Share

PERTEMUAN BERUJUNG KESALAHAN

Hening saat taksi biru melaju di jalanan kota di malam hari. Pemuda yang di samping Aluna sesekali melihatnya sedang gelisah sambil menatap layar ponselnya. Pemuda itu yakin gadis bergaun merah ini sedang di cari seseorang. Rasa penasarannya tiba-tiba terbesit tapi dia langsung menghilangkan rasa penasaran itu karena baginya gadis ini tidak penting. Di lihat dari penampilannya saja seperti gadis liar.

“Mimpi apa aku semalam?” Katanya lirih sambil menggelengkan kepalanya dan menatap kaca jendela taksi melihat keindahan kota daerah jalan Tunjungan. Sudah lama dia tidak jalan-jalan ke sini.

Aluna masih fokus menatap ponselnya. Sesekali dia menggigit bibir bawahnya karena gelisah dan ketakutan. Apalagi kepalanya pusing dan sedikit mual. Ini akibat tuan Bara memberikan minuman dengan kadar alkohol yang tinggi. Mama Chan berulang kali menghubunginya. Tuan Bara pasti protes kepada mama Chan. Satu pesan masuk

✉️ Di mana kamu? Tuan Bara marah karena kamu kabur. Aluna balas. Aku marah kepadamu. Awas kamu!

Aluna mendengus kesal dan menyandarkan kepalanya ke kursi. Rasa pusing dan mual sudah tidak bisa dia tahan tetapi dia ingin mengeluh kepada siapa. Dengan pemuda yang ada di sampingnya? Aluna tidak tahu apakah dia orang baik atau tidak.

Pemuda itu melihat jam tangan. Saatnya dia harus segera pulang karena banyak orang menunggunya.

“Aku antar kamu pulang. Boleh tahu di mana alamatmu? Aku tidak ada waktu lagi. Aku harus segera pulang.” Pemuda itu menatap Aluna lekat-lekat, dia tidak ingin berlama-lama dengan gadis yang bukan muhrim apalagi dengan kondisi dia memakai gaun yang mengundang syahwat.

Aluna hanya menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau pulang karena pasti mereka akan mencari aku.” Aluna tertunduk. Pemuda tampan dengan matanya yang indah hanya tersenyum kecil mendengar perkataan gadis tersebut.

“Lalu? Kamu ikut aku pulang?” Pemuda itu meyakinkan.

Aluna hanya mengangguk. Kali ini dia pasrah akan keadaan saat ini. Satu cara yang paling ampuh berlindung kepadanya dulu. Di tambah kondisi Aluna yang sedikit lemas. Rasa mual dan muntah sudah tidak dapat di tahankan. Rasanya isi dalam perut ingin keluar semua. Dan…

Isi makanan dan minuman dalam perut keluar semua dan mengenai pakaian pemuda itu. Sontak saja dia kaget dan marah apa yang terjadi dengan gadis itu.

“Pak berhenti di sini!” Perintahnya dengan lantang. Dari suaranya terdengar jika dia sangar marah sekali. Masa bodoh bagi Aluna.

Mereka akhirnya turun setelah pemuda itu membayar ongkos taksi. Aluna keluar dengan keadaan yang sedikit lemas. Dalam hati dia menggerutu kenapa tuan Bara memberikan alkohol yang tinggi. Beruntung dia segera kabur darinya kalau tidak entah apa yang terjadi selanjutnya dengan Aluna.

“Mbak, kenapa harus muntah segala? Lihat baju saya kotor terkena muntahan mbak. Astagfirullah.” Cerocosnya.

“Maafkan saya mas. Namanya tidak di sengaja.” Jawab Aluna polos dan duduk di kursi yang ada di trotoar. Aluna memegang kepalanya yang pusing. Saat ini dia ingin sekali merebahkan dirinya di ranjang.

Pemuda itu mengendus bau yang ada di sweaternya, dia mengangkat kedua halisnya.

“Kamu minum alkohol, mbak?”

“Sudahlah mas, dari tadi mas itu tanya terus seperti customer service. Kondisi saya tidak enakan jadi jangan banyak bertanya.” Aluna kesal sesekali memijat keningnya yang pusing. Pemuda ini tampan tapi cerewetnya minta ampun. Aluna melirik ke kanan dan ke kiri takut bodyguard tuan Bara dan suruhan mama Chan ada di sekitar. Ponselnya dia matikan agar Mama Chan tidak mencarinya.

