"Suara apa itu, Mbak?" Nisa keluar dari kamarnya. Padahal ia ingin tidur setelah sholat Isya tadi. Tapi suara musik itu terlalu bising. "Siapa yang nyetel musik sampai kayak gitu, sih?" suara sound system yang keras itu begitu menghentakkan dadanya.Nisa mengusap dadanya yang terasa sakit. "Ada rombongan pangamen, Bu. Pak Mumu yang ngundang.""Pengamen sampai pakai sound system begitu? Hebat banget." mulut Nisa memuji meski hatinya tidak menyukai ini.Si Mbak mengangguk. "Pak Mumu yang ngundang. Jadi Dia yang bayar." Oh.. Iman masuk dan melihat Nisa Duduk di warung. Tangannya terulur. "Mah, minta 50 ribu." tentu saja itu membuat dahi Nisa berkerut. "50 ribu? Buat apa?""Patungan buat bayar dangdut itu." Nisa nenatap suaminya. Ia bingung. Katanya Bang Mumu yang bayar? "Bukannya Bang Mumu yang ngundang, ya?""Iya. Bang Mumu cuma ngundang doang. Kita yang di suruh patungan.""Kok begitu?""Udah cepetan dong, Mah. Yang lain udah ngasih, tinggal Kita." Nisa menghela nafas. "Kitanya
Nisa speechless. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi ia sangat kesal pada Iman. Bagaimana sih, cara Iman menyampaikan cerita Nisa pada saudara - saudaranya? "Aku, nggak..." hanya itu yang mampu ia ucapkan. Satu kalimat saja yang akan ia katakan akan mereka balas dengan kata - kata yang lebih menyakitkan. Mereka jagonya. Lalu kemana Iman saat keluarganya melabraknya saat ini? Belum sampai seminggu pengamen - pengamen itu datang lagi. Kali ini Nisa memperingatkan si Mbak, "Kalau mereka pesan, minta dulu uangnya. Bilang aja di suruh Ibu begitu." si Mbak mengangguk patuh. Ia sangat mengerti perasaan Nisa. Nisa bertengkar hebat dengan suaminya gara - gara mereka. "Papah bilang apa sih, sama mereka?""Papah bilang apa adanya, Mah!" Iman berkelit. "Apa adanya gimana?" netra Nisa mencapai batas maksimal. "Mamah nggak ngerumpiin sama tetangga! Dia yang protes ke Mamah, Pah!" Nisa meradang. Iman diam. Ia tau Nisa tidak menyukai dangdut, sangat bertolak belakang dengan Iman dan kel
"Hari ini hari selasa, Bu." si Mbak mengingatkan Nisa. 'Ya." Nisa mengangguk. Ia ingat akan menagih Mumu, seperti yang ia janjikan. Sampai siang Nisa tidak melihat Mumu keluar dari rumahnya. "Apa langsung ke rumahnya aja, ya?" Nisa bermonolog ria. "Mbak, tolong sandal Ibu, dong." pinta Nisa. Ia akan ke rumah Mumu melalui pintu belakang. Si Mbak baru saja meletakkan sandal di depan kaki Nisa saat Mumu terlihat keluar dari rumahnya. "Tunggu di sini aja, deh." ujar Nisa senang. Ia memilih berdiri di depan pintu belakang rumahnya. Mumu lewat dan melihat Nisa. Ia tahu Nisa menunggunya tapi ia sengaja melihat lurus ke depan. "Bang!" tapi Nisa memanggilnya. 'Ini anak nggak ada takut - takutnya.' dumel hati Mumu. Ia berhenti melangkah. "Apa?!" nada suaranya sudah tidak enak di dengar. Tapi Nisa tidak perduli."Abang janji bayar hari ini. Mana? Tangan Nisa terulur. Mumu mendengus kasar."Kalau sudah ada uangnya juga pasti Kubayar!""Tapi 'kan Abang yang janji hari ini mau bayar?""Iya
Dari 3 anak mereka, hanya Nino yang sama sekali tidak suka memancing. Deni sama persis seperti Papahnya dan sering ikut Papahnya memancing dimana - mana. "Deni puas kalau ikut mancing sama Papah, Mah." ceritanya pada Nisa. Nino yang tidak suka memancing melengos. "Apa enaknya? Duduk seharian ngeliatin kumbul.""Tapi kalau ditarik sama ikan umpannya, rasanya bagaimanaaa... Gitu.." sergah Deni.'Persis sama yang Papahnya bilang.' gumam hati Nisa."Lagian, Papah kalau di sana royal banget, mah! Deni kenyang jajan!" Deni tertawa. "Mau ambil apa aja boleh." bibir Nino mengerucut. Memang begitu saat Papahnya mengajaknya mancing saat ia masih kecil dulu. Tapi tetap saja itu tidak membuatnya betah untuk berlama - lama di sana. Saat itu Iman memancing bersama abang - abangnya, Mumu dan Edi. "Bang, tolong anterin Nino pulang, ya." pinta Iman pada Mumu. Sejak saat itu Nino tidak pernah mau bila diajak memancing lagi. Kalau Iman memaksa menemaninya, ia akan berteriak, "Nino nggak suka, Paaah
