LOGINRega tersenyum tipis, matanya tertuju pada wajah Lilyan yang merona merah.
"Aku bisa memberikan apapun yang kau mau jika kau mau melepaskan Vano dan menjadi kekasihku Ly. " Goda Rega lagi. Lilyan memejamkan matanya sesaat. Siapa yang tidak tertarik dengan pria setampan Rega. Spec Rega jauh melebihi Vano. Namun dia bukan wanita yang silau akan semua itu. Dia sudah bertunangan dengan Vano dan apa jadinya jika ia malah berselingkuh dengan Rega. "Pak Rega tolong hentikan. Sekali lagi saya bilang, saya tidak mungkin mengkhianati Vano dan kami akan menikah," tegas Lilyan. "Tapi jangan lupa Ly, kita sudah menghabiskan malam bersama dan itu akan menjadi kenangan tak terlupakan di antara kita." Tangan Rega terangkat dan dengan lembut menyentuh pipi kemerahan Lilyan. DEG. Jantung Lilyan berdebar kencang. Seluruh tubuhnya meremang. Lilyan tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Sebelumnya dia tidak merasakan apapun tapi kenapa sekarang... "Cukup Pak. Jangan pernah sentuh saya lagi, malam itu adalah sebuah kesalahan, tidak berarti apapun bagi saya. Saya harap Pak Rega mengerti." Lilyan menepis pelan tangan Rega dari pipinya lalu berbalik pergi meninggalkan Rega yang masih terpaku. Rega tersenyum samar. Cukup kuat juga Lilyan bertahan, namun ia tidak akan menyerah. Apapun yang terjadi ia harus mendapatkan Lilyan. "Aku tidak akan melepaskanmu, Ly." *** Satu bulan berlalu. Seperti biasa, pagi itu Lilyan kembali harus menyediakan semua kebutuhan Rega. Dari mulai kopi, teh, dan air putih harus tersedia di mejanya sebelum Rega datang. Celakanya, Rega tidak mau kopi buatan orang lain dan hanya akan meminum kopi buatannya. Lilyan sudah hafal dengan kebiasaan Rega yang satu ini, dan meskipun ia sering kesal, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai sekretaris pribadi pria itu. Lilyan baru saja menyelesaikan pekerjaannya menaruh segelas kopi di atas meja Rega. Dia mengingat-ingat lagi hal lainnya, takut jika ada yang terlewat dan membuat Rega kesal. Namun tak lama Rega masuk ke dalam ruangannya. Pria itu tampak segar dan tampan seperti biasa dengan setelan jas mahalnya. Jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya dan aroma parfum segar menguar di udara saat Rega mendekati mejanya. "Selamat Pagi Pak!" sapa Lilyan sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. "Pagi Lilyan," Jawab Rega dengan wajah datar seperti biasa. Namun saat melihat penampilan Lilyan yang begitu cantik pagi ini seulas senyum samar tersemat di bibirnya. Rega meletakkan tas kerjanya di atas mejanya. Dia duduk dan mengambil segelas kopi yang sudah disiapkan oleh Lilyan sebelumnya. Pria itu menyesapnya perlahan. Merasakan nikmat kopi bikinan wanita itu. "Enak sekali. Satu bulan kau bekerja sebagai sekretarisku dan kau sudah tahu sekali kebiasaanku. Kau benar-benar hebat," puji Rega tanpa ragu. Lilyan tersipu, tanpa sadar bibirnya tersenyum tipis. Mulut Rega memang manis dan kalau ia tidak kuat mungkin sudah dari dulu dia jatuh ke pelukan Rega. Liliyan menghela napasnya. Berusaha untuk tidak berpikir macam-macam. Ia harus berjuang keras untuk tidak terpengaruh oleh pesona pria itu. "Saya akan bacakan jadwal kerja Bapak untuk hari ini." Lilyan membuka tabletnya yang sejak tadi ia pegang. "Pukul sepuluh Bapak ada rapat dengan tim keuangan, kemudian makan siang dengan klien dari Singapura, lalu pukul tiga sore ada pertemuan dengan investor baru." Namun bukannya mendengarkan Rega justru fokus menatap wajah cantik Lilyan. Pria itu menyandarkan tubuhnya di kursi, kedua tangan bertaut di depan dagu. Tatapannya begitu hangat dan mampu membuat jantung Lilyan berdebar kencang dan semakin canggung. Lilyan berusaha tetap fokus pada catatannya. Dia melanjutkannya lagi. "Setelah rapat dengan investor Anda juga dijadwalkan bertemu dengan tim pemasaran—" "Oke aku mengerti, namun sekarang izinkan aku menikmati wajah cantikmu dulu, Ly." Rega berkata seolah tanpa beban. Dia terus menatap wajah Lilyan yang semakin kikuk. Wajah Lilyan semakin merona. Ia menghembus napas panjang, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang semakin cepat. "Saya sudah menyiapkan semuanya