Home / Romansa / Gelora Berbahaya sang CEO / Hukuman untuk Lilyan

Share

Hukuman untuk Lilyan

Author: Rein Azahra
last update Last Updated: 2025-10-27 09:45:38

Suara mesin mobil sport itu berhenti di halaman luas rumah keluarga Angkasa. Rega turun dengan langkah mantap, jas kerjanya masih rapi, wajahnya tetap dingin dan tanpa senyum. Rumah besar yang dulu terasa seperti istana, kini baginya hanya bangunan yang dingin tanpa kehangatan yang pernah ia rasakan ketika ibunya masih hidup.

Dari arah ruang makan, terdengar suara lembut yang memanggilnya. Tanpa menoleh ia tahu siapa wanita yang memanggilnya itu.

Dia adalah Fatma. Ibu tiri Rega sekaligus ibu kandung Vano. Ayahnya, Pak Hartawan menikah lagi setelah ibunya meninggal. Dan sampai detik ini ia tidak pernah menganggap Fatma ibunya.

“Rega... kau sudah pulang?” Bu Fatma, wanita paruh baya berwajah cantik yang masih terlihat muda di usianya segera berdiri menyambut kedatangan Rega.

Sementara Pak Hartawan sedang minum air putih miliknya.

"Kebetulan kau datang, ayo kita makan bersama," ajak Bu Fatma antusias, tangannya melambai ke arah Rega yang masih berdiri acuh.

“Papa sudah lama menunggumu, Nak. Kita makan bersama ya. Mama masak makanan kesukaanmu malam ini,” ucap Bu Fatma manis sambil menepuk pelan lengan suaminya, seolah ingin menunjukkan bahwa ia adalah istri yang penuh kasih.

Namun tidak ada ekspresi tertarik di wajah Rega. Dia hanya melirik sekilas ke arah mereka dengan tatapan dingin.

“Aku sudah makan, kalian makan saja tanpaku seperti biasanya. Tidak usah sok peduli.” Nada suaranya datar, tapi cukup membuat udara di ruangan itu menegang.

Pak Hartawan mengalihkan pandangannya ke arah Rega, menatap anaknya dengan alis berkerut.

“Rega! Jangan bicara seperti itu pada ibumu!"

Rega berhenti di anak tangga pertama, lalu menoleh pelan. Tatapan tajamnya menembus seperti bilah baja.

“Dia bukan ibuku,” ucapnya dingin.

Wajah Bu Fatma menegang sepersekian detik, tapi dengan cepat ia pasang lagi senyum lembutnya.

“Rega, Mama tahu kau masih belum bisa menerima Mama, tapi—”

“Sudah malam. Aku capek. Aku mau istirahat.” Rega memotong, suaranya rendah tapi tajam.

“Sikap kamu itu tidak bisa dibiarkan terus, Rega! Fatma itu istri Papa. Kamu harus hormat padanya!” Pak Hartawan berdecak kesal, wajahnya masam.

Rega memutar bola matanya jengah, dengan enggan ia kembali menoleh pada ayahnya.

"Dia memang istri Papa tapi dia bukan ibuku, dan itu tak akan pernah berubah sampai kapanpun," tegas Rega tanpa bisa dibantah lagi.

Suasana ruangan hening sesaat. Hanya terdengar helaan napas berat dari Pak Hartawan yang jelas-jelas menahan emosi.

"Sudahlah Mas, jangan dipermasalahkan lagi. Aku mengerti kalau Rega masih belum bisa menerima kehadiranku di rumah ini." Bu Fatma berkata lembut dan mengusap punggung suaminya untuk memenangkan.

"Anak itu makin kurang ajar,” gumamnya.

Bu Fatma menunduk sedikit, wajahnya menampilkan kesedihan.

“Sudahlah, jangan diambil hati. Aku yakin suatu hari nanti, Rega akan sadar kalau aku tulus sayang sama dia.”

Pak Hartawan menarik napas panjang. “Aku lelah dengan sikapnya. Tapi ya sudahlah, mungkin kau benar. Aku juga sudah tua, tidak mau meributkan soal ini."

Bu Fatma mengangguk, duduk di sebelah suaminya. Setelah beberapa detik, ia menatap pelan wajah Pak Hartawan.