Nisa kembali berdua dengan cepot menjaga warung. Si Mbak seperti biasa absen lagi. "Mah, itu si Mbak gimana hitungannya?" tanya Iman. Ia juga kesal melihat si Mbak semakin seenaknya. "Gampang. Nanti Mamah hitung hariannya aja.""Nanti Dia nggak marah?""Emang berani, udah salah mau marah - marah?" Cepot menyerah pesanan dari lampak besar."Ini, Bu." dia langsung keluar lagi untuk mencatat pesanan dari lampak kecil. Nisa membuatkan pesanan kopi dan es lalu menyusunnya di atas nampan. "Mana yang belum, Bu?""Itu, 3 nomor terakhir."Saat Cepot datang ia segera membantu membuatkan pesanan yang belum sempat Nisa buat. Setelah selesai ia langsung membawa nampan untuk di bawa ke lampak besar. Lampak kecil itu sebutan untuk lampak no 1 - 20. Lampak besar dari 21 - 40.Nisa membuatkan lagi pesanan dari lampak kecil. Setelah selesai ia duduk memainkan hpnya."Bu, ada yang pesan lagi, nih." Cepot menyerahkan kertas pesanan baru. Nisa meletakkan hpnya sedang Cepot mengantar pesanan ke lampak
Si Mbak menelusuri nama - nama yang tertera di catatan yang ditulis Cepot. "Bang Mujii... Lampak 34. Tuh anak, tinggal nyebutin nomor lampaknya aja susah!" bibir si Mbak mengerucut tajam. Cepot duduk di samping bang Muji setelah mengantarkan pesanannya. "Capek ya, Pot?" tanya bang Muji. "Capek mah enggak, cuma kesel!""Kesel kenapa?" Cepot tidak ingin menjawab. 'Kalau nggak ingat udah janji sama Bu Nisa untuk jangan bolos - bolos rasanya Aku pengen bolos besok!' dumelnya dalam hati. "Pot! Minta es susu, dong!" teriak orang di seberang mereka. Teriakannya cukup keras. Seharusnya si Mbak juga mendengarnya.Cepot melihaht ke warung. Dilihatnya si Mbak tidak bergerak dari kursinya. Seharusnya ia langsung membuatkan es susu itu untuk dibawa Cepot. Tapi tidak. Ia terlihat sibuk dengan buku catatannya. Cepot diam di tempatnya untuk beberapa lama. "Pot! Cepetan, lah! Haus, nih!" Cepot melihat si Mbak tetap tidak bergeming. "Benar - benar dah, tuh orang!" Cepot bangun dan bergegas ke
"Bos! Kita pulang dulu, ya." mereka menghabiskan kopinya sebelum berpanitan."Makasih kopinya, Bu." Nisa mengangguk."Ngapain sih buru - buru? Kan belum diusir." celetuk Iman. Ia sendiri langsung berjalan ke lampak kecil. "Si Bos ini!" Juned manyun. "Bercanda." Nisa tertawa. Juned menggaruk kepalanya lalu menundukkan kepalanya pada Nisa. Firman ikut menundukkan kepalanya. "Pamit, Bu." Nisa mengangguk. Iman berdiri di lampak kecil. Sepertinya tidak ada yang aneh. Tapi hatinya mulai tidak tenang. 'Suami si Mbak pasti pakai dukun buat majuin empang mereka. Kalau enggak, ngapain anak buahnya disuruh makan kembang? Lalu..' Iman mulai merasa gelisah. 'Bagaimana kalau mereka..' Iman mendesah. Ia memperhatikan setiap sudut, setiap sisi di lampak kecil itu. "Ngapain, Pah?!" teriak Nisa. "Nggak papa." Iman kembali ke tempat mereka tadi duduk. "Buat buka masak apa, Mah?""Ih, nggak puasa juga ngapain nanya - nanya.""Emang kalau nggak puasa nggak boleh ikut buka?""Nggak boleh." Nisa
Bulan ramadhan ini begitu penuh keberkahan buat Nisa karena ia tetap dapat menyisihkan uang warungnya untuk membeli baju lebaran dan sedikit tunjangan hari raya untuk semua anak buahnya. "Nggak usah di beliin baju, Mah. Mereka puasa juga kagak." cetus Iman."Biarin aja, Pah. Mamah 'kan udah niat ngasih mereka. Kan cuma setahun sekali."Iman merasa sayang. "Mendingan buat beli bensin Kita ke Bandung." katanya julid. Netra Nisa membesar. Iman selalu seperti itu. "Pah! Itu udah rezeki mereka. Jangan suka ditahan tahan." Iman hangs dapat mengangkat bahunya. Hari ini seminggu menjelang lebaran. Si Mbak ijin untuk pulang kampung."Kapan pulangnya?""Besok sore, Bu.""Besok pagi masih bisa kerja?""Bisa, Bu.""Oke." Nisa mengangguk.Paginya si Mbak datang lebih siang dari biasanya. Tapi seperti biasa, Nisa tidak ingin ambil pusing. "Ini." Nisa memberikan bungkusan berisi baju lebaran untuk si Mbak. Si Mbak langsung membukanya. Netranya berbinar. Nisa memang tahu kesukaannya baik dari wa