Share

Bab 3

Kembali ke hari sekarang.

Berulang kali Iman merogoh kantong celananya. Tapi lembaran merah itu tak juga ia temukan.

"Perasaan tadi masih ada." gumamnya bingung. ia sampai menarik saku celananya hingga menjuntai keluar. Tetap tetap tidak ada.

Iman menghampiri Wiwi yang sedang mengepel untuk bertanya.

"Jangan mondar mandir terus dong, Pah! Lagi di pel, nih!" sang menantu justru mengomelinya.

"Papah 'kan abis nyeker dari luar! Kotor, tuh!" omel Wiwi lagi. Iman memang sering keluar tanpa alas kaki. Sudah kebiasaan.

Tapi ia tidak pernah kesal kalau menantunya ini yang menegurnya. Tapi bisa runcing itu mulut kalau Nisa yang menegurnya karena ia akan balik mengomel, bahkan lebih parah.

"Bawel banget, sih! Cuma di pel lagi aja apa susahnya!"

"Tapi Aku 'kan capek, Pah! Bukan cuma ngepel yang Aku kerjain!"

"Kalau capek, nggak usah di kerjain! Repot amat!"

Tapi di hadapan menantunya ini, Iman masih dapat tersenyum manis.

"Kamu liat duit Papah, nggak? Cepek-an." bisiknya, takut terdengar oleh Nisa yang sedang memasak di dapur.

Wiwi menghentikan gerakannya mengepel. Alisnya mengernyit. Matanya menatap papah mertuanya ini dengan tajam.

"Memang Papah punya duit?" hatinya mulai kesal.

Semalam ia mendengar pertengkaran mertuanya ini. Diakhiri dengan tangisan mamah mertuanya.

Ternyata papah mertuanya ini masih mempunyai uang. Tapi dia begitu tega pada istrinya. Teganya teganya teganyaaa..! Huh!

"Itu,.. Duit anu.."

'Duit syaithonnirrojim!' gertak hati Wiwi.

Iman tersipu mendengar pertanyaan dari sang menantu. Ia menggaruk kepalanya yang tiba tiba gatal.

"Nggak lihat." dengus Wiwi kesal. Ia lalu meneruskan mengepel.

'Buat sendiri yang merahan, buat istrinya yang biru. Egois banget!' dumel Wiwi dalam hati.

Padahal ia tahu mama mertuanya harus menyisihkan sebagian uang belanjanya untuk bekal si bontot. Ia bersyukur suaminya, Nino, tidak seperti sang papah.

Awalnya Iman tidak berani bertanya pada Nisa karena ia tahu akan menerima teriakan lagi dari Nisa. Uang tidak ada, kekesalan yang nanti ia dapat.

'Nggak jadi deh, mancingnya.' gerutu hati Iman.

Tapi rasa penasaran begitu merajai hatinya. Ia pun menghampiri Nisa yang sedang menggoreng bakwan.

Nisa tak mau menoleh meski ia menyadari suaminya ini ingin menanyakan uangnya yang jatuh itu.

"Mamah bisa belanja, duit dari mana?"

Secara tidak sadar, ia mengakui uang yang diberikannya semalam tidak cukup. Apalagi Nisa lalu memberikan semuanya untuk si Bontot.

Untung Iman bertanya begitu, andai saja ia menanyakan uangnya yang jatuh, Nisa mungkin tidak dapat berbohong. Mungkin, ya. Karena kali ini keadaannya sedang tidak baik baik saja.

Nisa menautkan alisnya. Memang laki laki nggak ada akhlak!

"Boleh nyopet!" jawabnya kesal. Mau bagaimanapun, ia tidak mau mengembalikan uang itu!

"Kalo ditanya!" Iman melotot seraya mengerucutkan bibirnya.

Nisa tidak ingin meneruskan perdebatan mereka. Ia tidak mengacuhkan Iman lagi. Ia langsung mencuci wadah bekas adonan bakwan yang sudah habis.

Iman ingin mencomot bakwan yang sudah matang tapi tangannya ditepis oleh Nisa.

"Buat makan!"

Wajahnya yang di tekuk membuat Iman langsung kehilangan selera. Ia tidak ingin lebih lama lagi berada di sini, ataupun bertanya lagi.

Nisa melihat Iman keluar dengan sudut matanya. Hatinya merasa nelangsa.

Dulu, setiap kali ia menemukan uang Iman, ia akan langsung mengembalikannya.

Iman memang selalu ceroboh. Seperti tadi, uang itu jatuh karena ia mengeluarkan rokoknya. Kadang tertinggal di saku celananya saat ia melemparkannya ke tempat cucian.

