“Tadi papa menemui dia.”Lolita terperanjat. Ia langsung bergeser menjauhi Tamasebagai respons.“Kan sudah dibilang Jangan marah dulu.”“Dia ... maksud Papa dia, Namira?” tanya Lolita tak percaya.Tama menggaruk kepalanya.“Iya.”“Ngapain?” Lolita langsung menyahut dengan suara meninggi.“Dia dalang di balik teror itu, Ma.”Lolita ternganga. Tersenyum getir sebagai responsketerkejutannya.“Sudah mama duga. Dia pasti pelakunya. Siapa yang paham tentangrumah ini kalau bukan dia. Keterlaluan.”“Sabar. Papa akan bikin perhitungan dengan dia,” Tamamenimpali.Lolita menatap Tama dengan pandangan tak percaya.“Mama yang mestinya turun tangan, bukannya Papa. Malah gakpercaya Papa bakal memberinya perhitungan. Yang ada, ntar kecantol lagi,” ketusLolita dengan suara merendah.“Mama masih curiga aja. Papa gak mungkin khilaf kedua kali.”“Halah. Bisa aja dia nyosor. Terus, di mana ketemuannyatadi?” Lolita sudah terpancing. Dengan sekali menyebut nama Namira, makaemosinya langsung tersulut.“Pa!”
“Oya, aku tinggal ke belakang. Kalian ngobrol berdua gakapa-apa kan?” Mita meminta izin. Lolita memberikan senyuman sebagaimana tanda persetujuan.Setelah Mita pergi, Deka mengambil alih tempat duduknya.Kini ia bisa memandang Lolita dari jarak dekat, bahkan tanpa sekat.Lolita salah tingkah sendiri. Rasa bersalah mulai merayapi,mestinya ia tidak membiarkan Deka sedekat ini.“Hai,” sapa Deka seperti baru bertemu, lebih tepatnya isengsaja.Lolita tak menjawab. Ia malah mengaduk-aduk makanan dihadapannya hingga setengah lumat.“Itu kasihan makanannya jadi korban,” celetuknya. “Ada yangingin kamu sampaikan?”Rupanya Deka bisa menebak tujuan Lolita datang ke kafe Mita.“Em ....” Lolita bingung ingin memulai ucapannya.“Aku tau, kamu gak akan sengaja datang kemari jika bukankarena ada tujuan tertentu. Sekarang, katakan apa yang ingin kamu ketahui.” Deka berucapdengan sangat santai, berbeda jika sedang berhadapan dengan Tama.“Mengenai bunga-bunga itu,” ucap Lolita. Tak perlumenjabarkan, Dek
Lolita mengaktifkan kembali ponselnya. Ia sengajamematikannya sebelum berangkat ke kafe Mita. Alasannya, tak ingin diketahui Tama.Ia sendiri tidak meminta izin. Selain ingin mempermudah urusan, jugamenghindari tuduhan. Tama pasti tidak mengizinkan dirinya menemui Deka.Setelah ponsel menyala, belasan panggilan dan pesan masuk. Kesemuanya dariTama. Lolita panik. Tak biasanya Tama memanggil hingga sebanyak itu.Lolita mempercepat laju kendaraan. Sampai lupa membelipesanan Tiara. Sebelum berangkat les, bocah kecil itu memintanya membelikan eskrim.Gegas memasuki halaman. Kepanikannya bertambah ketikamendapati dua mobil terparkir di sana. Satu milik Tama, satu lagi milik Ardi,dokter keluarga. Mendadak, perasaannya tak enak.“Tama sakit?” gumamnya bertanya-tanya.Lolita menaiki anak tangga dengan tergesa. Belum juga hilangrasa penasarannya, suara Tama dan Ardi sudah terdengar. Mereka munuruni tanggal.Lolita menghentikan langkah ketika kedua laki-laki itu memandangnya.“Pa, siapa yang sakit
“Kalian ini tau siapa aku. Kenapa masih keras kepala menutupjalan, padahal aku Cuma mau ketemu sama mas Tama. Cepetan minggir!” hardik Namira.“Mbak Na kalau masih menjadi keluarga rumah ini tentu saja kamimengizinkan. Tapi sampean di rumah ini Cuma ngerusuh. Jadi kami ya ndak bisa mengizinkanmasuk.” Jono membalas.“Lancang kamu, ya? Aku ini-““Namira!” Lolita sudah gerah mendengar pertengkaran ketiganya.Ia menuruni tangga untuk mendekati Namira.“Mbak Lita yang ngajarin mereka ya? Gak sopan banget, sih!” rutukNamira kesal.“Iya, aku yang menyuruh mereka. Itu karena kamu sudah menebarteror di rumah ini.” Lolita berujar. Tama hanya berdiam di tengah tangga. Membiarkan Lolita mengambil alih perannya.Namira tersenyum kecut. Memandang Lolita dengan tatapan tak suka,lalu beralih menatap sekilas pada Tama yang tak bergeming. “Tumben,” pikirnya.“Mau apa?” tanya Lolita berdiri di ujung tangga. Sementara Namiramasih di hadang oleh Jono dan Ipah. Tangannya berkacak pinggang, sesekali menyungg
