Gara-gara Istri Muda Anakku Meregang Nyawa

Gara-gara Istri Muda Anakku Meregang Nyawa

Oleh:  Auphi  Baru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
26Bab
75Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Tiara mengalami kecelakaan dan mendapat mimpi aneh. Rupanya mimpi ini bukan sekedar bunga tidur tapi jadi pertanda kehancuran rumah tangganya. Suami yang dia kasihi ternyata berselingkuh dengan sepupu yang pernah dia rawat dengan tangannya sendiri. Awalnya dia mencoba bertahan, bagaimanapun putri bungsunya yang terlahir dengan kelainan jantung bawaan, butuh biaya besar, yang tak mungkin bisa disediakan ibu tanpa karir seperti dirinya. Namun kejadian demi kejadian membuat pertahanan Tiara runtuh, sampai dia sendiri hendak mengakhiri hidup. Kemunculan sosok pria asing yang membawa wasiat almarhum sang bunda, membuat dirinya yang putus asa kembali bangkit dan memutuskan untuk hidup dengan baik. Sanggupkah Tiara melakukannya? Lantas bagaimana kelanjutan nasib suami dan sepupu pengkhianatnya?

Lihat lebih banyak
Gara-gara Istri Muda Anakku Meregang Nyawa Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
26 Bab
Curiga
Mataku perlahan terbuka, dan langit-langit putih kamar langsung menyerbu netraku. 'Aneh, bukannya tadi aku diseret ke dalam mobil?'Benakku masih sibuk menerka, ketika sebuah kesadaran menghantam otakku. Ya! Sepertinya aku baru terbangun dari mimpi buruk, dan lucunya mimpi itu terlalu nyata hingga kukira hidupku sudah berakhir di sana. 'Ah, syukurlah.'Tanpa sadar, aku menghela nafas lega. Ketika masih berusaha menyesuaikan diri, sesuatu tiba-tiba menyentuh lenganku. Refleks aku menoleh. Rupanya putri kecilku sudah berdiri di sisi ranjang.Bibir mungilnya yang pucat mengumandangkan tanya, "mama sudah bangun? Mama kenapa? Tadi seperti mengigau."Aku tersenyum, tak menyangka masih bisa melihatnya di sini. Segera kugenggam tangan mungil itu. Seperti biasa, suhunya lebih dingin dari yang wajar. "Entahlah, barusan Mama mimpi... tapi kayak nyata.""Ah, Mama... mimpi, kan cuma bunga-bunga tidur."Kuharap Ciara benar, namun entah kenapa firasatku bilang, mimpiku tak sesederhana itu. Sampa
Baca selengkapnya
Pertanda
"Hai, juga , Dek." sahutku setenang mungkin. Bagaimana pun, aku tak mungkin menuduh orang lain cuma gara-gara mimpi. "Aku sudah baikan.""Syukurlah Kak. Rumah jadi sepi tanpa kehadiran Kakak," ujar Silvy ramah. Kata-katanya ini agak menenangkan hatiku yang sejak tadi berantakan. Tak lama, Haris menyusul dari belakang. Dia bergegas menghampiriku. "Hai sayang," sapanya dengan senyum kaku yang tak sampai ke mata. Selepas itu kehangatan tubuhnya langsung melingkupiku. Dengan suara selembut madu, dia berbisik. "Bagaimana? sudah sembuh? Kamu hampir bikin aku mati ketakutan." Biasanya, Haris dalam mode perhatian selalu sukses bikin aku meleleh. Namun entah kenapa, detik ini aku agak sungkan membalas gestur romantisnya. Sungguh! Sekali rasa curiga tertanam, perasaan tak akan pernah lagi sama. "Aku baik-baik saja. Tubuhku saja yang masih agak ngilu," sahutku sambil melepaskan diri dari rangkulannya.Pada saat inilah netraku bertatapan dengan muka Silvy. Ada kilat tak suka di matanya yang
Baca selengkapnya
Anak
Akhirnya sisa pagi kembali kulewati dalam kesunyian. Dan semua orang pun tahu, kesunyian bukanlah teman yang baik untuk orang frustasi. Sebab dalam kesunyian, otak akan sibuk memikirkan hal yang tak semestinya. Dalam kasusku, jadi terpikir soal kemungkinan Silvy merajut asmara dengan suamiku, meski sebagian besar diriku berusaha keras menepisnya. Sejak dulu Haris cinta mati padaku, tak mungkin mendua. Untunglah sebelum rasa bimbang menelanku hidup-hidup, ketukan di pintu kamar menyelamatkan aku lebih dulu. "Hai Mama... kami datang... ." Ciara berseru antusias begitu daun pintu terkuak sementara Ciptadi yang menyusul di belakang bersikap biasa saja.Sedikit pun tak ada ekspresi peduli di mukanya. Dulu aku menganggap si sulung cuma anak yang sedikit cuek tapi kalau dipikir-pikir lagi, putera yang lebih dekat dengan neneknya ini, memang hampir tak pernah peduli padaku. Bahkan kalau tak salah, dalam mimpi aneh itu pun Cipta hadir, tetapi dia tak datang menolong waktu aku tengah dibor
