Iman kembali terpuruk, Nisa kembali terluka. Bagaimana cara mereka untuk bangkit lagi dan melupakan semua sakit hati?
Tanah di depan rumah Iman akhirnya kosong.Mona memilih berjualan pada malam hari. Itupun tidak di depan rumah Iman, tapi di tanah kosong di samping rumah Iman.Iman juga berhenti ngebengkel. Ia mencoba banting stir. Bersama temannya, ia menjual barang barang elektronik yang dijual murah oleh pabriknya karena ada sedikit cacat di penampilannya. Ada TV, Lemari es, AC dan lain lain.Iman kembali bersemangat, tapi ia tidak mempunya modal."Jalanin seadanya aja, Pah." saran Nisa. Ia tengah hamil anak ke 3 nya."Tapi sayang, Mah. Kalau Kita punya modal sendiri, untungnya juga bisa lebih besar.""Sedikit sedikit juga nggak papa, yang penting berkah."Iman seperti berpikir. Padahal Nisa sudah merasa cukup dengan apa yang ia dapatkan. Tapi Iman masih merasa kurang."Pinjam sama Abang lagi, ya? Kayaknya Abang tertarik." Iman meminta izin Nisa, membuat Nisa terkesiap."Jangan! Jangan coba coba ya, Pah." ancam Nisa. Sakit hatinya belum juga hilang.Ijay merasa kagum melihat keuletan Imam. Ia pun menawarkan bantuannya."Aku pinjemin Kamu modal, Man." Tapi seperti saat bersama Hasby dulu, Ijay pun meminta bagiannya. Iman setuju. Dengan begitu ia tidak mengandalkan temannya lagi untuk membeli barang barang elektronik itu."Kata Iman, yang turun besok itu TV LCD 42 inch, Ac, lemari es 2 pintu, Aku mau minta itu, ya." Kata Yanah pada Nisa saat Nisa mengajak anak anaknya bermain di rumahnya.Rumah Yanah besar. Anak anaknya leluasa berlarian ke sana kemari.Nisa mengerutkan alisnya mendengar ucapan Yanah. Kalau semua di ambil Yanah, apa yang dapat mereka jual?"Ya jangan dulu atuh, Teh. Kita jual dulu. Biar Nisa bisa ngumpulin buat bayar hutang.""Masa' nggak boleh, sih?" Yanah mengerucutkan bibirnya. Ia lalu merajuk pada suaminya."Bang, Nisa tuh! Masa' Dia bilang begitu, sih? Masa' Aku nggak boleh ngambil apa yang Aku mau? Bukannya mereka bisa jualan itu karena pakai duit Kamu, ya?""Bukan gitu, Teh..""Halah! Belagu banget, sih! Emang Suamimu bisa usaha ginian kalau nggak dari Aku?!"Nisa tersentak. Ucapan ipar iparnya itu begitu menusuk hatinya. Hatinya serasa tertusuk ribuan jarum.Begitu arogannya orang yang memiliki uang. Apa ia seperti itu dulu? Nisa berpikir keras. Sepertinya tidak."Pulang yuk, Nang? Kalian belum makan." ajak Nisa pada anak anaknya."Makan di sini aja, Nis. Di sini ada ayam goreng, ada rendang daging..., Eh, tapi anak anak Kamu nggak biasa ya, makan beginian? Kamu sekarang masak apa memangnya?" tanya Yanah. Nisa menunduk."Teri kacang." sahutnya nyaris tak terdengar. Itu makanan kesukaan Iman. Menurut Nisa juga enak. Anak anakpun suka. Teri kacang dan sayur asam. Ijay tertawa. Tertawanya seperti mencemooh di telinga Nisa.Yanah mendekati Nino dan Deni."Nino sama Deni mau ya, makan di sini?" Nano menatap Nisa. Anak sekecil itu dapat menyadari kesedihan mamanya."Nino mau makan di rumah aja, Wak." Nino menuntun adiknya berjalan mendahului Nisa.Nisa menganggukkan kepalanya sebelum ia menyusul anak anaknya untuk pulang ke rumah.