MasukEsok hari, matahari baru saja naik setinggi tombak saat Nyonya Arini, Tuan Ario yang semakin sehat, dan Mbah Kiai berangkat ke rumah sakit kota. Mereka menggunakan mobil sedan hitam yang dikemudikan sopir. Ario duduk di jok belakang bersama istrinya, tangannya menggenggam tangan Arini. Sesekali ia melirik wajah istrinya yang diam—Arini sejak pagi tampak gelisah, seperti ada yang mengganggunya.Bayi setan itu, pikir Ario. Dia meninggalkannya di rumah. Pasti berat.Tapi ia tidak bertanya. Ia hanya menggenggam tangan istrinya lebih erat, memberikan kekuatan tanpa kata.Sampai di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang perawatan di lantai dua. Perawat membimbing mereka melalui koridor panjang yang dindingnya dicat hijau muda, lantai teraso yang mengkilap memantulkan cahaya lampu neon.Di ruang perawatan nomor 207, Ibu Tuan Ario terbaring di tempat tidur besi dengan seprei putih bersih. Tapi pemandangan yang menyambut mereka membuat Arini miris, memberinya gambaran tentang akhir hidup
Arini mengusap air mata dengan sapu tangan, lalu menarik napas dalam. Ia berjalan anggun ke arah gerbang, langkah tegap, punggung tegak, kepala sedikit terangkat. Sesekali ia tersenyum saat berpapasan dengan warga, senyuman tipis yang sopan.Ario memperhatikan istrinya dari kursinya. Bagi orang lain, Arini tampak seperti orang wajar, tuan rumah yang ramah, perempuan anggun yang sedang memastikan tamu-tamunya nyaman.Tapi Ario yang sudah bertahun-tahun hidup dengan Arini, yang melihat perempuan itu di saat-saat tergelapnya, tahu betul. Ada sesuatu yang berbeda. Ada ketegangan di bahu Arini. Ada kepalsuan dalam senyuman itu.Arini berjalan ke seberang jalan … melintasi jalan tanah yang berdebu, menuju pohon asam besar yang rindang.Ia tidak bisa membiarkan bayi itu di sana sendiri. Bagaimanapun juga, sosok lain dari dunia sana bisa mengambilnya, makhluk halus yang mencari mangsa lemah. Dan mungkin mereka akan melakukan hal buruk pada bayi itu.Bagaimanapun ... itu anaknya.Sekali lagi i
Tini terbangun, terdiam, bingung. Matanya berkedip perlahan—satu kali, dua kali—mencoba menyesuaikan dengan cahaya matahari pagi yang menyilaukan. Pandangannya berputar. Tubuhnya lemas sekali. Setiap otot terasa berat, setiap napas terasa seperti membutuhkan usaha besar.Rasanya seperti baru bangun dari mimpi yang sangat melelahkan, mimpi yang terasa terlalu nyata.Telinganya mulai menangkap suara-suara di sekitar. Suara Sari masih menangis, tapi tidak lagi tangisan keras yang memilukan, hanya sesenggukan di bahu Anthony sebelah kanan. Tini berkedip lagi, pelan. Hidungnya mulai mencium—aroma parfum khas Anthony, parfum Paris yang mewah dan maskulin, yang dulu sering ia cium saat bekerja di rumah keluarga Anthony. Dan ada aroma lain—bau bunga melati, bau masakan, bau-bau khas orang hajatan.Hajatan?Otaknya berusaha memproses, tapi terlalu lelah.Anthony yang pertama menyadari. Ia merasakan tubuh di pelukannya bergerak—sedikit saja, tapi cukup membuatnya bukan main senang. Napas yang
Sementara itu, di dunia lain—dunia yang temaram meski siang hari—Tini berjalan bergandengan tangan dengan Ario di jalanan yang diapit pepohonan tinggi dan lebat. Pohon-pohon itu tidak bergerak, seperti lukisan yang diam. Tak ada angin.Tiba-tiba, ia mendengarnya—samar tapi jelas. Suara gending. Kaki Tini berhenti. Ia menoleh ke belakang, mencari sumber suara."Siapa yang menikah?" tanyanya pada Ario.Ario tersenyum—senyuman yang tenang, yang meyakinkan. "Warga kampung sebelah. Ayo kita lanjut. Sedikit lagi sudah sampai."Ia menunjuk ke depan. Di sana, suasana semakin suram seperti siang dengan matahari terhalang mendung tebal. Di depan mereka, sebuah gapura tua berdiri megah, gapura batu yang ditumbuhi lumut, dengan ukiran naga dan makhluk-makhluk aneh di sisi kanan kirinya. Gapura itu seperti pintu menuju dunia lain.Tapi sebelum mereka sampai ke gapura, Tini terkejut.Ibu Tuan Ario berjalan keluar dari balik gapura, menggandeng dua cucu laki-lakinya di kanan dan kiri, yang bayi dig
Mbah Kiai menatap ibu Tini yang masih menangis di samping tempat tidur. "Bu Tumirah, saya minta izin. Karena Tini sudah menggantikan Arini sebagai istri, dia harus punya seseorang yang lebih berhak menyebutnya istri."Tumirah menatap Mbah Kiai dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia percaya pada Mbah Kiai."Apa saja, Mbah," ucapnya pelan dengan suara parau. "Asal Tini bisa kembali. Asal dia bisa hidup."Mbah Kiai mengangguk. "Insya Allah."Fajar itu, semua orang tidak lagi tidur. Semuanya sibuk menyiapkan upacara pernikahan yang sederhana tapi sakral—sesuai syariat Islam, tapi juga adat Jawa tidak ketinggalan.Istri Mbah Kiai dan anak-anak perempuannya memandikan tubuh Tini yang masih tidak sadarkan diri dengan air mawar dan melati. Mereka memakaikan kebaya pengantin berwarna putih gading, kebaya milik anak perempuan Mbah Kiai yang baru saja menikah beberapa bulan lalu.Kain batik motif khusus untuk pengantin dililitkan dengan rapi. Sanggul tinggi dibentuk den
Tuan Ario melangkah mendekat. Setiap langkahnya lambat, tatapan menghipnotis.Tini ingin mundur. Seharusnya ia mundur, menutup pintu, berteriak memanggil ibunya. Tapi tubuhnya tidak menurut. Ia hanya berdiri di sana, terpaku, menatap sosok yang semakin mendekat.Ario berhenti tepat di depannya, begitu dekat sampai Tini bisa mencium wangi tubuhnya yang memabukkan. Bukan bau obat-obatan atau perban seperti pasien biasa, tapi aroma manis yang membuat kepala Tini mulai berkabut.Jemarinya terangkat perlahan, menyentuh bibir bawah Tini dengan sangat lembut, sentuhan yang membuat seluruh tubuh Tini bergetar. "Kau mau ikut denganku, Tini?"Tini tidak bisa menjawab. Lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatap mata kelam itu—mata yang seperti jurang tanpa dasar, yang menariknya masuk, menjanjikan kedalaman yang menakutkan sekaligus penuh rasa penasaran."Ikut denganku, Tini, " bisik Ario, tangannya turun dari bibir, menelusuri garis rahang dengan sentuhan sehalus bulu. "Ke tempat di mana tidak ada y







