Share

Gelora Berbahaya Calon Mertua
Gelora Berbahaya Calon Mertua
Author: Daisy Quinn

Bab. 1.

Author: Daisy Quinn
last update Last Updated: 2025-08-19 11:31:53

Celina terpojok di sudut kamar hotel yang remang, tubuhnya bergetar menahan rasa takut. Nafasnya memburu, seakan udara di dalam ruangan itu semakin menipis. Matanya terpaku pada sosok pria dewasa yang berdiri beberapa langkah di depannya—Bramantyo. Tatapan matanya tajam, namun dibalut dengan bara hasrat yang membuat darah Celina membeku.

Dengan gerakan santai namun penuh tekanan, Bramantyo membuka kancing atas kemejanya. Suara desisan napasnya terdengar jelas di telinga Celina. Ia lalu meraih dasi yang melingkar di lehernya, melepaskannya, dan melemparkannya begitu saja ke lantai.

“Kau tidak bisa lari dariku, Celina,” suaranya dalam, serak, dan mengandung ancaman. “Sejak awal aku sudah memperingatkanmu… sekali masuk dalam kehidupanku, kau tidak akan bisa keluar lagi.”

Celina menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang hampir pecah. “Tolong, Om Bram… jangan lakukan ini. Aku… aku tidak pernah ingin berada di sini.” Suaranya lirih, penuh ketakutan, namun tetap berusaha tegar.

Bramantyo melangkah mendekat. Setiap langkahnya terdengar seperti dentuman keras di dada Celina. Ia menunduk sedikit, menatap wajah gadis itu yang kini memucat. Senyum sinis terukir di bibir pria itu.

“Jangan pura-pura suci, Celina. Kau tahu betul mengapa aku memilihmu. Kau berbeda… dan aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.”

Celina menunduk, kedua tangannya meremas ujung gaunnya. Jantungnya berdetak cepat, seakan hendak meledak. Ia sadar, semakin lama ia bertahan di kamar itu, semakin besar bahaya yang mengintainya.

Namun di balik ketakutannya, ada secercah tekad yang mulai tumbuh. Matanya perlahan mengeras, meski tubuhnya masih gemetar.

“Aku tidak akan menyerah begitu saja, Om Bram,” bisiknya, hampir tak terdengar. “Lebih baik aku mati… daripada menyerahkan diriku padamu.”

Tatapan Bramantyo seketika berubah, terkejut sekaligus tertantang oleh keberanian Celina yang tak

Celina semakin terdesak ke dinding, tubuhnya bergetar hebat. Air mata sudah membasahi pipinya, namun pria di depannya sama sekali tak tergoyahkan. Bramantyo—sosok dewasa yang selama ini ia hormati—tampak kehilangan kendali. Matanya merah, pupilnya membesar, napasnya memburu.

“Om Bram, tolong hentikan ini…” suara Celina parau, hampir tercekik oleh tangis. “Aku… aku kekasih Rian. Putra Om Bram sendiri! Apa Om sadar dengan apa yang sedang Om lakukan?”

Kata-kata itu meluncur terbata-bata, penuh harap agar logika pria itu tersentuh. Namun Bramantyo hanya terdiam beberapa detik, sebelum tertawa kecil—tawa yang asing, penuh kegilaan.

“Rian? Hah…” Bram melangkah pelan, bayangan tubuhnya kian menelan Celina. “Anak itu tidak pernah tahu bagaimana caranya menjaga sesuatu yang berharga. Kalau dia benar-benar mencintaimu… dia tidak akan membiarkanmu ada di sini, bersamaku.”

Celina menggeleng keras, mencoba meraih sisa-sisa kewarasan Bram. “Tidak! Ini bukan Om Bram yang sebenarnya! Ada yang salah dengan Om ..."

Tiba-tiba Celina terhenti. Ingatannya melayang pada kabar singkat yang sempat ia dengar sebelum Bram membawanya ke kamar hotel ini. Ada yang bilang, seseorang mungkin telah memasukkan sesuatu ke dalam gelas wine Bram saat jamuan tadi. Dan kini, melihat tatapan kosong bercampur liar itu, Celina yakin dugaannya benar.

