Mataku seketika berkunang-kunang ketika mobil bernomor plat BM 3 AI itu melaju dengan kencang. Ia meninggalkanku dengan sejuta malu yang harus kutanggung sendirian. Rasanya wajahku semakin memerah ketika beberapa orang menatapku kasihan. Tatapan mereka seolah memperingatkan bahwa aku telah kalah dalam perselingkuhan suamiku sendiri.
"Jangan patah semangat, ya, Mbak. Saya yakin Mbak pasti kuat.""Sudah tinggalkan lelaki pengkihanat itu, Bu. Sekali selingkuh selamanya akan selingkuh. Ingat itu.""Sabar, Mbak. Tetap semangat meninggalkan lelaki itu. Buat ia miskin dulu, lalu kamu tinggalkan. Itu balasan yang setimpal untuknya.""Tetap tenang, ya, Bu. Balas lelaki itu dengan elegan dan sadis. Tuhan selalu membersamai istri sah yang dizholimi. Saya titip satu tamparan untuk lelaki itu.""Santuy saja, Mbk. Saya siap menyediakan jasa persantetan dan pesugihan yang kejam.""Tenang, Mbak. Perlakukan dan layani lelaki itu dengan lembut. Setelah ia terbuai, langsung kasih sianida kasih sayang pada minumannya. Dijamim koit setelahnya.""Jangan mau rujuk lagi, Mbak. Selingkuh itu pasti dibarengi dengan perzinahan.""Kuras habis hartanya, Mbak, lalu kau racun itu saran terbaikku.""Jangan lemah, Mbak. Ikuti caranya yang selingkuh. Balas perselingkuhan dengan perselingkuhan. Pasti pro itu."Nasehat demi nasehat terus mereka ucapkan untukku. Tak sedikit yang menatapku iba karena kejadian ini. Tatapan miris mereka sangat membuat hatiku tersayat-sayat. Aku hanya bisa menatap mereka tanpa berani menjawab apapun. Semua nasehat mereka akan aku ingat dalam kepala.Mereka yang menyaksikan aksiku di lampu merah mulai membubarkan diri. Nyaliku semakin ciut ketika ada beberapa orang yang menggeleng. Mungkin menurut mereka, aku hanya mempermalukan diri sendiri.Aku kehabisan kata untuk mengungkapkan rasa amarah dalam hati. Dengan tangan gemetar, kuambil ponsel yang ada dalam tas selempang yang aku pakai. Kuusap layar sentuhnya, kucari nomor lelaki yang telah menjadi suamiku selama sepuluh tahun terakhir itu.Panggilanku tersambung. Namun, tak dijawab. Selanjutnya sambungan teleponku kembali ditolak tanpa sempat dijawab. Aku masih mencoba kembali untuk menghubungi nomor itu lagi. Dan nomor yang aku tuju sudah tak aktif kembali. Sepertinya lelaki itu sengaja mematikan ponselnya."Arman! Sialan kau, ya! Kau harus membayar semua ini karena sudah mempermalukan aku di depan umum! Sialan kalian! Kalian harus membayar semua ini! Tunggu pembalasanku!"Umpatan demi umpatan terus aku lontarkan pada lelaki tak tau diri itu. Lelaki yang dulu aku angkat derajatnya, kini membalas semua itu dengan kotoran di wajah. Mau tak mau aku harus menelan rasa malu ini sendirian.Baru saja tubuh ini berbalik, aku terlonjak kaget karena suara klakson di belakang yang saling bersahutan. Aku menatap marah pada para pengguna jalan yang telah mengklaksonku tanpa permisi. Aku acungkan jari tengah pada mereka sebentar, lalu bergegas menyalakan motor dan mengejar mobil itu.Ponsel yang masih dalam genggaman, segera kumasukan ke dalam tas. Sayangnya usahaku nihil. Sudah jauh berkilo-kilo melajukan kuda besi ini, tersangkanya sudah hilang dari pandangan. Aku menepikan motor di bahu jalan untuk meluapkan emosi barang sebentar. Berulang kali kupukul kepala stang motorku yang retak dibagian lampu. Sungguh, aku kesal sekali. Saat emosi memuncak, tapi tak bisa tersalurkan dengan baik.Setelah beberapa menit berhasil menguasai diri, aku kembali melanjutkan perjalanan ke rumah orangtua. Aku harus bergegas saat hari sudah semakin sore. Karena selain berkunjung ke rumah wanita yang sudah melahirkanku, aku harus ke butik untuk mengantarkan beberapa bahan