Share

Bab. 4. Detektif Lana

"Aku punya kabar penting tentang Mas Arman. Berita hot ini, Mbak."

Mataku seketika melebar saat mendengar kalimat itu. Aku menoleh ke belakang. Lana tersenyum lebar serta menaik-turunkan alisnya untuk menggodaku.

Seketika aku mencebik. Ia memang senang menggoda kakaknya. Perlahan aku melepas pelukan tanganku pada pinggang Aleeya, lalu turun perlahan dari ranjang. Setelah berhasil turun dari ranjang tanpa membuat kebisingan, kupegang tangan Lana, segera kuseret ia keluar dari kamar. Aku tak mau Aleeya terbangun dari tidur siang karena mendengar obrolanku dengan tantenya.

"Is, kenapa aku diseret, sih, Mbak! Sakit tau tanganku. Lepas."

Lana berusaha melepas cengkraman tanganku. Ia mendengus sebal. Aku menyeretnya ke belakang kamar, dimana ada kolam ikan disana. Kolam ikan ini tempat aman untuk menggosip. Jaraknya jauh dari dapur, dimana Ibu lagi memasak.

Aku mendelik padanya, setelah Keadaan sudah cukup aman. "Nanti Aleeya bangun. Ada apa? Ada kabar apa tentang Mas Arman?" Tanpa basa basi aku mencecarnya dengan pertanyaan.

Gadis itu malah terkekeh pelan. "Kalau bahas Mas Arman aja cepet banget responnya. Dasar bucin, hayoo...." ejeknya lagi sambil terbahak.

"Gak usah bawel. Cepet ada apa? Nanti keburu Aleeya bangun. Mbak juga mau ke butik habis ini."

"Iya, sabar. Maksaan banget, sih."

"Diem. Tak usah banyak komen."

"Bawel banget, sih."

"Bodo, ah. Cepetan, Lan."

"Iya, iya."

Dengan bibir mengerucut sebal, Lana membuka ponsel yang ada dalam genggaman. Aku memperhatikan jari manisnya yang bermain pada layar sentuh itu. Selanjutnya ia membuka galeri dengan isi fotonya yang sampai ratusan pcs.

"Aku ketemu Mas Amran lagi jalan berdua sama cewek di pantai. Mesra banget lagi pake pegangan tangan sama pelukan. Mantap banget tuh laki berani selingkuh dari kakakku. Kayaknya itu lelaki sudah siap miskin, nih, dari keluarga Subroto, Mbak."

"Biarin saja kalau itu maunya. Aku yang akan segera mengabulkan itu."

"Yakin sanggup? Kan bucin. Entar gagal maning gagal maning tuh."

Lana terkikik seakan puas menggodaku.

"Itu gak akan terjadi. Camkan itu."

"Wih, mantap. Kakak gua mah memang ngeri, oy. Preman kampung di lawan."

Aku mendelik saat kalimat itu ia ucapkan. Lana terkikik kembali tanpa takut dengan tatapan mautku. Gadis di depanku ini memang tak pernah takut denganku.

Mengingat kembali kalimat yang diucapkan oleh Lana, aku jadi berpikir ulang. Ternyata Mas Arman tak memperhitungkan dengan semua pengkhianatan itu. Ia tak berpikir jauh, bahwa semua itu akan berimbas dengan semua pekerjaannya.

"Kamu ketemu dimana sama Mas Arman? Di pantai mana? Lagi ngapain aja laki itu sama wanita barunya?"

Aku terus mencecar Lana dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak ada habisnya. Semua bukti harus aku kumpulkan untuk suatu saat nanti. Saat ini kebahagiaanku dan Aleeya harus aku prioritaskan dulu.

"Itu loh aku tadi ketemu di pantai yang deket sama kampus aku, Mbak. Aku juga punya, nih, videonya pas masuk ke gazebo. Widih... hot banget, Mbak. Ngeri pokoknya."

"Siniin hapemu."

Kurebut ponsel Lana yang masih ia gulir layar sentuhnya. Tak kuperdulikan gerutuannya yang terus keluar. Gadis yang tengah memakai hijab pashmina itu takkan pernah bisa marah lama dengan kakaknya.

"Is, gak sabaran banget, sih, Mbak. Awas jatuh hapenya."

"Jatuh tinggal beli lagi ya, guys, ya."

"Mentang-mentang banyak duit jadi songong, ya."

"Orang berduit mah bebas, Shay."

"Bodo, ah. Penting aku udah punya seprei antiompol."

"Iyalah yang suka ngompol. Ente kadang-kadang, Ente jorok. Sudah kuliah masih ngompol."

"Biarkan. Cepetanlah."

"Sabar."

Perdebatan antar kakak dan adik itu terus berlangsung. Tak ada satu pun yang mengalah dari keduanya. Keduanya terus singgung-menyinggung tak ada batasan. Begitulah sejatinya saudara kandung. Harus saling mengayomi apapun masalahnya.

Hingga, kuhentikan perdebatan itu tanpa adanya pemenang. Senja yang mulai datang mulai mengingatkan aku untuk segera pergi ke butik.

"Sudah cukup. Kirim semua video dan foto mesra itu ke hape Mbak! Hari ini kita buat rencana penyelidikan dan pembalasan untuk lelaki itu."

"Oke. Aku siap menjadi detektif. Kita berantas perselingkuhan. Pengkianat itu harus kita basmi secepat mungkin. Hidup perselingkuhan. Hidup istri sah."

Lana berseru dengan semangat 45-nya. Ia terus mengucap kalimat terakhir itu berulang kali. Tanpa aku sadari akan hadirnya seseorang di pintu belakang rumah.

"Apa? Selingkuh? Siapa yang selingkuh? Kalian lagi bahas siapa, Al? Hayo ngaku sama Ibu. Jangan main rahasia-rahasian."

"I--bu...." Terbata-bata aku dan Ilana menyebut panggilan itu. Mendadak punggung kami menegang bersamaan karena kehadirannya.

Rasa terkejut yang tak bisa kuantisipasi, hampir saja menjatuhkan ponsel Lana ke lantai. Akibat perdebatan kami terlalu serius, aku tak menyadari adanya suara lembut yang telah mendengar itu semua.

Setelah beberapa menit aku dan Lana saling pandang. Aku beranikan diri untuk menatap Ibu, yang telah mendekati kedua anak perempuannya di pinggiran kolam.

Entah sejak kapan Ibu mencuri dengar perdebatan anak-anaknya.

"Lana kuadrat ... jawab Ibu. Ada apa? Siapa yang selingkuh? Kenapa kalian malah diam saja, hah!"

Nada tak sabar itu mulai keluar dari wanita yang pernah bertaruh nyawa untuk melahirkanku. Dengan memanggil nama kecil itu, pertanda Ibu sedang tak main-main dengan pertanyaannya.

Jika sudah seperti itu aku harus memutar kepala untuk menenangkannya. Percayalah... menenangkan Ibu itu jauh lebih sulit dibandingkan dengan kerewelan Aleeya. Ia akan terus mengejar sampai keinginanya tercapai.

Bersambung.....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status