Share

Bab. 2

Author: Daisy Quinn
last update Last Updated: 2025-08-21 11:38:17

Celina menangis terisak, tubuhnya gemetar hebat. Matanya menoleh perlahan ke arah samping, tempat Bram sudah terlelap, mendengkur lelap seakan tak pernah terjadi apa-apa. Nafas pria itu teratur, begitu tenang, begitu puas—sementara hidup Celina seolah hancur berkeping-keping.

Selimut yang menutupi tubuhnya diremasnya dengan kedua tangan yang bergetar. Air matanya menetes tak terbendung, bercampur dengan rasa jijik yang membakar dada.

“Kenapa… kenapa harus aku…” bisiknya lirih, suaranya pecah.

Wajah Bram yang terlelap membuat Celina semakin tersayat. Pria itu seharusnya menjadi sosok yang dihormati, calon mertua yang akan merestui cintanya dengan Rian. Namun kenyataan malam ini justru merampas segalanya.

Dengan mata sembab, Celina menatap kosong ke langit-langit kamar.

“Aku benci kamu, Om…” ucapnya pelan, penuh dendam. “Aku benci…”

Tangannya mengepal, kuku-kuku mungilnya menancap pada telapak sendiri, menahan teriak yang hampir pecah. Luka di tubuhnya tak seberapa dibanding luka di hatinya.

Ia tahu, mulai malam ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Ada bara dendam yang menyala di dadanya, dendam yang suatu saat pasti akan menuntut balas, meski ia belum tahu bagaimana caranya.

Dengan tubuh gemetar, Celina berusaha bangkit dari ranjang. Setiap gerakan terasa menyiksa, rasa sakit menjalar hingga ke bawah perutnya. Air mata terus mengalir, tapi ia paksa dirinya bertahan. Ia harus pergi dari tempat ini—sebelum Bram terbangun.

Tangannya meraih pakaian yang tergeletak sembarangan di lantai. Ia memakainya dengan terburu-buru, meski bajunya kusut, kancing tidak terpasang sempurna, dan rambut panjangnya kusut berantakan. Tak peduli. Ia hanya ingin kabur.

Dengan langkah tertatih, Celina menuju pintu. Jemarinya bergetar saat menekan tombol handle digital itu. Namun seketika jantungnya mencelos—layar kecil di pintu menampilkan kode angka.

“Ya Tuhan… aku tidak tahu pascodenya,” bisiknya panik.

Ia menoleh cepat ke arah ranjang. Bram masih terlelap, dengkurnya berat, tapi bayangan jika pria itu tiba-tiba terbangun membuat bulu kuduk Celina berdiri. Nafasnya memburu, telapak tangannya dingin dan basah oleh keringat.

“Apa yang harus aku lakukan… aku harus keluar… aku tidak bisa terjebak di sini,” gumamnya, hampir terisak.

Ia mencoba menekan-nekan tombol secara acak, berharap pintu terbuka. Namun layar hanya berbunyi beep merah, menandakan kode salah.

“Tidak… tidak… jangan sekarang…” Celina menggigit bibir hingga berdarah, takut suaranya akan membangunkan Bram.

Di luar pintu, samar-samar terdengar suara langkah kaki seseorang yang lewat di lorong hotel. Celina menempelkan telinganya ke pintu, berharap bisa mendengar lebih jelas.

“Andai saja aku bisa minta tolong…,” pikirnya, tapi ketakutan menahan lidahnya. Bagaimana jika orang itu kenal Bram? Bagaimana jika semuanya terbongkar?

Tiba-tiba tubuh Bram di ranjang bergerak. Ia mengubah posisi tidurnya, mendengus pelan. Celina sontak terhenti, tubuhnya kaku, matanya melebar ketakutan.

Jantungnya berdebar kencang—antara harus bersembunyi, atau nekat mencari jalan keluar.

Akhirnya, setelah berulang kali mencoba dan gagal, Celina kehabisan tenaga. Tangannya yang gemetar terlepas dari panel pintu, tubuhnya merosot hingga jatuh terduduk di lantai dingin. Ia menyandarkan punggung pada pintu, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti.

Isakannya pecah, pelan tapi menyayat. Bahunya berguncang hebat, sementara pikirannya dipenuhi kabut ketakutan dan keputusasaan.

“Kenapa harus aku, Tuhan… kenapa?” lirihnya nyaris tak terdengar.

