Se connecter
Bandara International Soekarno Hatta dipenuhi suara pengumuman keberangkatan. Di antara kerumunan, Hana, mahasiswi tahun terakhir berusia dua puluh dua tahun, berdiri di depan gerbang keberangkatan dengan mata berkaca-kaca.
Di hadapannya, Adam—remaja lima belas tahun dengan koper besarnya, sedang menunduk, menggenggam pegangan koper begitu erat hingga buku jarinya memutih.
“Kak Hana… kamu nggak bakalan lupain aku, kan?” suaranya pelan, penuh cemas.
Hana tersenyum, menepuk bahu bocah itu. “Nggak dong. Pasti aku bakalan ingat kamu walau nanti wajah kamu udah makin ganteng, dewasa, dan keren.”
Adam tersenyum mendengarnya, “Jadi nanti, kalau aku udah dewasa, kamu masih anggap aku anak kecil juga?”
“Tentu. Sampai kapanpun kamu itu…” jawab Hana terkekeh, “tetap Adam kecilku.” Sambungnya sambil menggosok ujung rambut Adam.
Adam menahan kata-kata yang ingin keluar. Tentang betapa Hana adalah satu-satunya orang yang mau menemaninya, tentang rasa kagum yang sulit ia mengerti. Tentang ia yang sebenarnya sudah mulai merasakan percikan suka pada gadis yang selama ini menjadi kakaknya itu.
Namun, suara panggilan keberangkatan memotong momen itu.
Ayah Adam memberi isyarat. Bocah itu melangkah berat, lalu menoleh sekali lagi untuk berpamitan, “Aku berangkat. Sampai jumpa lagi, Kak Hana. Janji, Kakak harus jadi wanita cantik yang bahagia kalau kita ketemu nanti.”
Dalam benaknya, senyum Hana menancap kuat sebagai kenangan yang akan ia bawa ke mana pun.
“Janji.” Sambil mengangguk, Hana melambaikan tangan, menahan perasaan yang tak bisa ia jelaskan.
Momen sepuluh tahun silam itu nyatanya masih menjadi kerinduan bagi Hana. Bahkan di saat waktu senyap seperti ini, ia masih menunggu kabar Adam kecilnya itu.
Padahal, saat ini suasana tidak terbilang senyap, karena Hana sedang ada di sebuah restoran modern pusat kota Soekarina, bersama tunangannya, Reza, yang sibuk menunduk pada ponselnya.
“Sepuluh hari nggak ketemu, kamu tetap sibuk, ya?” Hana mencoba membuka percakapan.
Reza menanggapi tanpa menatap, “Proyek kantor lagi gila-gilaan. Kamu tahu sendiri aku jarang santai.”
Hana menggigit bibir, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan kaku itu, “Za, kamu ingat Adam? Anak tetangga yang dulu sering main sama aku? Yang ke luar negeri. Pasti udah besar sekarang, ya?”
Reza mendongak dengan alis berkerut, “Kenapa bahas bocil itu?”
“Hmm, karena kalau kamu ingat, dia marah banget waktu kamu mulai deketin aku dulu. Apalagi waktu kamu sibuk main hape dan cuekin aku kayak gini. Ingat kamu, waktu dia bilang ‘Kenapa nggak pacaran sama hapenya aja, sih?’ ke kamu?”
Hana begitu antusias dan ceria saat menceritakan tentang Adam.
“Ingat. Jadi, stop bahas bocil sok tau itu. Nggak usah diungkit lagi,” potong Reza cepat. Spontan membuyarkan kesenangan singkat Hana.
Hana mengeutkan dahi, “Dia cuma adik kecil buat aku. Aku cuma tanya kamu, kamu ingat nggak? Ngapain responnya jadi kesal gitu?” jelas Hana, “Toh kamu ngajakin kencan pas liburan gini, bukannya fokus ke aku, malah aku dicuekin.”
Hana protes tapi Reza memilih malas merespon, hingga hanya keheningan yang jatuh di antara mereka.
Beberapa menit kemudian, Reza seperti baru teringat sesuatu, “Oh iya, tiga hari lagi Mama ulang tahun. Kamu bisa datang, kan?”
Hana menoleh kaget, “Tiga hari lagi… itu juga ulang tahunku, Za. Kamu lupa lagi?”
