"Eeh ... iya, Nduk. Bener ibu yang kasih Farhana uang buat dia pergi menenangkan diri, tapi ...," belum juga ibu selesai berbicara Mba Retno memotong pembicaraan kami.
"Tapi ... ini email pembelian tiket pesawat Mas Pras ada dua, Bu. Dia bilang dari kantornya ada acara di Lombok tapi kenapa ada pembelian tiket ke Bali juga?" Mba Retno memperlihatkan gawainya.
Aku melihat email Mas Pras yang ada di gawai Mba Retno, wah sepertinya hidup Mas Pras selalu dimata-matai Mba Retno ya, sampai-sampai email pun ada di gawai istrinya.
"Iya ... mba aku memang ke Bali. Tapi bener mba aku ngga pergi bareng Mas Pras." Aku menggigit bibir sambil memainkan cincinku.
"Yakin, Fa? Lalu bukti struk transfer dua juta dari rekening Mas Pras ke rekeningmu itu apa?" Mba Retno melempar kertas transferan ke arahku.
"Iya, Mas Pras memang memberiku uang, tapi itu hanya sebatas kasihan karena adik iparnya tak dapat memenuhi kebutuhan istrinya. Namun aku nggak sehina itu pergi berdua dengan Mas Pras untuk berlibur!" Aku membela diri.
"Wes ... jangan sok suci lah kamu. Toh kamu lebih parah dari Aku?" Mas Aksa mencebik sambil mengangkat alis meminta persetujuan Mba Retno atas kelakuanku.
"Fitnah kalian terlalu kejam ... Besok kita urus surat-surat cerai Mas, biar kita buktikan di pengadilan siapa yang salah!" Aku tak dapat membendung air mataku, tak bisa aku berlama-lama bersama mereka. Keluarga yang membuat hidupku hancur tanpa belas kasih.
Aku keluar dari kamarku sambil meneteskan airmata yang tiada henti. Mischa, kakakku lalu mendekatiku.
"Kenapa, Fa?" Kakakku penasaran.
Aku tak sanggup menceritakan apapun pada kakakku, hanya tangisan yang dapat kubagi padanya. Untung saja kakakku ini orang yang peduli dan baik sekali kepadaku semenjak kecil.
"Fa, apa bener kamu sama Mas Pras ada affair? Dua hari sebelum Mama meninggal Mas Aksa telepon kesini cerita macem-macem. Selang itu Mama drop, Fa." Mba Mischa menjelaskan sambil memandangi wajahku.
"Ya, Tuhan mba ... jadi Ibu drop gara-gara Mas Aksa?Aku nggak kuat mba ... aku mau ceritain semuanya Mba. Apa yang Mas Aksa lakuin ke Aku selama ini." Aku mulai ceritakan setiap detail kejadian-kejadian yang terekam jelas dalam ingatanku.
Mba Mischa menyuruhku untuk tidak kembali ke rumah Ibu atau kontrakan dan tetap di rumah Mama serta mengurus Bapak bersamanya.
Memang sih keuangan kami sekarang hanya pas-pasan semenjak kedua orangtuaku pensiun. Kakak-kakakku juga bekerja serabutan apa adanya.
Aku menyesal mengapa dulu aku tidak meneruskan kuliah dan tergoda oleh bujuk rayu keluarga Mas Aksa untuk segera menikah dengan Mas Aksa, karena katanya hidupku dan orangtuaku akan dijamin oleh mereka.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku harus meneruskan hidupku. Berjuang walaupun sendirian.
~~~~~~~~~~~
Siang yang terik itu, tiba-tiba sebuah pesan masuk kedalam gawaiku.
[Dek, gimana proses ceraimu? Punyaku sudah masuk pengadilan nih, tinggal nunggu sidang aja. Nanti kalau sudah ketok palu biar Mas lamar kamu ya, Dek?]
Pesan itu dari Mas Pras, berhari-hari aku mengirimkan pesan kepadanya baru hari ini dia membalasnya. Tapi tunggu mengapa secepat itu Mas Pras dan Mba Retno memutuskan untuk bercerai? Aku harus menelpon dia.
