Share

Anak

Akhirnya sisa pagi kembali kulewati dalam kesunyian. Dan semua orang pun tahu, kesunyian bukanlah teman yang baik untuk orang frustasi. Sebab dalam kesunyian, otak akan sibuk memikirkan hal yang tak semestinya.

Dalam kasusku, jadi terpikir soal kemungkinan Silvy merajut asmara dengan suamiku, meski sebagian besar diriku berusaha keras menepisnya. Sejak dulu Haris cinta mati padaku, tak mungkin mendua.

Untunglah sebelum rasa bimbang menelanku hidup-hidup, ketukan di pintu kamar menyelamatkan aku lebih dulu.

"Hai Mama... kami datang... ." Ciara berseru antusias begitu daun pintu terkuak sementara Ciptadi yang menyusul di belakang bersikap biasa saja.

Sedikit pun tak ada ekspresi peduli di mukanya.

Dulu aku menganggap si sulung cuma anak yang sedikit cuek tapi kalau dipikir-pikir lagi, putera yang lebih dekat dengan neneknya ini, memang hampir tak pernah peduli padaku.

Bahkan kalau tak salah, dalam mimpi aneh itu pun Cipta hadir, tetapi dia tak datang menolong waktu aku tengah diborgol. Apa ini sebuah pertanda juga?

"Cipta, kenapa mukamu cemberut, Kak?" kataku mencoba menggali isi kepala anakku.

"Habisnya, tugasku masih banyak tapi langsung diseret Ciara kemari."

Nyess!

Ulu hatiku terasa sangat nyeri. Apa tugas sekolah lebih penting dari pada kesehatanku? Sejak tergelincir dari lantai dua rumah kami, baru hari ini Cipta datang kemari padahal sudah tiga hari aku terbaring di sini.

"Kakak ngomong apa sih? Mama lagi sakit, apa kakak tak peduli sedikitpun?" Suara Ciara meninggi nyaris membentak.

Tapi Cipta, anak yang kulahirkan setelah kontraksi sehari-semalam itu, bergeming. Dengan muka datar dan cuek, dia malah berkata, "lantas aku bisa apa? Kan ada dokter di sini, ada suster juga yang rawat."

Hatiku seperti diremas-remas sekarang. Ada tangan tak kasat yang mencabik-cabiknya sangat kuat.

Tak tahan lagi dengan sikap Cipta, aku pun berseru nyaring, "Cukup! Tak usah jenguk Mama. Keluar kamu sekarang! Kerjakan saja tugasmu."

Cipta menatapku tak berkedip.

Sejak kecil hingga remaja, baru kali ini suaraku meninggi padanya. sebagai cucu kesayangan sang nenek, baik aku atau ayahnya, tak pernah punya kesempatan memarahi Cipta. Ternyata itu jadi bumerang tersendiri.

Setelah mengamati murka yang tergambar jelas di wajahku, Cipta melengos kasar, "baik, kalau kehadiranku tak diterima. Aku juga tak sudi punya mama pemarah."

Setelah itu, tanpa peduli situasi, dia melenggang begitu saja.

"Kak, tunggu! Kak Cipta... ."

Ciara berusaha memanggil namun segera kularang. "Duduklah Ciara, biarkan Kakak sendiri," kataku tenang padahal di dalam, batinku sudah remuk tak karuan.

Tak hanya gagal jadi istri, aku rupanya gagal juga jadi ibu. Nasib macam apa ini?

"Sudah Ma, jangan sedih. Kakak pasti tak bermaksud begitu," gumam Ciara sambil mengusap mataku dengan ujung jarinya.

Tindakan ini bukannya bikin makin tenang, justru tangisku menghebat sampai bahuku bergetar seluruhnya.

"Apa Mama selama ini jahat sama kalian, Nak?"

Ciara hanya menggeleng sambil memelukku.

Berulang-ulang dia menceritakan berbagai kenangan indah yang sempat kami ukir dulu. Tentang gigi susu mereka yang kucabut sendiri demi menghemat biaya ke dokter gigi, bontot sederhana yang cuma berisi setup sayur dan dadar telor karena ibu mereka baru belajar masak, serta sweater buatan tangan yang kelar setelah dirajut berminggu-minggu.

"Mama adalah ibu terhebat di dunia," tambah si bungsu sambil menatapku dengan mata jernih itu.

Tak cukup sampai di sini, dia juga menggenggam tanganku yang mulai menua dimakan usia dan bertutur hangat, "lihatlah Ma, tanganmu jadi agak kasar karena selalu menjahit baju kami. Ibu mana yang bisa begini?"

"Te--terima kasih, Nak. Kamu sudah bikin Mama bangga."

Beberapa kali kukedipkan mata agar air hangat ini tidak makin merebak. Malu rasanya harus menangis cengeng di depan anak sendiri, apalagi Ciara tidak boleh stress karena kelainan jantungnya itu.

Akhirnya, kami menghabiskan waktu bercerita tentang banyak hal hingga jam visit dokter tiba. Seperti kemarin, dokter yang sama melakukan pemeriksaan rutin. Setelah memastikan beberapa hal, akhirnya beliau berkata, "wah, perkembangan ibu sangat baik. Kalau tak ada halangan, besok sudah bisa pulang."

Aku tersenyum gembira menyambut berita ini. Bagaimanapun, lebih tenang rasanya bila ada di rumah sendiri, bersama anak dan suami.

"Terima kasih dokter, semoga saya tidak harus berkunjung lagi kemari," kelakarku yang segera dibalas oleh beliau dengan humor yang lain.

Begitu doker dan perawat tadi keluar, Ciara tiba-tiba mencetus, "Bu, kalau umurku panjang, aku juga ingin jadi dokter."

Deg!

Jantungku langsung berdegup kencang. Bagaimana bisa puteriku yang manis bicara soal umur?

"Kenapa kamu bilang begitu, Dek? Umurmu pasti panjang, kamu baik dan sehat, kan?"

Ciara termenung seperti memikirkan sesuatu. Aku menunggu dengan sabar, biasanya pada saat begini ada hal-hal mengejutkan yang bakal keluar dari mulutnya.

Dan benarlah, tak lama berselang, Ciara kembali berkata, "tapi kata Tante, Ciara ini sakit. Bisa mati kapan saja."

Kurang ajar! Darahku mendidih seketika. Rasanya ingin bangkit sekarang juga dan merobek mulut lancang Silvy.

"Kapan tante bilang begitu? Dan kenapa?"

"Semalam Ma, waktu kami naik taksi online. Kata tante, aku jangan ikut campur urusan orang dewasa."

Setelah itu Ciara terdiam seperti menahan mulutnya dari bilang sesuatu. Tentu saja aku tak tinggal diam. Kurangkul tubuhnya yang sudah semakin tinggi dan berbisik pelan.

"Lalu? Tante bilang apa lagi?"

Helaan nafas Ciara terdengar berat. "Katanya Ciara bisa mati kapan saja, karena sakit. Jadi... sebaiknya jangan banyak tingkah."

Sontak pelukanku mengetat hingga tak sadar Ciara meringis kesakitan. Aku segera melonggarkan dekapanku, lalu membimbing anakku duduk di tepi ranjang.

"Ciara dengar baik-baik. Mama akan selalu menjagamu. Mama tak akan membiarkan hal buruk terjadi padamu. Kamu paham, kan?"

Ciara mengangguk lalu kembali memelukku.

Pada saat ini, aku merasa tak butuh apapun lagi asalkan bisa mendekap anakku yang malang selamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status