Share

Jatuh Sakit

Francesca meringkuk menahan lapar dan dingin yang semakin menusuk. Dia benar-benar tidak terbiasa dengan hawa yang dingin. Udara dingin menusuk meskipun tidak ada salju. Francesca yang dibesarkan di udara pantai yang tropis, membuatnya kesulitan beradaptasi dengan dingin.

Sudah tiga hari dia kelaparan. Hanya air payau dan segelas teh hangat di pagi hari  yang membuat gadis itu bertahan.  Matanya lapar tertuju pada seonggok roti yang ada dilantai. Roti yang sudah mulai berjamur dan kotor. Dia sengaja membiarkan roti itu tetap di lantai. Supaya Enrico tidak menghina dirinya dengan menuduh menikmati makanan sampah. Dalam keadaan kelaparan pun, harga diri tetap di junjung tinggi.

Sepanjang hari yang dapat dia lakukan hanyalah menggesek biola dan memanjatkan doa. Francesca yakin Tuhan itu ada. Seperti yang selalu diajarkan oleh mommy Diana. 

"Tuhan itu selalu ada, meskipun terkadang kita tidak merasakan kehadirannya. Ingat Dia tidak pernah jauh, Dia selalu ada disini, dekat dihatimu. Ingat lah selalu akan hal itu." 

Gesekan biola membuatnya sedikit lebih tenang. Hanya ini hiburan satu-satu yang dia miliki. Dengan memejamkan mata, Francesca membawa dirinya dalam angan ditengah-tengah Ochestra. Angannya membuat dia tidak menyadari kehadiran Enrico disana. 

PLOK. PLOK.  PLOK.

Francesca dengan segera menghentikan tangannya menggesek biola, membuka mata dan kembali pada kenyataan. Monster tampan dengan mata biru bagaikan lautan dingin, menatap dirinya dengan tajam. Tubuhnya terpaku tak bisa begerak. Seakan sinar dingin dari mata pria itu membekukan langkah kakinya. Gadis itu mematung, masih dengan tangan memegang biola dengan posisi menggesek.

Otaknya mengatakan untuk cepat-cepat mundur,  pergi ... berlari ... bersembunyi ... menghindar sejauhnya saat pria itu mendekat padanya. Tapi, Francesca tidak memiliki kekuatan untuk bergeming. Dia masih duduk dipinggiran tempat tidur.

Enrico berjalan melewati Francesca dan mengambil roti di lantai. Dia meniup kotoran di roti tersebut, membuang bagian yang ditumbuhi jamur, kemudian membawa roti itu kepada Francesca.

"Sudah tiga hari bukan,  kau tidak makan. Jangan keras kepala, makanlah roti ini!" Enrico mengacungkan roti di tangannya kearah gadis itu.

Francesca dengan mata duka memandang roti tersebut. Ya benar, dia lapar. Dan batas kesabaran akan ada ujungnya. Tidak pernah seumur hidupnya dia kelaparan. Bahkan pelayan di mansionnya makan dengan lebih baik.

Francesca tidak bersuara. Dia mengambil roti dari tangan Enrico. Enrico menyeringai penuh kemenangan. Detik-detik yang dia tunggu akan datang, saat gadis itu makan roti yang  dia buang di lantai dan berjamur. Detik dimana Francesca tak lebih bagaikan seorang gelandangan. Ini adalah moment yang dinantikan Enrico, untuk membalas perbuatan Caroline pada dirinya.

Dengan memegang roti itu di tangannya, Francesca berjalan menuju ke jendela. Sesaat sebelum dia membuka jendela. Francesca berbalik ke arah Enrico dan tersenyum. Detik selanjutnya dia membuka jendela dan membuang roti itu. Angin dingin yang menerpa pipi pucatnya, membuat Francesca menggigil.

"Kau! Kau rela kelaparan daripada memakan roti itu. Makanan terakhir yang bisa kau lihat!" 

Enrico mendekati Francesca dengan segera dan memegang kedua bahu gadis itu dengan keras. Mata biru dan sedingin es itu menatap Francesca dengan tajam. Seakan mengeluarkan jutaan peluru es, menghujami gadis itu.