Reza hanya mengangguk santai, “Oh, iya juga. Kita makan malam lain waktu aja buat ngerayain ulang tahun kamu. Tapi di hari itu, kita rayain ulang tahun Mama aku dulu. Kamu dandan cantik gih, Mama Papa mau ketemu tunangan aku soalnya.”
Hana tersenyum tipis, menelan kekecewaan. Setelah hampir sepuluh tahun mengenal dan enam tahun menjalin ikatan, nyatanya Reza tidak pernah absen lupa hari ulang tahun kekasihnya sendiri.
Namun, ada satu hal yang masih bisa membuat Hana berharap dari hubungan mereka. Akhirnya, setelah sekian tahun itu, Reza bersedia mempertemukan Hana dengan calon mertuanya. Itu artinya, lamaran pribadi Reza padanya akan diresmikan di depan keluarga.
***
Hari libur berlalu tanpa kesan. Esoknya, Hana sudah kembali ke realita, tepat jam delapan ia sudah harus memasuki lobi Aegis Corporation, perusahaan multinasional tempatnya bekerja. Hari itu seluruh karyawan diundang ke rapat umum, dengan agenda… Pengenalan CEO Baru Cabang Jakarta-Indonesia.
Ruang rapat penuh. Suara berbisik-bisik terdengar saat pintu terbuka. Seorang pria muda berjas abu-abu elegan, melangkah masuk dengan wibawa yang membuat ruangan mendadak hening. Garis rahang tegas, sorot mata yang dalam meski lebih dewasa, dan Hana mengenali tatapan itu.
‘Dia…’ Hana nyaris menjatuhkan berkas di tangannya, ‘Adam.’
Bocah pemalu yang dulu ia antar ke bandara, yang selalu ia rindukan kabarnya, kini ada di depan mata.
Pria itu menatap sekilas ke arah Hana. Sepersekian detik, kilasan kenangan masa lalu kembali, membuat hati Hana berdetak kencang.
“Selamat pagi. Saya Adam Mahendra, CEO baru Aegis Corporation cabang Jakarta-Indonesia. Mulai hari ini, saya akan memimpin tim ini bersama kalian.” ucapnya tegas dan profesional.
Hana hanya bisa membeku, perasaannya campur aduk antara terkejut, kagum, dan… entahlah. Dunia seolah memutar ulang masa lalu, tapi semua keadaan sudah tidak sama.
Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga atau Flo, berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku–,”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca, “Kamu bisa bicara, Julian. Aku akan mendengar.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku bukan cum
Ruang belakang rumah makan kecil itu sunyi. Hanya suara angin malam yang berdesis lembut di celah jendela. Bunga—atau Flo—berdiri dengan kedua tangannya saling meremas, sementara Surya menutup pintu perlahan, seolah takut suara itu akan memecahkan sesuatu yang rapuh di antara mereka.Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap.Tatapan dua orang yang pernah saling mencintai, lalu terpisah oleh takdir yang kejam.Surya menghela napas panjang. Bahunya turun, wajahnya melemah. “Flo… aku—”Suaranya pecah. Ia menunduk, menutup mata, berusaha menarik kekuatan dari udara yang terasa berat.Bunga memandangnya dengan mata yang mulai berkaca. “Kamu bisa bicara, Julian. Aku di sini.”Surya tersenyum getir mendengar nama itu. Nama lama yang hanya dia dan Flo kenal. Nama yang pernah ia pikir sudah mati bersama masa mudanya.“Aku dulu berpikir kamu… meninggal,” katanya pelan. “Aku benar-benar percaya kabar itu, Flo.”Bunga mengerjap. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku tahu. Aku dengar it
