FRANCESCA
EPISODE 2
"Hmm ... ehh ... mommy ... dingin mom ...." gadis cantik itu meringkuk dalam tidurnya.
Dia menekuk kedua kaki hingga ke perut dan mendekap erat dengan kedua tangan mungilnya, bagaikan posisi janin dalam kandungan.
Namun sayang sekali hal tersebut tidak mengurangi rasa dingin yang dia rasakan. Tidak ada angin yang berhembus, namun udara terasa dingin menusuk tulang.
Gadis itu semakin mempererat pelukannya. Matanya masih terpejam dengan erat. Rasa dingin yang menusuk tulang, tak mampu menggugah rasa kantuk yang begitu kuat dia rasakan. Matanya terpejam dengan rapat sementara bibirnya tak berhenti mengigau, memanggil ibunya.
Bibirnya mulai membiru, giginya bergemalatukan. Dalam keadaan masih terpejam dan tidak sadar, gadis itu mengusap tubuhnya yang mungil. Berusaha mencari kehangatan dengan gesekan
Lengannya masih terbalut kain tipis dan kedua kaki sudah tertekuk berada di dalam gaun yang dia kenakan. Gaun tipis yang ia kenakan tidak cukup membantu untuk memberikan sedikit kehangatan.
Dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk sadar. Dia memaksa membuka matanya yang masih terasa lengket, bagaikan menggunakan perekat super.
Seberkas cahaya perlahan masuk ke dalam retina mata, membuatnya merasa silau. Cahaya tipis yang muncul dari sebuah jendela kayu tepat di sisi kanan tempatnya berbaring.
Gadis itu mulai berhasil melawan rasa kantuk dan perlahan membuka mata. Siluet cahaya itu masih belum menyatu, menciptakan gambaran ke dalam otaknya. Dia masih tertegun menatap langit-langit ruangan dengan hampa.
Sesaat kemudian, saat matanya sudah terbuka dengan lebar. Gambaran yang dia lihat menghantarkan pesan kepada otak, jika tempat ini terasa asing. Sebuah ruangan pengap dengan pencahayaan minim berwarna kuning.
Semua nya terasa sangat asing. Dia masih memilah apakah semua yang di lihatnya adalah kenyataan ataukah saat ini dunia mimpi masih merajai pikiran, hingga semua halusinasi ini terasa nyata.
Gadis itu kemudian mengangkat tubuhnya. Dia duduk dan memandang ke sekeliling ruangan. Tempat asing yang tidak dia kenali. Ruangan berukuran empat kali empat meter dengan dinding yang nampak suram. Gadis itu mengerjapkan matanya sekali lagi.
Ruangan yang terbuat dari dinding batu dengan lantai dari ubin. Matanya beredar dan dia hanya menemukan satu jendela kayu dan dua buah pintu yang tertutup rapat. Satu pintu terlihat lebih kecil daripada yang lainnya.
Tak ada benda lainnya dalam ruangan ini kecuali kasur keras yang dia tempati dan sebuah meja kecil. Gadis itu meraba tempat tidur mencari jaket miliknya, Jaket tebal yang selalu dia kenakan. Tapi sayang dia tidak menemukan apapun, selain kain sprei tipis yang membungkus kasur.
Gadis itu menoleh ke arah meja kecil disisinya. Dengan segera diambilnya biola kesayangan yang tergeletak disana. Dia peluk biola itu, satu-satunya benda berharga yang dia miliki saat ini.
Biola itu adalah satu-satunya hal yang mengingatkan dirinya akan jati diri nya. Gadis itu kemudian melangkah turun dari tempat tidur, dia beranjak menuju pintu besar yang dia yakini adalah pintu keluar. Dia berusaha membuka, namun pintu itu sangat kokoh dan tak bergeming.
Buk! Buk! Buk!
Dia memukul pintu tersebut dengan keras. Dengan sekuat tenaga dia menghantam pintu itu. Menarik pegangan dengan kasar. Menghentakan pegangan itu berulang kali.
Dia berusaha menarik perhatian siapapun yang ada di sana, agar mereka membukakan pintu ini untuk dirinya. Berkali-kali dia mengulangi perbuatannya memukul pintu dan berusaha membukanya, tapi semua sia-sia saja.
"Halloooo! apakah ada orang disana? Tolong bukakan pintu. Keluarkan aku dari sini. Halooo! Halloooo!"