Wajah gadis itu sudah pucat, bibirnya sangat kering dan pecah-pecah. Tubuhnya dingin dan bergetar. Tetapi, sorot mata gadis itu tampak tidak menyerah, sorot mata penuh keberanian. 

"Kau akan menyesal, telah membuang roti itu. Jika saja kau memakan roti itu, maka aku akan memberimu makan. Tapi ... karena kau telah mencampakan kebaikanku, maka dirimu akan tetap kelaparan selama beberapa hari lagi." 

Enrico melepaskan pegangan tanggan nya dari Francesca. Dia hampir kehabisan akal menyiksa gadis itu. Semakin hari bukannya semakin takut dan putus asa. Tetapi gadis itu tetap tenang dalam keadaan lemah.

Dia memiliki keberanian Caroline, tetapi sorot mata mereka berbeda. Sorot mata Caroline begitu licik dan penuh kebencian. Sedangkan Francesca ... sorot matanya berani tetapi teduh. Menatap mata itu terlalu lama, membuat Enrico jengah. 

"Kenapa?" 

Francesca bertanya saat Enrico memalingkan tubuhnya, menjauhi dirinya.

Mendengar pertanyaan itu Enrico membalikan tubuh dan menatap gadis itu.

"Kenapa kau membalasnya padaku. Kenapa tidak kau balas langsung pada Caroline? Bukankah dia alasan kau melakukan semua ini. Kenapa haru aku yang menanggung dosanya?" tanya Francesca dengan lemah.

"Karena dia sudah mati!" jawab Enrico tegas sebelum pergi meninggalkan Francesca, sambil membanting pintu dengan keras

Enrico menuruni tangga dengan cepat. Dia turun ke arah ruang olah raga dan segera memukul samsak yang bergelantung disana tanpa sarung pelindung. Dia menumpahkan semua kemarahan dan kebencian disana. 

Tinju, tendangan juga ayunan yang keras.  Dia tidak menghiraukan tangannya yang lecet dan berdarah. Enrico tidak berhenti meskipun peluh membasahi tubuhnya. Dan darah ditangan mengotori samsak.

"Kakak! Hentikan!" seorang pria muda menghampiri Enrico.

"Leonardo. Kapan kau datang?" Enrico menghentikan kegilaannya saat melihat adiknya datang.

"Aku baru saja datang dengan kapal yang membawa perlengkapan. Apa yang kau lakukan? Kenapa tidak memakai pelindung tangan? Lihatlah, tanganmu berdarah. Kemarilah, akan aku obati dirimu." 

Leonardo menarik tangan Enrico keluar dari ruang olah raga dan menuju ke ruang tengah. Dia memerintahkan pelayan mengambil obat-obatan dan baskom air untuk membasuh luka. Dengan cekatan Leonardo mengoleskan obat ditangan Enrico dan membebatnya dengan kasa.

"Kau ... apakah kau masih mengurung gadis itu?" tanya Leonardo hati-hati setelah selesai mengobati luka ditangan Enrico.

Enrico mengangguk.

"Meskipun kau tahu dia bukan Caroline?" 

"Dia memiliki dna yang sama dengan wanita jalang itu!" 

Heh ... Leonardo menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, ketika mendengar nada tinggi dari suara Enrico. Bagaimanapun juga, kakak lelaki yang berusia tiga tahun lebih tua darinya, lebih memiliki kenangan yang kuat akan Caroline.

"Baiklah, aku akan mencoba mengerti. Bisa aku melihat gadis itu. Aku ingin melihat bagaimana dia bisa membuat mu  frustasi seperti ini." 

Enrico mengacuhkan perkataan Leonardo. Dia duduk bersandar dengan kedua tangan yang di lebarkan diatas bahu sofa. Enrico menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata. 

Leonardo mengartikan sikap acuh Enrico sebagai ijin. Dia berlalu  menuju kearah tangga yang mengantarnya kemenara, ruang dimana Francesca disekap. Dengan penuh rasa ingin tahu, Leonardo membuka pintu ruangan.