sesuai permintaan Anda. Kalau tidak ada yang perlu ditambahkan, saya akan kembali ke meja saya." Lilyan tak ingin menggubris. "Kenapa buru-buru, kau takut aku makan?" Rega tersenyum tipis. Lilyan memutar bola matanya. Dia memutar tubuhnya untuk pergi. Namun tangannya ditarik Rega dari belakang. Lilyan terkejut karena kini Rega sudah berdiri tepat di belakangnya. "Tunggu Ly..." Rega menatap lembut. "A—ada apa Pak?" tanya Lilyan sontak mundur ke belakang. Namun sebelum bergerak tangan Rega dengan cepat menarik pinggang ramping, membawanya merapat ke arah tubuhnya. "Pak Rega jangan kurang ajar ya." Lilyan menghujani dada bidang Rega dengan pukulan kecilnya. Namun Rega tetap bergeming malah semakin menarik Lilyan hingga benda kenyal itu menempel ketat pada tubuh Rega. "Maafkan aku, Ly. Aku tidak bisa melupakan kejadian malam itu. Aku... masih saja ingat dengan setiap sentuhan tanganmu. Erangan penuh kenikmatan dari bibirmu, pelukan hangat tanganmu, aku masih mengingat semuanya dengan jelas, Ly." Lilyan terdiam mendengarnya. Gerakan memukulnya langsung berhenti. Kedua pipinya menghangat. Rega terus menatapnya dengan lekat. Namun Lilyan justru tak ingin bertemu tatap dengannya. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jangan bahas hal menjijikkan itu di depan saya," ketus Lilyan. "Ini bukan hal menjijikkan Lilyan, ini hal yang indah bagiku. Tak akan bisa aku lupakan seumur hidup." Rega menarik pipi Lilyan pelan membuatnya kembali berpaling padanya. "Aku menyukaimu Ly, tinggalkan Vano dan jadilah kekasihku." Sekali lagi Rega memohon. Suasana hening sesaat, sebelum akhirnya Lilyan meronta ingin melepaskan diri dari Rega. "Sadar Pak Rega, saya ini tunangan Vano, saudara Bapak sendiri." Lilyan kesal dan akhirnya bisa melepaskan diri dari penguasaan Rega. Rega terpaku. Dia terpaksa melepaskan Lilyan untuk kembali ke mejanya. Lilyan kembali duduk di kursi kerjanya. Ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Vano muncul. [Sayang, pulang kerja kita ada janji dengan pihak butik untuk fitting baju pengantin. Pulang kerja kita berangkat ke sana ya] Lilyan menatap ponselnya cukup lama. Ada rasa bersalah dalam dadanya terhadap Vano. Namun ada satu lagi rasa yang terselip di hatinya. Ia mulai goyah. Ia mulai memperhatikan Rega. "Oh, Tuhan kenapa semuanya bisa seperti ini?"Musik lembut dari band akustik mengalun di pojok ruangan. Lampu-lampu gantung berwarna keemasan menciptakan nuansa hangat di vila yang dipenuhi tawa dan percakapan ringan. Meski disebut “reuni kampus”, suasananya lebih seperti pesta eksklusif bagi kalangan terbatas. Sepertinya hanya teman-teman dekat Rega saja yang hadir di acara itu. Lilyan duduk di salah satu meja, sementara Rega berbincang dengan beberapa pria di sisi lain ruangan. Ia menatap gelas jus di tangannya, berusaha menenangkan diri dari rasa canggung yang masih menghantuinya. “Sendirian, ya?” Suara lembut seorang wanita memecah lamunannya.Lilyan mendongak. Di hadapannya berdiri dua wanita cantik dengan senyum ramah. Yang satu berambut pendek bergelombang, yang lain berambut panjang dan mengenakan gaun satin berwarna gading.“Boleh duduk?” tanya yang berambut pendek.“Oh, tentu,” jawab Lilyan cepat, memberi isyarat agar mereka duduk.“Aku Mira,” ucap si rambut pendek memperkenalkan diri. “Dan ini Livia. Kami teman kuli
Taksi berhenti di depan gedung Angkasa Mining. Suasana kantor sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa security yang berjaga. "Bu Lilyan, apa ada yang ketinggalan?" tanya security sebelum mengizinkan Lilyan untuk masuk. "Iya Pak. Ada barang saya yang tertinggal di dalam." Lilyan melangkah masuk. Ia langsung menuju ke ruangan Rega yang tampak masih menyala terang. Pintu ruangan terbuka dan di dalam ruangan Rega sudah menunggunya. Ia duduk di kursinya, dengan kemeja hitam yang lengannya tergulung, wajah dingin tanpa ekspresi. Di tangan kirinya, ponsel yang tadi mengirimkan mimpi buruk itu tergenggam erat. “Cepat juga kau datang,” ucapnya datar dengan senyuman tipis mengembang di bibirnya. Lilyan menatapnya tajam, napasnya naik turun dengan cepat. Ada kilatan amarah di sorot matanya. "Kenapa kau melakukan ini biasanya padaku Rega!" Hilang sudah rasa hormat Lilyan pada atasannya itu. Berganti dengan amarah yang meledak-ledak. "Tenang Lilyan, aku hanya ingin kau menema