Dia menjerit, memukul pintu, menarik pegangan pintu. Hingga nafasnya semakin pendek karena udara dingin dan tipis yang menyelimuti. Gadis itu menjadi ketakutan, karena tidak ada seorang pun yang menjawab panggilannya.
Dia merasakan kesunyian yang makin mencekam. Dibalikan badan kecil dan rampingnya bersandar pada pintu dengan gelisah. Matanya beredar ke sekeliling ruangan, lagi.
Pandangannya tertumpu pada pintu kayu kecil, yang terlihat lebih rapuh. Gadis itu mulai berjalan menuju ke arah pintu itu. Dibukanya pintu itu dengan mudah.
Ternyata ruangan itu adalah kamar mandi kecil dengan pancuran dan sebuah toilet, tanpa jendela dan hanya terdapat lubang angin yang kecil. Dia menutup kamar mandi itu. Matanya kembali beredar di sekeliling ruangan.
Rasa dingin yang dia rasakan sebelumnya mulai menghilang, karena peluh yang keluar dari tubuhnya. Dia mulai gelisah dan meraba sekeliling dinding batu. Tidak ada lagi pintu tersembunyi lainnya. Semua hanyalah batu dingin yang berjajar dengan rapat. Tidak ada celah ataupun ruangan rahasia lainnya.
Pandangannya mulai beralih ke arah jendela tersebut. Beruntung sekali jendela itu tidak terkunci. Dengan bersemangat, gadis itu membuka jendela lebar-lebar. Angin dingin dari luar ruangan langsung menampar wajahnya dan aroma amis lautan menusuk penciuman. Dia tersentak.
Sejauh mata memandang yang dapat dia lihat hanya lautan. Tak dapat dia temukan pulau di kejauhan sana. Langit gelap yang mulai memudar, beranjak berganti dengan cahaya sinar matahari.
Di sebelah kiri dari posisi dia berdiri, dapat dilihatnya, sinar sang surya yang perlahan menyembul malu-malu. Pemandangan itu seharus nya indah, menghipnotis setiap mata dan hati yang melihatnya.
Tetapi tidak untuk gadis itu. Dia terbelalak melihat ke sekeliling area. Jauh di bawah sana, dia bisa melihat adanya daratan. Pantai putih yang sepi tanpa manusia.
Saat dia menunduk lebih dalam lagi, dia bisa melihat sebuah pagar besi mengelilingi bangunan dimana dia berada saat ini. Dapat dia pahami jika tempatnya saat ini berdiri adalah, puncak dari sebuah kastil di tepi lautan.
Dia berteriak tertahan menyadari jika dirinya, berada di tempat yang sama sekali tidak dia ketahui. Tempat asing dan terpencil. Dan kesunyian yang amat sangat dia rasakan itu, hanya dipecahkan oleh deburan ombak dan siulan burung camar. Alam yang berbisik di tengah kesunyian yang dia rasakan.
"Dimanakah aku. Kenapa aku bisa berada di sini? Tuhan apa yang terjadi sebenarnya?" bibirnya berucap dengan lirih.
"Tolonggggggg! Tolonggggggg! Adakah orang di sanaaaaa ... Tolonggg aku!"
Dengan sekuat tenaga dia berteriak. Menjerit keras hingga urat-urat di leher dan kening menonjol.
Tidak ada sahutan dari teriakannya kecuali deburan ombak.
Air mata kini menetes di wajahnya. Dia mulai kembali menggigil kedinginan. Meskipun matahari sudah muncul di ufuk timur, namun hawa dingin yang terbawa hembusan angin, terasa menusuk ke kulitnya.
Sekali lagi dia menunduk, memandang keluar jendela. Memindai arah bagian bawah dari luar jendela, jikalau ada manusia keluar dari dalam kastil ataupun berjalan di pantai. Namun semua yang dia lihat hanyalah kesunyian.
Masih dengan air mata yang menetes deras, dia menutup jendela. Menghampiri tempat tidur, menarik sprei dan dia gunakan untuk membungkus tubuhnya yang kedinginan. Sprei tipis itu hanya membantu sedikit untuk menepis rasa dingin. Gadis itu mulai menekuk kedua kakinya dan memeluk erat, ketakutan.
Dia kini duduk diatas kasur bersandar pada kayu yang mengitari bagian atas tempat tidur. Empat kayu besar di sekeliling tempat tidur itu, seharusnya merupakan tempat di mana kelambu menutupi. Tetapi tampaknya kelambu tersebut sengaja di lepas.
"Mommy ... Francesca berada di mana sekarang. Apa yang terjadi ya, Tuhanku. Kenapa aku ada disini?" tanya nya pilu disela tangisan.