“Mas...” suaranya pelan tapi penuh perhitungan. “Aku

kepikiran, bagaimana kalau kita mulai memberi Vano tanggung jawab lebih di kantor? Dia anak yang sopan, rajin, dan bisa dipercaya. Aku lihat akhir-akhir ini kau makin sibuk, sementara Rega... ya kau tahu sendiri, dia susah diatur.”

"Akan aku pikirkan nanti." Pak Hartawan menatapnya dengan ekspresi datar.

"Aku mengerti, Mas. Tapi kalau kau memberi dia kesempatan, aku yakin dia bisa membuktikan kalau dia mampu. Dia selalu berusaha keras untuk bisa diakui olehmu."

Pak Hartawan diam, tidak langsung menjawab. Ia meneguk air di gelasnya, lalu berdiri.

“Kita bahas itu nanti saja, Fatma. Aku mau istirahat.”

“Baik, Mas,” jawab Bu Fatma lembut, menunduk sopan. Tapi begitu pria itu berjalan menuju kamarnya, senyum di bibir Bu Fatma berubah perlahan, menjadi senyum dingin penuh perhitungan.

Tangannya mengusap lembut permukaan meja makan sambil berbisik pelan, hampir seperti diri sendiri.

“Tenang saja, sayang... cepat atau lambat, semua yang Rega punya akan jadi milikmu, Vano.”

Lampu ruang makan meredup, meninggalkan bayangan wajah wanita itu yang tersenyum licik di balik topeng kelembutan.

---

Suasana pagi di lantai tertinggi kantor Angkasa Group terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Langit Jakarta masih diselimuti kabut tipis, tapi jantung Lilyan berdetak kencang seolah ia sedang berlari.

Hari ini, ia resmi bekerja sebagai sekretaris pribadi Rega Angkasa. Namun sialnya dia malah bangun kesiangan padahal pagi ini Rega ada rapat dengan para staff.

Lilyan menarik napas panjang sebelum mengetuk pintu ruang CEO itu.

Tok… tok… tok.

“Masuk,” suara berat itu terdengar dari dalam.

Ia membuka pintu perlahan.

“Selamat pagi, Pak,” ucap Lilyan hati-hati.

Rega menoleh sekilas, lalu duduk di kursinya tanpa menjawab sapaan itu.

“Kau datang terlambat. Duduk.” Nada suaranya datar.

Lilyan duduk di kursi seberang meja. Tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuan. Ia berusaha keras menahan diri untuk tidak terlihat gugup.

"Maaf, saya ada urusan mendadak tadi." Lilyan memberi alasan.

"Kau kira aku akan menerima alasan klise itu? Kau sudah menghambat jadwal rapatku."

“Maaf Pak Rega, saya sudah kirimkan jadwal rapat hari ini ke email Anda, Pak,” ucapnya pelan.

"Tapi tetap saja, itu bukan alasan kau bisa datang terlambat ke kantor. Aku paling tidak suka dengan karyawan yang sering telat." Rega mendengus pelan.

"Baru kali ini saya telat Pak Rega." Lilyan menggigit bibirnya. Dia kesal kenapa tadi malam dia tidak bisa tidur? Bayangan wajah Rega selalu saja menghantuinya.

"Oke, kali ini kau kumaafkan tapi jika lain kali kau telat lagi maka akan ada hukuman buatmu."

"Hukuman apa? Apa gaji saya akan dipotong?" Lilyan membelalak.

Rega tersenyum miring. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Lilyan. Gadis cantik itu mengangkat wajahnya dan menghalau tatapan tajam Rega yang kini berdiri bersandar pada meja di dekatnya.

"Aku tidak peduli soal uang. Ada hukuman yang lebih pantas untuk kau dapatkan."

"Hukuman apa maksud Bapak?" Alis Lilyan terangkat dengan wajah bingung.

"Kau harus mau aku cium." Dengan entengnya Rega berkata membuat kedua pipi Lilyan memerah.

"Jangan ngaco Pak, saya tidak akan pernah mau melakukan itu." Lilyan mendengus pelan. Ia bediri dan bermaksud pergi dari hadapan Rega. Namun tangan Rega menahannya dengan cepat. Menghentaknya dengan cukup kencang hingga tubuh Lilyan membentur dada bidang pria itu.

