Perutku keroncongan. Sepertinya minta di isi. Aku melangkah ke meja makan. Tapi di mana Ibu mertuaku? Ada baiknya Aku mengajaknya makan siang bersama. Ku cari kesana- kemari. Samar-samar ku dengar Ibu sedang mengobrol bersama Bilna di taman belakang. Memang ku akui, Bilna begitu pimtar mengambil hati beliau. Sehingga dia mampu akrab dengan Ibu mertuaku, dalam waktu yang belum lama. "Tante. Sepertinya Tante harus lebih cepat memiliki cucu deh. Kalau tidak kan kasihan perusahaan Om Yura akan jatuh ke tangan siapa. Mas Habib anak satu-satunya pula." "Iya, Bil. Tante juga berpikiran demikian. Tapi mau bagaimana lagi, Aliyah tidak kunjung hamil. Bagaimana menurutmu?" "Tan, maaf sebelumnya bukan Bilna mau ikut campur masalah keluarga Tante ya. Sebaiknya mereka itu lekas melakukan tes kesuburan. Biar kita tahu yang bermasalah siapa?. Kalau kita sudah tahu, maka kita bisa mencari inisiatif jalan keluarnya. Seperti bantuan medis gitukan. Atau siapa tahu juga si Mbak Aliyah
Aku tetap pura-pura tidak mengetahui akan pengkhianatan dua manusia yang justru orang-orang terdekatku itu. Aku lebih fokus ke pekerjaanku. "Tante Eri jangan pulang dulu ya, Tan. Hari ini kita mau lihat hasil tes kesuburan Mas Habib dan Mbak Bilna. Nanti biar Bilna juga ikut untuk nemenin Mbak Aliyah buat ambilkan hasil tesnya. Sekalian mau membezuk teman Bilna di rumah sakit. Mas Habib tetaplah untuk bekerja. Hitung-hitung saya mau turut membantu." "Niatmu sangat baik Bil. Tante nggak keberatan dengan niatmu. "Kemarin saya sudah menghubungi bos saya, Tante. Dia mengizinkan saya untuk tidak masuk hari ini." Lagi-lagi Bilna seperti terlalu bersemangat dengan hasil tes itu. Mengapa dia terlalu bersemangat bahkan cuma mau mengambil hasil tes saja dia rela meliburkan diri. Aneh. Aku saja biasa-biasa saja. Kok dia yang lebih sibuk di banding Aku. "Kalau sampai kamu mengorbankan hari kerjamu, mendingan nggak usah Bil. Biar Mbak saja yang ambil nanti." "Ng
Sejak hasil tes kami keluar, Ibu mertua dan suamiku mulai perlahan berubah sikap. Tidak lagi begitu peduli denganku. Aku bisa merasakan perubahan itu. Bahkan Ibu lebih perhatian ke Bilna dari pada kepadaku. Sedangkan Bilna tampak semakin berkuasa saja di rumah ini. Pagi hari di meja makan, Aku berniat sarapan bersama-sama dengan mereka. Ku ambil piring untuk mengambilkan nasi buat suamiku, tapi lagi-lagi Bilna mendahuluiku. "Nggak usah Mbak, biar Bilna saja yang ambilkan Mas Habib nasi!" Ujarnya cepat, sambil tangannya dengan cekatan menaruh sarapan buat suamiku. Lalu buat mertuaku. Seolah-olah dia mau mengambil peranku di rumah ini. "Iya, Aliyah. Nggak apa-apa Bilna yang ambilkan." Suamiku membenarkan kata-kata Bilna. Dari sudut bibirnya Aku melihat ada senyuman tipis yang menggambarkan kebahagiaannya. Apa yang dia bahagiakan? Sedangkan Aku masih saja terbawa-bawa rasa pilu karena surat keputusan dokter itu. Apakah Habib tidak merasakan kesedihanku.
"Haloo, Bilna sayang. Adikku yang tercinta juga perebut suamiku." Bilna kaget dengan kedatanganku. Rupanya kedatanganku kali ini sukses membuatnya ketakutan. Mungkin karena hadiah telapak tanganku di meja makan tadi memberitahunya bahwa dia bukanlah orang yang ku takuti. Kalau saja Aku mau bisa saja Aku buat kaki atau tangannya tidak berpungsi lagi. Tapi untuk apa. Nanti saja akan ku beri dia pelajaran yang lebih berarti "Apa yang kau inginkan dariku, Wanita Mandul." "Aku tidak menginginkan apa-apa darimu, Pelakor. Aku hanya ingin memberitahumu, bahwa sebagai Nyonya sah di rumah ini, Aku menyerahkan semua pekerjaan rumah tangga di rumah ini kepadamu." "Apa maksudmu? Aku bukan pembantu Mbak Aliyah!" "Kamu awalnya memang bukan pembantuku. Tapi karena kau yang telah memecat asisten rumah tanggaku, kau harus menggantikan posisi pembantu yang telah kamu pecat itu." "Aku tidak mau. Kamu curang." Bilna menolak dengan muka masam dan jengkel. Hahaha...
