Mata Flara masih menatap lekat wajah Zaki yang sedang fokus menatap jalanan. Ia sedang menerka-nerka apakah yang ia dengar tadi hanyalah halusinasi semata atau Zaki memang mengatakannya.
"Kamu serius? Aku nggak salah dengar, Zak?"
"Nggak. Semuanya udah di persiapkan dengan matang. Nggak mungkin aku mempermalukan keluargaku sendiri. Kamu kan tahu, harga diri papa adalah segalanya."
"Jadi kamu nikahi aku karena menjaga harga diri papa kamu?" tanya Flara yang merubah wajahnya menjadi sendu.
Zaki menoleh ke arah Flara sejenak lalu kembali fokus pada jalan yang mulai sepi karena memang sudah larut malam. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang.
Suasana dingin yang menusuk hingga tulang, nyatanya tak mampu membuat keduanya untuk saling menghangatkan meskipun hanya dengan sentuhan tangan. Justru suasana dingin ini sangat mewakili perasaan Zaki yang seketika membeku karena kesalahan fatal sangat kekasih.
"Kamu maafin aku, kan? Aku tadi belum melakukan apapun, Zak. Aku memang sudah tak memakai apapun, tapi sungguh aktivitasku dengan Denan tak seperti yang kamu kira."
"Nggak usah dibahas lagi, aku muak. Sudah sampai, turun!" titah Zaki masih dengan suara yang dingin.
Flara tak kunjung turun, ia masih berharap Zaki sedang bercanda kali ini. Ia tahu, Zaki adalah orang yang baik, ia pria yang sabar selama ini menghadapi tingkah Flara yang sering kekanak-kanakan.
Zaki tak pernah bisa marah terlalu lama dengannya. Apapun kesalahannya, pasti Zaki akan melupakannya. Ya, setidaknya itulah yang diyakini oleh Flara. Gadis dua puluh lima tahun yang beberapa tahun terakhir sudah dibahagiakan oleh Zaki.
"Turun, Flara! Ini sudah malam, nggak enak di lihat orang. Nanti dikiranya aku pria hina yang membawa anak gadis hingga tengah malam."
"Kan biasanya kamu yang bukain pintu, Zak."
"Mulai sekarang jangan manja. Lagi pula kamu kayak nggak tahu malu, ya. Kamu berharap aku memperlakukan kamu seperti ratu setelah apa yang terjadi? Itu memang keinginanku sebelum perbuatan hina kamu itu kamu lakukan di belakangku. Mungkin kamu tadi tidak melakukannya, tapi tidak ada yang menjamin kalau kamu tidak melakukannya sebelum hari ini."
"Zaki, aku udah..."
"Cukup! Turun sekarang sebelum tanganku yang bertindak!" kata Zaki dengan emosi yang kembali membuncah. Tatapan yang lebih tajam dari yang tadi ia lempar pada gadis yang kini sudah hampir meneteskan air mata.
Tak sanggup menahan lajunya air mata yang sejak tadi menumpuk, Flara dengan segera turun dari mobil dan berlari ke dalam rumah. Tangisnya pecah begitu ia melempar tubuhnya di atas ranjang.
"Seandainya kamu tahu aku melakukan ini buat kamu dan keluarga kamu, aku rela merendahkan harga diriku karena kamu, pasti kamu akan berterima kasih padaku, Zaki!" Flara meluapkan emosinya dengan melempar semua barang yang berada di kamarnya.
*
Pukul sembilan pagi, Flara sudah sudah siap dengan acara sakralnya. Dengan kebaya pilihan Zaki, gadis itu nampak cantik dan anggun meski dengan mata yang sembab karena menangis semalaman.Dengan hati yang gundah, dan kegalauan yang merajai hati dan pikirannya, Flara berjalan diapit oleh kedua orangtuanya untuk menuju ke tempat akad.
Meski bersusah hati, Flara berusaha untuk menampakkan senyum termanisnya. Ia menyembunyikan lukanya di balik topeng yang sekarang ia pasang.
"Kamu cantik," kata Zaki yang sejak tadi menatap Flara tanpa berkedip.
"Terima kasih," jawab Flara dengan gugup.
