Share

Bab 8

Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati?

Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong.

Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman.

Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain.

Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal.

"Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya.

"Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar."

"Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."

Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang.

"Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap.

"Jangan! Jangan coba coba ya, Pah." ancam Nisa. Sakit hatinya belum juga hilang.

Ijay merasa kagum melihat keuletan Imam. Ia pun menawarkan bantuannya.

"Aku pinjemin Kamu modal, Man." Tapi seperti saat bersama Hasby dulu, Ijay pun meminta bagiannya. Iman setuju. Dengan begitu ia tidak mengandalkan temannya lagi untuk membeli barang barang elektronik itu.

"Kata Iman, yang turun besok itu TV LCD 42 inch, Ac, lemari es 2 pintu, Aku mau minta itu, ya." Kata Yanah pada Nisa saat Nisa mengajak anak anaknya bermain di rumahnya.

Rumah Yanah besar. Anak anaknya leluasa berlarian ke sana kemari.

Nisa mengerutkan alisnya mendengar ucapan Yanah. Kalau semua di ambil Yanah, apa yang dapat mereka jual?

"Ya jangan dulu atuh, Teh. Kita jual dulu. Biar Nisa bisa ngumpulin buat bayar hutang."

"Masa' nggak boleh, sih?" Yanah mengerucutkan bibirnya. Ia lalu merajuk pada suaminya.

"Bang, Nisa tuh! Masa' Dia bilang begitu, sih? Masa' Aku nggak boleh ngambil apa yang Aku mau? Bukannya mereka bisa jualan itu karena pakai duit Kamu, ya?"

"Bukan gitu, Teh.."

"Halah! Belagu banget, sih! Emang Suamimu bisa usaha ginian kalau nggak dari Aku?!"

Nisa tersentak. Ucapan ipar iparnya itu begitu menusuk hatinya. Hatinya serasa tertusuk ribuan jarum.

Begitu arogannya orang yang memiliki uang. Apa ia seperti itu dulu? Nisa berpikir keras. Sepertinya tidak.

"Pulang yuk, Nang? Kalian belum makan." ajak Nisa pada anak anaknya.

"Makan di sini aja, Nis. Di sini ada ayam goreng, ada rendang daging..., Eh, tapi anak anak Kamu nggak biasa ya, makan beginian? Kamu sekarang masak apa memangnya?" tanya Yanah. Nisa menunduk.

"Teri kacang." sahutnya nyaris tak terdengar. Itu makanan kesukaan Iman. Menurut Nisa juga enak. Anak anakpun suka. Teri kacang dan sayur asam. Ijay tertawa. Tertawanya seperti mencemooh di telinga Nisa.

Yanah mendekati Nino dan Deni.

"Nino sama Deni mau ya, makan di sini?" Nano menatap Nisa. Anak sekecil itu dapat menyadari kesedihan mamanya.

"Nino mau makan di rumah aja, Wak." Nino menuntun adiknya berjalan mendahului Nisa.

Nisa menganggukkan kepalanya sebelum ia menyusul anak anaknya untuk pulang ke rumah.

******

Setelah anak anaknya tidur siang, Nisa baru dapat menumpahkan rasa sakit hatinya dengan menangis. Kepalanya ia benamkan ke dalam bantal agar suara isakannya tidak terdengar oleh anak anaknya.

Drrrrtt drrrrtt..

Ponsel Nisa bergetar. Nisa mengangkat wajahnya dan membaca nama yang tertera di layar.

"Mama." gumam Nisa. Ia segera mengangkatnya.

"Assalaamu'alaykum, Ma." suaranya tersendat. Ia berusaha menahan sisa tangisnya.

"Wa'aayum Salaam. Bagaimana keadaanmu, Nak? Bagaimana Cucu Cucu Mama? Sehat?"

"Baik, Ma. Alhamdulillaah.., Anak anak sehat, Ma." suara sengau Nisa terasakan oleh Wida. Ia langsung menduga kalau Nisa sedang menangis.

"Kamu kenapa, Nisa? Iman tidak baik padamu?" tanya Wida dengan kecemasan seorang ibu.

