Gemercik suara air dari pancuran, mengguyur tubuh Francesca. Ini air hangat pertama yang dia rasakan mengaliri kulitnya, setelah tujuh hari terkurung di kediaman Enrico. Francesca menikmati aliran air yang membasuh tubuhnya dengan penuh syukur. Sudah tujuh hari, gadis cantik itu tidak mandi. Tubuhnya yang berangsur membaik, membuat dia memaksakan diri untuk mandi.
Francesca menggosok seluruh tubuh, membuang kulit kering yang sudah mulai mengelupas. Hawa dingin di pulau ini membuat kulitnya menjadi kering.Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam dibawah aliran air hangat, Francesca mengeringkan tubuhnya. Dia mengenakan bathrobe sebelum keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang masih menggulung di atas kepala.
Francesca duduk di depan meja rias, mematut dirinya. Mata dan pipinya tampak mulai cekung. Tapi itu bukan masalah. Yang menjadi prioritasnya saat ini, bagaimana caranya agar dia bisa keluar dari pulau terpencil ini. Sambil mengoleskan pelembab yang dia temukan di meja rias ke wajah dan tubuhnya, Francesca mengingat percakapan antara Leonardo dan Enrico. Saat itu kakak beradik itu sedang memperdebatkan dirinya di luar pintu kamar.
"Lusa aku akan kembali ke kota, biarkan aku membawanya pergi, kakak." ucap Leonardo.
"Tidak! Jangan coba-coba membawanya pergi. Dia tawananku! Aku belum puas bermain dengannya!" dengan tegas Enrico menolak.
"Tapi kakak, dengan melihatnya saja sudah membuat dirimu tersiksa, aku tidak ingin ...."
"Cukup! Itu urasanku. Gadis itu akan tetap disini. Takdirnya terikat denganku seumur hidupnya, " potong Enrico dengan dingin.
"Itu bukan takdir, itu kau yang menyeretnya berada disisimu. Lihatlah dirimu, hidupmu lebih baik tanpa dia," bujuk Leonardo lagi.
"Pertemuanku dengan dirinya adalah takdir, bukan?" ucap Enrico sinis.
"Kakak, aku akan tetap membawa nya pergi meski tanpa ijinmu." ucap Leonado tegas.
"Jangan coba-coba menentangku. Atau akan aku ambil alih semua kekuasaanmu diatas perusahaanku!" Ancam Enrico perlahan.
"Biarkan aku yang menyiksanya. Biarkan aku yang membalas dendamu," desis Leonardo perlahan hampir tidak terdengar oleh Francesca, yang menguping di balik pintu.
"Tidak! Itu tanggung jawabku. Jangan pernah kau menyentuh dirinya. Dia milikku!" sanggah Enrico lebih tegas.
"Tunggu, Kakak!"
Itu percakapan terakhir yang Francesca dengar. Instingnya untuk tidak mempercayai Leonardo pun menjadi kuat. Meskipun pria itu bersikap baik dan ramah padanya, tapi bagaimanapun, Leonardo adalah adik dari pria dingin itu.
Dan, mulai saat itu tekadnya semakin kuat. Bagaimanapun caranya, Francesca harus segera pulih dan pergi dari tempat ini. Pilihan terakhir yang bisa dia ambil adalah, memohon pada Leonardo untuk mengeluarkannya dari pulau ini dan membawanya ke kota. Dia menepis segala keangkuhan, Francesca memakan semua makanan yang disediakan oleh pelayan. Francesca juga tidak melawan dan tetap bersikap tenang selama Enrico mengolok dirinya.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, tepat disaat Francesca hendak melepas bathrobe dan menggantinya dengan pakaian lain. Gadis itu terkejut dan buru-buru mengenakan jubahnya kembali. Dia merapatkan ikatan bathrobe dan mundur kebelakang ketika dilihatnya Enrico sudah ada di depan pintu.
'Apa mau pria itu di kamar ini?''
Enrico memang tidak pernah mengetuk pintu kamar ketika masuk. Francesca lupa akan kenyataan itu. Seharusnya dia membawa pakaian ganti ke kamar mandi, sehingga tidak perlu merasa takut juga canggung berhadapan dengan pria sadis tersebut, dalam keadaan yang seperti ini.