"Mas Pras?" Seseorang dengan tubuh tegap menghampiriku."Eh, kamu Plun. Kenapa?" rupanya dia Si Kemplun, OB kantorku."Mas ... aku mau nanya. Apa ini saudaramu?" Kemplun memperlihatkan sebuah gambar di gawainya.Aku mengernyitkan alisku, kenapa ada Si Aksa dalam gambar itu? Tapi yang anehnya Aksa memakai jas putih khas pengantin. Apa anak ini kawin lagi? Ya, Tuhan benar perkiraanku. Si Aksa duduk bersanding dengan seorang perempuan."Ealah ... Plun foto darimana?Itu adik ipar aku loh." "Lah bener toh Mas ...aku tuh mikir dari tadi. Kayane aku pernah liat ini cowo. Lah apa wis cere sama istrinya, Mas?" Kemplun meninggikan suaranya karena kaget."Belom, Plun. Wong istrinya baru keguguran kemarin. Koq kamu bisa dateng ke nikahannya?" "Lah, ini ceweknya sepupu aku, Mas. Ya Allah berati sepupuku ditipu sama dia. Kasian banget dia tuh Mas. Aku tuh dapet fotonya aja sih dari sodaraku Mas Andi" Kemplun menanggapi omonganku dengan serius."Coba, Plun kirim semua gambarnya ke aku." Aku berniat
"Mas ..., apa- apaan ini?" Retno membanting gawainya di kasur ke arahku. Pupilnya membesar mengarah kepadaku.Aku masih tak bergerak, memandangi wajahnya yang memerah dengan mata yang membesar saja sudah membuatku ciut untuk berpindah tempat."Buka HP ku, Mas!" Retno menunjuk gawainya sambil terus memandangiku.Aku mulai mengambil gawainya, sambil mataku fokus kebawah. Aku benci suasana seperti ini, dimana Retno selalu menjadi mayoritas setiap kali ada masalah."Kenapa sih Ma? Ada masalah apa?" Aku selalu tak faham dengan kelakuannya yang sok menguasai. Coba saja sebentar lagi suasana akan semakin rumit."Buka email di HP ku, Mas!" Retno masih menyuruhku dengan kasar.Kubuka gawainya, aku penasaran memangnya ada apa di dalam email istriku. Kurasa pasti tagihan kartu kreditnya yang membengkak atau ah ..., apalah semua tentang istriku memang tak ada yang menarik.Aku mulai mencari aplikasi email dalam gawai Retno, kubuka aplikasinya. Di dalamnya terdapat beberapa email dia dan disitu ad
Aku tak jadi menelpon Mas Pras karena moodku keburu hilang. Aku juga menjaga agar dia tak terlalu berharap kepadaku. Langsung saja aku balas pesan whatsupnya.[Aku belum mengajukan proses cerainya, Mas. Mungkin aku menunggu Mas Aksa yang mengajukan karena uang tabunganku tak cukup untuk mengurusnya]Aku sebenarnya malas membalas pesan Mas Pras karena takutnya masalah semakin runyam.[Kalau begitu biar Mas yang kasih modal biar prosesnya lebih mudah, Dek] Benar saja, diotak Mas Pras sepertinya sudah banyak rencana tentang masa depan kami. Namun aku tak ada niat untuk hidup bersamanya apalagi dia bekas suami kakak iparku sendiri.[Nggak usah, Mas. Sekarang aku cuma butuh kamu meluruskan masalah ini kepada Mas Aksa, Ibu dan juga mba Retno. Aku nggak mau lagi ada dalam pusaran permasalahan rumah tanggamu, Mas!]Kemudian jeda cukup lama Mas Pras membalas pesanku, mungkin dia mulai berfikir untuk mengasihaniku dengan menjelaskan semua yan terjadi antara aku dan dia sebenarnya tak ada apapu
Hari- hari berlalu begitu cepat, sudah seminggu lamanya aku berada di Purwokerto. Ibu yang menjanjikanku sebuah rumah mewah di Kawasan elit di Purwokerto ternyata hanya mengontrakan rumah bagus di Alana Hils, perumahan paling mewah di kota kecil ini. Aku cukup bersyukur dan senang karena Ibu berjanji ketika uang DP rumah sudah terkumpul kami akan dibelikan salah satu rumah disekitar sini.“Dek, masak apa toh hari ini? Ntar malem aku pulang malem banget yam au lembur soalnya.” Mas Aksa memeluk pinggangku dari belakang ketika aku sedang memasak pagi itu.“Ini loh, Mas kesukaanmu balado tahu telor, kalau gitu nanti siang pas pulang bawa makan aja ya buat nanti malem?” Aku membalas pelukan Mas Aksa dengan menggenggam tangannya tetapi dalam hatiku masih berkecamuk rasa benci padanya yang belum juga sirna.“Boleh.. boleh, Dek. Tar siang mas balik lagi buat makan ya. sekarang mas mau berangkat dulu.” Mas Aksa kemudian melepaskan lengannya dari pinggangku menuju rak sepatu.“Oia, Mas. Itu lo