Bayangan wajah Rian—lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya—tiba-tiba terlintas. Tatapan penuh cinta, senyum tulus, dan janji masa depan yang mereka rajut bersama. Semua itu membuat dadanya makin sesak.

Apa yang harus ia katakan nanti? Bagaimana bisa ia menatap mata Rian lagi setelah malam ini?

Air matanya semakin deras.

“Rian… aku hancur,” bisiknya getir. “Apa kamu masih bisa mencintaiku setelah ini?”

Celina memeluk lututnya erat-erat, mencoba meredam suara tangisnya. Rasa sakit di tubuhnya belum hilang, tapi rasa sakit di hatinya jauh lebih tak tertanggungkan. Antara rasa jijik, dendam, dan ketakutan bercampur menjadi satu.

Sementara itu, di ranjang, Bram masih terlelap dengan wajah puas, seolah tak menyadari betapa ia telah menghancurkan hidup seorang gadis.

Celina mengusap air matanya dengan punggung tangan, meski tak ada yang benar-benar kering. Dalam hati kecilnya, ia tahu—entah bagaimana caranya, ia harus melanjutkan hidup. Tapi yang ia tak tahu adalah, apakah dirinya masih pantas berjalan di sisi Rian dengan rahasia gelap ini.

**

**

Mentari pagi menyelinap masuk lewat celah tirai, menyinari kamar hotel yang masih berantakan. Bram mengerjap pelan, kepalanya berat, pelipisnya berdenyut tajam seolah ditusuk jarum. Ia mengangkat tangan, memijat keningnya, berusaha mengingat jelas apa yang telah terjadi semalam.

Ingatan samar-samar muncul—tawa, bisikan, lalu wajah Celina yang menatapnya dengan mata penuh air. Bram menghela napas panjang, mencoba mengabaikan perasaan ganjil yang tiba-tiba menghantam dadanya.

Saat matanya menoleh ke arah pintu, ia membeku. Celina tertidur di lantai, masih dengan tubuh tanpa sehelai benang pun, bersandar pada pintu kamar. Rambut panjangnya berantakan menutupi sebagian wajah, dan di wajah itu masih terlihat bekas air mata yang mengering.

Bram terdiam, mulutnya menganga tanpa suara. Rasa terkejut bercampur dengan rasa bersalah yang samar—namun cepat ditepis oleh egonya. Ia menelan ludah, menatap lekat-lekat tubuh muda yang kini terlihat begitu rapuh.

“Celina…” gumamnya pelan, seolah tak percaya dengan pemandangan di depannya.

Seketika jantung Bram berdegup lebih cepat. Ia bangkit dari ranjang, langkahnya mendekat perlahan. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menyentuh, membangunkan, bahkan menenangkan gadis itu—tapi sisi lain dari dirinya sadar betul apa yang telah ia lakukan semalam.

Bram menggertakkan gigi, buru-buru menoleh ke arah lain. Jika Celina terbangun, apa yang akan ia katakan? Bagaimana ia harus menjelaskan? Atau… haruskah ia justru membuat gadis itu diam dengan cara lain, agar rahasia ini terkubur selamanya?

Bram berdiri kaku, tatapannya berpindah dari tubuh Celina yang masih terkulai lemah, lalu ke pintu kamar yang masih terkunci rapat.

“Jika Rian tahu… semuanya akan berakhir,” bisiknya dengan nada berat, penuh ancaman pada dirinya sendiri.

Sementara itu, Celina yang tertidur pulas tak sadar, bahwa pagi ini akan menentukan arah hidupnya—apakah ia akan berhasil keluar dari jeratan Bram, atau justru semakin terikat oleh ancaman pria itu.

Bram melangkah turun dari ranjang, tubuhnya masih terasa berat. Dengan gerakan cepat, ia menyibakkan selimut untuk menutupi tubuh Celina yang masih terkulai di lantai. Namun, langkahnya mendadak terhenti.

Matanya membelalak, nafasnya tercekat saat pandangannya jatuh pada bercak merah yang jelas menodai sprei putih di atas ranjang. Seperti tamparan keras, kesadaran menghantam dirinya.