Gadis itu tak tahu, bagaimana perasaan Zaki sekarang terhadapnya. Ia merasa cinta Zaki terhadapnya tetaplah ada, tapi amarah dan kekecewaan nampaknya sering mengingatkan dirinya akan malam itu. Jika sudah begitu, Zaki akan menampakkan wajah dinginnya.
Seperti saat ini, setelah memuji Flara cantik, ia seketika ingat jika gadis yang berada di dekatnya ini sudah mengecewakanya. Raut wajahnya berubah seketika.
SAH
Setelah satu kata itu terdengar, Flara dan Zaki melakukan ritual seperti sepasang pengantin pada umumnya.
"Jangan pasang muka melasmu di sini. Tampakkan kebahagiaan seperti wanita-wanita lainnya saat menikah. Biar apa kamu sedih dan menunduk begitu? Supaya ada yang bertanya padamu? Lalu kamu menjelaskan bahwa kamu kemarin melakukan zina?" tanya Zaki di telinga Flara.
Zaki berkata seperti itu dengan menggenggam tangan Flara. Hal itu ia lakukan hanya untuk memanipulasi orang yang melihat mereka.
"Mas, kamu sekarang suamiku dan aku istrimu. Bisakah kita tutup masalah itu? Biarkan aku memberimu penjelasan lalu kamu berhak untuk menentukan sikapmu terhadapku. Apa yang kamu lihat belum tentu kenyataan yang sebenarnya.
"Penjelasan apa? Penjelasan kalau kamu masih cinta juga dengannya?"
"Terserah kamu saja, tapi yang jelas aku tidak punya perasaan apapun sama dia."
Perdebatan yang di lakukan dengan suara berbisik itu akhirnya selesai juga. Mereka turun dari pelaminan untuk makan siang dan istirahat, karena malam nanti mereka akan kembali merayakan resepsi.
Selama istirahat, pasangan pengantin baru ini hanya diam saja, sibuk dengan pikiran masing-masing. Flara yang awalnya berusaha berkomunikasi dengan suaminya kini juga diam, sekeras apapun ia berusaha, sekeras itu juga Zaki mengacuhkannya.
Pukul delapan malam, mereka sudah berada di pelaminan kembali. Menyalami satu persatu tamu udangan yang hadir. Baik dari temam kedua mempelai atau para tamu kedua orang tua.
"Selamat menempuh hidup baru, cepat dapat momongan ya," ucap salah satu sahabat Flara.
"Iya, makasih doanya. Bahagia juga untukmu."
Tanpa mereka sadari, sepasang mata milik Denan sedang menatap jalang kedua manusia yang berada di pelaminan. Tatapan yang tajam dan dingin seakan menyiratkan kebencian yang dalam.
"Berbahagialah kau sekarang. Nikmati bahagiamu selagi masih bisa mengukir senyum di bibirmu. Jika waktumu sudah datang, aku pastikan bibirmu hanya mampu memohon pengampunan dariku," ucap Denan pelan dengan senyum yang tak dapat di artikan oleh mata.