Disana dia melihat seorang gadis yang tergeletak, dengan menjadikan kasur busa sebagai pengusir rasa dingin. Leonardo melihat kearah sekeliling ruangan yang pengap dan kotor dengan pencahayaan sangat minim.

Dia bisa merasakan hawa dingin yang diantarkan oleh dinding batu. Lantai yang kotor bagaikan rumah tak berpenghuni. Dengan perlahan dia menghampiri sosok tubuh Francesca yang masih digulung oleh kasur busa.

Leonardo berjongkok dihadapan gadis itu. Dia terkejut melihat betapa kacau dan menyedihkannya Francesca. Pipi nya pucat bersisik dengan bibir pecah-pecah yang membiru. 

Leonardo memegang rambut Francesca turun ke bahu dan  menggoyangkannya perlahan. Tetapi gadis itu diam dan hanya bergumam, kalimat yang tidak dapat dia mengerti.

Leonardo meletakan tangannya diatas kening Francesca dan terkejut. Dia menarik tangannya dengan cepat sebelum kembali menempelkan dikening gadis itu. Tubuh Francesca amat sangat panas.  Gadis itu mengigil kedinginan meskipun tubuhnya sangat panas.

Leonardo segera melepaskan gulungan kasur busa dari tubuh Francesca. Mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya keluar dari penjara dingin tersebut. Dia menuruni tangga dengan cepat sambil membopong tubuh Francesca.

"Apa yang kau lakukan?!" hardik Enrico marah melihat Francesca di tangan Leonardo. Dia membuka matanya yang terpejam ketika mendengar langkah kaki Leonardo menuruni tangga.

"Gadis ini sakit. Badannya panas. Dia harus diobati." 

"Tidak! Tidak! Kenapa kau bawa dia turun? Biarkan dia disana dan kirim pelayan untuk memberi obat." 

"Tidak bisa. Ruangan itu akan memperlambat kesembuhannya. Dia memerlukan tempat yang hangat dan nyaman." 

Enrico mengalah, melihat Leonardo membawa Francesca ke dalam salah satu kamar tamu. Dia mengikuti langkah adiknya dan membiarkan pria itu berbuat semaunya.

"Pelayannn! " teriak Leonardo.

"Ya tuan," seorang pelayan wanita datang dengan cepat menghampiri Leonardo, melewati Enrico yang termangu di pintu.

"Panggil perawat, bawakan infus. Dan kau bersihkan tubuh wanita ini dengan air hangat. Sekarang!" perintah Leoanrdo segera di laksanakan dengan cepat oleh pelayan tersebut.

Sambil memperhatikan keadaan Francesca yang menyedihkan, dia mendesis pada Leonardo, "berapa lama kau tidak memberinya makan?" 

"Tiga hari." 

"Kau gila!" Leonardo menatap tajam Enrico.

"Aku memberinya roti tapi dia menolak. Lagipula kenapa kau marah, Caroline juga melakukan hal yang sama." 

"Kakak! Dia bukan Caroline!" bentak Leonardo kesal. Namun, dia tahu saat ini sia-sia bagi dirinya untuk menyadarkan Enrico. Pria itu sedang dibakar api dendam.

"Kau tahu bukan, kalau dia harus hidup lebih lama dan kuat, agar kau bisa puas menyiksanya," desis Leonardo menatap Enrico.

"Baiklah, sembuhkan dan lakukan apa yang kau mau dengan dirinya. Asal, jangan bawa dia pergi. Aku belum puas bermain-main dengan dirinya," sahut Enrico acuh sambil meninggalkan kamar tersebut.

Leonardo menatap punggung Enrico yang menjauh. Dia terpaksa menggunakan kata-kata provokasi tersebut, agar Enrico tidak mengahalangi untuk pengobatan Francesca. Gadis ini akan mati perlahan, jika masih ada dalam ruangan pengap itu. Dan akibat fatal bisa merugikan semuanya, jika keluarga Francesca mulai curiga dengan keberadaan gadis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status