Pagi ini Aku sengaja bangun lebih lambat. Kubiarkan saja Bilna menyelesaikan semua urusan dapur seorang diri. Selagi ada mertuaku, Bilna selalu ingin bangun mendahuluiku. Padahal kalau Ibu sedang tidak di rumahku, dia bisa molor sampai telat berangkat kerja. Kali ini ku biarkan saja apa maunya, karena nanti pujian ibu mertuaku akan terdengar sepanjang sarapan. Padahal lauk dan segala macam itu dia pesan lewat online. Sengaja dia mengharuskan pesanan datang lebih awal, walaupun ia harus membayar sedikit mahal. Toh dia tidak membayar semua pesanan itu pakai uangku. Jadi masa bodoh saja. Peduli amat. Ibu dan Habib tidak pernah tahu kalau ternyata bukan Bilna yang memasak semuanya. Karena sebelum mereka keluar dari kamarnya, semua pesanan Bilna sudah sampai kerumah. Bahkan terkadang sudah terhidang di meja makan . Untuk menghilangkan jejak, ketika Ibu bangun, biasanya Bilna kelihatan menyibukkan diri dengan menggoreng ikan atau apalah. Bilna pikir Aku tidak tahu semu
"Mas, kapan kita memberitahu Mbak Aliyah akan hubungan kita yang sebenarnya. Apa yang Mas harapkan darinya? Dia tidak akan mampu memberimu keturunan?" Ku dengar suara wanita itu sedang berkeluh kesah di ruang tamu. Mereka tidak menyadari akan kehadiranku di sini. Tangannya memegang erat jari-jemari suamiku. Dengan wajah yang dibuat-buat seolah tersiksa. "Mengapa Mas tidak mau mengakuiku di depan Mbak Aliyah. Sedih Aku, Mas. Dulu Mas berjanji untuk segera menceraikan Mbak Aliyah. Tapi apa kenyataannya? Mana janjimu, Mas. Aku tidak ingin , Mas menunjukkan sikap tidak bertanggung jawab kepadaku." Mereka pikir hanya mereka berdua di rumah ini. Enak sekali dua manusia ini. Memangnya Ibu kemana ya? Kok mereka yakin sekali ngobrol seperti itu di rumah ini. "Si Mandul itu, tidak mungkin bisa memberimu anak, Mas. Disini ada Aku yang bisa memberimu keturunan. Apalagi yang membuatmu ragu untuk menikahiku?" "Bilna, kamu tidak usah meragukan Mas. Mas sayang sama kamu
Hari ini tepat hari pernikahan suami dengan Adikku. Aku tahu pernikahan ini bertentangan dengan pemikiranku. Tapi bukankah ini yang Habib dan Bilna inginkan? Biarlah mereka merasakan buah dari impiannya. Aku sibuk menyiapkan persiapan acara pernikahan mereka. Dan tak lupa pula Aku mengenakan kebaya moka yang terlihat anggun di padukan dengan warna kulitku. Sedangkan rambutku, ku biarkan tergerai. Ujung-ujungnya yang sengaja ku buat sedikit ikal, menambah kepercayaan diriku hari ini. Aku tidak boleh menangis. Ingat Aliyah! Tidak ada airmata ysng akan jatuh dari sudut mataku hari ini. Ini adalah hari yang bahagia buat Bilna. Meskipun hanya menikah siri, namun sudah cukup untuk membuat wanita itu bahagia. Apa yang membuatnya begitu berambisi untuk menjadi istri suamiku? Aku tidak mengerti. Dari ujung sana mataku menangkap sosok wanita bekebaya putih cerah dengan sanggul dan make up yang terlihat natural berjalan menuju ke arahku. Bilna. Dia Bilna. Perlahan dia mulai
Sejak adanya gelar istri kedua suamiku di rumah ini. Rumah ini serasa tidak nyaman seperti dulu lagi. Tidak ada lagi canda tawaku dan Habib ketika sarapan di pagi hari, tidak ada lagi cerita-cerita yang menjadi obrolan kami sebelum berkayar ke alam mimpi. Rumah tangga ini serasa hambar. Sikap Bilna yang pura-pura baik di depan Habib dan mertuaku, membuatku heran. Jika Habib telah berangkat kerja maka dia beralasan untuk keluar bersama teman-temannya. Menjelang Habib pulang maka dia baru kembali. Aku tidak berniat menyampaikan kelakuannya kepada mertua dan suamiku. Karena ucapanku mana di percaya. Bisa-bisa Aku hanya di bilang iri pada Bilna. Lebih baik Aku mebutup mulut. Biarlah waktu yang akan memberitahu mereka, bagaimana kelakuan Bilna sesungguhnya. Lagi pula semua itu bukan urusanku. Dia kan sudah menjadi pilihan terbaik buat Habib dan Ibu. Kebanggaan mereka terlanjur tinggi terhadap Bilna. Hingga wanita itu telah merasa sedang meniti puncak keberhasilannya.