Share

Bab 92

Penulis: Zidan Fadil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-31 18:00:08

Kabut telah memudar. Udara pegunungan kembali terasa, tipis namun jernih. Di balik celah batu terakhir, Rakasura, Ayu, dan Tirta melangkah keluar dari Lembah Sunyi. Mereka berdiri di pinggir tebing, menghadap hamparan hutan yang luas dengan sinar matahari senja menyapu pucuk-pucuk pohon.

Angin bertiup pelan, membawa serta aroma tanah lembap dan bunyi samar burung-burung yang kembali bernyanyi. Seolah dunia sedang menghela napas lega setelah babak yang begitu sunyi dan berat.

"Rasanya seperti baru bangun dari mimpi panjang," gumam Ayu.

Tirta mengangguk sambil memutar-mutar gelang kayunya. "Tapi mimpi yang ninggalin rasa di dada, ya. Bukan sekadar lewat."

Rakasura memandangi cakrawala. Sorot matanya tak setegang biasanya. Ada semacam ketenangan baru di wajahnya, seakan gema-gema dari lembah tadi telah merapikan sesuatu yang berserakan di dalam dirinya.

"Kita harus lanjut ke barat laut," katanya sambil mengisyaratkan arah. "Ada dataran terbuka bernama

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Gelang Langit   Bab 93

    Lembah Sunyi ditinggalkan jauh di belakang, tetapi kesunyian yang ditinggalkannya masih melekat seperti bau dupa pada pakaian. Langkah kaki mereka menyusuri jalur batu yang mulai diselimuti lumut, menuruni sisi barat pegunungan menuju daerah yang dulunya pernah menjadi lahan subur sebelum ditinggalkan perang dan angin hitam.Ayu merapatkan jubahnya. Angin di sini berbeda. Tidak sekadar dingin—ia membawa semacam bisikan, seperti seseorang yang mencoba berbicara dari kejauhan, tetapi tertelan oleh desir dedaunan."Kau dengar itu?" tanyanya pelan.Tirta mendongak. "Apa? Angin?"Rakasura menghentikan langkah. Ia tidak menjawab, hanya memejamkan mata dan membiarkan angin menyentuh wajahnya. Ada sesuatu di sana. Nada. Bukan sekadar deru.Suara yang datang dari kejauhan bukanlah ancaman, tapi juga bukan panggilan. Ia seperti catatan yang tercecer dari lagu yang belum selesai. Sebentuk nyanyian yang ditinggalkan separuh jalan."Kita hampir sam

  • Gelang Langit   Bab 92

    Kabut telah memudar. Udara pegunungan kembali terasa, tipis namun jernih. Di balik celah batu terakhir, Rakasura, Ayu, dan Tirta melangkah keluar dari Lembah Sunyi. Mereka berdiri di pinggir tebing, menghadap hamparan hutan yang luas dengan sinar matahari senja menyapu pucuk-pucuk pohon.Angin bertiup pelan, membawa serta aroma tanah lembap dan bunyi samar burung-burung yang kembali bernyanyi. Seolah dunia sedang menghela napas lega setelah babak yang begitu sunyi dan berat."Rasanya seperti baru bangun dari mimpi panjang," gumam Ayu.Tirta mengangguk sambil memutar-mutar gelang kayunya. "Tapi mimpi yang ninggalin rasa di dada, ya. Bukan sekadar lewat."Rakasura memandangi cakrawala. Sorot matanya tak setegang biasanya. Ada semacam ketenangan baru di wajahnya, seakan gema-gema dari lembah tadi telah merapikan sesuatu yang berserakan di dalam dirinya."Kita harus lanjut ke barat laut," katanya sambil mengisyaratkan arah. "Ada dataran terbuka bernama