Kini, otaknya kembali memutar kejadian yang telah berlalu. Dia berusaha menggali ingatannya, bagaimana bisa dirinya terjebak dalam ruangan asing yang dingin dan sepi ini. Dia terus berpikir tanpa bisa menghentikan air mata, yang menetes deras membasahi pipi putih halusnya.
Francesca teringat, jika sebelumnya dia berada dalam La Fenice Opera House. Dia berada dalam kelompok pemusik yang menghibur disana. Masih dapat diingatnya dengan jelas, kebanggan diri menggesek biola di tengah-tengah pemusik dunia, dalam gedung opera yang mewah, ditonton oleh bangsawan kelas atas.
Teringat pula dia ketika pertunjukan terakhir berakhir. Sang manager menjemput dirinya dan mengatakan jika seorang penggemar ingin bertemu. Jiwa muda gadis cantik yang baru pertama kali tampil dalam pertunjukan dunia di negara asing, begitu bersemangat dan bergelora. Dia masih sempat mengirim pesan kepada ibunya, jika seorang penggemar sedang menanti.
Dengan diantar sang manager, Francesca menemui penggemarnya. Dua orang pria tampan yang membuat dirinya menjadi gugup. Salah satu dari mereka memandangnya dengan tatapa dingin menusuk, sedangkan yang lainnya menatap dengan hangat dan senyuman lembut.
Disanalah akhir ingatan Francesca. Dia tidak tahu, apa yang telah terjadi, hingga dirinya sekarang terkurung dalam ruangan yang dingin dan pengap ini. Dia masih memeluk dirinya dalam balutan kain sprei tipis itu. Meringkuk sambil mengginggil kedinginan, nafasnya semakin pendek dan dia hampir jatuh tertidur ketika di dengarnya pintu terbuka.
Seseorang masuk!
*******Kisah ini adalah sequel dari kisah Novel Hidupku Bersana Ceo.
Cek i* taurusdi_author untuk karya lainnya
EPISODE 2 KABUR ❤❤❤ Francesca menengadahkan wajahnya, ketika mendengar suara kunci membuka pintu. Tampaknya dia tidak sendirian di tempat ini. Di balik pintu itu, ada seseorang yang mungkin mengetahui bagaimana dia berada di tempat ini. Sorot mata gadis itu penuh harap memandang pintu yang mulai terbuka perlahan. Dengan secepat kilat, Francesca turun dari tempat tidurnya berlari mendekati pintu. Hatinya sudah dipenuhi dengan rencana. Dia akan menerobos keluar dari ruangan pengap ini, begitu pintu terbuka.
Gadis itu berlari menuruni tangga yang melingkar dengan cepat. Dia tidak memperhatikan jika selain kamar pengap yang dia tempati sebelumnya, ruangan di luar sangat mewah.Tangga batu yang dia turuni dari atas menara berubah menjadi marmer indah di lantai selanjutnya. Anak tangga yang saat ini dia turuni dengan cepat tersebut terbuat dari marmer Italily kualitas nomor satu. Pikirannya hanya tertuju pada akhir dari anak tangga, yang ingin segera dicapainya, agar dapat menemukan jalan keluar. Pergi jauh dari rumah dan pria sakit jiwa itu. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, khawatir jiia pria itu menyusul sebelum dirinya sempat menyentuh anak tangga. Suara teriakan marah dari Enrico membuat Francesca gugup. Gadis itu terkejut mendengar langkah kaki yang cepat menuruni tangga, hingga disaat anak tangga terakhir dia capai
Gadis itu masih terdiam kaku untuk sesaat. Kakinya terasa tak bertenaga dan sukar digerakan. Apalagi hawa dingin yang teramat sangat, membuat aliran darah menjadi sedikit lambat mengaliri kakinya. Sesaat kemudian ... dia merasakan otot-otot tubuhnya sudah mulai melemas dan bisa bergerak. Francesca berusaha menopang tubuhnya yang gemetaran oleh rasa dingin dan takut. Dia adalah gadis yang tumbuh di daerah panas. Hawa dingin 5°C ini terasa sangat membekukan bagi tubuh mungilnya. Francesca dengan sisa kekuatan melihat ke sisi tempat tidur, mencari kain tipis yang sebelumnya menutupi tubuh. Rasa lapar dan haus mengalahkan rasa lelah dan dingin yang dia rasakan. Kain tipis itu tak mampu membantu mengusir hawa dingin yang dia rasakan. Apalagi dinding-dinding batu