"Kamu tidur di sofa!" ujar Zaki begitu Flara keluar dari kamar mandi. Flara masih terdiam memperhatikan Zaki yang menata bantal dan selimut di sofa. Lagi-lagi ia berharap bahwa apa yang dikatakan Zaki hanyalah halusinasinya atau ia salah dengar. "Kenapa masih diam berdiri di situ? Kamu tidur di sofa, kalau kurang luas bisa tidur di karpet," ucap Zaki lagi lalu merebahkan dirinya di ranjang besar miliknya. "Mas, kita ini suami istri. Kenapa tidur terpisah?""Suami istri hanya status, aku tidak sudi bergaul dengan wanita kotor sepertimu. Tidur dan jangan tanya apapun lagi!"Bagai belati yang menancap pas di hatinya, sungguh sakit hati Flara mendengar ucapan Zaki. Bagaimana ia bersikap seperti ini sementara ia sama sekali tak mendengar penjelasan darinya. Jangankan mendengar, diberi waktu untuk bicarapun tidak. Dengan langkah gontai, Flara berjalan menuju sofa dan berbaring di sana. Ia menyelimuti tubuhnya hingga leher. Menyisakan wajah yang sudah basah oleh air mata. Zaki pun sama,
Sejak keluar tadi siang. Zaki tak kunjung pulang, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Flara sudah menghubungi suaminya itu sejak sore tadi, tapi nomernya tak dapat dihubungi. Sudah dua jam Flara duduk di meja makan dengan gelisah. Sesekali berdiri seraya melirik jam yang terpasang di dinding. Sejak tadi hanya dentingan jam lah yang menemani Flara di rumah sebesar itu. Disaat kegelisahan mendera hingga ubun-ubun, dering ponsel Flara berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon dirinya, jari Flara menggeser tombol menerima panggilan. "Mas, kamu di mana? Ini sudah malam. Kamu buruan pulang. Aku takut di rumah sendirian.""Oh, jadi kamu sedang sendiri?" tanya si penelepon. Flara sedikit tersentak, ia segera mengecek ponselnya begitu ia sadar suara di seberang bukan suara sang suami. "Ngapain kamu telepon aku? Please lah, Den. Aku dan Zaki sama sekali tidak ada hubungannya dengan dendam kamu sama...""Jangan atur aku!" potong Denan dengan bentakan. "Semua akan aman kalau kamu
"Mas, astaga, kamu kenapa?" Flara membantu Zaki yang tersungkur di lantai dengan keadaan mabuk. Baru kali ini Flara melihat Zaki yang seperti ini. "Kau tahu, aku sangat mencintainya. Tapi dia mengkhianatiku, dia menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya di belakangku. Bahkan kesucian yang harusnya dia berikan untukku malah dia berikan pada laki-laki lain. Aku sangat benci padanya. Hahaha." Zaki terus berceloteh dengan mata yang sudah terpejam. "Aku masih suci, mas. Aku nggak melakukan apapun dengan Denan. Bagaimana caraku menjelaskannya ke kamu? Kenapa kamu jadi seperti ini?" gumam Flara menidurkan suaminya di sofa ruang tengah. Flara menatap wajah suaminya yang terlihat lelah. Entah apa saja yang ia lakukan sejak siang tadi. Wajah yang dahulu memanjakan dirinya kini terlihat juga guratan kekecewaan. Flara jadi teringat ucapan Denan. Mengetahui dirinya berkhianat saja Zaki sudah menghancurkan dirinya sendiri. Bagaimana jika ia tahu kalau orang tuanya juga pernah berbuat dosa di m
Denan berjalan ke arah Flara yang sedang bersiap akan makan. Dengan santainya ia duduk dan mengambil piring yang tersedia di sana. "Jangan lancang! Aku nggak nyuruh kamu makan, dan aku tidak sudi kamu makan di sini!" ucap Flara dengan tegas. "Ayolah, Fla. Jangan buat aku setiap waktu mengingatkan kamu dengan perjanjian kita. Turuti aku dan jangan pernah menolak apa yang aku mau. Eh, nggak apa-apa, sih kalau kamu nolak. Aku buat kekacauan saja sekarang," kata Denan merogoh ponselnya yang berada di saku celana. Dengan cepat Flara mencegah Denan melakukan niatnya, ia tak mau melihat keluarga suaminya berantakan. "Makan!" titah Flara kemudian. "Nah gitu dong, ngomong-ngomong kamu kenapa mau berkorban sebegitu jauhnya buat Zaki? Padahal kamu menjatuhkan harga dirimu untuk pria yang tidak tahu terima kasih itu." Denan dengan semangat empat lima mengambil nasi dan lauk pauk yang berjejer rapi di meja makan. "Dia sayang padaku dengan tulus, dia menerima aku apa adanya, nggak pernah saki
