Home / Romansa / Gelar Mandul dari Gundik Suamiku / Bab 2 Mereka Membeli Alat Kontrasepsi

Share

Bab 2 Mereka Membeli Alat Kontrasepsi

last update Last Updated: 2022-07-11 11:45:16

     Jalanan begitu macet, bisa-bisa aku sampai tengah malam kalau terus-terusan begini. Ku belokkan arah mobilku, mencari rute jalan lain. Agak jauh memang, tapi dari pada harus menunggu berjam-jam. Terpaksa Aku berputar haluan. 

     

    Cuaca yang panas, membuat Kerongkonganku terasa begitu kering. Kuputuskan untuk berhenti sejenak di sebuah toko, mungkin sebotol minuman dingin bisa meredakan haus ku. Aliran minuman yang  sejuk dibkerongkonganku berhasil membuat hausku hilang.

    

     Tiba-tiba mataku menangkap dua sosok yang ku kenal, menuju sebuah klinik. Ku tajamkan mataku. Benar, itu mereka. Habib dan Bilna. Apa tujuan suami dan Adikku itu kesana?. Dengan pelan, ku buntuti mereka. Kali ini sepertinya Aku tidak boleh membuat keributan di sini. Ku ambil gawaiku dan ku potret mereka. Habib merangkul pundak Bilna. Hubungan mereka tidak nampak seperti layaknya kakak beradik. Tapi sepertinya lebih dari itu.

     

     Beberapa lama kemudian, mereka keluar kembali.  Mereka bergandengan tangan layaknya sepasang kekasih. Tidak sadar kau, Bilna. Yang kau genggam tangannya itu adalah kakak iparmu. Suami dari Mbakmu sendiri. Mereka tidak menyadari kehadiranku di sana.  Kubiarkan saja mereka berlalu.Buat apa Aku mengejarnya. Tidak baik membuat keributan di tempat umum.

     

     Aku menghampiri petugas yang tadi melayani mereka.

     

     "Maaf Mbak, saya boleh bertanya. Apa tujuan dua orang yang barusan kemari Mbak. Soalnya mereka itu adik kandungku, Mbak. Takut kalau-kalau dia memiliki penyakit serius. Saya takut dia menyembunyikan sesuatu dari saya."

     

     "Oh mereka yang suami istri barusan, mereka bukan sakit, Bu. Tapi hanya memesan alat kontrasepsi. Ibu ini ada-ada saja."

     

     Petugas kesehatan itu tersenyum cengengesan. 

     

     "Ooooh begitu.  Heheee terima kasih, Mbak. Kirain mereka cek kesehatan."

     

     "Iya Mbak sama-sama. Lagian juga mereka itu sudah langganan di sini."

     

     Berarti mereka membeli alat kontrasepsi. Sudah sering pula.  Buat apa coba kalau tidak untuk berbuat macam-macam. Kalau hanya untuk membeli pesanan orang kan cukup sekali dua kali. Ini mah kalau sudah langganan, artinya itu dari mereka sendiri yang membutuhkannya. 

     

     Kemungkinan besar kecurigaanku benar. Ada hubungan serius di antara mereka. Insting seorang istri memang jarang meleset. Ini alasan keduaku untuk curiga pada mereka.  Alasan yang lumayan kuat. 

     

     Rupanya jalanan macet telah membuka salah satu aktivitas mereka. Coba kalau tadi Aku tidak berubah haluan, tidak mungkin Aku bisa mengetahui semua ini.

     

     Sesampainya di rumah, Aku cukup bersikap seperti biasanya. Hanya saja Aku malas untuk berbicara.

     "Kenapa sayang? Kok kelihatan jutek? Ada masalah di kantor ya? Ceritain dong sama Papa."

     

     "Enggak, Pa. Cuma kecapean saja."

     

     Sedangkan Bilna hanya berdehem pendek melirik ke kami. Seperti lirikan tidak suka. Aneh...