Malam sudah bergulir diterpa oleh cahaya mentari pagi. Kegelapan sirna digantikan dengan terang. Udara dingin sedikit demi sedikit mulai menghangat akibat sinar matahari yang muncul di ufuk timur. Suara deburan air laut terdengar samar-samar. Alam semesta tampak begitu indah. Enrico terbangun dengan tubuh segar dan perasaan bahagia. Dia membuka jendela dan memandang deburan air laut sambil tersenyum lebar. Hembusan angin laut yang dingin dan kering, dia terima dengan sukacita. Hari ini, dia akan melemparkan sebuah kenyataan kepada Fransisca. Enrico tertawa membayangkan raut wajah gadis cantik itu jika membaca berkas yang dia terima. Tentu saja dia pasti akan shock. Semua ini bermula dengan pertemuan pertamanya dengan Francesca di gedung Opera. Pertemuan itu menguak luka masa lalu dan membuat bara dendam muncul kembali. Enrico mul
Francesca meringkuk menahan lapar dan dingin yang semakin menusuk. Dia benar-benar tidak terbiasa dengan hawa yang dingin. Udara dingin menusuk meskipun tidak ada salju. Francesca yang dibesarkan di udara pantai yang tropis, membuatnya kesulitan beradaptasi dengan dingin. Sudah tiga hari dia kelaparan. Hanya air payau dan segelas teh hangat di pagi hari yang membuat gadis itu bertahan. Matanya lapar tertuju pada seonggok roti yang ada dilantai. Roti yang sudah mulai berjamur dan kotor. Dia sengaja membiarkan roti itu tetap di lantai. Supaya Enrico tidak menghina dirinya dengan menuduh menikmati makanan sampah. Dalam keadaan kelaparan pun, harga diri tetap di junjung tinggi. Sepanjang hari yang dapat dia lakukan hanyalah menggesek biola dan memanjatkan doa. Francesca yakin Tuhan itu ada. Seperti
Gadis malang itu terbaring lemah diatas tempat tidur. Wajahnya sudah mulai berwarna, tidak sepucat seperti beberapa hari sebelumnya. Cairan infus itu tampaknya berhasil memberikan asupan makanan dalam tubuhnya. Sudah dua hari Francesca tidak sadarkan diri. Suhu tubuhnya sudah kembali normal. Setiap hari seorang pelayan membersihkan tubuh gadis itu dan mengoleskan air madu di bibir Francesca yang pecah-pecah. Kini bibirnya merona alami kembali. Tuhan itu memang ada. Dia mendengarkan jeritan hati dan doa Francesca, dengan mengirimkan Leonardo untuk menyelamatkan gadis itu. Setidaknya saat ini gadis malang yang masih terbaring lemah, sudah berada di ruangan yang lebih baik dan mendapatkan perawatan. Hampir setiap saat setelah kembali dari lada
Gemercik suara air dari pancuran, mengguyur tubuh Francesca. Ini air hangat pertama yang dia rasakan mengaliri kulitnya, setelah tujuh hari terkurung di kediaman Enrico. Francesca menikmati aliran air yang membasuh tubuhnya dengan penuh syukur. Sudah tujuh hari, gadis cantik itu tidak mandi. Tubuhnya yang berangsur membaik, membuat dia memaksakan diri untuk mandi. Francesca menggosok seluruh tubuh, membuang kulit kering yang sudah mulai mengelupas. Hawa dingin di pulau ini membuat kulitnya menjadi kering.Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dibawah aliran air hangat, Francesca mengeringkan tubuhnya. Dia mengenakan bathrobe sebelum keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang masih menggulung di atas kepala. Francesca duduk di depan meja rias, mematut dirinya. Mata dan pipinya tampak mulai cekung. Tapi it
Francesca Tin ... tin ... tinnnn .... Sebuah klakson mobil golf mendekat, Enrico disana, dibalik kemudi sambil menyeringai dingin kearah Francesca. Langkah kaki gadis itu terpaku di depan gerbang dengan pandangan lekat ke arah Enrico yang semakin mendekat. Dia mengerti sia-sia saja menghindari predator buas dihadapannya. Mobil golf yang di kendarai Enrico, behenti tepat dihadapan Francesca. Moncong kendaraan itu menempel pada kaki gadis itu. Francesca secara reflex mundur satu langkah ke belakang. Dengan tubuh yang gemetaran, gadis itu memaksakan senyuman kaku di wajahnya. "Tuan---" "Kau henda