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat Flara masih mondar-mandir di teras menunggu kepulangan suaminya. Ia rela menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya serta menahan dinginnya malam yang menusuk hingga tulang demi menunggu dan memastikan bahwa Zaki pulang dengan baik-baik saja. Sementara yang ditunggu malah sedang asyik bersama dua wanita yang menemaninya hingga mabuk. Zaki tak kalah frustasi dengan Flara. Ia muak dengan pernikahan yang ia jalani. Ia ingin meninggalkan Flara namun, entah mengapa ia tak bisa melakukan itu. Ia merasa masih ada alasan untuk bertahan. Jangan tanya apa alasannya, karena Zaki sendiri tak tahu, ia bingung dengan kemauannya sendiri. Lagi pula jika ia memilih berpisah dari Flara, pasti nama baik kedua orang tua yang selama ini dijaga dan dijunjung tinggi akan hangus karena perkara anaknya yang hanya menjalin hubungan rumah tangga seumur jagung. "Mau tidur dengan kami, boy?" Salah satu wanita yang berpakaian nyaris telanjang menawarkan diri untuk berc
Tidak ada hari yang istimewa bagi Denan, semua hari terasa suram sejak ia berusia sepuluh tahun. Kecelakaan yang merenggut kesehatan sang ibu membuat dunianya terasa runtuh dan tak utuh, semua terasa memiliki warna yang sama. Sama-sama gelap dalam cahaya yang terang, seterang bulan yang kini menyaksikan Denan mengenang masa lalunya. Bukit mungil, satu-satunya tempat yang Denan temukan untuk menenangkan dirinya sendiri. Setelah ibunya, Denan hanya punya tempat ini untuk meletakkan kepalanya dari hiruk pikuk dunia yang kejam dan terasa menyiksa. Hanya seorang diri, hanya dirinya sendiri yang di temani ribuan bintang yang bercahaya, namun tak ada satupun bintang yang bisa menerangi kelamnya kehidupan sang Arjuna yang di siram oleh kegelapan. Denan sedang memikirkan alasan, kenapa ia memilih lahir di dunia ini. Denan pernah dengar dari salah satu manusia yang menempati dunia terkutuk ini. "Kita sebelum lahir itu di tanya sama Allah sebanyak tujuh puluh tujuh kali. Mau lahir ke dunia a
Sudah sebulan pernikahan Zaki dan Flara, namun hubungan mereka tetap saja tak ada perubahan. Meskipun begitu, Flara masih sangat berusaha untuk mengembalikan lagi hati dan cinta Zaki. Ia masih meyakini bahwa cinta masih bisa untuk ia dapatkan kembali. Walapun beberapa minggu terakhir Flara selalu mencium bau perempuan dan beberapa kali kemeja suaminya meninggalkan bekas lipstik, entah mengapa Flara merasa Zaki tak benar-benar mengkhianati dirinya. Flara kenal betul suaminya itu, ia tak semudah itu untuk berpaling dari cintanya. Flara juga merasa bahwa yang dilakukan Zaki hanyalah sebagai bentuk pelampiasan atas kesalahannya. Di suatu malam, Flara mengendap-endap mengikuti ke mana Zaki pergi. Entah ingin ke mana pria itu di hari yang sudah sedikit malam. Penasaran dengan apa yang di lakukan suaminya di luar sana, Flara mengikuti ke mana perginya pria itu. Dengan hati dan debaran halus di dadanya ia masih berada di dalam taksi dengan terus menatap mobil yang berada di depannya. Flara
Flara membuka mata dengan pelan. Memaksa tubuhnya untuk bangkit dari rasa sakit yang mendera. Ia duduk diam seraya mengingat apa yang terjadi semalam. Begitu mengingatnya, Flara sudah tak menemukan Zaki di sampingnya. Flara tak terkejut, ia sudah menduga hal seperti ini. Ia merasa kesal karena ditinggal begitu saja oleh suaminya sendiri. Ia bagaikan wanita yang tak ada harga diri. "Mudah-mudahan dia sadar dengan apa yang terjadi semalam. Aku nggak mau jadi bahan amukan dia." Flara menggerutu seraya bangkit dari ranjang dan berjalan ke kamar mandi. *"Pemisi, Pak. Asisten yang Bapak minta sudah bisa hadir hari ini, saya langsung suruh masuk saja, Pak?" tanya sang sekretaris. "Hm." Hanya itu yang menjadi jawaban atas pertanyaan sekretarisnya. Zaki memang terkenal dingin, cuek dan bermulut pedas saat di kantor. Tak ada yang boleh menggangunya ketika ia tenggelam dalam tumpukan berkas yang menjulang tinggi di depan mejanya. "Masuk!" teriaknya saat terdengar pintu di ketuk. "Selamat