yang sudah aku potong polanya.Selain sebagai ibu rumah tangga, aku juga bekerja sebagai karyawan desainer butik ternama yang terletak di Parangtritis, Jawa Tengah. Rencananya setelah pulang dari butik, aku harus mengantarkan beberapa bahan baju pengantin ke tempat bordir. Ada beberapa titik pola yang perlu di bordirBekerja di butik dari seseorang yang aku kenal, ternyata bisa membuat waktuku menjadi tertata dengan baik. Aku bisa menyelesaikan pekerjaanku di rumah, jika tak sempat ke butik. Karena memiliki satu putri yang masih berusia tiga tahun, aku diberikan waktu kebebasan untuk menyelesaikan pekerjaan desainerku. Asal sebelum deadline, pesanan baju pengantin itu harus sudah selesai.Drrt.Drrt.Ponsel di dalam tas bergetar kembali. Kuambil ponsel itu sebelum menyalakan motor. Ibu, satu nama yang selalu baik padaku yang menelpon.Aku menarik napas sebentar, setelahnya menjawab telepon itu."Assalamualaikum, Bu.""Apa?""Iya, iya. Aku sudah dijalan. Tenangkan sebentar, Bu. Bentar lagi aku sampai. Gendongin dulu, ya!"Panggilan ponsel itu kumatikan sepihak. Penjelasan dari suara Ibu telah membuat emosi semakin naik.Motorku telah melaju membelah jalanan yang masih ramai. Kabar dari ujung telepon tadi membuat hatiku ketar-ketir. Semoga ia baik-baik saja.Bersambung......"Kamu pikir kamu siapa bisa mengaturku, Mas! Sebelum perselingkuhanmu terbongkar, aku wajib menuruti semua perkataanmu sebagai suami. Tapi kali ini, itu semua sudah aku hapus setelah kedokmu terbongkar! Tak ada maaf lagi untukmu mulai sekarang ini!"Aku terus menggrutu setelah keluar dari ruang inap di belakangku. Sudah bisa aku pastikan mereka takkan bisa tersenyum lagi setelah semua pembalasanku terjadi. Wanita yang dulu mereka anggap baik, sudah tak ada lagi. Telah aku hapus semua rasa kebaikanku untuk kalian."Aduh! Kalau jalan pakai mata, dong! Gimana, sih! Jadi sakit, kan, sikuku terbentur lantai!" Aku berteriak kesal karena tersungkur ke lantai. Entah siapa yang menabrak bahuku dari belakang.Baru juga keluar dari ruangan itu, malah terkena sial. Sepertinya karena kebanyakan bergaul dengan mereka, jadi kesialan terus mengikuti aku. Mereka semua memang pembawa sial.Pergelangan tanganku sakit seketika, karena menahan bobot tubuh yang hampir saja mencium lantai berkeramik marmer.
"Mau apa kamu, hah!" Seketika mataku mendelik, saat Liana ingin menyambar ponselku. Secepat kilat kusembunyikan benda canggih ini ke belakang punggungku, agar dia tak bisa sembarangan mengambilnya. Tatapannya yang dipenuhi dengan kobaran api yang menyala-nyala, seolah ingin menerkamku saat ini juga. Netranya yang mulai basah, seakan menolak fakta bahwa yang ada dalam foto dan video itu bukan dirinya. Liana memang pandai memutar keadaan. Dia bak artis pemeran utama, yang sangat lihay menjalankan perannya. Sejenak kubalas tatapannya yang pintar bersandiwara itu dengan senyum sinis tak bersahabat. Dia pikir bisa mengelabuiku. "Bawa sini ponsel itu!" Liana semakin berani membentakku. Namun, perlakuannya itu tak mampu membuat pertahananku runtuh. Hatiku sudah sekeras batu terhadap semua keluarganya. "Mimpi! Jangan harap aku akan memberikannya! Kamu pikir kamu siapa, hah!" Liana semakin meraung sejadi-jadinya. Kepalan tangannya memukul dinding berulang kali, seolah i
