Share

Gara-gara Reuni,  Wali Kota itu Jadikanku Istri
Gara-gara Reuni, Wali Kota itu Jadikanku Istri
Penulis: Putri Dita

Part 1

"Hadeuh," lirihku malas melihat ponselku yang terus saja berbunyi.

Ya, meskipun setiap hari selalu begitu karena grup W******p dari anak-anak kantor, kali ini jauh lebih berisik karena grup W******p reuni SMP yang baru aku ikuti.

Yang membuatku sebal, sejak tadi mereka masih ribut melakukan pengambilan suara untuk menentukan tanggal pelaksanaannya. Mereka masih menemui jalan buntu karena sebagian besar teman-temanku di perantauan—hanya beberapa yang masih menetap di Kota Aare.

Anyway, namaku Adela Putria, biasa dipanggil Dela. Usiaku menginjak 28 tahun ini, bekerja sebagai salah satu pegawai di kantor pemerintahan setingkat kota administratif di Kota Metropolitan Milton—ibu kota .

Aku berbeda dengan orang lain yang harus dipaksa untuk menjadi seorang pegawai pemerintahan. Pekerjaanku sekarang adalah salah satu impianku dan orang tuaku. Selain ingin mengikuti jejak ayahku, aku ingin di hari tua nanti mempunyai uang pensiun setiap bulannya. Terjamin, kan?

Kembali lagi ke reuni SMP ini. Sejujurnya, aku malas ikut acara seperti ini, sudah lebih dari 15 tahun tidak berkontak dengan teman-teman, bahkan aku mulai lupa beberapa wajah dan nama. Bukannya sombong, hanya saja aku baru ganti ponsel karena yang lama sudah rusak. Aku belum banyak menyimpan kontak lagi. Masuknya aku ke grup reuni ini juga gara-gara Tina, sahabatku sedari SMP.

Akhirnya, aku cuma jadi silent reader di grup reuni. Dulu, di SMP, aku hanya punya beberapa teman akrab, sedangkan yang lainnya hanya teman sekadar kenal karena sistem rolling class yang membuat kami harus saling berkenalan setiap tahunnya.

"Ngapain lo mantengin ponsel mulu, pake manyun segala?"

Yang bertanya itu Shela, teman kantorku sekaligus tetangga apartemenku sejak kuliah di ibu kota ini. Saat masih kuliah, kami sama-sama menyewa kos sekitaran kampus. Setelah bekerja dan memiliki tabungan yang cukup, kami memutuskan pindah ke apartemen karena privasi kami lebih terjaga. Apalagi setelah bekerja, kami sangat membutuhkan waktu istirahat yang cukup.

"Ini, nih, grup SMP gue, berisik banget bahas-bahas reuni. Gue males mau datengnya," jawabku sambil merengut kesal.

"Dateng ajalah, siapa tahu lo dapat jodoh dari reuni itu. Emang kapan, sih, acaranya?"

"Tau, nih, masih voting buat tanggalnya."

"Ya udahlah, lo dateng aja. Gratis juga, kan, acaranya? Lagian lo juga udah lama gak pulang."

"Hmm ... ntar gue pikirin lagi, deh."

Tapi, memang benar kata Shela, aku sudah lama tidak pulang ke rumah. Mungkin sudah saatnya aku pulang sekalian bertemu lagi dengan teman-teman lama.

Setelahnya kami sama-sama diam sambil menatap ponsel masing-masing. Aku dan Shela sedang makan malam di dekat apartemen. Setelah pulang kerja kami memutuskan langsung mampir beli makan. Jarak dari kantor ke apartemen hanya sekitar 15 menit, setiap hari aku membawa motor kesayanganku bersama Shela. Sesekali—terutama kalau cuaca sedang tidak menentu—bergantian dengan Shela, aku menumpang mobilnya.

***

Jumat ini aku memutuskan untuk pulang ke Aare , kota kelahiranku. Setor muka ke orang rumah sekalian datang ke acara reuni yang akan diadakan hari Sabtu besok. Karena desakan Tina, aku akhirnya memutuskan untuk hadir di reuni.

Sepulang kerja, aku langsung menuju ke stasiun untuk pulang ke kotaku. Menggunakan alat transportasi kereta api di saat akhir pekan seperti ini adalah pilihan yang bijak, mengingat banyaknya pekerja yang pulang sekaligus melepas penat di Kota Aare. Menggunakan kereta, perjalanan dari ibu kota Milton ke Kota Aare hanya memakan waktu dua jam. Jauh lebih cepat dibanding harus bermacet-macetan di jalan. Jika lancar saja bisa memakan waktu tempuh satu setengah jam dari Kota Milton ke Kota Aare, bagaimana kalau macet?

Itulah salah satu alasanku menyewa tempat tinggal di dekat kantor. Aku tak sanggup kalau harus setiap hari pulang pergi. Sudah lelah bekerja, aku tidak sanggup kalau masih harus berkutat dengan kemacetan saat perjalanan pulang.