“Cantik banget, Mbak Lilyan,” puji penjahit butik dengan senyum ramah saat sore itu LilyN mencoba memakai gaun pengantin yang pesan beberapa bulan lalu. Lilyan menatap pantulan dirinya di cermin besar di depannya. Gaun itu memang indah, lembut, berkilau, dan sempurna untuk seorang pengantin. Tapi di balik kilau kain satin dan renda putih itu, hatinya terasa hancur. Kini ia tak bisa lagi memberikan kesuciannya pada Vano seperti yang ia janjikan dulu pada pria itu. Kesuciannya telah direnggut oleh Rega, saudara angkat Vano sendiri. Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat. Vano melingkarkan tangannya pada perut rata calon istrinya itu. "Kau akan jadi pengantin wanita paling cantik, Ly. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari bahagia kita tiba. Kau akan jadi milikku seutuhnya." Vano mempererat pelukannya. Tak peduli pada sang pramuniaga yang masih berdiri tak jauh dari sana. Lilyan menegakkan bahunya sedikit, mencoba tersenyum melalui bayangan wajahnya di cermin. "Ga
Rega tersenyum tipis, matanya tertuju pada wajah Lilyan yang merona merah. "Aku bisa memberikan apapun yang kau mau jika kau mau melepaskan Vano dan menjadi kekasihku Ly. " Goda Rega lagi. Lilyan memejamkan matanya sesaat. Siapa yang tidak tertarik dengan pria setampan Rega. Spec Rega jauh melebihi Vano. Namun dia bukan wanita yang silau akan semua itu. Dia sudah bertunangan dengan Vano dan apa jadinya jika ia malah berselingkuh dengan Rega. "Pak Rega tolong hentikan. Sekali lagi saya bilang, saya tidak mungkin mengkhianati Vano dan kami akan menikah," tegas Lilyan. "Tapi jangan lupa Ly, kita sudah menghabiskan malam bersama dan itu akan menjadi kenangan tak terlupakan di antara kita." Tangan Rega terangkat dan dengan lembut menyentuh pipi kemerahan Lilyan. DEG. Jantung Lilyan berdebar kencang. Seluruh tubuhnya meremang. Lilyan tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Sebelumnya dia tidak merasakan apapun tapi kenapa sekarang... "Cukup Pak. Jangan pernah sentu
Suara mesin mobil sport itu berhenti di halaman luas rumah keluarga Angkasa. Rega turun dengan langkah mantap, jas kerjanya masih rapi, wajahnya tetap dingin dan tanpa senyum. Rumah besar yang dulu terasa seperti istana, kini baginya hanya bangunan yang dingin tanpa kehangatan yang pernah ia rasakan ketika ibunya masih hidup. Dari arah ruang makan, terdengar suara lembut yang memanggilnya. Tanpa menoleh ia tahu siapa wanita yang memanggilnya itu. Dia adalah Fatma. Ibu tiri Rega sekaligus ibu kandung Vano. Ayahnya, Pak Hartawan menikah lagi setelah ibunya meninggal. Dan sampai detik ini ia tidak pernah menganggap Fatma ibunya. “Rega... kau sudah pulang?” Bu Fatma, wanita paruh baya berwajah cantik yang masih terlihat muda di usianya segera berdiri menyambut kedatangan Rega. Sementara Pak Hartawan sedang minum air putih miliknya. "Kebetulan kau datang, ayo kita makan bersama," ajak Bu Fatma antusias, tangannya melambai ke arah Rega yang masih berdiri acuh. “Papa sudah lam
“Surat Perintah – Penunjukan Sekretaris Pribadi CEO”. Lilyan menahan napas saat membaca surat perintah tersebut. Ia resmi diangkat menjadi sekretaris pribadi Rega. Hatinya berdebar. Ini berarti ia akan lebih sering berinteraksi dengan Rega, bahkan tiap hari. "Ada apa Ly, apa isi surat itu?" suara Vano terdengar tegang. Matanya menatap surat yang ada di tangan Lilyan. "Pak Rega mengangkatku jadi sekretaris pribadinya," jawab Lilyan dengan tegang. “Apa maksudnya? Kamu jadi sekretaris pribadi Rega?!” Lilyan menoleh, gugup. “Ya, sayang., aku juga tidak tahu kenapa Pak Rega memilihku." "Aku tidak terima Ly... Bagaimanapun juga kau adalah sekretarisku, Rega tidak bisa seenaknya saja mengambil sekretarisku!" Vano menahan geram. Dia berdiri dan melangkah keluar dari dalam ruangan Lilyan. "Mau kemana, Mas?" Lilyan berteriak pelan namun Vano tidak menggubrisnya. Lelaki itu berjalan cepat menuju ruangan Rega. BRAAKK! Dengan penuh amarah Vano membuka pintu, Namun sepertiny







