Tok. Tok. Tok.
"Ya, sebentar," jawab Astri dari dapur. Tak lupa wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mematikan kompor yang menyala. Untunglah, masakannya sudah matang hingga bisa ditinggalnya sebentar sebelum memindahkannya ke dalam wadah.
Dengan tergopoh, Astri mencuci tangan di wastafel dan mengelapnya. Namun rupanya sang pengetuk pintu sudah tak sabar sehingga ketukannya semakin lama semakin seperti gedoran.
"Siapa sih, nggak sabaran amat. Memangnya aku ini punya kaki yang panjang hingga bisa mencapai pintu dalam waktu satu detik," gerutu Astri.
Astri membuka pintu dengan wajah yang lumayan kesal. Walaupun tamu memang harus dihormati, tapi apa tak bisa sabar sebentar saja menunggu tuan rumah membuka pintu.
Astr
Seorang pemuda yang sebentar lagi memasuki usia kepala tiga sedang duduk di sebuah kursi putar. Kepalanya diletakkan di sandaran kursi sambil berputar-putar ke kiri ke kanan. Tangannya memainkan sebuah mainan mobil kecil yang sudah pudar warnanya. Mainan yang sangat berarti untuknya. Mainan masa kecil dari seseorang yang sangat disayanginya. "Bu, Dafa mau mainan itu," kata seorang bocah sambil menunjuk mobil-mobilan remote di sebuah toko mainan. Sang ibu yang berjalan di sampingnya menghentikan langkah dan menoleh ke arah toko mainan di dekat mereka. Saat ini, Dafa sedang ikut Astri belanja di pasar. Wanita berusia tiga puluh tahun yang bertubuh ramping bak remaja itu tersenyum dan berlutut menyejajarkan tingginya dengan sang anak. Tangannya mengusap lembut rambut Dafa yang hi
Nadia sedang duduk santai di halte sambil menunggu bus yang akan membawanya pulang. Nadia terkesiap kaget saat tiba-tiba Alvin ada di depannya."Om, ngapain ke sini?" tanya Nadia waspada."Mau nemuin keponakan om lah, ngapain lagi."Alvin tersenyum tetapi malah membuat Nadia bergidik ngeri.Nadia berdiri saat dari kejauhan melihat bus tujuan rumahnya. Namun, gadis itu merasa kesal saat Alvin mencekal tangannya. Di halte sore ini sudah sepi dan sedari tadi Nadia hanya sendiri di tempat itu. Alvin lalu menyeret tangan Nadia menjauhi halte sebelum bus berwarna hijau itu sampai di sana."Lepasin Om, lepasin, jangan bawa aku. Memang aku salah apa sama Om. Om sadar nggak sih, Om itu udah nyakitin aku.""Cuma kamu yang bisa b
Mobil melaju membaur dengan berbagai kendaraan di jalan raya yang membuat kemacetan. Nadia memberikan alamat rumahnya pada Awan. Dengan handal, dosen muda itu mengendarai mobilnya menuju rumah Nadia."Sampai sini aja, Pak," ucap Nadia saat mobil Awan hampir sampai di gang menuju rumahnya."Rumah kamu di sebelah mana?""Rumah saya masuk gang, Pak. Saya jalan kaki saja dari sini.""Nanggung Nad, biarkan saya antar sampai rumah. Saya hanya bertanggung jawab untuk mengantar kamu selamat sampai tujuan. Lagipula, mobil bisa masuk gang. Bisa saja lelaki yang mengaku sebagai om kamu tadi menunggu di tempat sepi dan memaksa kamu untuk mengikutinya."Nadia menunduk lalu mengangguk setuju. Gadis itu kemudian memberi tahu arah rumahnya lebih detail.Semakin dekat, hati Awan makin berdebar kencang. Akankah pertemuan itu segera terjadi? Sekarang kah, waktunya untuk mereka bertemu?Awan menghentikan laju kendaraannya tepat di jalan depan rumah berca
"Tuh, mukanya merah, berarti bukan cuma sekedar dosen ya ..."Wajah Nadia makin tersipu saat Astri menggodanya. Nadia menutupi wajah denfan kedua tangan sambil menhgelengkan kepala."Enggak Mi, beneran. Pak Awan itu cuman dosen aku. Lagian juga baru tadi aja kami ketemu secara dekat. Selama ini cuma sekedar interaksi biasa antara mahasiswa sama dosennya.""Yakiiin?" Senyuman Astri mengembang melihat sang putri yang salah tingkah."Iiih Mami, kalo nggak percaya tanya aja sama Salsa. Pak Awan emang baik tapi ya gitu, jarang ngomong. Auranya kayak dingin gitu, Mi.""Kalau dingin dipanasin dong, Sayang.""Mamiii, seneng banget sih godain aku.""Hahaha, iya, iya, mami percaya. T