Adikku, Stevan, menjemput di stasiun. Adik kesayanganku dan satu-satunya. Kami 2 bersaudara, maka tidak heran jika kami sangat dekat. Saat ini Stevan sedang menjalani kuliah semester 4.

"Hai, Kak. Gimana perjalanannya?" sapanya sambil memelukku.

"Capek banget, lumayan penuh tadi keretanya. Jemput pakai apa lo ke sini?" tanyaku sambil mengikuti Stevan ke parkiran.

"Tuh, naik motor. Malas pakai mobil, pasti macet banget.”

Aku yang melihat motornya hanya bisa melongo. "Lo gak salah bawa motor ini?"

"Emang kenapa, sih, Kak?" tanyanya tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Karena yang lo bawa itu motor ninja, Stevan! Kedua tanganku mulai risi menarik-narik rok seragam kerjaku supaya menutupi bawah lutut—walau sebenarnya tidak berefek apa pun sama sekali.

"Lo gak lihat gue pakai rok, hah!" seruku pada Stevan.

"Ck, ribet banget dah lo. Nih, pakai jaket gue. Lagian kenapa tadi gak ganti baju dulu?"

Aku merengut menatap Stevan. "Mana sempet! Kan gue harus ngejar kereta, ntar kemaleman!"

“Ya udahlah, naik aja, sih. Ntar makin kemaleman kalo lo ngomel terus.”

Aku mencebik. Akhirnya, dengan sangat terpaksa aku menaiki motor Stevan—itu pun harus dibantu tangan Stevan saat aku menaikinya. Apa dia tidak sadar, motor ini tinggi, sedangkan aku pendek dan menggunakan rok pula. Dasar adik durhaka.

Motor Stevan melaju membelah jalanan Kota Aare. Benar saja, jalanan mulai padat kendaraan. Seperti biasa setiap weekend, pasti Kota Aare selalu macet karena banyaknya wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat wisata di sini. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai rumah.

"Dela pulang, Ma, Pa!" teriakku pada Mama dan Papa yang sedang menungguku di ruang tamu.

"Duh, akhirnya anak Mama ingat pulang juga," jawab Mama menyindirku.

Begitulah sambutan Mama setiap aku lama tak pulang. Padahal baru sebulan yang lalu aku pulang ke rumah, tapi memang waktu sebulan terhitung lama bagi Mama.

"Dih, apaan sih, Ma? Baru juga bulan lalu pulang," protesku tak terima pada Mama.

"Ya ... kamu. Dari ibu kota ke sini, kan, deket banget, malah jarang pulang."

"Sudah, sudah. Anaknya baru dateng udah diajak berantem." Papaku pun ikut menyahut untuk menengahi kami.

Seperti biasa, setiap pulang ke rumah, hal pertama yang kulakukan adalah menuju meja makan. Aku sudah rindu masakan Mama. Di ibu kota banyak makanan enak, tapi masakan Mama tetap paling juara.

Mama menyusulku ke ruang makan, sedangkan Papa tetap di ruang tamu melanjutkan membaca koran, dan Stevan sudah masuk ke dalam kamarnya.

"Gimana, Kak, besok jadi ke acara reuni yang diadain Wali Kota baru itu?"

"Iya, jadi, Ma. Besok jam 4 sore," jawabku sampai melahap soto ayam buatan Mama.

"Kakak berangkat sendiri atau bareng temen?"

"Sama Tina. Mama inget, kan, sama Tina?"

"Ingetlah, yang dulu sering main ke sini, kan?"

Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. Mama memang mempunyai daya ingat yang kuat. Setiap teman dekatku yang kukenalkan pada Mama, Mama pasti ingat.

"Sekalian kamu cari jodoh, Kak. Udah usia 28 tahun, loh, masak masih jomlo juga."

Aku mengibaskan tangan di depan wajah. Mama mulai lagi, tiap pulang pasti ditodong tentang jodoh.

"Mulai, deh, mama. Ntar juga dateng sendiri jodohnya."

"Masak kakak kalah sama Stevan? Dia aja udah punya cewek, tuh."

Menelan kunyahan terakhir makananku, aku pun menjawab cibiran mama. "Kan, si Stevan emang playboy, Ma. Ceweknya pasti beda dari yang bulan lalu."

Setelah mengucapkan itu, aku beranjak dari meja makan dan mencuci piring bekas makanku.

"Udah, ya, Ma, bahas jodohnya. Jodoh gak bisa dipaksain. Kalau udah waktunya pasti datang sendiri. Kakak naik ke kamar dulu, ya, mau mandi," pamitku sekaligus mengakhiri pembahasan tentang jodoh ini. Sekilas aku mendengar dengkusan Mama karena jawabanku. Yah, mau bagaimana lagi. Jodoh, kan, memang tidak bisa ditebak kapan datangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status