“Kalau ini bau alkohol. Aku tidak bisa pulang, mbak. Bisa di keluarkan kartu keluarga saya. Menyesal saya menolong Anda. Baju kotor kena alkohol lagi!” Pemuda itu marah. Niat pulang dari Kairo ke Indonesia harus berakhir mengenaskan saat bertemu gadis bergaun merah ini.

Gadis itu terlihat tidak baik-baik saja. Pemuda yang bernama Dzaki itu sekarang tidak mau tahu tentang kondisi gadis itu lagi. Statmentnya sebagai perempuan nakal sudah melekat. Bagaimana tidak dia minum alkohol. Dzaki menggeret tas kopernya dan melangkah meninggalkan Aluna.

“Tunggu! Kamu mau kemana?” Panggilnya. Dzaki berhenti sejenak tanpa membalikkan badannya.

“Sudah cukup saya menolong kamu, Mbak. Saya ingin pulang. Sepertinya para penjahat tadi tidak mengejar kamu. Aku harap kamu baik-baik saja.” Dzaki melangkah pergi tanpa mempedulikan Aluna yang sedang sakit.

Hati Aluna sakit diperlakukan laki-laki seperti ini. Air matanya tak bisa dia bendung. Benar kata Mama Chan seribu satu lelaki bisa menghargai profesi yang dia jalankan. Menyesal Aluna harus terjun di dunia kupu-kupu malam tetapi masih teringat jika ada ibu dan adik yang harus dia biayai. Aluna menutup wajahnya untuk merilekskan tubuhnya yang lemas.

“Mau sampai kapan kamu duduk di sini terus? Ini sudah tengah malam mbak.”

Suara yang tidak familiar membuyarkan lamunan Aluna, dia membuka kedua matanya dan mendapati pemuda itu berdiri di depannya. Kali ini dia tidak memakai sweater bekas muntahannya tadi. Hanya memakai kaos hitam polos. Aluna tersadar jika pemuda itu sangat tampan.

Dzaki membuka koper dan mengambil jaket hitam dan tanpa di duga Dzaki memakaikan ke Aluna. Sontak membuat Aluna kaget. Tadi dia marah tidak jelas sekarang perhatian. Apakah ini modus dari seorang lelaki yang diam-diam menghanyutkan?

“Aku tidak bisa kedua mataku ternodahi dengan gaunmu yang transparan.” Ucap Dzaki selesai memakaikan jaket ke Aluna.

“Terima kasih mas.” Jawabnya singkat.

“Saya punya nama loh, mbak.” Dzaki sedikit menekankan.

“Ceritanya mau kenalan mas? Biasa lelaki modus banyak maunya.” Aluna mengejek. Aluna tahu jika pemuda itu ingin berkenalan dengannya. Sedikit kesal tadi dia marah-marah sekarang luluh. Namun, Aluna sadar bahwa dirinya memang salah. “Aku Aluna.” Aluna akhirnya pasrah dan mengulurkan tangannya.

“Dzaki.” Pemuda itu hanya menangkupkan kedua tangannya saja. “Maaf belum muhrim dilarang bersentuhan.” Jawabnya. Mendengar jawaban dari Dzaki membuat dia jijik. Laki-laki sok suci. Kucing jika di beri makanan akan mau juga.

Dzaki duduk di samping Aluna dan menyilangkan kakinya. Ada pesan masuk dari orang tuanya dan menyuruhnya segera pulang. Dzaki masih berfikir jika nanti dia pulang dengan kondisi bau alkohol kedua orang tuanya pasti akan marah dan Dzaki melirik Aluna dengan wajahnya yang pucat. Dzaki bingung saat ini harus berbuat apa. Selang beberapa menit dia mengabari orang tuanya baru bisa pulang besok.

“Aluna ikut aku!” Perintah Dzaki. Pria itu beranjak dari tempat duduknya. Dilihat jam tangannya sudah pukul 12 malam. Tidak mungkin dia membiarkan Aluna sendirian di sini.

“Kamu mau ajak aku kemana Dzaki?” tanyanya dengan polos.

Dzaki menghela nafas panjang. “Kita ke hotel sekarang.”

“Apa?” Aluna syok.

***

Aluna terdiam saat Dzaki ingin membawanya ke hotel. Ternyata lelaki sama saja hidung belang semua. Aluna berfikir jika Dzaki adalah lelaki yang baik tetapi pikirannya salah, dia tak ubahnya seperti tuan Bara.

“Jangan aneh-aneh. Aku tahu di pikiranmu saat ini melayang-layang jika aku akan berbuat mesum kepadamu. Memang tampangku ini pria nakal? Hah!” Dzaki tidak terima jika asumsi Aluna dirinya jelek.