“Om .. dengarkan aku…!” Celina berusaha mendekat, meski ketakutan mencekik. “Om sedang tidak sadar… ada yang menjebak Mas! Itu semua ulah orang yang ingin menghancurkan Mas. Tolong… jangan biarkan aku menjadi korban dari niat jahat mereka!”

Namun Bramantyo menatapnya dengan mata yang semakin panas. Nafasnya tak beraturan, gerakannya kaku namun liar, jelas dikendalikan sesuatu yang tak normal.

“Diam, Celina…” suaranya berat, bergetar seperti menahan gejolak. “Jangan sebut-sebut anak itu lagi di hadapanku. Malam ini… hanya ada kau dan aku.”

Celina mundur setapak demi setapak, hingga punggungnya menempel pada dinding dingin kamar hotel. Jantungnya berdentum keras, tubuhnya semakin gemetar. Dalam hati, ia hanya bisa berdoa—semoga ada keajaiban, semoga pintu terbuka, semoga Rian atau siapa pun datang menyelamatkannya… sebelum semuanya terlambat.

Bramantyo akhirnya meraih lengan Celina dengan kasar. Tubuh mungil itu ditarik tanpa ampun, hingga ia terhempas di tepi ranjang hotel yang luas namun terasa seperti penjara baginya. Celina terjerembab, air matanya mengalir deras, suara tangisnya pecah penuh kepiluan.

“Om ... jangan… tolong hentikan ini…,” suaranya lirih namun parau, seperti tercekik oleh rasa takut. Ia mencoba menyingkir, merangkak mundur ke sudut ranjang, tapi jemari kuat Bram lebih dulu mencengkeram bahunya.

“Sudah terlambat, Celina…” Bram berbisik di telinganya, suaranya berat dan terdengar asing, seolah bukan dirinya sendiri. Aroma alkohol dan keringat bercampur, semakin membuat Celina sesak. “Malam ini… kau milikku.”

Celina menjerit kecil, lalu menangis semakin keras. Hatinya berteriak, Ya Tuhan, apa aku akan berakhir di tangan pria ini? Calon mertua yang seharusnya aku hormati…

Tangannya bergetar, mencoba menahan tubuh Bram yang menindihnya, tapi kekuatannya tak sebanding dengan pria dewasa yang tubuhnya jauh lebih kokoh. Celina hanya bisa meronta, panik, dan terisak.

“Aku mencintai Rian!” teriaknya putus asa. “Aku kekasih anakmu sendiri, Om! Kau sadar tidak, apa yang akan kau lakukan?! Jika Rian tahu—”

Namun kata-katanya terputus oleh geraman Bram yang seperti kehilangan seluruh akal sehat. “Diam! Aku tidak peduli!”

Air mata Celina kian deras. Dalam hatinya, ia merasa inilah akhir. Sebuah akhir yang memilukan, di tempat yang salah, di tangan pria yang tak pernah ia bayangkan akan menjadi ancaman sebesar ini.

Namun jauh di lubuk hatinya, secercah harapan masih ada. Celina tahu, ia tidak boleh menyerah begitu saja. Jika ia tidak melawan, segalanya akan berakhir malam ini juga.

Celina terus meronta, air matanya membasahi pipi. Suaranya parau, memohon dengan segala tenaga yang tersisa.

“Om, tolong lepaskan aku… aku mohon… jangan lakukan ini pada aku,” isaknya, tubuhnya bergetar ketakutan.

Namun, tatapan Bram yang sudah dikuasai bara nafsu tampak gelap. Pria paruh baya itu mendekat, langkahnya berat dan penuh tekanan, membuat Celina semakin ciut di sudut ranjang.

“Sudah terlambat, Celina…” ucap Bram dengan suara serak, nafasnya memburu. “Kamu terlalu cantik untuk dibiarkan begitu saja. Aku sudah terlalu lama menahan diri.”

Celina mengguncang kepala, mencoba melawan rasa takut yang semakin melilit. Tangannya terangkat, menahan dada Bram yang semakin mendekat.

