Share

Bab 7. Jatuhnya Talak

Pernahkah kau begitu mencintai seseorang hingga kau tak lagi memperdulikan dirimu? Mengikuti segala ingin hingga dirimu melebur tak bersisa padanya? Lupa jati diri, menyelingkuhi harkat martabat sendiri?

Lalu, saat dirimu sudah seutuhnya menjadi milik seseorang, ia meninggalkanmu begitu rupa. Mencabikmu hingga tak bersisa. Sampai akal tak lagi bisa menolerirmu dalam hina.

                                                                               ===***===

Angelique berlalu pergi dari rumah, membawa satu buah tas koper besar berisi pakaian Hamam. Melenggang pergi dengan penuh kemenangan, setelah sebelumnya mendecih pada Amy. Menertawakan kelemahan dan kebodohan wanita yang terduduk lemah di sudut kamar.

Ketika bayangan pelakor itu hilang dari pandangan. Dan derum mobil milyaran rupiahnya membelah pekarangan rumah, dengan gemetar Amy mengambil gawai yang tergeletak di atas nakas. Pucat pasi ia kembali menghubungi Hamam. Setelah mencoba yang ke sepuluh kalinya, handphone laki-laki itu diangkat.

“Ada apa?” jawab suara di ujung sana.

Dingin. Datar. Tanpa rasa.

Tangis Amy pecah sebelum sempat berbicara dengan suara gemetar.

“Mas ..., Angelique ...,” ucapnya terbata-bata.

Jeda sebentar, lalu terdengar hela nafas. Berat.

“Mau bagaimana lagi. Bukankah kau yang memulai segalanya,” jawab Hamam dingin. Amy hanya mampu terisak.

“Sudah. Aku mau kerja dulu,” sergahnya kasar lalu menutup telepon.

“ Ma ...,” ucap Amy menggantung setelah mendengar nada putus.

Aku tidak mau seperti ini.

Lalu ia menghambur keluar kamar. Tak dihiraukannya pekik jerit Mbok Napsiah yang mencoba mencegah dirinya. Ia menyambar kunci mobil di atas meja lalu segera menuju garasi.

“Nya ..., Nyonya. Jangan pergi! Nyonya baru saja sembuh,” jerit Mbok Napsiah.

Amy membanting pintu mobil. Dengan tangan gemetar ia memutar kunci pada stop kontak, menginjak pedal kopling dan segera memasukkan gigi. Mobil berjalan tersentak-sentak melewati pagar yang masih terbuka. Sisa kepergian Angelique tadi. Yang menguarkan luka di hati Amy.

Bagai kesetanan, Amy menginjak pedal gas dan memacu mobilnya melesat di jalan raya. Hatinya bagai diremas dan dicabik. Bukan hanya oleh Hamam. Tetapi juga ibu mertua dan keluarga suaminya ikut andil menuangkan cuka ke atas lukanya.

Perjalanan ke rumah keluarga Hamam yang biasanya ditempuh dalam waktu satu jam, dipercepat menjadi setengah jam oleh Amy.

***

Sofia, ibu mertua Amy, memandang menantunya dengan jijik dari bawah kelopak matanya. Di sebelahnya, Angelique duduk dengan manis sambil memijit-mijit lengan calon mertuanya.Amy menggigit-gigit bawah bibirnya. Hatinya diliputi rasa cemas, marah dan benci yang berkumpul menjadi satu.

Wanita jalang! Beraninya dia mengambil posisiku di sana. Kecam Amy di dalam hati.

“Ibu ..., aku ...,” ucap Amy terbata.

“Hamam sedang mengurus perceraian kalian,” pungkas ibunya.

Perkataan yang bagaikan titah itu bagaikan suara petir di telinga Amy. Darah seketika meninggalkan wajahnya. Meluluhlantakkan tulang belulangnya. Dengan nanar ia menatap ibu mertua dan Angelique bergantian.

“Ibu ..., dengarkan dulu penjelasanku ....” cicit Amy sambil terpaku di kursinya.

Ibu Sofia membuang muka. Lalu mengelus punggung tangan Angelique dengan sayang. Wanita muda yang duduk di sampingnya tersenyum. Lalu balas memeluk pundaknya dengan sayang.

“Angelique yang akan menggantikanmu. Dia memang yang seharusnya menjadi istri Hamam,” titah Ibu Sofia.

Senyum Angelique bertambah lebar. Lalu mengerling dengan sudut mata, memandang Amy dengan remeh. Istri Hamam itu mendekap dadanya. Hatinya bagai diiris-iris dengan sembilu. Menyaksikan kemesraan di antara keduanya.

“Ibu ..., maafkan aku ...,” ucap Amy bergetar.

Percuma menjelaskan kesalahpahaman ini. Toh, semuanya tak akan berguna. Tak akan didengarkan oleh ibu mertuanya.

“Pergilah. Kau tak diterima di rumah ini,” vonis wanita tua itu kejam. Lalu, berdiri tegak dengan perlahan dengan dibantu oleh Angelique.

“Ibu ..., kumohon, Bu. Kumohon ..., bujuk Mas Hamam supaya tak menceraikanku, Bu. Kumohon ...,” seru Amy tertatih. Menubruk kaki ibu mertuanya dan bersujud di lantai. Angelique membuang muka. Jijik melihat betapa lemahnya Amy.