Seketika aku tertawa dalam hati, setelah mendengar semua penghinaan itu dari bibirnya Mama Ratih. Lihat saja, jika video dalam ponselku sudah dilihatnya dengan mata sendiri, apakah ia masuh bisa terus menghinaku.Mari kita buktikan. Bukti ini akan membungkam mulutnya yang lantam.Ponsel yang ada di dalam tas, kuambil dengan cepat. Aku buka aplikasi rahasia untuk mencari bukti berupa video. Video rahasia yang kusimpan beberapa hari yang lalu masih aman di dalamnya.Tanpa berpikir ulang, video berjumlah lima buah dengan durasi masing-masing hampir lima belas menit, sudah aku kirim ke beberapa sosmed milikku. Tak ada satupun kontak di ponsel yang aku private. Biarkan mereka semua tahu. Apa itu pembalasan yang sesungguhnya. Apa yang sudah keluar dari bibir ini, pantang untuk dijilat kembali.Setelah ini, akan terbukti siapa yang bisa membalas dengan menyakitkan.Harga diri yang sudah tercoreng, harus diselamatkan walau harus bertarung nyawa. Kini tinggal menunggu bom itu meledak, maka hab
"Tenang, Al! Ini nggak seperti yang kamu pikirkan. Mas bisa menjelaskan semuanya!" dalihnya berusaha membela diri. Tak lama setelah kalimat itu terucap, ia berusaha turun dari ranjang dengan susah payah. Sayangnya, pembelaan itu tak berarti apa-apa untukku. Kalimat pembelaan yang sengaja ia lontarkan, semakin membuat hatiku terhantam pilu. Pilu untuk kesekian kalinya, hingga tak terasa apapun di dalam sana. Hambar. Itulah yang kurasa saat ini. "Jadi menurutmu pikiranku salah begitu! Lantas bagaimana dengan pikiranmu sendiri, Mas! Apa perlu otakmu aku cuci dengan spon pencuci piring biar jernih, iya! Bener-bener kamu, ya!" Serta merta aku meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Dalam keadaan remang-remang dalam ruangan rawatnya, semakin membuat napasku sesak. Lelaki ini pintar sekali memanfaatkan keadaan. Ia sengaja mematikan lampu dalam ruangannya, agar tak terlihat mencolok dari keadaan orang luar yang lalu lalang di depan ruang inapnya. Bukankah ia cerdik sekali. "Bu–kan begi
Di sela meeting yang masih berjalan, aku masih menarik sudut bibir secara diam-diam. Ternyata paket itu sudah sampai lebih cepat dari dugaanku. Kalian pasti terkejut atas datangnya paket terbaru itu. Tentu benak kalian takkkan mampu menerima sebuah kenyataan, yang dimana kenyataan itu lebih hina dari sekedar berzina. Bisa aku pastikan, jika isi paket itu tersebar ke semua orang, kalian semua pasti merasa tak ingin lagi hidup di dunia ini. Sungguh keberuntungan yang sangat menguntungkan. Baru kali ini aku merasa bangga karena mendapatkan keberuntungan itu. "Aww!" sentakku terjaga dari lamunan indah itu. Kugerakkan leher ke sebelah kiri, dimana Mbak Vina berada yang telah mencubit pinggangku. Aku menggeram marah. Bisa-bisanya ia menyubitku disaat meeting dengan tamu penting. "Sakit bego, Mbak!" bisikku kesal padanya, yang dibalasnya dengan membeliakkan mata beloknya. "Makanya kalau meeting itu yang serius! Jangan cuma plonga plongo doang kamu, ya!" hardiknya padaku, yang ketahuan m
Senyum lepas aku tarik untuk pembalasanku kali ini. Kalian yang memulai untuk melibatkan Bapakku. Jadi, jangan salahkan aku yang ikut melibatkan anggota keluarga kalian.Kulepas ponsel dari kabel charger yang belum terisi penuh. Menghubungi seseorang pagi ini jauh lebih penting, dari sekedar mengisi baterainya. Ibu jariku membuka WA untuk mencari nomor ponsel, yang baru dikirim Ilana barusan.Segera aku telepon nomor berjumlah delapan digit itu."Hallo, selamat pagi. Apa benar ini dengan kurir ekspedisi JNA?" Satu salam tanda kesopanan aku lontarkan pada admin sebuah ekspedisi."Iya, betul, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?"Admin itu menjawab dengan suara khasnya yang lembut.Sebelum menjawab, aku menuliskan alamat pada amplop yang sudah aku tutup rapat dengan double selotip. "Bisa ambil paket ke rumah, Mbak. Saya mau mengirimkan sebuah amplop pagi ini."Kembali aku tersenyum lepas saat alamat itu sudah tertulis rapi dengan huruf capslock bertinta tebal."Bisa, Mbak. Kebetulan hari ini