******Setelah anak anaknya tidur siang, Nisa baru dapat menumpahkan rasa sakit hatinya dengan menangis. Kepalanya ia benamkan ke dalam bantal agar suara isakannya tidak terdengar oleh anak anaknya.Drrrrtt drrrrtt..Ponsel Nisa bergetar. Nisa mengangkat wajahnya dan membaca nama yang tertera di layar."Mama." gumam Nisa. Ia segera mengangkatnya."Assalaamu'alaykum, Ma." suaranya tersendat. Ia berusaha menahan sisa tangisnya."Wa'aayum Salaam. Bagaimana keadaanmu, Nak? Bagaimana Cucu Cucu Mama? Sehat?""Baik, Ma. Alhamdulillaah.., Anak anak sehat, Ma." suara sengau Nisa terasakan oleh Wida. Ia langsung menduga kalau Nisa sedang menangis."Kamu kenapa, Nisa? Iman tidak baik padamu?" tanya Wida dengan kecemasan seorang ibu.Lama Nisa tidak menjawab."Nisa?""Iya, Ma."" Kamu kenapa, Sayang? Kalau Iman tidak baik padamu, Kamu pulang aja, ya? Bawa anak anakmu. Mama masih sanggup menghidupi Kalian!" suara Mama Wida mulai terdengar emosi."Enggak, Ma. Iman baik kok sama Nisa. Iman sayang sama Nisa, Ma.""Lalu kenapa Kamu nangis begitu?""Siapa bilang Nisa nangis?" Nisa berusaha mengelak."Jangan bohongin Mama, Annisa!"Nisa mulai menguatkan hatinya untuk bercerita."Begini, Ma.."Nisa mulai menceritakan dari awal saat Iman memulai usahanya membeli barang barang elektronik. Iman yang tidak memiliki modal dan ditawarkan kerjasama oleh kakak iparnya itu.Nisa meniru kata kata kakak iparnya itu saat mencemooh dirinya." Halah! Belagu banget, sih! Emang Suamimu bisa usaha begini kalau nggak dari Aku ?!"Mendengar itu emosi Widapun tersulut."Orang itu nggak ngerti agama apa gimana, sih? Orang kok sombong banget! Yang boleh sombong itu hanya Allah!"Nisa tidak dapat berkata apa apa untuk meredakan emosi sang mama."Kembalikan uang mereka, Nisa!" titah sang mama."Tapi Nisa belum terima uangnya, Ma.""Belum? Jadi itu tadi baru rencana?" Wida mendengus."Baru rencana aja udah segitu sombongnya! Bagaimana kalau kalian benar benar pakai uang mereka? Bisa terus direndahkan kalian nanti!""Ya, tapi bagaimana lagi, Ma?" Nisa pasrah."Bilang sama Iman, Nak. Jangan kerjasama sama orang macam mereka itu.""Tapi..""Nanti Mama yang pinjamin uangnya. Nggak usah bagi hasil. Buat kalian semua. Nanti kalau ada uang buat bayar Mama, baru bayar." Nisa tercengang."Mama punya uang darimana?""Mama ada sedikit tabungan, Nak. Usaha masakan Mama mulai berkembang. Mama juga bisa jual perhiasan perhiasan yang Papa Kamu kasih dulu. Nggak dipakai juga."Airmata Nisa mengalir lagi. Kali ini karena bahagia.Ia kini dapat megangkat kepalanya. Ia tidak perlu lagi melayani ocehan kakak iparnya yang sudah merasa berjasa padahal belum memberikan uangnya.Saat Iman pulang Nisa menceritakan uang yang Wida transfer ke rekeningnya."Jadi Kamu nggak usah pinjem duit bang Ijay, Pah." Nisa terlihat bahagia."Mama juga nggak minta bagi hasil. Katanya, Kalau sudah ada untuk membayar, baru Kita bayar.""Mama punya uang sebanyak itu?" tanya Iman heran."Mama jual perhiasan peninggalan Papa.""Oh."Iman terharu. Nisa selalu mendukungnya.Tapi sayangnya, barang barang elektronik itu tak kunjung turun. Iman selalu kalah tender karena kemampuan berbicaranya yang kurang baik."Kok nggak turun turun sih, Pah?" tanya Nisa. Ia takut uang Mama terpakai untuk kebutuhan makan mereka."Emang belum turun, Mah." kelit Iman. Ia tidak mau mengakui kalau ia selalu kalah tender. Ia tidak mau di remehkan oleh keluarganya, termasuk Nisa.Yanah juga berkali kali menagih. Ia ingin membeli TV yang akan Iman jual padanya dengan harga murah. Tapi itu tidak pernah terjadi.Iman kembali rajin memancing untuk memghilangkan stress. Ia mulai mengikuti lomba galatama. Dan memikirkan prospek ke depan jika mempunyai pemancingan galatama seperti itu.Akankah Iman berhasil mewujudkan keinginannya untuk membuat pemancingan?********Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja. "Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby. "Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby. "Ada sedikit, dari Mamanya Nisa." "Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas. "Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari. "Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa. "Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa. "Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak. "Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan memb
Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah
Iman mengurut dadanya. "Kirain ada apa. Ngaget ngagetin aja sih, Mah. Kirain ada yang gawat.""Ini memang gawat, Pah!""Gawat kenapa?""Kan nggak ada duit buat beli gas nya."Huuuuhhh! Iman mengucak rambutnya kasar. Mau makan sama telor aja Susah!Iman lalu bergegas keluar rumah. "Mau kemana, Pah?""Makan di rumah Teh Yanah!"Huuuhhh! Nisa cemberut. Begitulah Iman sekarang. Tidak bisa makan di rumah, ia akan makan di rumah kakaknya itu. Perutnya kenyang tanpa perlu memikirkan yang di rumah sudah makan atau belum atau tidak makan sama sekali. Batin Nisa menjerit."Kamu keterlaluan, Pah!!"Nisa kembali ke kamar dan memainkan hp nya. Tapi ia tidak lagi ingin bermain. Ia terlalu kesal!Angannya kembali melayang jauh...Nisa ini sangat suka anak kecil. Dia juga seorang bibi yang penyayang. Rumah kecilnya selalu penuh dengan keponakan keponakannya. "Bibi masak nasi goreng, ya? Tika mauu." Nisa tersenyum. Ia tidak pernah bisa memasak sedikit karena keponakan keponakannya itu sering ikut
"Arii..!" teriak Yanti gemas. Ia kehabisan akal. Tangan Yanti bergerak ke telinga Ari tapi tangan Nisa langsung menahannya. "1 lagi, Bang. Buat Abangnya." Nisa meminta si Abang jualan memberikan 1 potong baju lagi. Ari menerimanya dengan wajah bahagia. Nisa ikut bahagia melihatnya. "Tuh Yanti! Nisa mah sayang sama anak Kamu! Kamu sendiri gimana?" sama Nino, maksud si Ibu yang bertanya. "Ayo Ari! Pulang! Mandi!" gegas Yanti mengajak anaknya pulang. Tidak ada basa basi untuk mengucapkan terimakasih. "Pakai baju ini ya, Mah?" teriak Ari riang. "Idih, tuh orang. Bilang makasih atau gimana kek anaknya udah di beliin baju. Main ngeluyur aja! Kamu nggak kesel apa, Nisa?"Masih saja ada yang berniat menjadi kompor antara sesama ipar itu. "Nggak papa, Bu. Yang penting Ari senang." Nisa baru saja akan membayar baju baju Itu saat Tika tiba tiba datang dan menjerit. "Tika juga mau, Bibi!""Tika bilang Mamah sana." Kata teh Mani. "Mamah nya nggak adaaa!" Tika mengerucutkan bibirnya. Ingin
Sepertinya semua sudah beres. "Papah berangkat, ya?" Iman akan keluar dari kamar. "Papah nggak ada yang kelupaan?" langkah Iman terhenti. Ia berpikir. Sepertinya semua sudah ada. Tapi.."Iya, Mah. Sabun sama sikat gigi." pasta giginya bisa nebeng, begitu pikir Iman. Nisa mengambilkan sabun dan sikat gigi yang Iman minta. "Papah beneran lupa, ya? Atau emang sengaja?" Iman menautkan alisnya. "Apa?""Papah belum ninggalin duit belanja. Papah mau senang senang di luar ninggalin anak istri kelaparan?" "Papah nggak punya duit." hati Nisa terasa melorot turun. "Papah bisa pergi?" "Kan ada Bos yang bayarin semuanya." airmata Nisa mengalir turun. "Kamu nggak mikirin yang di rumah, Pah?""Kan ada Nino." selalu begitu. Mengandalkan anak sulungnya ini. "Ya udah. Pergi sana." Nisa melangkah ke kamarnya tanpa menoleh lagi. Iman termangu di tempatnya. Semangatnya yang menggebu hilang sudah. Ia keluar menemui Anto, yang sudah menunggunya sejak tadi. Anto ini sahabat sekaligus bosnya. "Aku