“Sudah terlambat! Inilah akibatnya, bila tak menurut pada suami dan hanya bisa memberikan aib! Sudah mandul! Tak bisa memberikan cucu, berselingkuh pula dengan lelaki lain!” teriak ibu mertuanya sambil menghentakkan kaki.

“Ibu ..., aku minta maaf. Aku mohon ampun .... Tolong, jangan pisahkan Mas Hamam dariku,” isak Amy di atas lantai.

Ibu Sofia membelalakkan mata. Murka mendengar kata-kata Amy.

“Aku memisahkan?!” teriaknya.

“Tidak tau diri! Bukankah ini buah dari dosamu sendiri! Andai kau bisa menjaga dan membawa diri, tentu hal ini tak akan menimpamu! Pergi kau dari rumahku! Tak sudi aku melihat wajahmu lagi!” teriakkan ibu mertuanya menggema di seluru rumah. Membuat adik iparnya datang dan terkejut melihat kondisinya.

“Ibu!”

Nyonya Sofi memegang dadanya. Mengerut menahan sakit yang teramat sangat menembus jantungnya. Dengan panik, Angelique memapahnya duduk kembali ke kursi tamu dan berteriak cemas.

“Seseorang, panggil dokter Bram kemari! Cepat! Mamih kena serangan  jantung!”

Suasana di rumah menjadi panik. Para pelayan berdatangan dan mencoba membantu. Menyisihkan wanita yang teronggok menangis di atas lantai.

Pucat pasi. Hina dalam keterpurukan.

***

Tangan Hamam tanpa ampun melayang ke wajahnya berkali-kali. Meninggalkan jeritan-jeritan pilu memohon ampun. Tepat satu jam setelah Amy pulang dari rumah ibu mertuanya. Terusir oleh teriakan semua orang di rumah itu. Menyalahkan dirinya atas serangan jantung yang seketika menyerang wanita tua tersebut. Tak lama kemudian, Hamam menyusul pulang. Langsung melabrak Amy tanpa bertanya lagi.

Ah, sejak kapan ia bertanya?

“Perempuan tak tahu malu! Masalah yang satu belum selesai, sudah ditambah lagi dengan yang lain!” teriaknya sambil melayangkan pukulan bertubi-tubi ke arah Amy.

“Aku talak kau! Aku talak kau! Aku talak kau!” teriaknya murka. Ditingkahi dengan suara lolongan minta ampun wanita di bawah kaki Hamam.

“Ampuun ..., Mas. Ampun ...,”

“Mulai sekarang, kau haram bagiku! Keluar kau dari sini! Dari rumahku! Bitch! Kau hampir membuat ibuku mati!” Urat-urat menyembul keluar dari pelipis wajah Hamam. Bagai kesetanan ia memukuli istri dan membuang semua barang milik wanita itu keluar rumah.

Vonis telah jatuh.

Apalagi yang kau harapkan, Amy?

Hamam Prasetyo melemparkan semua pakaian dan barang milik Amy malam itu. Memerintahkan Mbok Napsiah untuk mengemas semuanya ke dalam kantong kresek besar berwarna hitam. Seolah-olah hendak membuang semua memori tentang Amy layaknya sampah.

Babak belur. Penuh luka dan tangisan, tubuh kecil yang dulunya cantik itu diseret keluar rumah tanpa ampun. Sumpah serapah keluar dari bibir tipis Hamam. Seolah lupa, bibir itulah yang dulu pertama kali menyesap semua sari nektar yang berada di tubuh Amy.

"Mas ..., apakah kau tak mencintaiku lagi?" lirih suaranya bertanya pada akhirnya, tanpa ada sisa isak tangis lagi. Hanya tarikan nafas yang lemah. Matanya menatap kosong dengan bibir pecah dan berdarah. Bergetar menahan derita.

Hamam memandang benci. Amarah telah menguasai diri sepenuhnya. Laki-laki tampan berkulit putih itu berjongkok di depan tubuh Amy. Rahangnya mengeras dan mendecih sesaat. Cintaku telah hilang, saat kau pulang malam itu, membawa tubuh aibmu bersama kekasihmu," desisnya geram. Tangan kanannya meremas pipi Amy, meninggalkan rasa sakit yang teramat sangat di wajah wanita itu.

"Kau melukai harga diriku sebagai lelaki. Beraninya kau merendahkan aku begitu rupa! Di rumahku sendiri. Di hadapan ibuku! Sungguh tak pantas kau berada di sini. Enyahlah dari hadapanku," ucapnya kejam.

Hamam menyentakkan wajah Amy dengan kasar. Berdiri dengan tangan mengepal di kedua sisi. Kembali memandang rendah menghadap Amy. Tak merasakan lagi percik gelora cinta terhadap wanita itu.

"Pergilah berkumpul dengan kekasih brengsekmu itu! Toh, tubuhmu tak sesuci seperti yang kau gemborkan selama ini," pungkasnya. Amy mendongak memandang Hamam yang berdiri menjulang di hadapannya. Rasa cinta yang tak masuk di akal juga menguap entah kemana. Hanya ada hampa yang menguasai dirinya kini.

"Maka, tak ada penyesalan lagi dikemudian hari ...," bisiknya lirih. Pilu.

"Aku tak bersalah. Aku tak pernah melakukan, seperti yang kau tuduhkan," ucapnya penuh tekad.

Lalu, setelah tangan Hamam melayang ke wajahnya, untuk yang terakhir kali, pandangan Amy menggelap hingga ia tak ingat apa-apa lagi.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status