  • Gelang Langit   Bab 91

    Matahari sudah tinggi ketika mereka akhirnya meninggalkan lereng yang menghadap ke lembah gema. Jalan setapak yang mereka tempuh kini mulai menurun, menyusuri jalur-jalur tersembunyi di antara tebing dan akar pohon yang menjulur liar. Langit tampak jernih, namun hawa di sekitar mereka tetap mengandung bekas-bekas keheningan yang baru saja mereka tinggalkan.Tirta berjalan di belakang, sesekali menoleh, memastikan tak ada sesuatu yang mengikuti mereka. Tapi langkahnya melambat bukan karena takut, melainkan karena pikirannya masih terjebak pada suara seruling itu. Masih ada gema samar yang bergulir dalam kepalanya, seolah dunia belum sepenuhnya kembali dari mimpi."Aku masih dengar nadanya," katanya lirih, menembus keheningan.Ayu menoleh sekilas, mengangguk pelan. "Mungkin itu memang bukan nada yang bisa berhenti. Seperti kenangan, Tirta. Ia hanya mereda, tapi tak lenyap."Di depan mereka, Rakasura tidak menoleh, tapi ia mendengar. Langkahnya tetap mantap

  • Gelang Langit   Bab 90

    Pagi itu tidak cerah, namun juga tidak kelam. Langit menggantung dengan awan tipis berlapis-lapis, seperti kelambu raksasa yang menutupi dunia. Embun belum kering ketika langkah kaki Rakasura, Ayu, dan Tirta menginjak dedaunan hutan di tepi Lembah Sunyi. Di belakang mereka, suara gema sudah tak terdengar, namun keheningan yang mereka bawa masih terasa."Kita harus kembali ke jalur utama," ujar Rakasura sambil menatap jalur sempit yang membelah semak dan batang-batang tua.Tirta mengangguk lesu, matanya masih sering menoleh ke belakang. “Seolah... suara itu belum sepenuhnya pergi dari kepalaku.”Ayu berjalan paling depan. Langkahnya ringan tapi mantap. Ia tidak berkata banyak sejak meninggalkan sumur gema, namun sesekali jari-jarinya menyentuh lengan, seakan ingin memastikan dirinya masih nyata. Ada sesuatu dalam dirinya yang berubah—bukan karena seruling itu, tapi karena ia mendengar sesuatu yang tak semua orang bisa dengar: dirinya sendiri.

  • Gelang Langit   Bab 89

    Langit di atas mereka bukan lagi kelabu. Setelah keluar dari ruang gema, ketiganya disambut langit jingga yang berpendar, seolah senja tengah bersenandung di ufuk timur. Udara masih dingin, namun angin yang melintas kini membawa wewangian samar dari rerumputan dan tanah basah.Tirta mendesah panjang. "Rasanya kayak keluar dari mimpi yang nggak bisa dijelasin."Ayu menengadah, memejamkan mata sejenak. "Mimpi yang rasanya nyata... atau kenyataan yang terasa seperti mimpi."Rakasura tidak berkata apa-apa. Ia masih memikirkan gema terakhir yang dilepaskan. Jubah tipis yang kini telah menyatu dengan gelang di tangannya seolah membuat langkahnya lebih ringan, tapi pikirannya justru lebih berat.Mereka menyusuri jalan menurun yang membelah lembah. Kabut mulai mengendur, tapi belum sepenuhnya menghilang. Di kejauhan, suara burung-burung malam mulai terdengar, nyaris seperti balasan atas lagu yang barusan mereka lewati.Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah padang rumput kecil yang diapit d

  • Gelang Langit   Bab 88

    Suara dari seruling itu bukan ledakan, bukan juga nyanyian. Ia datang seperti bisikan yang merayap di balik tulang, melewati batas indera biasa. Sebuah nada tunggal, panjang, menggema di dalam dada, bukan di telinga. Rakasura memejamkan mata, merasakan dunia di sekitarnya meluruh jadi gelombang sunyi yang beriak.Ayu dan Tirta tetap berdiri, meski lutut mereka sempat goyah. Suara dari seruling itu bukan sekadar bunyi. Ia seperti membuka sesuatu di dalam jiwa mereka, sesuatu yang telah lama tidur, menunggu panggilan."Kau dengar itu?" bisik Tirta, suaranya gemetar. "Itu... suara langit?"Ayu tak menjawab. Matanya terpaku pada Rakasura yang masih berdiri dengan seruling di tangan. Seruling itu kini retak, perlahan hancur menjadi debu cahaya perak dan lenyap ditiup angin yang tak terasa.Namun gema nadanya tetap tersisa, berputar-putar di udara. Dan dari tengah kabut, sesuatu mulai muncul.Siluet.Sebuah bayangan berjalan mendekat. Tingginya ta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status