Baca selengkapnya
Perdebatan
Besoknya, setelah menikmati sarapan pagi khas rumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Sebelum pulang aku sudah banyak merenung tentang situasiku, dan kuputuskan untuk bersikap biasa saja, sampai aku bisa membuktikan kecurigaanku. Dalam kesempatan ini, sengaja aku merias wajah, memakai parfum, serta dress yang cantik. Persis wanita yang mau pergi kencan. "Sayang... kamu tampak berbeda, " ujar Haris begitu melihatku di ambang pintu. Sejak tadi, aku bisa melihatnya sudah tak sabar menunggu. Mondar-mandir di ruang tamu -- kamar VVIP memang punya ruang duduk khusus -- persis orang kebakaran jenggot. Aku melirik sekilas lalu melempar senyum tipis. Lupakan tatapan hangat yang selalu kuberikan waktu masih jatuh cinta dulu, sebab sekarang aku sedang berusaha menata pikiranku ke titik nol. Tanpa cinta, tanpa prasangka. "Itu tasku ya Pah, tolong dibawa. Lenganku masih sakit," kataku datar. Kalau dulu aku selalu sukarela membawa tas dan perlengkapan anak-anak tanpa diminta, untuk hari ini?
Baca selengkapnya
Rencana
"Kenapa begitu?""Apa Kakak bilang?!"Baik mertua maupun Silvy yang baru memasuki teras rumah sama-sama kaget meski dengan intonasi berbeda. Kutatap dua wanita yang masih kerabat itu bergantian. "Ibu pasti tahu aku belum pulih betul. Selain kaki masih agak pincang, kepalaku juga suka pening tiba-tiba. Lalu bagaimana caranya aku merawat Ibu?"Silvy langsung duduk di sebelah mertua, dengan suara selembut madu dia mulai menabur benih-benih kebencian di hati bibinya. "Aduh, gimana ya? Yang menantunya bibi itu Kakak. Masak menantu perempuan tak mau merawat mertuanya?""Bukan tak mau, tapi tak bisa. Aku masih sakit. Paling tidak sebulan ini, harus istirahat."Rupanya penjelasanku yang sedemikian detail, tidak berpengaruh apapun pada Silvy. Dengan gaya manja, dia mulai memijit-mijit pundak mertuaku. "Kurang tahu sih, tapi kalau aku pribadi pasti tak akan tega membiarkan mertuaku dirawat orang lain. Bagaimanapun, beliau sudah membesarkan dan mendidik suami kita dengan baik."Mertua yang se
Baca selengkapnya
Kabar Buruk
Kata-kata mertua sontak membuat telapak tanganku gemetaran. Apa aku tak dianggap lagi sebagai menantu sekaligus ibu dari kedua cucunya? "Maaf Bu, tapi yang istri Kak Haris itu aku. Jadi, jelas akulah nyonya rumah dan berhak mengatur keuangan," ujarku dengan suara bergetar. "Omong kosong! Aku masih ada disini dan kamu berani bilang kalau kamu nyonya rumah? Haris, lihat istrimu. Dia tak menganggapku sama sekali."Usai berkata demikian, mertua Saat ini aku sungguh mengutuki diri sebab tidak pintar bersilat lidah. terisak sedangkan Silvy sibuk menenangkan beliau. Sekarang, aku benar-benar terlihat seperti tokoh antagonis yang menyakiti seisi rumah. "Ibu pasti tahu bukan itu maksudku yang sebenarnya. Tolong jangan bikin situasi makin runyam," kataku dengan suara tersendat. "Apa katamu? Aku bikin runyam?" tangis mertua makin pilu. Beliau bahkan mulai memukul-mukul dadanya. "Ya, Tuhan lihat kesusahanku. Aku sudah difitnah... ."Li
Baca selengkapnya
Luruh
