyum getir, karena tau itu tak akan pernah terjadi.Aira melihat Niko memandangnya seperti orang keheranan setiap ia habis menyuapi makanan. Hingga sampai suapan terakhi
Pagi-pagi Aira sudah menyibukkan dirinya di dapur. Walaupun Bu Indarti melarangnya untuk bekerja, tapi ia menolak dengan dalih sudah sehat dan tak enak jika berdiam diri. Sesungguhnya Aira berusaha mengalihkan pikirannya dari Zayen. Setiap teringat Zayen, Aira selalu ingin menangis."Aira, kamu antarkan makanan lagi buat Niko, ya?" ucap Bu Indarti setelah mereka selesai menyiapkan makananan.Aira terdiam. Enggan sekali rasanya. Tapi untuk menolak juga sungkan."Ra! Kamu keberatan ya?"Aira menggeleng sambil menyunggingkan senyum yang sangat dipaksakan."Sepertinya, Niko selera makannya muncul kalau kamu yang antar, Ra!" tutur Bu Indarti."Baik, Bu," jawab Aira sambil mengangguk.Bu Indarti menyunggingkan senyum sambil meletakkan semua makanan untuk Niko yang masih terbaring di kamarnya ke dalam nampan."Sudah nih! tinggal kamu bawa," ucap Bu Indarti pada Aira.Aira meraih nampan dan melangkah dengan berat hati menuju kamar Niko. Pintu kamarnya sudah terbuka, jadi Aira langsung saja ma
"Udah selesai makannya, Ra?" tanya Bu Indarti melihat Aira melangkah dengan tergesa menuju dapur. "Udah, Bu. Emang Niko lagi enggak selera makan. Ini cuma dimakan separuh," sahut Aira sambil menuang sisa makanan Niko ke tempat pembuangan. "Oh, tapi mendinganlah, daripada enggak makan. Selama Niko sakit dan kamu juga belum sehat total, kamu enggak usah ngerjain apa-apa dulu di dapur, ya. Biar saya yang urusin semuanya. Tugasmu cuma nemanin Niko makan, terus kamu istirahat.""Kok gitu, Bu?" Aira mengerutkan dahi. "Ya ... biar kalian berdua sama-sama cepat pulih. Kalau perlu, kamu sama Niko sering-sering makan bareng. Biar selera makan. Atau kalian mau makan di luar berdua? Siapa tahu bosan sama masakan rumah?" tawar Bu Indarti sambil tersenyum. Penawaran Bu Indarti sontak membuat Aira menggeleng tegas. "Sa-ya ... permisi ke kamar dulu, Bu," pamit Aira. Ia merasa Bu Indarti seperti sedang berusaha mendekatkan dirinya dengan Niko."Iya, silahkan," sahut Bu Indarti sambil tersenyum ra
Aira memandang Niko. Niko membuang muka berpura-pura memandang ke arah lain. Malu rasanya jika ia mengingat bagaimana ia memaksa perasaannya pada Aira di Taman Cerdas saat itu. Apalagi status Aira saat itu masih sebagai istri orang."Benar, Pak!" Kali ini Aira bersuara menjawab. Dalam hatinya masih kesal dan menganggap Niko biang masalahnya dengan Zayen."Niko!" Panggil Pak Margono.Niko terperanjat. Sungguh dia tak siap jika papanya bertanya macam-macam."Kamu benar-benar menyukai Aira? Sejak kapan?"Niko menggaruk-garuk tengkuknya. Ingin rasanya ia melarikan diri dari depan keluarganya saat itu juga. Ia benar-benar malu akibat tingkahnya sendiri."Niko! Benar kamu menyukai Aira?" ulang Pak Margono setengah membentak.Niko mengangguk sambil menunduk. Sungguh ia merasa sangat malu mengakui perasaannya yang tak lazim di depan seluruh keluarganya."Sejak kapan?" Pak Margono menatap putranya lekat-lekat.Niko menggeleng dengan kepala yang semakin tertunduk.Pak Margono menghela nafas be
Aira memandang wajah Bu Indarti yang nampak penuh pengharapan. Majikan yang sedari dulu memang selalu memperlakukan dirinya seperti anak sendiri. Demi melihat wajah teduh itu tetap bahagia, Aira meraih kembali pulpen yang semula terlepas dari genggaman.Aira segera meraih surat cerai tersebut. Walaupun tangannya masih gemetar namun, Aira tetap berusaha menandatangani kolom di atas nama lengkapnya.Setelah ditandatangani oleh Aira, Bu Indarti kembali meraih surat cerai tersebut dan memasukkan ke dalam amplop semula. Setelah itu ia meletakkan surat cerai tersebut di samping tempat duduknya.Sejak detik itu, Aira mengakhiri kisahnya dengan Zayen. Namun demikian, rindunya masih tersimpan dan berlanjut untuk Zayen di dalam segumpal daging bernama hati.Usai menandatangi surat cerainya, Aira kembali menangis sesenggukan. Aira beranjak meninggalkan Bu Indarti, Pak Margono, dan Niko ke kamarnya. Ada rasa sakit yang tak terhingga menempel di hatinya. Dulu Aira pernah menginginkan berpisah dar