Share

Bab 8. Rezeki itu Bak Air Hujan

Tok ... Tok ... Tok ...

Tiap kali ada yang mengetuk pintu, aku merasa trauma, bahkan mulai ada rasa takut untuk membukanya. Apalagi tidak ada ucapan salam atau memanggil namaku sekedar bunyi ketukan pintu.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Han ... buka pintunya!" sorak Mas Dennis.

"Kok dia udah pulang kerja jam segini?" tanyaku dalam hati. Padahal baru saja ingin membaca sms pinjaman online yang masuk.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Hanindia ... lama banget sih!" suaranya semakin keras.

Dengan sigap aku langsung menaruh handphone di bawah bantal, lalu mengatur napas jangan sampai Mas Dennis curiga akan gerak-gerikku.

Kret!

"Dasar lelet, buka pintu saja lama!" umpatnya bersamaan dengan mendorong pintu yang tak sepenuhnya terbuka.

"Hooaaammm ..." aku pun pura-pura menguap tentu dengan menutup mulut sesuai adap.

"Enak ya kamu di rumah tidur di siang bolong kayak gini, aku panas-panasan di luar sana. Makanya bersyukur jangan banyak cincong. Nih! Ingat, irit-irit masaknya. Jangan mentang-mentang lagi banyak stok kamu malah masakin semuanya, dicukupin saja sampai aku gajian." Dia menyodorkan dua buah kantong kresek berwarna hitam ukuran sedang padaku.

Rupanya dia pulang mau mengantarkan ini, tumbenan sekali berbaik hati begini. Mumpung anginnya lagi sadar ... "Mas, nanti isikan token listrik ya, udah tinggal sedikit soalnya," pintaku.

Bukan langsung menjawab iya dan meminimalisir pertengkaran, seperti biasa mulutnya mengeluarkan kata umpatan. "Makanya kalau makai listrik itu yang hemat, bikin pusing aku saja kamu. Iya, nanti kuisikan."

"Eh satu lagi, jangan di taruh kuncinya di pintu. Aku agak telat pulangnya mau bantuin ibu soalnya." Tanpa mengucap salam ataupun sekedar tanya soal anak dia langsung berbalik badan dan mengendarai motor matic merk miom berwarna hitam itu. Jarak rumahku dan ibu cukup jauh harus menempuh perjalanan 30 menit.

Aku menghela napas, "alhamdulillah, syukur dia tidak curiga ataupun masuk ke dalam rumah apalagi ke dapur. Soalnya bungkusan makanan yang kubeli lewat online masih ada di tong sampah karena belum sempat aku buang ke pembuangan sampah dekat rumah. Aku bergegas ke dapur ingin melihat apa saja kebutuhan masak yang dia beli.

Alangkah terkejutnya ketika netraku melihat isi kedua kantong kresek itu. Ada telur 10 butir, tahu 4 buah, tempe 2 buah, wortel, buncis, yang setengah ekor ayam potong, serta bubuk sup kasar, dan bumbu ungkep. "Apa? Ini yang dia suruh berhemat untuk sampai dia gajian? Pelit nggak ketulungan ini mah. Sedangkan dia gajian dua minggu lagi. Moga makin berlimpah rezekimu, Mas biar nggak pelit lagi sama anak dan istri," umpatku dalam hati.

Tahu dan tempe aku rebus dengan bumbu kunyit giling, garam, penyedap rasa dengan takaran secukupnya tergantung banyak air yang dimasukkan. Tujuannya agar bisa tahan lama ditaruh di kulkas. Kulkas? Iya, kulkas beli dari hasil tabunganku sewaktu bekerja. Sementara itu, aku membersihkan ayam, dan merapikan perintilan masak lainnya ke dalam kulkas.

Hari ini aku tidak masak, berhubung makanan yang kupesan tadi sudah habis. Sebentar lagi aku mau pesan dua porsi lagi untuk makan malam bersama anak-anak. Untung saja Mas Dennis katanya telat pulang. Tentu aku lebih leluasa memanjakan perut anak-anak dan menjalankan bisnis jualan onlineku.

"Ma ... lagi apa, tu?" aku menoleh ke belakang, rupanya putri sulungku sudah bangun. Kubiarkan dia bermanja-manja sebentar, tak lama kemudian si dedek pun bangun. Denting jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Gegas aku memandikan mereka secara bersamaan.