"Mas, apa tidak bisa aku mendapatkan hatimu sedikit saja? Aku tahu, aku bukan wanita yang sempurna dan sebaik mantan istrimu. Bahkan, dia juga pasti wanita yang sangat cantik sehingga kamu tak bisa berpaling sedikit pun darinya. Tapi Mas, kita sudah bersama berbulan-bulan lamanya. Aku juga memperlakukan Dafa dengan baik. Aku menyayanginya sama seperti aku menyayangi anakku sendiri." "Maaf Ai, aku sudah memberikan seluruh hatiku padanya. Aku tak mungkin membaginya lagi pada wanita lain. Aku menikahimu karena keinginan ibuku. Maaf kalau hal ini menyakitimu." "Aku tahu Mas, kita dijodohkan. Jujur saja, aku juga sama sekali belum mencintaimu. Aku menerima dirimu sebagai pengganti almarhum mas Jaya karena aku berpikir anakku pasti membutuhkan sosok seorang ayah. Yang kuharapkan kutemukan pada dirimu. Iya, kamu memang baik pada putriku, aku akui itu. Maaf, jika aku men
Suasana hening dini hari sebuah apartemen tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan sang pemilik apartemen tersebut."Ibuuu ... "Lelaki itu bangun sambil terengah seolah habis berlari puluhan kilometer. Tangannya masih menggapai ke depan dan keringat dingin tampak memenuhi sekujur tubuhnya. Telapak tangannya meraup kasar wajah tampan perpaduan dari wajah ayah dan ibu kandungnya.Jantung berdegup kencang bila mengingat mimpi yang hadir dalam lelapnya tadi. Apakah dia terlalu berpikir dalam tentang sang ibu hingga terbawa ke alam mimpi. Saking rindunya dia pada ibu yang telah melahirkannya."Dafa," panggil seorang wanita berparas cantik. Wajahnya masih sama seperti berpuluh tahun yang lalu seolah tak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Ataukah memang i
Nadia bergegas keluar dari ruangan Awan tapi kakinya serasa tak berpijak. Telunjuk tangan kanannya tampak bermain di sekitar dagunya. Pikirannya masih melayang pada sikap Awan yang tak biasa. Mereka tak seakrab itu hingga Awan sampai meminta Nadia untuk tinggal di apartemennya. "Ada apa sama pak Awan, ya? Aneh banget sikapnya kayak gitu. Lagi kesambet kali ya, makanya pak Awan bersikap aneh. Kalau fansnya pak Awan sampai tahu, hiiii. Aku nggak bisa bayangin sampai diserang sama mereka. Apalagi kalau sampai ada yang bertingkah bar-bar." Brukk. Nadia bertabrakan dengen seseorang hingga bokongnya mencium lantai yang dingin. Gadis itu meringis sambil memegang area tubuhnya yang sakit. "Aww, sssh, sakit." "Maaf, maaf, aku nggak sengaja," sahut seseorang sambil mengulurkan tangan pada Nadia. Nadia mendongak dan dilihatnya seorang pemuda yang tersenyum manis padanya. Tanpa menerima uluran tangan pemuda itu, Nadia berdiri sendiri sambil bersungut kesal. Pe
"Apaan sih malah kedip-kedip kayak orang cacingan gitu," sungut Nadia. "Hehe." "Malah ketawa sekarang. Apanya yang lucu, Sal?" "Hahaha," tawa keras Salsa memenuhi ruangan kelas yang dihuni tiga puluh mahasiswa itu. Beberapa pasang mata tampak menoleh ke arah kedua sahabat itu yang memaksa Nadia mengangguk sambil tersenyum meminta maaf. Nadia memukul pelan lengan Salsa yang masih saja menutup mulutnya menahan tawa. Nadia merengut sebal sambil bersedekap tangan. Gais itu memalingkan wajahnya dari sahabat karib yang selalu menemaninya itu. "Hehehe, maaf Nad, abisnya kamu lucu banget, kalian lebih tepatnya." Nadia memicingkan mata sambil mengangkat sebelah alisnya.