“Astaga…” bibir Bram bergetar, suara tercekat di tenggorokan. Tangannya gemetar, mencengkeram ujung sprei itu. “Apa yang sudah aku lakukan…”

Keringat dingin langsung mengalir di pelipisnya. Ia menoleh perlahan ke arah Celina yang tertidur lemah di depan pintu, wajah polosnya basah oleh jejak air mata yang sudah mengering. Gadis itu terlihat begitu ringkih, seakan dunia telah merenggut segalanya darinya.

“Celina…” Bram berbisik, nyaris tak terdengar, seolah memanggil dengan rasa bersalah yang baru benar-benar menyeruak di dadanya.

Pikirannya kalut. Ia menatap bercak merah itu lagi—tanda yang tak mungkin ia pungkiri. Jantungnya berdetak kencang, bukan karena nafsu lagi, melainkan rasa bersalah bercampur panik.

“Dia… dia masih suci…” Bram memijit keningnya keras, seakan ingin menepis kenyataan. “Ya Tuhan… aku…”

Namun, secepat itu juga sisi gelap dalam dirinya mencoba berbisik, menenangkan dengan dalih yang kejam. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang perlu tahu. Selama Celina diam, semuanya akan tetap baik-baik saja.

Tapi tatapan Bram kembali jatuh pada tubuh Celina yang terbungkus selimut seadanya. Dadanya kembali sesak. Ia sadar, hidup gadis itu sudah ia hancurkan—dan mulai detik ini, Celina akan membawa luka yang tak mungkin hilang.

Bram menghela napas berat, lalu berjongkok perlahan di dekat Celina. Tangannya hampir terulur menyentuh wajahnya, namun segera ia tarik kembali.

“Celina…” suaranya lirih, penuh keragu-raguan. “Apa yang harus aku lakukan denganmu sekarang?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 25

    Bram akhirnya berhasil meraih tubuh Celina. Dengan kasar ia menariknya ke dalam pelukan, mendekap erat seolah tak mau melepaskannya lagi. Nafas hangatnya menerpa wajah Celina, dan tanpa ragu, pria itu mencium bibirnya dengan penuh nafsu dan semangat yang membara. Celina kalang kabut. Tubuhnya meronta, kedua tangannya menekan dada Bram sekuat tenaga, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman yang begitu kuat. Air mata bercucuran, bercampur dengan rasa takut yang membuat dadanya sesak. “Om! Jangan... kumohon hentikan! Lepaskan aku!” jeritnya parau, suara tercekik di sela tangis. Namun Bram tak peduli. Semakin Celina berusaha melepaskan diri, semakin kuat ia menahan. Ciumannya semakin menuntut, seperti pria yang tak pernah mengenal kata puas. Celina mencoba memalingkan wajahnya, tetapi dagunya digenggam kasar, memaksa dirinya tetap menghadap Bram. “Aku benci kau! Lepaskan aku!” isak Celina, berusaha menendang dan mendorong tubuh besar di depannya. Bram tersenyum tipis di sel

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 24

    Celina baru saja memejamkan matanya ketika suara klik halus terdengar dari arah pintu. Awalnya ia mengira hanya perasaannya saja, tetapi suara itu kembali terdengar, jelas sekali—seperti bunyi kunci yang diputar. Sekejap tubuhnya menegang. Celina sontak terduduk, jantungnya berdentum kencang seolah ingin meloncat keluar. Pandangannya terpaku pada gagang pintu yang perlahan bergerak. Siapa itu? batinnya panik. Dan benar saja. Begitu pintu terbuka sepenuhnya, sosok yang paling ia hindari berdiri di ambang pintu. Bram. Pria itu melangkah masuk tanpa permisi, tatapannya dingin, senyumnya menyeringai seakan menikmati ketakutan Celina. Celina mundur beberapa langkah ke arah ranjang, suara gemetar keluar dari bibirnya. “Om.. apa yang Om akukan di sini? Bagaimana bisa masuk?” Bram menutup pintu dengan tenang, lalu memutar kuncinya dari dalam. Bunyi klik kecil itu membuat bulu kuduk Celina meremang. “Aku sudah bilang, Celina... kau tak akan pernah bisa bersembunyi dariku.”