     

     

  ***   

     

     Pagi-pagi sebelum berangkat kerja, Ibu Mertuaku datang berkunjung. Aku menunda keberangkatanku sejenak.

     

     "Eh Tante Eri. Mau saya bikinin minuman apa Tan?"

     

     Bilna Adikku mendahuluiku untuk menawari Ibu mertuaku.

     

     "Halaah nggak usah repot-repot."

     

     "Nggak apa-apa Tante, Mbak Aliyah juga mau berangkat kerja. Jadi kita ngobrol berdua saja Tante. Oh ya kalau Mbak mau berangkat kerja silahkan, Mbak. Biar Bilna saja yang menemani Tante Eri. Iya kan Tan?"

     

     "Iya nggak apa-apa. Sungguh beruntung kamu, Aliyah. Punya seorang adik yang ramah, perhatian sama orang tua. Cantik lagi."

     

    "Iya, Ma. Kalau begitu saya pamit pergi dulu ya, Ma. Kan ada Bilna juga. Nggak Apa-apa ya, Ma. Saya tinggal dulu.

    

     Bilna tersenyum lebar mendengar tutur kata mertuaku yang memujinya. Selama ini dia memang dekat dengan mertuaku. Entah mengapa seolah dia yang selalu berusaha mendekatkan diri. Sering dia berkunjung kerumah mertuaku itu. Membawa oleh-oleh segala macam. 

     

     Sedang di rumah ini tak pernah sekalipun dia membeli apa-apa walaupun sekedar buah-buahan. Sedangkan setiap minggu, bahkan lebih dari sekali dia mengunjungi mertuaku. Mengajak mertuaku itu jalan-jalan dan sebagainya.

     

     Sebenarnya Aku tidak merasa itu masalah. Awalnya juga Aku bangga punya adik yang royal kepada keluarga suamiku yang notabene keluargaku juga. Hanya saja, caranya itu terlalu berlebihan. Ketika ada mertuaku, dia tidak mengizinkanku mengerjakan apapun. Dia memasak, beres-beres, bahkan Asisten rumah tanggaku saja sering tidak kebagian tugas. Ketika di tanya mertuaku, dia hanya menjawab.

     

     "Buat apa ngebayarin pembantu, Tante? Kita sendiri bisa menyelesaikannya. Buang-buang duit saja. Pemborosan."

     

     "Luar biasa kamu, Bilna. Mampu bekerja sekalian mengerjakan tugas rumah tangga."

     "Biasa saja, Tante. Lagi pula rumah kakak saya, sama saja sama rumah saya sendiri."

     Padahal kalau Ibu sudah pulang, sedikitpun dia tidak mau ikut andil mengerjakan pekerjaan rumah. Entah sepertinya dia sedang ingin menarik perhatian Ibu mertuaku.

     

     "Semoga kamu segera di beri jodoh yang setara denganmu, Bilna."

     

     "Amiin Tante. Dan semoga juga setelah kami menikah, kami segera di beri momongan. Iya kan Mbak?"

     

     Bilna melirik ke arahku. Seperti menyindirku saja perempuan ini.

     

     "Iya, Bil. Amiiiiin semoga kamu segera di beri jodoh yang sesuai denganmu."

     

     "Amiin. Terkadang juga kita tidak mengetahui ya, Tante. Banyak yang masih menjadi misteri akan siapa jodoh kita. Tak terduga juga biasanya orang terdekat kita sendiri."

     

     Ucapan Bilna seperti mengartikan sesuatu. Apa mungkin dia sedang menggambarkan dia berjodoh dengan suamiku.

     

     Ah mungkin ini cuma sisi negatif dari pikiranku saja. Aku harap demikian

Bersambung...

