Kubawa lembaran surat cerai yang harus ditandatangani oleh Habib. Kudatangi ke rumah perempuan yang sedikit lagi akan menjadi mantan mertua. Sedikit lagi ikatan kami akan terpisah secara resmi. Kuharap nanti tidak ada perlawanan yang berarti. Sesampainya di rumah ibu mertua, aku pencet bel. Ting...tong....! Seorang satpam membukakan pintu gerbang. Dan menyuruhku untuk masuk karena beliau telah mengenaliku sejak dulu. Sebab itu segera memanggil si tuan rumah. Tidak lama kemudian keluarlah si ibu mertua. Dari pandangannya sudah jelas-jelas dia membenciku. Tidak mengapa, tidak masalah juga. "Mengapa engkau kemari? Apa mau mencari Habib? Atau mau mengemis minta balikan sama anakku. Oh kamu baru sadar ya Kalau anakku begitu berarti. Kamu pasti sudah menyesal telah mengusir kami mentah-mentah." Pede sekali wanita paruh baya ini. Siapa juga yang mau minta balikan. Melihatnya saja sudah mampu membuat perutku mules, apalagi kalau harus kembali menjadi i
Setelah para benalu telah enyah, maka aku kembali mengambil seorang asisten rumah tangga. Walaupun hidup seorang diri tapi masih sanggup untuk sekedar membayar seorang pembantu. Tentu saja aku tidak akan memperlakukan asistenku semena-mena seperti Bilna. Aku membutuhkan asisten rumah tangga, karena harus menekuni pekerjaan. Sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk mengurus rumah. Tingg.....! Sebuah noifikasi muncul di layar ponselku menandakan adanya pesan masuk dari aplikasi berwarna hijau. Ada empat pesan masuk dari nomor yang sama. Ku cek ternyata dari sang mantan suami, si Habib. "Kamu pasti menyesal telah mau bercerai denganku, Aliyah." "Kamu akan merasakan kesepian, karena kamu hidup seorang diri." "Lagian kalau kau mau menikah lagipun, tidak akan ada yang mau menikahi perempuan yang punya rahim kering kerontang tidak punya benih keturunan sepertimu. Hahahaaa, sedangkan aku, sedikit lagi akan memiliki baby dari istriku. Sedangkan kamu akan m
Ting... Tong.....! Bel rumahku berbunyi. Bi Yah, asisten rumah datang menemuiku yang sedang sibuk mengurus berkas yang harus ku periksa dengan hati-hati. "Nyonya ada tamu perempuan yang datang." "Baik, suruh dia masuk saja, Bik. Nanti ku temui dia di ruang tamu.!" "Baik, Nyonya." Aku melangkah menuju ke ruang tamu. Siapa gerangan yang datang kerumahku di sore hari seperti ini. Uuph... Ketika kulihat dari daun pintu, ternyata yang datang bertamu adalah Bu Naura. Ibu tiriku sekaligus ibunya Bilna. Ada apa gerangan dia datang kemari. Aku harus awas. Soalnya dia bukan orang yang berhati baik. Harus hati-hati. Kembali ku melangkah ke ruang kerja, ku ambil sebuah alat perekam suara. Kunyalakan dan kuselip di saku atasan tunik yang tengah ku pakai saat ini. "Ternyata Ibu yang datang." Aku duduk di sofa tepat di depan Bu Naura. Bu Naura teesenyum. Tapi senyum itu, bukanlah menggambarkan senyuman yang tulus. Entah ada maksud apa yang terselip di a
Siang ini aku memutuskan untuk makan di luar. Sepulangnya dari kantor ku arahkan mobil langsung menuju ke restoran langganan. Aku memesan seafood kesukaanku bersama jus melon. Tidak harus lama menunggu, pesananku datang. "Sendirian saja mbak?" Tanya seorang perempuan yang baru saja datang, lalu duduk di bagian belakang mejaku. Sebentar kemudian dia membuka maskernya sekilas, mungkin gerah kali ya. Eh serasa saya pernah lihat ini perempuan. Tapi sayang sebelum aku berhasilengingatnya, dengan cepat dia memakainya kembali. Aneh... maklum, aku bukan tipe orang yang mudah dalam mengenali seseorang dengan baik. walaupun cuma sekilas saja, aku masih bisa sefikit mengingat wajah wanita itu. Tapi.. aduuuh perutku melilit. Belum sempat berpikir lebih jauh. Nih panggilan toilet merusak suasana makan siang. Pesanan baru saja datang, eh tahunya malah kebelet. Buru-buru aku melangkah kearah toilet wanita di bagian belakang. Lumayan lama juga harus mendekam di