“Jika tidak nakal, kenapa kamu bawa aku ke hotel? Tidak ke rumahmu begitu? Hai, Dzaki aku tahu sifat lelaki itu bagaimana. Kamu mau apakan aku jika ke hotel kalau tidak berbuat mesum?” Aluna berkata menantang tetapi dia kembali merintih kesakitan. Kepalanya makin pusing di tambah Dzaki akan berbuat gila kepadanya.

Benar dugaan Dzaki, Aluna akan mengatakan hal buruk kepadanya. Apakah semua orang yang ke hotel kebanyakan berbuat mesum. Dalam hati Dzaki beristigfar. Andaikan Aluna tahu siapa dirinya sebenarnya. Untuk kali ini Aluna tidak boleh tahu dulu latar belakangnya.

“Aku mengantuk dan lelah. Kamu katanya tidak enak badan bukan? Jika kamu mau ikut aku silahkan kalau tidak iya sudah.” Dzaki bergegas. Di lihatnya ada hotel di ujung seberang jalan. Hotelnya lumayan bagus dan besar. Bisalah untuk istirahat.

Perlahan Dzaki meninggalkan Aluna. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah gadis itu tak kunjung mengikutinya. Sebenarnya dia itu kerja apa? Jadi ingin mengorek tentang kehidupannya.

Ayo ikut aku Aluna. Batinnya.

“Dzaki aku ikut!” Teriaknya. Senyuman kecil tersirat di wajahnya.

Mereka berjalan beriringan. Dzaki terdiam sambil menggeret kopernya. Aluna sesekali melirik kepada lelaki itu. Sepertinya dia keturunan orang Turki. Tampan sekali. Ah, Aluna segera membuang rasa kagum itu yang dia fikirkan apa yang akan di lakukan Dzaki ke hotel. Apakah kehormatannya akan hilang malam ini. Tidak bisa. Enak saja Dzaki merenggutnya tanpa ada uang sama sekali. Aluna tetap menjadi kupu-kupu malam.

Akhirnya mereka sampai di loby hotel. Aluna tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya padahal dia beberapa kali menemani pelanggannya tetapi entah kenapa bersama Dzaki semunya terasa canggung.

“Tunggu di sini aku mau check in.” Perintahnya. Aluna hanya mengangguk. Pasrah dengan keadaan selanjutnya.

Dzaki berjalan ke arah receptionist. Aluna melihat dia sedang sibuk check in dan menyerahkan kartu tanda penduduk kepada receptionist laki-laki. Aluna bingung apakah dia akan melayani Dzaki seperti dia melayani pelanggan lain. Setelah selesai Dzaki menghampiri Aluna.

“Ayuk!” Ajaknya.

“Kemana?” Jawab Aluna polos.

“Ke kamar Aluna mau kemana lagi? Aku ingin istirahat, mandi dan mengganti pakaianku yang kotor akibat ulahmu dan setelah itu baru kamu…”

“Hei… hei… kamu mau apakan aku Dzaki?” Aluna sedikit menghindar. Namun, Dzaki hanya dia dan tersenyum. Lelaki itu dengan santainya pergi meninggalkan Aluna.

Aluna sekarang tidak ada pilihan lagi selain mengikuti permainan Dzaki. Lelaki sama saja. Harus bagaimana lagi Aluna percaya orang yang baru saja di kenal. Dzaki berjalan cepat seolah dia senang dengan apa yang akan dia lakukan terhadap Aluna.

Pintu lift terbuka. Mereka masuk kedalam dan Dzaki memencet tombol tutup. Aluna memegang dadanya yang berdegup kencang. Sungguh di luar nalar bersama dengan Dzaki.

Kamar 502 ada di depan mata. Detik-detik Aluna di unboxing oleh Dzaki. Ah, malangnya nasib Aluna malam ini.

“Ini kuncimu!” Dzaki menyodorkan kunci kamar kepada Aluna dan di tangan satunya Dzaki membawa kunci lagi. Otomatis Aluna langsung mengernyitkan keningnya.

“Jadi kita tidak satu kamar?”

“Hah! Apa katamu? Coba sekali lagi bilang. Aku tidak mendengarnya.” Kata Dzaki sewot. Pria itu menyandarkan tubuhnya di dinding sambil melipat kedua tangannya. Sorot matanya menatap tajam gadis lugu, polos yang ada di depannya.

“Kita tidak satu kamar?” Ucap Aluna lirih Dalam hati dia senang sekali jika Dzaki tidak bersamanya malam ini dalam satu kamar.