     

     

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelar Mandul dari Gundik Suamiku   Bab 72

    Bab 72Dugh!Honor pensiun?Haduh, mati aku! Kenapa Pak Tohir malah bicara soal honor pensiun sih? "Hmm ... Honor pensiun selalu kukirimkan pada mantan istriku, Pak. Menurutku anakku jauh lebih membutuhkan uang itu daripada saya." jawabku cepat.Untung aku cepat berpikir ke arah sana. Jadi tidak ketahuan kalo sebenarnya setiap bulan tidak ada yang namanya uang pensiun untukku. Lagipula aku tidak punya anak kan, he ... he ...!"Oooh, pemikiran seorang ayah yang baik." Pak Tohir menganggukkan kepalanya.Aku menghela nafas panjang, setidaknya aku bisa membuat Pak tohir percaya kalau aku memang benar-benar mendapatka uang pensiun setiap bulan. Berbohong memang tidak di larang demi bisa menjaga nama baik diri kita sendiri bukan? Memangnya siapa lagi yang akan menjaga nama baik kita selain dari diri kita sendiri?*** Pagi ini aku kembali menyetirkan sepeda motor bututku menuju ke kompleks mewah dimana kemarin aku bekerja. Huuh, untuk sementara tidak apa-apa lah aku bekerja seperti ini

  • Gelar Mandul dari Gundik Suamiku   Bab 71

    Bab 71"Itu, tetangga sebelah, Bib.""Ooh ..!" Aku ber oh ria."Katanya dia mau minta tolong juga sama kamu buat bersihin paritnya juga. Soalnya tukang kebunnya lagi cuti. Kamu mau kan?" lanjut Pak Tohir."Boleh kok.. mau banget malah. Kebetulan aku lagi butuh banyak uang nih." celetukku.Tentu saja aku sedang membutuhkan uang sekarang. Soalnya mulai besok aku ingin mencoba untuk melamar pekerjaan baru dan itu aku butuh bensin tentunya. Beli bensin sekalian rokok itu sudah cukup untuk membuatku susah mencari uangnya. Tidak seperti dulu. Kalau dulu mah dua barang itu adalah dua hal yang sangat mudah untuk aku dapatkan. Ah beginilah nasib yang diberikan tuhan. Kadang terasa tidak adil memang.Setelah beberapa saat lamanya, aku memutuskan untuk memulai pekerjaan.Dengan semangat aku menggeluti pekerjaan ini. Aku mulai menebak, berapa kira-kira uang yang akan diberikan oleh anaknya Pak Tohir nanti. Siapa tahu lima ratus ribu. atau bisa-bisa lebih mengingat anaknya ini adalah seorang dok

  • Gelar Mandul dari Gundik Suamiku   Bab 70

    Bab 70Aku fokuskan kembali pendengaranku agar lebih baik. Entahlah karena rasa benci ku padanya juga membuat aku penasaran dengan apa sebenarnya yang mereka obrolkan. Orang-orang biasa menyebut sifatku ini kepo. Tapi aku peduli amat.Ternyata tidak meleset pendengaranku sebelumnya, bahwa laki-laki itu benar-benar menolak ajakan temannya untuk berlibur hanya karena ayah dan anak mereka.Busyet sekali. Mungkin saja dengan cara itu ia sudah merasa menjadi pahlawan untuk Aliyah. Aku yakin sekali anggapanmu itu pasti salah, Rama. Andaikan saja kau sadar pada kenyataannya akulah yang lebih lama hidup bersama aliyah dibanding kamu yang baru beberapa tahun saja menikahinya. Jadi, aku belum merasa kalah dibanding kamu. Memang itu kenyataan kok.Beberapa saat kemudian aku lihat laki-laki itu pergi meninggalkan teman yang tadi berusaha merayunya untuk pergi berlibur bersama tanpa keikutsertaan Aliyah. Kulihat ada raut kesal pada wajah temannya yang ia tinggalkan.Ingin rasanya aku merebut A