Lama Nisa tidak menjawab.

"Nisa?"

"Iya, Ma."

" Kamu kenapa, Sayang? Kalau Iman tidak baik padamu, Kamu pulang aja, ya? Bawa anak anakmu. Mama masih sanggup menghidupi Kalian!" suara Mama Wida mulai terdengar emosi.

"Enggak, Ma. Iman baik kok sama Nisa. Iman sayang sama Nisa, Ma."

"Lalu kenapa Kamu nangis begitu?"

"Siapa bilang Nisa nangis?" Nisa berusaha mengelak.

"Jangan bohongin Mama, Annisa!"

Nisa mulai menguatkan hatinya untuk bercerita.

"Begini, Ma.."

Nisa mulai menceritakan dari awal saat Iman memulai usahanya membeli barang barang elektronik. Iman yang tidak memiliki modal dan ditawarkan kerjasama oleh kakak iparnya itu.

Nisa meniru kata kata kakak iparnya itu saat mencemooh dirinya.

" Halah! Belagu banget, sih! Emang Suamimu bisa usaha begini kalau nggak dari Aku ?!"

Mendengar itu emosi Widapun tersulut.

"Orang itu nggak ngerti agama apa gimana, sih? Orang kok sombong banget! Yang boleh sombong itu hanya Allah!"

Nisa tidak dapat berkata apa apa untuk meredakan emosi sang mama.

"Kembalikan uang mereka, Nisa!" titah sang mama.

"Tapi Nisa belum terima uangnya, Ma."

"Belum? Jadi itu tadi baru rencana?" Wida mendengus.

"Baru rencana aja udah segitu sombongnya! Bagaimana kalau kalian benar benar pakai uang mereka? Bisa terus direndahkan kalian nanti!"

"Ya, tapi bagaimana lagi, Ma?" Nisa pasrah.

"Bilang sama Iman, Nak. Jangan kerjasama sama orang macam mereka itu."

"Tapi.."

"Nanti Mama yang pinjamin uangnya. Nggak usah bagi hasil. Buat kalian semua. Nanti kalau ada uang buat bayar Mama, baru bayar." Nisa tercengang.

"Mama punya uang darimana?"

"Mama ada sedikit tabungan, Nak. Usaha masakan Mama mulai berkembang. Mama juga bisa jual perhiasan perhiasan yang Papa Kamu kasih dulu. Nggak dipakai juga."

Airmata Nisa mengalir lagi. Kali ini karena bahagia.

Ia kini dapat megangkat kepalanya. Ia tidak perlu lagi melayani ocehan kakak iparnya yang sudah merasa berjasa padahal belum memberikan uangnya.

Saat Iman pulang Nisa menceritakan uang yang Wida transfer ke rekeningnya.

"Jadi Kamu nggak usah pinjem duit bang Ijay, Pah." Nisa terlihat bahagia.

"Mama juga nggak minta bagi hasil. Katanya, Kalau sudah ada untuk membayar, baru Kita bayar."

"Mama punya uang sebanyak itu?" tanya Iman heran.

"Mama jual perhiasan peninggalan Papa."

"Oh."

Iman terharu. Nisa selalu mendukungnya.

Tapi sayangnya, barang barang elektronik itu tak kunjung turun. Iman selalu kalah tender karena kemampuan berbicaranya yang kurang baik.

"Kok nggak turun turun sih, Pah?" tanya Nisa. Ia takut uang Mama terpakai untuk kebutuhan makan mereka.

"Emang belum turun, Mah." kelit Iman. Ia tidak mau mengakui kalau ia selalu kalah tender. Ia tidak mau di remehkan oleh keluarganya, termasuk Nisa.

Yanah juga berkali kali menagih. Ia ingin membeli TV yang akan Iman jual padanya dengan harga murah. Tapi itu tidak pernah terjadi.

Iman kembali rajin memancing untuk memghilangkan stress. Ia mulai mengikuti lomba galatama. Dan memikirkan prospek ke depan jika mempunyai pemancingan galatama seperti itu.

Akankah Iman berhasil mewujudkan keinginannya untuk membuat pemancingan?

********

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status