Dzaki lagi-lagi menepuk keningnya dan mengelus dadanya. Bisa-bisanya gadis ini berpikiran terlalu jauh. Satu kata Dzaki mulai risih juga lama-lama dekat dengan Aluna. Mencoba menetralkan suasana dengan kondisi dan pakaiannya yang minim.

“Maaf aku tidak selera denganmu Aluna.” Sindir Dzaki dengan ketus, dia merogoh saku tasnya mengambil sesuatu untuk diberikan kepada Aluna. “Ini ada obat mual dan muntah diminum sebelum makan. Aku harap kondismu lumayan membaik. Besok jika masih sakit aku antar ke dokter dan sekalian antar kamu pulang. Aku tidak mau hutang budi denganmu lagi. Cukup malam ini saja. Terima ini!” Dzaki menyodorkan beberapa kaplet obat kepada Aluna. Aluna menerimanya dengan ragu-ragu.

“Ini bukan obat tidur atau sejenis obat kuat bukan? Lelaki sepertimu banyak modusnya. Maaf aku tidak mau terima.” Aluna menolak mentah-mentah obat yang diberikan Dzaki. Membuat Dzaki geram, dia pikir lelaki apa. Dalam hati Dzaki ingin memaki dan memerahi Aluna tapi dia masih punya perasaan kepada seorang perempuan.

“Dasar gadis aneh. Terima saja. Selamat istirahat. Aku lelah dan ingin istirahat.” Dzaki memberikan lagi obat dan langsung masuk ke dalam kamar.

Aluna hanya memandangi punggung lelaki keturunan Turki yang perlahan hilang dari pandangan. Ternyata masih ada lelaki yang baik tapi Aluna tetap waspada. Saatnya Aluna juga istirahat.

Sudah hampir jam tiga Aluna belum bisa memejamkan kedua matanya. Menatap langit-langit kamar hotel dan melihat sekelilingnya. Sepi dan hanya dia penghuni di dalam kamar. Baru pertama kali ini dalam sejarah hidupnya menginap di hotel sendirian. Biasanya dia bersama pelanggan.

Kaki jenjangnya turun mengambil jaket dari Dzaki dan memakainya. Menatap cermin. Aluna masih cantik meskipun wajahnya terlihat sedikit pucat. Merapikan rambutnya yang panjang. Kedua kakinya melangkah keluar.

Dzaki samar-samar mendengar suara ketukan, dia tidak menggubrisnya. Namun, ketukan itu masih saja berlangsung terus menerus. Dzaki langsung bangun.

“Astagfirullah, baru saja memejamkan mata ada gangguan saja. Pelayan hotel ini tidak tahu jika jam seperti ini butuh istirahat.

Saat membuka Dzaki di kagetkan sosok di depan pintu. Siapa lagi kalau bukan Aluna. Sesekali dia mengucek matanya dan meyakinkan lagi kalau sosok itu bukan Aluna.

“Ada apa lagi, Aluna? Apa kamu tidak tahu jam istirahat. Apa salah dan dosaku kepadamu?” Dzaki berkata frutasi.

“Aku tidak bisa tidur Dzaki.” Jawabnya polos.

“Lalu?” Tanya Dzaki dengan nada penekanan. Dalam batinnya dia bisa gila menemani seorang perempuan yang bukan muhrim.

“Aku kepikiran kamu terus. Jadi aku hanya bilang terima kasih semuanya dan syukurlah dengan obat yang kamu berikan keadaanku mulai membaik.” Katanya dengan senyuman kecil.

“Aluna… Aluna… besok bisa kamu berkata itu kepadaku tidak dini hari seperti ini. Sudah iya aku kali ini saja menolongmu. Balik ke kamar dan jangan ganggu aku lagi. Paham!” Ucapnya dengan marah. Aluna kali ini membuat Dzaki marah besar. Lebih baik dia melakukan shalat tahajud agar bisa menenangkan hatinya. Mungkin ini karma baginya karena jarang sekali menghubungi orang tuanya semasa di Kairo. Pertemuan dengan Aluna malam ini adalah sebuah kesalahan.

Pintu di tutup oleh Dzaki dengan keras. Aluna hanya bisa menggelengkan kepalanya.

“Dasar lelaki sok suci, mengucapkan kata terima kasih saja marahnya minta ampun. Tahu seperti ini aku tidak mau berterima kasih kepada lelaki panci mendidih yang suka marah tidak jelas. Huh… benci!” Aluna mendengus kesal, dia berbalik badan menuju kamarnya kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status