Kedua mata Lilyan membola saat beradu dengan mata emang Rega.

"Le—lepaskan saya Pak!" Lilyan berkata lirih.

"Aku bisa membaca sorot matamu Lilyan, sebenarnya kau menyukaiku kan?" Tebak Rega.

DEG!

Jantung Lilyan berdebar tak karuan. Tidak mungkin dia menyukai Rega.

"Jangan ngaco! Saya tidak mungkin menyukai Bapak." Setelah kesadarannya pulih, Lilyan pun segera menyangkal.

Rega tersenyum tipis mendengarnya. Lalu tangannya mengangkat dagu gadis cantik itu.

"Apa kamu yakin tidak mau menerimaku? Aku lebih baik dari Vano."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Berbahaya sang CEO   Reuni Panas

    Musik lembut dari band akustik mengalun di pojok ruangan. Lampu-lampu gantung berwarna keemasan menciptakan nuansa hangat di vila yang dipenuhi tawa dan percakapan ringan. Meski disebut “reuni kampus”, suasananya lebih seperti pesta eksklusif bagi kalangan terbatas. Sepertinya hanya teman-teman dekat Rega saja yang hadir di acara itu. Lilyan duduk di salah satu meja, sementara Rega berbincang dengan beberapa pria di sisi lain ruangan. Ia menatap gelas jus di tangannya, berusaha menenangkan diri dari rasa canggung yang masih menghantuinya. “Sendirian, ya?” Suara lembut seorang wanita memecah lamunannya.Lilyan mendongak. Di hadapannya berdiri dua wanita cantik dengan senyum ramah. Yang satu berambut pendek bergelombang, yang lain berambut panjang dan mengenakan gaun satin berwarna gading.“Boleh duduk?” tanya yang berambut pendek.“Oh, tentu,” jawab Lilyan cepat, memberi isyarat agar mereka duduk.“Aku Mira,” ucap si rambut pendek memperkenalkan diri. “Dan ini Livia. Kami teman kuli

  • Gelora Berbahaya sang CEO   Bos Gila

    Taksi berhenti di depan gedung Angkasa Mining. Suasana kantor sudah sangat sepi. Hanya ada beberapa security yang berjaga. "Bu Lilyan, apa ada yang ketinggalan?" tanya security sebelum mengizinkan Lilyan untuk masuk. "Iya Pak. Ada barang saya yang tertinggal di dalam." Lilyan melangkah masuk. Ia langsung menuju ke ruangan Rega yang tampak masih menyala terang. Pintu ruangan terbuka dan di dalam ruangan Rega sudah menunggunya. Ia duduk di kursinya, dengan kemeja hitam yang lengannya tergulung, wajah dingin tanpa ekspresi. Di tangan kirinya, ponsel yang tadi mengirimkan mimpi buruk itu tergenggam erat. “Cepat juga kau datang,” ucapnya datar dengan senyuman tipis mengembang di bibirnya. Lilyan menatapnya tajam, napasnya naik turun dengan cepat. Ada kilatan amarah di sorot matanya. "Kenapa kau melakukan ini biasanya padaku Rega!" Hilang sudah rasa hormat Lilyan pada atasannya itu. Berganti dengan amarah yang meledak-ledak. "Tenang Lilyan, aku hanya ingin kau menema

  • Gelora Berbahaya sang CEO   Cinta yang Ternoda

    “Cantik banget, Mbak Lilyan,” puji penjahit butik dengan senyum ramah saat sore itu LilyN mencoba memakai gaun pengantin yang pesan beberapa bulan lalu. Lilyan menatap pantulan dirinya di cermin besar di depannya. Gaun itu memang indah, lembut, berkilau, dan sempurna untuk seorang pengantin. Tapi di balik kilau kain satin dan renda putih itu, hatinya terasa hancur. Kini ia tak bisa lagi memberikan kesuciannya pada Vano seperti yang ia janjikan dulu pada pria itu. Kesuciannya telah direnggut oleh Rega, saudara angkat Vano sendiri. Di belakangnya, suara langkah kaki mendekat. Vano melingkarkan tangannya pada perut rata calon istrinya itu. "Kau akan jadi pengantin wanita paling cantik, Ly. Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari bahagia kita tiba. Kau akan jadi milikku seutuhnya." Vano mempererat pelukannya. Tak peduli pada sang pramuniaga yang masih berdiri tak jauh dari sana. Lilyan menegakkan bahunya sedikit, mencoba tersenyum melalui bayangan wajahnya di cermin. "Ga