“Om, aku kekasih Rian! Aku akan menikah dengan dia… apa Om tidak takut dia tahu?!” serunya di antara tangis.

Sekilas, tatapan Bram mengeras mendengar nama putranya disebut. Namun, hanya sepersekian detik sebelum bibirnya melengkung sinis.

“Rian terlalu polos untuk tahu bagaimana cara memiliki wanita. Dia tidak akan pernah bisa menjagamu sebaik aku, Celina.”

Tubuh Celina semakin terpojok. Dinding kamar yang dingin menekan punggungnya, sementara bayangan Bram menutupinya sepenuhnya.

“Om… jangan… aku mohon…,” bisiknya lagi, suaranya nyaris hilang ditelan detak jantung yang berpacu cepat.

Bram meraih dagu Celina, mengangkat wajah gadis itu agar menatap matanya.

“Kamu milikku malam ini,” katanya dingin, tanpa rasa bersalah.

Celina menutup mata rapat-rapat, hatinya berteriak minta pertolongan. Dalam batinnya, hanya ada satu harapan—semoga seseorang datang menyelamatkannya sebelum semuanya terlambat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 25

    Bram akhirnya berhasil meraih tubuh Celina. Dengan kasar ia menariknya ke dalam pelukan, mendekap erat seolah tak mau melepaskannya lagi. Nafas hangatnya menerpa wajah Celina, dan tanpa ragu, pria itu mencium bibirnya dengan penuh nafsu dan semangat yang membara. Celina kalang kabut. Tubuhnya meronta, kedua tangannya menekan dada Bram sekuat tenaga, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman yang begitu kuat. Air mata bercucuran, bercampur dengan rasa takut yang membuat dadanya sesak. “Om! Jangan... kumohon hentikan! Lepaskan aku!” jeritnya parau, suara tercekik di sela tangis. Namun Bram tak peduli. Semakin Celina berusaha melepaskan diri, semakin kuat ia menahan. Ciumannya semakin menuntut, seperti pria yang tak pernah mengenal kata puas. Celina mencoba memalingkan wajahnya, tetapi dagunya digenggam kasar, memaksa dirinya tetap menghadap Bram. “Aku benci kau! Lepaskan aku!” isak Celina, berusaha menendang dan mendorong tubuh besar di depannya. Bram tersenyum tipis di sel

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 24

    Celina baru saja memejamkan matanya ketika suara klik halus terdengar dari arah pintu. Awalnya ia mengira hanya perasaannya saja, tetapi suara itu kembali terdengar, jelas sekali—seperti bunyi kunci yang diputar. Sekejap tubuhnya menegang. Celina sontak terduduk, jantungnya berdentum kencang seolah ingin meloncat keluar. Pandangannya terpaku pada gagang pintu yang perlahan bergerak. Siapa itu? batinnya panik. Dan benar saja. Begitu pintu terbuka sepenuhnya, sosok yang paling ia hindari berdiri di ambang pintu. Bram. Pria itu melangkah masuk tanpa permisi, tatapannya dingin, senyumnya menyeringai seakan menikmati ketakutan Celina. Celina mundur beberapa langkah ke arah ranjang, suara gemetar keluar dari bibirnya. “Om.. apa yang Om akukan di sini? Bagaimana bisa masuk?” Bram menutup pintu dengan tenang, lalu memutar kuncinya dari dalam. Bunyi klik kecil itu membuat bulu kuduk Celina meremang. “Aku sudah bilang, Celina... kau tak akan pernah bisa bersembunyi dariku.”