Sementara itu sebuah mobil berhenti di sebuah jalanan yang sepi. seorang perempuan yang memegang kendali mobil mengerem mobil secara mendadak. Sehingga semakin membuat perempuan di sampingnya tersentak. "Kenapa kok bisa begitu sih. Kamu kurang hati-hati. Hampir saja semuanya berantakan untung kamu tidak ketahuan. Kalau kamu ketahuan aku juga kena imbasnya." Wanita yang duduk di sampingnya cuma bisa menunduk. "Maafkan Aku, Tuan Nyonya. Sungguh aku minta maaf. Semua ini memang kesalahanku. Aku kurang berhati-hati. Untung saja Nyonya cepat menghampiriku. Kalau tidak aku bisa dapat dikejar oleh mereka. Terima kasih banyak sudah menyelamatkan aku. Karena aku juga tidak mau sampai masuk penjara." Wanita dengan perut membuncit itu cuma menghela nafas panjang. Sambil sesekali tangannya mengelus perut. "Kalau sudah begini kecurigaan mereka semakin meningkat. Apalagi kulihat seperti nya Aliyah mulai mengetahui apa yang telah aku sembunyikan." wanita disampi
Seperti biasa jika hari libur, di jam seperti ini aku menghabiskan waktu untuk berolahraga. Pagi ini sengaja kumemilih untuk sekedar lari di sekeliling kompleks. Ketika pulang, dari kejuhan kulihat ada sebuah mobil terparkir di depan rumah. Seperti mata ini tidak asing dengan mobil tersebut. Setelah dekat, ternyata dugaanku benar, ini mobil Habib. Lelaki itu duduk di kursi teras rumah. Ada apa gerangan yang membawa pria itu datang kesini. Melihat kedatanganku, Habib dengan cepat berdiri. Aku heran dengan warna mukanya yang sedikit kusut. "Syukurlah kalau kamu sudah pulang.." Memangnya kenapa kalau aku pulang?. Heran saja melihat pria ini datang kemari. Masih pagi juga. "Ada apa kamu kesini?" Langsung saja aku bertanya tanpa basa-basi. Sudah bosan soalnya melihat mukanya yang suka berkhianat dulu. Sudah banyak juga kata-kata yang keluar dari mulutnya yang membuat hatiku terluka. "Kamu jangan judes gitu dong Aliyah!" "Tidak usah bany
"Darimana, Mas? Kok pergi tidak bilang-bilang. Mana lama lagi." Belum juga kaki ini melangkah masuk, pertanyaan Bilna sudah menyerbu. Ingin rasanya segera ku tendang wanita ini dari rumah ibuku. Tapi sayangnya ibu sudah terlanjur menyayangi Bilna dan bayimya. Tidak tega rasanya menyakiti perasaan ibu. "Dari kantor." Jawabku singkat "Kan hari libur." Banyak tanya amat Bilna. Suami baru pulang sudah di siram sama pertanyaan-pertanyaan. Dalam hati sudah begitu muak melihat mukanya, namun aku masih perlu untuk mengendalikan emosi. Aku belum tahu sepenuhnya rahasia wanita ini. "Banyak yang perlu di urus." Aku menjawab singkat saja. Dari pada menjawab panjang lebar pertanyaannya, lebih baik aku pergi ke lapangan golf langgananku. "Mau kemana, Mas" Lagi-lagi Bilna mencegatku. "Mau ngegolf." "Kalau begitu mana jatah buat shoping hari ini. Ini kan hari libur." Ini perempuan tahunya cuma uang, uang dan uang. Masa setiap minggu mau s
"Maassss... Tolong bukain sepatu Bilna Mass...!" Aku yang tengah sibuk di ruang kerja di kejutkan dengan suara Bilna yang memecah keheningan. Kebiasaan lama sih. Bedanya kalau dulu aku sangat senang dengan teriakannya seperti ini. Tapi sekarang teriakan-teriakan seperti ini justru membuatku gregetan. "Habib, kamu tidak dengar istrimu manggil?" Ibu datang menghampiri. Sebenarnya ada rasa kasihan melihat gurat wajahnya. Sabar dulu Bu. Anakmu ini sedang berusaha membuka kedok Bilna. Ada dua wanita yang sangat bertolak belakang dengan hatiku di rumah ini. Satu wanita yang sangat ku hormati, satu lagi wanita yang mulai ku benci.. "Apa dia tidak bisa membuka sepatunya sendiri?" "Kamu tidak boleh bertingkah seperti ini nak. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya sedang hamil. Penuhi saja permintaannya!" tidak mau membuat Ibu kecewa aku segera meninggalkan berkas-berkas yang sejak tadi kugeluti. Menuju ke arah sumber suara teriakan Bilna tadi. "Ko