“Berarti tujuan kamu yang mesti diluruskan. Bagus pak Teguh berkeinginan seperti itu. Dia mikirnya jauh ke depan. Mikirin masa depanmujuga. Apalagi dia sudah berumur, maaf. Dia butuh generasi penerus yang lahir dari rahimmu.”“Mbak nggak ngerti, sih!”“Mbakmu benar, Na. Sebenarnya, pokok masalah itu ada dikamu. Kalau kamu menuruti keinginannya, dia gak mungkin posesif kok. Akumengenalnya, bahkan mendiang istrinya juga.”“Isterinya dulu sosialita kelas wahid dan smart. Gak adatuh, berita ini dan itu mengenai rumah tangganya.”“Mbak Lita mau bilang kalau aku bodoh, hah!”“Ya pikir aja sendiri. Pak Teguh itu pria baik, sangat baikmalahan. Kalau dia berubah sama kamu, berarti kamu yang gak bisa diajak rukunsama dia. Coba sekarang kamu pulang, bilang mau hamil. Hidup normal sepertikebanyakan wanita. Mustahil pak Teguh menolak apapun yang kamu minta.”“Masalahnya aku nggak mau.”“Lah, kenapa sih mau dinikahi kalau gak mau hamil? Jangan-jangan Cuma mau duitnya doang.”“Cukup Mbak. Aku cari s
Lolita menenteng tas milik Tiara. Bocah itu berlonjak kecildi samping Tama. Bercanda sambil melangkah ke luar. Lolita sudah tampak diteras, menunggu keduanya mendekat.“Jangan rewel, ya?” ucap Lolita memberi pesan. Tiara memakaitas punggungnya, kemudian mencium punggung tangan Lolita.“Mama gak ada acara kan? Nanti usahakan jemput Tiara,” tuturTama.“Iya, Pa. Nanti mama langsung ke kantor, ya? Mama bawakanmakan siang,” sambut Lolita.“Boleh.”Tama berpamitan, lalu meluncur bersama Rudi.Lolita kembali masuk. Tatapannya mengarah ke areabunga-bunga yang bermekaran. Aster putih mendominasi. Lucu, Lolitatertawa. Akhirnya bunga-bunga itu berdiam di sana. Tama memberi izin merawatnya sehingga koleksi bunganya menjadi bertambah.Gegas memasuki rumah. Namun, pandangannya tertuju padasebuah mobil yang terparkir tepat di luar gerbang yang kebetulan masih terbuka.Otaknya merekam kejadian beberapa hari yang lalu. Rasa takutmulai menjalar akan teror itu. Tetapi tidak berlangsung lama ketika iamen
“Sayang, kok gak ngomong mau datang.” Tama berucap.Lolita hendak menjawab, terapi urung dengan kedatangan Roy dan Mila, sekretaris Tama.“Ikut mama dulu,” perintah Tama. Tiara menurut.Terlihat ketiganya terlibat dalam percakapan serius. Bahkan Tamaterlihat mengusap dahi yang terus berkeringat. Lolita mengamati dengan khawatir. Otaknya merekam pandangan di depannya, tetapi tidak bisa menyimpulkan sesuatu yang sedang di hadapi suaminya.Lima menit kemudian, keduanya keluar. Disusul Tama sambil membawa map di tangannya. Lolita tidak berani bertanya. Sebab, Tama terlihat sangat sibuk.Tiara mulai bosan. Sempat mengeluh karena sang papa tidak juga muncul. Lolita sampai harus kerepotan menjelaskannya.Tiba-tiba Tama masuk. Menutup pintu dengan sebelah kaki hingga meninggalkan suara yang cukup keras. Tiara terkejut, tetapi malah mendekat ketika mengetahui papanya yang membuka tutup pintu. Ia menghambur, tapi Lolita melarangnya karena Tama terlihat dalam keadaan kacau.Tama melempar map yan
Suasana malam lengang saat Lolita keluar dari kamar Tiara. Pukul sembilan malam, tetapi Tama belum juga pulang. Ia memutuskan menunggu di kamar sambil mempersiapkan pakaian ganti dan air hangat untuk Tama.Tak berselang lama, terdengar suara mobil yang berhenti di parkiran. Lolita menyibak tirai, tampak Rudi berlari kecil keluar dari mobil.Air hangat sudah tersedia, Lolita menyambut Tama yang mulai memasuki kamar. Basa-basi sejenak membuat Tama tampak rileks setelah seharian dikacaukan dengan urusan kantor.Menjelang tidur, Tama menyuruh Lolita tetap menghidupkan lampu utama. Biasanya, Tama akan bercerita panjang lebar di pembaringan. Tetapi sudah sepuluh menit menunggu, tak ada tanda-tanda membuka suara.Lolita segan ingin bertanya. Namun, rasa penasaran jauh lebih menyiksanya. Pun ia tak akan bisa terlelap jika ia belum mendapatkan penjelasan dari Tama sendiri. Untuk itu, Lolita memberanikan diri bertanya lebih dulu.“Papa gak ada niat cerita masalah di kantor?” tanyanya sambil mem