Sore harinya, Mas Aksa pulang dengan membawa banyak makanan. Tentu saja Tante Mela dan anak-anaknya nampak senang melihat banyak jajanan yang dibawakan Mas Aksa.“Udah pada mandi belum nih anak-anak? Jam limaan kita pergi yu puter-puter kota Purwokerto, ntar Om mandi dulu ya.” Mas Aksa menyapa anak-anak dengan ramah.“Iya Om mau-mau.” Anak-anak makin sumringah setelah Mas Aksa mengajak mereka untuk jalan- jalan.“Dek..dek bentar ke kamer dulu sini,” Mas Aksa tiba-tiba menarik lenganku dari ruang tivi. Mas Aksa menarikku masuk ke kamar dan segera menutup pintu kamar rapat-rapat. Apa-apaan ini Mas Aksa masa sore-sore begini dia mau minta jatah, fikirku.“Dek, dek HP kamu yang kemarin itu mana? Mas mau pinjem dulu sebentar, nih Mas gantiin dulu sama hape ini!” Mas Aksa mengeluarkan sebuah handphone keluaran Tiongkok dari kantongnya.“Loh, Mas. Masa hape Ijonk ku mau diganti henpon Cina sih. Aku nggak mau ah.” Aku merajuk kepada Mas Aksa.“Ya makanya, Mas Cuma pinjem sebentar aja. Nanti k
Sesosok Wanita nampak menari-nari dihadapan Aksa, Wanita itu mengenakan dress berwarna hitam, bersepatu merah. Sungguh elegan, jauh rasanya jika dibandingkan dengan Farhana, istrinya. Menurut orang-orang sekitar, farhana istrinya adalah sosok Wanita yang sungguh cantik, bola matanya yang besar, hidungnya yang mancung serta bibirnya yang sedikit tebal menjadi sebuah unggulan yang selalu dgadang-gadang oleh keluarga besarnya. Apakah yang kurang dari seorang Farhana sehingga aku masih selalu haus untuk mencari Wanita lain selain dia?Aku baru sadar hari ini, Farhana adalah sosok yang begitu polos. Dia tidak pernah nampak elegan seperti wanita yang ada di hadapanku. Nora, dia dokter muda yang ditugaskan dikantorku. Malam ini dia sungguh terlihat berbeda, liar dan enerjik. Baru sebulan dia ditugaskan dikantorku, semenjak dia datang banyak pria-pria lajang terpesona pada kecantikannya yang khas, para pria menyebutnya elegan. Tak ketinggalan pun kami para bapak-bapak muda yang ikut terpesona
“Ya Allah, Ca. Kamu ini loh, ambil perhiasan kan bisa nanti-nanti lagi, kamu nggak ada khawatirnya sama sekali sama istrimu apa?” Ibu kembali mengeluarkan urat lehernya mungkin saking kesalnya dengan kelakuanku“Sedelat, Bu. Ini kan biar Farhana senang perhiasannya sudah balik lagi.” Aku berusaha menenangkan Ibu.“Ini pake uang siapa, Ca? Nebus perhiasan istrimu?” Mba Retno mendekatiku ketika didepan kasir pegadaian.“Uang Ibu, kenapa Mba?” Perasaanku sudah tak enak melihat wajah Mbak Retno yang terlihat jutek.“Kamu tuh tega banget sih Aksa, aku kan lagi susah. Suami aku aja kerjanya masih serabutan nggak kaya kamu yang udah BUMN, nggak bosen-bosen minta uang terus ke Ibu? Emang istri kamu dikasih makan emas ya, nggak bisa apa ngirit sedikit?” Mbak Retno menceramahiku sambil berbisik-bisik.“Sst…uwis toh, Mbak. Isin kedengeran orang pegadaian.” Aku tak tahan dengan omelan Mbak Retno, dia pikir hanya dia saja apa di dunia ini yang butuh uang.Mbak Retno kemudian pergi dari hadapanku s
"Apa dek? Ooo... itu. Mas kawinnya aku pinjem dulu dek. Kan yang penting perhiasan dari ibumu toh?" Aku menjawab datar."Gimana sih kamu mas, percuma minta maaf. Lalu gaji bulanan kamu kemana aja sih mas?" Wajah Farhana seperti akan menerkamku."Ahhh...cerewet kamu dek. Udahlah kita nggak usah ngomongin ini lagi. Tambah nesu aku dek." Aku langsung keluar dari kamar dan menggebrak pintu rumah dengan kencang. Lebih baik aku bertemu dengan Nora yang wajahnya selalu terlihat menyegarkan dibanding Farhana.*Aku melajukan mobil katanaku ke sebuah kos-kosan berlantai dua dekat kantor, disanalah Nora tinggal. Rumah orantuanya memang tak begitu jauh, masih disekitaran kota tapi Nora ingin dia lebih mandiri dan memutuskan untuk kos dekat dengan kantor. Sebenarnya keputusan Nora sudah sangat tepat karena aku jadi bisa mengunjunginya kapan saja tanpa harus ada rasa tidak enak kepada Orangtuanya.Aku mengetuk pintu kamar kosannya, terlihat Nora membukakan pintu sambil matanya sembap sepertinya ha