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 23

    Pintu kamar Rian terbuka perlahan. Celina masuk dengan hati-hati, membawa nampan kecil berisi semangkuk bubur hangat. Aroma kaldu ayam yang lembut segera memenuhi ruangan, bercampur dengan bau obat yang masih samar. Rian, yang sejak tadi berbaring, menoleh pelan. Senyumnya muncul tipis, seolah kehadiran Celina saja sudah cukup membuatnya merasa lebih baik. “Kau membuatkan bubur untukku?” suaranya serak tapi penuh syukur. Celina tersenyum samar, berusaha terlihat tenang meski hatinya masih diliputi kegelisahan. “Iya, makanlah sedikit dulu. Perutmu tidak boleh kosong.” Ia meletakkan nampan di meja kecil, lalu duduk di sisi ranjang. Dengan lembut, ia meniup sendok berisi bubur agar tidak terlalu panas, lalu menyodorkannya ke bibir Rian. Rian menerima suapan pertama dengan sabar, lalu menatap Celina dalam diam. Matanya seolah membaca lebih dari sekadar wajah yang tersenyum. Ada guratan lelah, dan sesuatu yang disembunyikan. “Kau terlihat berbeda,” ucap Rian tiba-tiba. Celi

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 22

    Bram berdiri terpaku di dalam kamar yang kini hening. Pintu masih terbuka, berayun pelan seakan mengejeknya. Nafasnya berat, dadanya naik-turun tak beraturan. Bayangan wajah Celina yang berlinang air mata terus menghantam benaknya tanpa ampun. Tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Rasa kesal, marah, dan penyesalan bercampur jadi satu, membuatnya ingin menghantamkan tinju ke dinding. Namun, tubuhnya justru lemas, seakan semua tenaga tersedot oleh perasaan yang berkecamuk. Kenapa aku sampai seperti ini? pikirnya, rahangnya mengeras. Kenapa aku begitu terobsesi padanya? Ia membungkuk, menekan dahinya dengan telapak tangan. Kilatan rasa bersalah menusuk hatinya, tapi obsesi yang sudah terlanjur mengakar membuat pikirannya semakin kusut. “Rasanya aku mulai gila…” rutuknya dalam hati, suara batinnya getir. Bram menutup mata, mencoba menenangkan diri, namun semakin ia berusaha, bayangan Celina justru semakin jelas. Senyumnya, tatapannya pada Rian, sikap lemb

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 21

    Celina baru selesai mandi. Uap tipis masih melekat di kulitnya, aroma sabun wangi lembut menempel di udara. Ia mengenakan dress berwarna cokelat tua yang jatuh anggun di tubuhnya. Rambutnya sengaja diikat ke belakang, sederhana namun justru membuat wajahnya tampak lebih segar. “Rian, aku buatkan bubur dulu, ya,” ucap Celina lembut sambil menoleh pada pria yang masih berbaring lemah di ranjang. Rian tersenyum samar, sorot matanya penuh rasa syukur. “Hati-hati, jangan terburu-buru.” Celina mengangguk, lalu melangkah keluar dari kamar dengan hati-hati. Namun, baru saja pintu kamar ditutup, Celina terhenti sejenak. Tepat di hadapannya, pintu kamar lain terbuka. Dari seberang, sosok Bram muncul. Tatapan mereka langsung bertemu. Sesaat ruangan itu seakan dipenuhi keheningan yang menekan. Bram berdiri tegap, mengenakan kaos hitam dan celana santai, tetapi sorot matanya menusuk, seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa terucap. Celina menundukkan wajahnya cepat, berusaha menjaga sik

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 20

    Bram berjalan keluar kamar dengan langkah berat, menutup pintu begitu hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Tapi begitu pemandangan itu menghilang dari matanya, amarah yang tadi ia tahan meledak di dalam dada. Ia menuruni tangga dengan cepat, wajahnya memerah menahan emosi. Begitu tiba di ruang tamu, tangannya meraih gelas kristal di meja lalu melemparkannya ke dinding. Prak! Suara pecahan memenuhi ruangan. Asisten rumah tangga yang mendengar segera berlari keluar dari dapur, namun seketika menahan diri begitu melihat wajah Bram. Tatapan pria itu tajam, penuh bara api. “Keluar!” bentaknya singkat. Asisten itu menunduk, lalu segera pergi meninggalkan Bram sendirian. Bram menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menengadahkan kepala dengan napas tersengal. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bayangan Celina yang tertidur dengan lembut di sisi Rian, masih tergambar jelas di kepalanya. Genggaman tangan mereka—sesuatu yang sederhana namun membuatnya ingin menghancurkan semuany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status