"Paket ... paket ..." sorak Abang ojek online dari luar. Gegas aku berjalan setengah berlari untuk mengambil makanan yang dipesan, pembayarannya kulakukan lewat gopayo. Aku mengisi saldo gopayo dari hasil keuntungan penjualan kemarin malam. Untung ada pulsa jadi aku bisa mengisi saldo gopayo.

Baru melangkah ingin masuk ke dalam rumah ...

"Heh Hanin ... kamu ngepet ya. Sehari ini sudah dua kali mesan makanan lewat online. Pantes saja mengurung diri terus di rumah nggak mau berbaur takut ke bongkar yah kedoknya, tuduh Mbak Lulu, Ketua Pergunjingan, mulut sama parasnya nggak sesuai. Kalau dilihat dari wajah, dia seperti ibu-ibu yang ayu, tapi kalau sudah mencerocos mulutnya yang sedikit berisi itu, hilanglah keayuan yang terpancar dari wajahnya.

Aku hanya membalas dengan senyuman, orang seperti Mbak Lulu terkadang memang tak perlu ditanggepin. Lebih baik mengambil sikap aman tanpa dosa, semoga saja. Jika sikap iri sudah bersarang sekalipun orang berbuat baik atau berkelakuan baik pasti akan dinilai negatif. Belum lagi jikalau yang dia tuduh itu salah, bukannya minta maaf bahkan mencari celah untuk menjatuhkan lagi.

"Nggak usah sok membalas dengan senyuman gitu, pantes saja kamu bisa beli makanan online. Atau itu hasil dari selingkuhannya ya, secara gitu lho suami kamu mana mampu membeli makanan mahal," tambahnya lagi.

Dibanding aku, memang kehidupan Mbak Lulu jauh lebih baik. Suaminya bekerja sebagai marketing di salah satu perusahaan asuransi, memiliki satu unit mobil, dan juga rumah subsidinya sudah di renovasi karena punya sendiri. Tapi sayangnya dia belum diberi keturunan, padahal yang kudengar dia sudah menikah selama 5 tahun. Memang setiap orang itu berbeda-beda rezekinya.

Setelah menyuapi anak-anak makan dan bermain. Selepas Ba'da Magrib aku baru bisa berkutat di depan layar pipih. Mataku berbinar bahagia dan bibirku tersenyum merekah tatkala banyaknya pesan yang masuk di gawaiku yang masih terbilang belum terlalu pintar. Tapi alhamdulillah sangat membantu bisnisku, pesanan hari ini malah tiga kali lipat dari yang kemarin.

Terkadang memang harus ada yang kukorbankan, sekalipun di rumah tapi karena sedang merintis berjualan online yang biasanya waktuku full untuk anak-anak sekarang mulai terbagi sekalipun aku masih bisa memantau mereka bermain. Tapi, ini semua demi mereka juga.

Hari ini banyak yang syukuri ternyata tidak sia-sia atau mungkin memang sudah rezekiku, dari tiga owner saja orderanku hari ini sudah membludak. Aku pun masih tidak menyangka dengan waktu hampir bersamaan Allah membukakan jalan rezeki yang benar tak kuduga sama sekali.

Tengah asyik melayani orderan yang sudah fix sebanyak 30 helai baju dan membalas beberapa teman yang menanyakan harga dan model lainnya, seketika ada panggilan masuk dari nomor baru. Aku ragu sangat ragu, tapi entah dorongan darimana akhirnya kuangkat untuk panggilan yang ketiga kalinya.

"Halo ..."

"Assalamu'alaikum, Kakak," suaranya tak asing aku mencoba mengingat suara ini.

"Waalaikumsalam, ini siapa?"

"Duh, gini nih kalau sombong udah kelewatan sama adek sendiri pun tak ingat,"

"Adik kakak 'kan banyak," candaku.

"Ini, Kartika kakak."

"Ya Allah, Kartika tumben nih nelfon. Apa kabar?" tanyaku penuh semangat.

"Alhamdulillah, baik. Kakak apa kabar juga? Dah lama kita nggak ketemu, udah brojol dua masih nggak sempat-sempat ke rumah kakak."

"Kamu sih, keponakanmu udah pada gede sekarang. Main sini kapan-kapan," tawarku.

"Iya, kapan-kapan ke sana deh. Kak ... Hmmm ..."

"Apa? Malah ham hmm ham mmm ..." ledekku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status