  • Gelar Mandul dari Gundik Suamiku   Bab 69

    Siang ini serasa aku tidak berselera untuk menyelesaikan semrawut agenda pekerjaan di perusahaan. Batinku masih terbayang-bayang dengan sikap Aliyah yang sedang menaruh curiga padaku. Aku memilih untuk duduk di restoran seorang diri. Biasanya aku sangat bersemangat untuk pulang dan menemui Aliyah dan juga Bian. Tapi kali ini aku merasa pasti akan sia-sia bila aku pulang. Sebab Aliyah pasti akan kembali mengabaikan aku. Sesuatu yang cukup membuatku tersiksa."Hai...!" aku di kejutkan dengan suara yang tidak terlalu asing di telingaku.Aku menoleh."Jhoni? Kamu lagi?" Jhoni terlihat tersenyum menanggapi respon dariku. "Sendirian ajah?" tanyanya."Iya nih." jawabku."Kenapa nggak bareng temen?" tanyanya."Ah sesekali menyendiri, Jhon." jawabku datar."Kenapa malah terlihat sendu, Bro? kamu punya masalah apa? Hayoo ngaku,! Iya, kan? Sini ..! Cerita sama aku ajah!" Jhoni duduk di depanku setelah memesan santap siangnya."Ah enggak, aku nggak punya masalah apa-apa kok." jawabku menyembu

  • Gelar Mandul dari Gundik Suamiku   Bab 68

    Bab 68Hari ini aku berniat menyibukkan diri dengan kegiatan bersama beberapa teman kantor. Kebetulan ada sebuah kegiatan yang diadakan hari ini.Biasanya di hari libur seperti ini, aku akan senantiasa berlibur bersama Rama dan Bian, putraku. Kalaupun ada kegiatan, aku biasa memilih untuk tidak ikut, sebab waktu bersama keluarga lebih penting bagiku.Tapi tidak dengan hari libur kali ini. Aku seperti tidak berselera untuk menghabiskan waktu bersama Rama. Laki-laki yang baru saja membuat hatiku terluka.Sederetan pesan yang sedemikian gamblang menunjukkan siapa si pengirim pesan, membuatku sulit untuk mempercayai kata-kata ramah. Untuk saat ini, aku merasa tak bersimpati sedikitpun dengan segenap alasan yang ia utarakan. Bisa saja itu hanyalah salah satu cara yang Rama tempuh untuk mengambil kepercayaanku kembali. Tidak Rama! Tidak akan semudah itu untuk mengembalikan kepercayaan ini.Memang ini pertama kalinya seumur-umur pernikahan kami aku mendapati ujian seperti ini. Dan ini merup

  • Gelar Mandul dari Gundik Suamiku   Bab 67

    Bab 67"Siapa yang mengirimkan pesan seperti ini? Siapa?"[Rama, aku tunggu kamu di depan Mutiara Hotel ya. Sesuai sama janji kamu kemarin. Masih ingat kan kamu bilang apa. Oke deh ditunggu malam ini. Seperti biasa, jam 08.00 malam jangan lupa. Hmm... Jangan sampe ketahuan Aliyah ya, Sayang.]Degh!Jantungku berdegup, apa maksudnya coba.[Oh ya, Rama, jangan lupa katanya kamu pengen beliin aku cincin buat hadiah ulang tahunku besok? Makanya sebaiknya kamu nginep aja malam ini di Mutiara hotel, biar pagi besok kita langsung ke toko perhiasan buat memenuhi janji kamu. Aku pengen kamu beliin aku liontin yang berwarna biru. Hehee]Aku semakin tidak mengerti dengan pesan itu. Aneh benar-benar aneh.Sementara aku melihat jekas ekspresi marah pada wajah istriku.Aku tidak bisa menyalahkannya. Bagaimanapun aku bisa memposisikan diri sebagai dirinya yang merupakan istriku. Jujur saja jika seandainya aku yang berada pada posisinya saat ini tak urung aku juga pasti akan termakan emosi. Siapa ya