Nisa yang melihat uang berwarna merah mengambang di mesin cuci mengembalikannya pada Iman.

"Ini duit Papah? Buat Mamah, ya?"

"Jangan, Mah. Ini duit buat anu.." Iman dengan cepat menyambar uang itu.

Anu, anu dan anu. Itu yang selalu diucapkan Iman. Ia tidak pernah menjelaskan anu itu apa. Dan Nisa pun malas bertanya.

Tapi hari ini kesabaran Nisa sudah habis. Ia tidak mau mengembalikan uang itu.

"Buat kebutuhan si Bontot." bibir Nisa mengulas senyum.

Hatinya sedih tiap kali melihat si bontot. Di usianya dulu, ia mempunyai segalanya. Sekarang Doni kalau menginginkan sesuatu harus selalu mendengar jawaban yang sama. Dari waktu ke waktu.

"Nungguin Mamah punya uang, ya?"

Selalu.... , begituuuu... !

"Mah, 3 bulan lagi Doni camping." lapor Doni sepulang sekolah.

"Bayarnya 700 ribu, Mah. Boleh di cicil dari sekarang."

"Bilang sama Papahmu ya, Nang." Nisa selalu membahasakan panggilan 'Nang' untuk anak lanang kesayangan pada ketiga buah hatinya itu.

"Enggak, ah!"

"Don, biarpun Papahmu lagi nggak ada uangnya, se enggaknya, Papah Kamu tau, Kamu perlu uang segitu."

"Enggak, Mah. Mamah aja yang bilang."

Nisa menghela nafas. Selalu begitu. Setiap anak anak membutuhkan dana untuk biaya sekolahnya, Nisa akan menyuruh mereka untuk meminta pada Papahnya. Tapi mereka selalu menolak.

"Doni nggak mau bilang sama Papah, Mah! Ada juga nanti Doni diomelin!"

"Diomelin gimana?"

"Kamu tuh, ya! Sekolah apa, sih? Duit mulu!"

"Nggak papa, Don. Yang penting Papah tau."

"Nggak mau, Mah. Doni jadi sakit hati nantinya. Mamah aja yang bilang, ya?"

Nisa mengangguk. Apapun akan ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan Doni. Meskipun ia harus merendahkan harga dirinya dengan meminta pada Wida, mamanya. Tapi sebelum itu, ia akan berusaha mengumpulkannya dulu.

Nisa memiliki 3 anak. Semuanya laki-laki. Yang pertama, Nino, sudah menikah dan memiliki 1 anak. Yang kedua Deni, belum bekerja lagi setelah kontrak kerjanya habis. Ia hanya lulusan SMA seperti papahnya. Ia tidak mau kuliah, dan Nisa tidak dapat memaksanya.

Doni, si bontot, sudah kelas 1 SMA.

*******

"Kamu nggak mancing, Man?" tanya Mumu, abang Iman yang no 2.

"Lagi banyak kerjaan, Bang! Ini aja belum di bongkar." ada 2 mobil yang harus Iman servis.

"Udah suruh si Bandi aja! Kamu ikut Aku, ya!" Bandi itu anak Yanah, kakak Iman yang no 3. Satu satunya anak perempuan di keluarga haji Samsu, preman yang insyaf setelah pergi berhaji.

"Tapi, Bang."

"Halah, Kamu takut sama si Nisa? Laki bukan sih, Kamu!"

"Bukan gitu, Bang. Ini yang punya mobil pengen di jadiin sekarang." mobil itu mau di pakai keluar kota.

"Sebentaran doang!" Mumu melotot. Dia memang selalu begitu. Kerjaannya memaksakan kehendak.

Iman mengalah. Ia mencuci tangan dan mengikuti langkah Mumu.

"Kamu punya duit berapa? " bisik Mumu di tengah teriakan para penyabung ayam.

Iman menggeleng. Mumu tidak percaya. Ia langsung menggerayangi kantong celana Iman.

"Apaan sih, Bang!" protes Iman yang berusaha mengambil kembali dompet yang diambil paksa oleh abangnya itu.

"Pinjem dulu sebentar." Ia senang melihat banyak lembaran berwarna merah di sana.

"Bang, itu buat beli onderdil!" teriak Iman.

"Bentaran juga langsung di balikin!" Mumu lebih nyolot lagi.

Ia menarik Lima lembaran merah dari dompet Iman.

Kakak Iman ada 4, 3 lelaki dan 1 perempuan. Kecuali Yanah, semua senang judi sabung ayam. Tapi suami Yanah juga suka. Jadi lengkaplah sudah. Keluarga mereka disebut keluarga panji laras.

Mumu salah menjagokan ayam. Dia kalah taruhan. Bagaimana nasib uang Iman?

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status