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 23

    Pintu kamar Rian terbuka perlahan. Celina masuk dengan hati-hati, membawa nampan kecil berisi semangkuk bubur hangat. Aroma kaldu ayam yang lembut segera memenuhi ruangan, bercampur dengan bau obat yang masih samar. Rian, yang sejak tadi berbaring, menoleh pelan. Senyumnya muncul tipis, seolah kehadiran Celina saja sudah cukup membuatnya merasa lebih baik. “Kau membuatkan bubur untukku?” suaranya serak tapi penuh syukur. Celina tersenyum samar, berusaha terlihat tenang meski hatinya masih diliputi kegelisahan. “Iya, makanlah sedikit dulu. Perutmu tidak boleh kosong.” Ia meletakkan nampan di meja kecil, lalu duduk di sisi ranjang. Dengan lembut, ia meniup sendok berisi bubur agar tidak terlalu panas, lalu menyodorkannya ke bibir Rian. Rian menerima suapan pertama dengan sabar, lalu menatap Celina dalam diam. Matanya seolah membaca lebih dari sekadar wajah yang tersenyum. Ada guratan lelah, dan sesuatu yang disembunyikan. “Kau terlihat berbeda,” ucap Rian tiba-tiba. Celi

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 22

    Bram berdiri terpaku di dalam kamar yang kini hening. Pintu masih terbuka, berayun pelan seakan mengejeknya. Nafasnya berat, dadanya naik-turun tak beraturan. Bayangan wajah Celina yang berlinang air mata terus menghantam benaknya tanpa ampun. Tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Rasa kesal, marah, dan penyesalan bercampur jadi satu, membuatnya ingin menghantamkan tinju ke dinding. Namun, tubuhnya justru lemas, seakan semua tenaga tersedot oleh perasaan yang berkecamuk. Kenapa aku sampai seperti ini? pikirnya, rahangnya mengeras. Kenapa aku begitu terobsesi padanya? Ia membungkuk, menekan dahinya dengan telapak tangan. Kilatan rasa bersalah menusuk hatinya, tapi obsesi yang sudah terlanjur mengakar membuat pikirannya semakin kusut. “Rasanya aku mulai gila…” rutuknya dalam hati, suara batinnya getir. Bram menutup mata, mencoba menenangkan diri, namun semakin ia berusaha, bayangan Celina justru semakin jelas. Senyumnya, tatapannya pada Rian, sikap lemb

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 21

    Celina baru selesai mandi. Uap tipis masih melekat di kulitnya, aroma sabun wangi lembut menempel di udara. Ia mengenakan dress berwarna cokelat tua yang jatuh anggun di tubuhnya. Rambutnya sengaja diikat ke belakang, sederhana namun justru membuat wajahnya tampak lebih segar. “Rian, aku buatkan bubur dulu, ya,” ucap Celina lembut sambil menoleh pada pria yang masih berbaring lemah di ranjang. Rian tersenyum samar, sorot matanya penuh rasa syukur. “Hati-hati, jangan terburu-buru.” Celina mengangguk, lalu melangkah keluar dari kamar dengan hati-hati. Namun, baru saja pintu kamar ditutup, Celina terhenti sejenak. Tepat di hadapannya, pintu kamar lain terbuka. Dari seberang, sosok Bram muncul. Tatapan mereka langsung bertemu. Sesaat ruangan itu seakan dipenuhi keheningan yang menekan. Bram berdiri tegap, mengenakan kaos hitam dan celana santai, tetapi sorot matanya menusuk, seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa terucap. Celina menundukkan wajahnya cepat, berusaha menjaga sik

  • Gelora Berbahaya Calon Mertua    Bab. 20

    Bram berjalan keluar kamar dengan langkah berat, menutup pintu begitu hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Tapi begitu pemandangan itu menghilang dari matanya, amarah yang tadi ia tahan meledak di dalam dada. Ia menuruni tangga dengan cepat, wajahnya memerah menahan emosi. Begitu tiba di ruang tamu, tangannya meraih gelas kristal di meja lalu melemparkannya ke dinding. Prak! Suara pecahan memenuhi ruangan. Asisten rumah tangga yang mendengar segera berlari keluar dari dapur, namun seketika menahan diri begitu melihat wajah Bram. Tatapan pria itu tajam, penuh bara api. “Keluar!” bentaknya singkat. Asisten itu menunduk, lalu segera pergi meninggalkan Bram sendirian. Bram menjatuhkan tubuhnya ke sofa, menengadahkan kepala dengan napas tersengal. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bayangan Celina yang tertidur dengan lembut di sisi Rian, masih tergambar jelas di kepalanya. Genggaman tangan mereka—sesuatu yang sederhana namun membuatnya ingin menghancurkan semuany

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status