"Kamu kenapa duduk di lantai, sih? Kayak anak kecil aja!"Omelan Haris ketika daun pintu terkuak adalah hal pertama yang menyadarkanku dari pikiran yang mengawang entah kemana. Kutatap muka Haris sejurus lamanya sampai dia membuang pandang ke sembarang arah. Semalam, pria yang kusebut suami ini sepertinya tidak mampir ke kamar kami. Dia tidur di kamar ibu, atau di ruang kerjanya, atau bahkan di tempat lain, aku tak tahu. "Aku ... aku capek, Pa," sahutku setengah protes terhadap situasi saat ini. "Jangan konyol, Ma. Siapa yang tidak capek hidup."Usai menyahuti perkataanku, dia menarik kursi lalu duduk di depanku. Dengan posisi macam ini, kami persis majikan dan babu."Katakan, kenapa kamu memintaku pulang tiba-tiba? Padahal perusahaan sedang sibuk-sibuknya?"Tanpa banyak bicara, kutunjukkan pesan dari dokter yang menangani Ciara. Haris memindai hasil laporan itu sekilas. Tentang istilah medis dan h
Baca selengkapnya
Pilihan Sulit
"Maaf bila sudah menyakitimu, tapi... aku memang sangat mencintai Silvy dan tak ada yang bisa kulakukan soal itu. Kuharap kita semua bisa hidup akur bersama."Mataku nanar menatap pria yang pernah sangat kucintai itu. Hidup akur katanya? Bahkan sekarang, kalau bukan karena mati-matian menahan diri, aku nyaris membunuh mereka semua. Bayangkan, kurang sakit apa perbuatannya? Sejak di rumah sakit kemarin, aku berusaha berbaik sangka meski firasatku sudah jelek soal mereka berdua. Namun apa balasannya? Dia malah tega bercumbu mesra ketika aku nyaris sekarat gara-gara terlalu lelah memikirkan penyakit putri kami. "Mimpi kamu Haris!" seruku tanpa ampun. Seumur-umur baru kali ini aku memanggil nama suamiku secara langsung. "Ckckck! Perempuan macam apa yang berani tak sopan sama suami. Dasar perempuan liar."Umpatan mertua nyaris membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Dalam situasi begini, beliau masih sanggup membahas sopan santun.
Baca selengkapnya
Melepaskan
"Ma, temani aku menggambar ya," pinta puteriku yang tiba-tiba saja masuk kamar. Penuh rasa bersalah aku lekas bangkit dan mengikuti Ciara ke kamarnya. Ruangan minimalis itu tertata rapi seperti biasa. Bedanya, pada dinding yang selalu kosong terpajang lukisan polos Ciara. Di sana hanya ada aku dan dia sedang duduk menatap mentari senja. Meski hati agak mencelos, kudiamkan saja. Sudah seminggu terakhir, aku nyaris tak pernah melihat suami dan puteraku. Soal Haris, aku memang sudah mati rasa. Demi menjaga kewarasan, aku harus membuangnya jauh-jauh. Beda cerita dengan Cipta. Walau sudah berusaha mendekatinya dengan berbagai cara, dia selalu menatapku dengan sorot bermusuhan, seolah akulah antagonis yang membuat neneknya susah. "Lukisanmu makin bagus, Nak." Aku berkata tulus seraya menyusuri permukaannya dengan tangan. "Jelaslah, anak siapa dulu dong? Tiara!"Candaan Ciara membuat senyum terbit di bibirku. Kuamati bina
Baca selengkapnya
Tragedi
Dua hari setelah kepergian Haris, tiba-tiba saja Ciara jadi sangat murung. Walau sudah kuhibur dengan berbagai cara, tetap tak membuahkan hasil. Puncaknya pagi ini, tubuh puteriku mendadak demam. Seperti biasa kukompes tubuhnya dengan air hangat dan kuberi tablet parasetamol. "Ma, aku mau makan bubur ayam buatan mama. Sudah lama sekali rasanya tak makan bubur itu." Ciara yang sedang tergolek lemah tiba-tiba meminta."Baiklah, mama masak bubur ayam dulu. Kamu rebahan aja di sini yang tenang, ya."Usai berpamitan pada puteriku, aku meminta Cipta menemani adiknya. Meski agak bersungut, tak urung dia bergerak juga ke kamar Ciara sedang aku langsung turun ke bawah. Kusiapkan kaldu ayam lalu mencampurnya dengan sedikit beras di dalam slow cooker.Sembari menunggu alat itu mengerjakan tugasnya, aku memasukkan ayam rebus tadi dalam chopper, lalu menyiapkan toping lain, seperti seledri, bawang goreng, dan kuah bubur. Setela
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status