  • Gelora Berbahaya sang CEO   Mulai Goyah

    Rega tersenyum tipis, matanya tertuju pada wajah Lilyan yang merona merah. "Aku bisa memberikan apapun yang kau mau jika kau mau melepaskan Vano dan menjadi kekasihku Ly. " Goda Rega lagi. Lilyan memejamkan matanya sesaat. Siapa yang tidak tertarik dengan pria setampan Rega. Spec Rega jauh melebihi Vano. Namun dia bukan wanita yang silau akan semua itu. Dia sudah bertunangan dengan Vano dan apa jadinya jika ia malah berselingkuh dengan Rega. "Pak Rega tolong hentikan. Sekali lagi saya bilang, saya tidak mungkin mengkhianati Vano dan kami akan menikah," tegas Lilyan. "Tapi jangan lupa Ly, kita sudah menghabiskan malam bersama dan itu akan menjadi kenangan tak terlupakan di antara kita." Tangan Rega terangkat dan dengan lembut menyentuh pipi kemerahan Lilyan. DEG. Jantung Lilyan berdebar kencang. Seluruh tubuhnya meremang. Lilyan tidak mengerti kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Sebelumnya dia tidak merasakan apapun tapi kenapa sekarang... "Cukup Pak. Jangan pernah sentu

  • Gelora Berbahaya sang CEO   Hukuman untuk Lilyan

    Suara mesin mobil sport itu berhenti di halaman luas rumah keluarga Angkasa. Rega turun dengan langkah mantap, jas kerjanya masih rapi, wajahnya tetap dingin dan tanpa senyum. Rumah besar yang dulu terasa seperti istana, kini baginya hanya bangunan yang dingin tanpa kehangatan yang pernah ia rasakan ketika ibunya masih hidup. Dari arah ruang makan, terdengar suara lembut yang memanggilnya. Tanpa menoleh ia tahu siapa wanita yang memanggilnya itu. Dia adalah Fatma. Ibu tiri Rega sekaligus ibu kandung Vano. Ayahnya, Pak Hartawan menikah lagi setelah ibunya meninggal. Dan sampai detik ini ia tidak pernah menganggap Fatma ibunya. “Rega... kau sudah pulang?” Bu Fatma, wanita paruh baya berwajah cantik yang masih terlihat muda di usianya segera berdiri menyambut kedatangan Rega. Sementara Pak Hartawan sedang minum air putih miliknya. "Kebetulan kau datang, ayo kita makan bersama," ajak Bu Fatma antusias, tangannya melambai ke arah Rega yang masih berdiri acuh. “Papa sudah lam

  • Gelora Berbahaya sang CEO   Jadi Sekretaris CEO Dingin

    “Surat Perintah – Penunjukan Sekretaris Pribadi CEO”. Lilyan menahan napas saat membaca surat perintah tersebut. Ia resmi diangkat menjadi sekretaris pribadi Rega. Hatinya berdebar. Ini berarti ia akan lebih sering berinteraksi dengan Rega, bahkan tiap hari. "Ada apa Ly, apa isi surat itu?" suara Vano terdengar tegang. Matanya menatap surat yang ada di tangan Lilyan. "Pak Rega mengangkatku jadi sekretaris pribadinya," jawab Lilyan dengan tegang. “Apa maksudnya? Kamu jadi sekretaris pribadi Rega?!” Lilyan menoleh, gugup. “Ya, sayang., aku juga tidak tahu kenapa Pak Rega memilihku." "Aku tidak terima Ly... Bagaimanapun juga kau adalah sekretarisku, Rega tidak bisa seenaknya saja mengambil sekretarisku!" Vano menahan geram. Dia berdiri dan melangkah keluar dari dalam ruangan Lilyan. "Mau kemana, Mas?" Lilyan berteriak pelan namun Vano tidak menggubrisnya. Lelaki itu berjalan cepat menuju ruangan Rega. BRAAKK! Dengan penuh amarah Vano membuka pintu, Namun sepertiny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status