  • Gelar Mandul dari Gundik Suamiku   Bab 66

    Bab 66"Gimana, Mas, apa Rama mau kamu ajak ke puncak?" Intan, wanita penghibur langganan ku bertanya.Aku menghela nafas,"Belum bisa katanya, Tan." jawabku pendek."Lhoo, kenapa? Apa dia nggak tertarik sama fotoku?"Yaaah, aku lagi-lagi menarik nafas panjang. Memang kemarin itu Intan memintaku untuk memperlihatkan potretnya pada Rama, dengan harapan Rama mau kuajak ke puncak. Tentu saja Intan menunggu kami di sana. Rencanaku, aku berharap Rama mau menuruti kemauanku, dan secara tidak langsung dia bakalan kujadikan alat untuk tidur bareng Intan di puncak. Tapi nyatanya laki-laki:takut istri itu menolak."Kenapa malah diam, Mas Jhon? Apa kamu sengaja ya nggak pamerin fotoku sama dia? Kalau begitu mah mana mau dia ke puncak. Coba kalau Mas memperlihatkan potretku itu padanya, dijamin deh dia bakalan mau turut serta."Aduh, kamu salah besar, Intan. Rama tidak semudah itu.Meski tidak kupungkiri aku belum menyodorkan foto Intan padanya. Tapi sebelum aku melakukan itu, aku sudah dikecew

  • Gelar Mandul dari Gundik Suamiku   Bab 65

    Bab 65Rama memang keterlaluan. Terlalu b*doh dia di mataku untuk sok menasehati. Pake menyarankan aku untuk menghargai Nayla segala.Nayla mah tetaplah Nayla, gemuk, pendek, dan nggak menarik sama sekali. Meski di modalin berapa saja, dia tetep ajah gendut dan jelek. Yang ada nanti cuma buang-buang duit ajah. Kan tambah rugi akunya. Bener-bener nggak deh kalo harus modalin Nayla ***"Nayla! Kamu dari mana ajah, ini kok meja makan kosong gini. Kamu tahu nggak kalo suami pulang di jam segini? Kenapa nggak nyiapin makan siang?" aku bicara membentak pada wanita yang telah aku nikahi sejak lima belas tahun yang lalu.Kulihat tubuh bongsornya bergerak-gerak ketika ia berjalan, membuatku bergidik jijik. Uuuh, rasanya aku menyesal telah menikahi wanita segemuk dia. Bener-bener istri yang nggak bisa menjaga dan mengurus tubuhnya agar tetap ideal."Jawab aku Nayla, kenapa kamu nggak nyiapin makan siang buat aku?" dekali lagi aku menekankan pertanyaan padanya karena dia belum juga menjawab p

  • Gelar Mandul dari Gundik Suamiku   Bab 64

    Bab 64 Aku tertegun dengan cara berpikirnya Rama. Cara berpikirnya sungguh berbeda dengan cara berpikirku. Tidak, aku tidak setuju dengan cara pandangnya dia. Aku berpikir bagaimana caranya agar aku bisa menyadarkannya. Aku tak sampai hati jika melihatnya selalu dalam penguasaan istrinya. Istrinya memang cantik sih, tapi sebagai lelaki seharusnya dia tidak boleh hanyut dalam pesona kecantikan perempuan. Akhirnya aku mendapatkan ide bagus."Ram, gimana kalo kita jalan bareng hari ini? Kita ke puncak. Besok kan masih hari libur, jadi kita bisa bermalam di sana. Itung-itung refreshing otak. Gimana? Kamu mau, kan?"Aku harap-harap cemas menanti jawaban dari Rama. "Aduh, aku hari ini udah terly buat janji sama Bian, dia pasti nagih janji sama Papa dan Mamanya." Aku melengos."Bian anakmu?" keningku terasa berkerut."Iya, memang siapa lagi."Rasanya kalau lama-lama berada di dekat Rama Aku bisa gila rasanya. Entahlah aku menilai Rama seperti sudah tidak punya ruang lingkup sendiri, di

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status