Kembali ke laptop, eh bukan. Kembali pada Iman, maksudnya.Anto sangat puas. Tidak sia sia ia membawa sahabatnya ini. Iman dengan kepintarannya bekerja dengan cekatan. Mobil mobil yang sudah ia pegang tidak ada yang tiba tiba ngadat di jalan. Bos mereka juga sangat puas."Bang Iman itu hebat sekali, ya!" sayang rumah mereka jauh, andai saja Imam juga tinggal di Jonggol, ia tidak akan memasukkan mobil mobilnya ke bengkel lagi. Cukup Iman yang pegang. Anto ikut bangga untuk Iman. Yang di banggakan malah terlihat cuek. Bahkan ia menolak saat ditawarkan untuk pindah ke Jonggol. Disediakan tempat tinggal pula. Ia juga boleh membawa anak istrinya ke sana. "Hijrah, Man. Hijrah.""Ogah!""Daripada di sono Kamu hidup susah?""Aku nggak susah!""Laah.. ! Istrimu nangis mulu itu?""Sok tau, Kamu!" Iman ngambek. Apa dia lapar lagi? Tatapan Anto menyelidik. Iman membuang mukanya. Ia tidak sanggup jika harus terpisah dengan saudara saudaranya. Meskipun mereka seringkali menyakiti hatinya tapi e
Nisa tidak menyangka, aksinya mencuri uang Iman itu tersebar ke seluruh keluarga Iman. Mereka juga tahu Nisa membayar hutang pada mamanya.Mereka mulai menghasut Hasby."Abang di kasih berapa sama Iman?" Hasby menggeleng. "Iman itu banyak duitnya, Bang. 'Kan pakai tanah Abang, harusnya Abang dapat bagian, dong?" "Iman baru merintis. Mungkin nanti." jelas Hasby. Tapi ia mulai terpancing. Ia memang mendapat jatah berupa sembako tiap bulan dari Nisa. Iman juga membayarkan listriknya jadi ia tidak pernah dipusingkan lagi dengan urusan bayar listrik."Apaan sih, Bang! Si Nisa tuh ngasih Mak nya satu setengah juta sebulan! Sekarang mereka bisa beli TV juga!"Hasby diam. Hatinya mulai panas. Pemancingan itu 'kan tanahnya? Kenapa Dia tidak mendapat bagian? Iman pun di panggil. Lagipula Iman ini terlalu terbuka pada saudara saudaranya itu. Kalau bukan ia yang memberitahu mereka mengenai Nisa yang membayar hutang pada mamanya, darimana mereka tahu? Akhirnya ia pusing sendiri."Iman.." bla b
Buat yang belum mengerti apa itu pemancingan Galatama Lele akan Author coba jelaskan sedikit.Di pemancingan Galatama lele itu, ikan yang sudah terkena kail atau memakan umpan, Ikan itu akan di ceburkan lagi ke dalam empang. Pemancing mendapat poin dari berapa ikan yang ia dapat, juga siapa yang mendapatkan ikan terberat atau disebut babon. Siapa yang mendapat terbanyak atau teberat, ialah juaranya. Ia mendapatkan uang yang mereka bayarkan bersama. Itu judi bukan, sih? Nisa mulai merasa cemas. "Itu lomba, Mah. Bukan judi.Kalau judi, Kita nggak ngapa - ngapain dapat uang. Cuma modal uang doang." pendapat Nino menenangkannya. "Kok gitu? Jadi harus beli ikan terus?"" Iyalah! ""Terus gimana bayar Mamanya?""Dari duit warung aja!" 'Kaaan!"Nggak bisa, Pah. Uang warung Mamah kumpulin buat biaya kuliah Nino." Tidak lama lagi Nino lulus SMA. "Emangnya Nino harus kuliah, ya?""Harus dong, Pah! Emang harus seperti Papahnya?" Iman cemberut mendengar celotehan Nisa. Ia kembali merasa dirend