Suasana sore di dapur rumah Hana terasa tenang, hanya terdengar suara sendok beradu pelan di cangkir teh yang baru saja ia aduk. Udara membawa aroma jahe hangat yang menenangkan. Tapi hati Hana justru sebaliknya, penuh tanda tanya yang menumpuk sejak kejadian di pasar tadi.Ia memandangi jendela, di mana bayangan pepohonan menari karena hembusan angin. “Papa kenal Tante Bunga…” gumamnya lirih, seolah mengulang potongan adegan yang baru saja berlalu. Tatapan Surya kepada Bunga atau Flo, seperti yang ia dengar tadi, masih tergambar jelas di kepalanya. Tatapan yang terlalu dalam untuk sekadar pertemuan antara orang lama.Langkah kaki terdengar dari arah ruang tamu. Adam baru pulang dari meeting luar, wajahnya tampak lelah tapi mata itu… mata itu melirik sesuatu yang berbeda dari Hana.Ada kekosongan, juga resah yang tidak biasa.“Sayang,” sapa Hana pelan sambil mendekat, “Kamu pulang? Kok aku nggak dengar suara mobil, ya?" Adam menatapnya sebentar, mencoba tersenyum, tapi senyum, “Hayo
Suara itu nyaris tak terdengar, hanya getar di udara.Surya menunduk sedikit, menatapnya dengan mata yang basah tapi tenang,.“Iya, Flo. Aku.”Bisikan itu cukup untuk membuat beberapa orang yang masih mengamati menahan napas. Ibu penjual daging yang tadi lantang kini sibuk menutup mulut dengan tangan, wajahnya merah padam, “Ma–maaf, saya… saya nggak tahu…”Suara itu gemetar, tapi Surya hanya menatapnya sebentar, lalu menghela napas.“Tidak apa-apa, Bu. Tapi lain kali, berhati-hatilah menilai seseorang. Lidah bisa lebih tajam dari pisau daging di depan Anda.”Kalimat itu membuat beberapa orang mengangguk pelan. Ada yang bahkan menepuk bahu Bunga, memberi senyum simpati, sementara Surya menggenggam tangannya dengan mantap, seolah takut jika melepaskan, semuanya akan hilang lagi.Di kejauhan, Hana yang baru selesai menawar ikan menatap dengan dahi berkerut, belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari cara Surya berdiri, ia tahu itu bukan orang asing. Kerumunan pasar mulai mencair,
Pagi itu langit belum terlalu terik. Pasar tradisional penuh suara teriakan pedagang, gesekan plastik, dan aroma sayur segar yang berpadu dengan bau tanah basah sisa hujan semalam.Surya berjalan di belakang Hana, membawa tas belanjaan besar yang setengah penuh. Menantunya itu asyik menawar ikan tenggiri, suaranya riang, seperti biasa. Tapi Surya tidak benar-benar mendengar. Ada sesuatu di udara pagi itu yang membuat langkahnya melambat. Entah kenapa, dada kirinya terasa sesak tanpa sebab yang jelas.Ia memalingkan wajah ketika samar-samar terdengar suara perempuan paruh baya yang sedang berbicara dengan nada tinggi di lapak daging beberapa meter dari tempatnya berdiri.“Jangan jual daging kita ke perempuan itu, ya! Aku udah bilang ke kamu!”Suara itu membuatnya menoleh. Di antara lalu-lalang pembeli dan deretan meja kayu, Surya melihat sosok wanita bersahaja dengan pakaian sederhana, memngenakan kemeja lengan panjang, dan dengan rambut yang disanggul seadanya.Gerak-geriknya tenang,
Sore itu, aroma masakan memenuhi seluruh rumah. Bunga dan Hana sibuk di dapur sejak siang. Meja makan sudah tertata rapi dengan sup ayam bening, ikan bakar kesukaan Adam, dan puding mangga favorit Hana.“Wah, Tante serius banget, nih,” kata Hana sambil tersenyum kagum. Bunga hanya tertawa kecil. “Namanya juga tamu penting. Masa mau disambut asal-asalan.”Adam ikut membantu menata gelas, sesekali mencuri pandang ke arah pintu. “Kayaknya Papa bentar lagi sampai. Tadi udah balas pesan aku, katanya udah di jalan.”Waktu berjalan. Langit di luar mulai memerah, lalu perlahan gelap. Empat piring sudah tersaji, empat gelas berisi teh hangat menunggu, tapi kursi keempat di ujung meja masih kosong.Jam menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh saat ponsel Adam berdering. Ia melihat nama yang muncul di layar, lalu cepat mengangkat.“Pa?” suaranya agak ceria, tapi itu hanya di awal.Beberapa detik kemudian ekspresinya berubah.“Iya, Pa… oh… gitu… baik, Pa. Hati-hati di jalan.” Nada suaranya menuru