Mata Enrico menindai tubuh Francesca. Dapat terlihat sekilas matanya berkilat, ketika melihat punggung gadis itu yang terbuka. Kulit putih yang halus dan punggung tanpa lemak. Hanya sepintas dia melihat, tetapi sudah sanggup menumbuhkan rasa kepemilikan.
"Tuan --"
Suara Francesca tercekat ketika melihat Enrico menghampiri dirinya. Perlahan dia beringsut kebelakang. Meskipun berusaha untuk tenang, tetapi tetap saja Francesca merasa gemetaran melihat Enrico. Masih teringat dengan jelas ketika pria itu membanting tubuhnya dan mencekik lehernya.
"Kau masih takut padaku," pria tampan dingin itu terkekeh. "Memang sudah seharusnya kau takut dan patuh padaku." ucapnya lagi.
Francesca menundukan kepalanya kesamping, berusaha menghindari tangan Enrico yang terulur kearah tubuhnya. Dia meremas dengan kuat batrobe dibagian dada juga dibagian pinggang.
Namun kenyataannya, tangan Enrico menuju bagian lain. Pria itu melepaskan handuk yang menutupi kepala Francesca, hingga rambut coklat expresso itu terurai. Enrico menyentuh helaian rambut panjang tersebut dan mencium aroma harum yang dipancarkan.
Bulu kuduk Francesca meremang merasakan sentuhan Enrico. Hembusan nafas pria itu dia rasakan begitu hangat menerpa kulit wajahnya. Gadis itu semakin takut dengan sikap lembut Enrico. Tetapi dia tetap diam, berusaha untuk tidak membuat pria itu marah sehingga mengurung dirinya kembali. Rencananya untuk kabur, memerlukan kebebasan.
"Sudah puas dirimu menghabiskan air di rumahku? Lihat berapa banyak shampo yang kau gunakan, sehingga rambut jelek ini menjadi harum."
Enrico menepis tangannya dari rambut Francesca. Dia kemudian menarik tangan gadis itu dan membuatnya duduk kembali di meja rias. Enrico membungkuk kearah laci bawah meja rias. Pria itu mengeluarkan pengering rambut, mencolokan ke listrik dan menghidupkannya.
Pria dingin itu mengarahkan mesin pengering tersebut ke rambut Francesca. Mengeringkan rambut gadis itu dengan lembut. Bukannya merasa tersentuh, Francesca menjadi semakin tegang. Sikap Enrico yang berubah-ubah, membuatnya harus siap dengan kemungkinan terburuk.
"Rambutmu indah dan bagus."
Enrico menarik perlahan rambut panjang dan tebal Francesca. Tangan kanan yang memegang pengering, menelusuri rambut panjang yang dipegang oleh tangan kiri. Enrico benar-benar mengeringkan rambut Francesca dan menyisirnya dengan rapi.
Pria itu kemudian menatap pantulan wajah gadis cantik itu, dari cermin dihadapannya. Dia menatap lekat wajah takut-takut yang masih tertunduk diam. Ketika merasakan tidak ada gerakan dari Enrico, Francesca memberanikan diri untuk menatap pria itu dari arah cermin.
Enrico tersenyum tipis dengan mata dingin tajam yang menatapnya lekat. Pria itu membungkukan badannya sedikit, hingga mulut yang menghembuskan aroma cerutu itu sangat dekat di telinga Francesca.
"Kau suka dengan perlakuanku, Kelinci kecil?"
Francesca diam tidak menjawab.
"Jawab!" Suara Enrico perlahan namun tersirat ketegasan.
"I--ya, tuan."
"Kau tahu apa yang kubayangkan saat ini?"
Francesca menatap Enrico dengan ragu.
"Aku ingin tahu, apa yang akan terjadi pada rambutmu, jika aku menaikan suhu pengering rambut dan mendekatkannya seperti ini."
Ngungggg! Suara mesin pengering rambut yang dihidupkan tiba-tiba.
Francesca tersentak kaget, ketika pengering rambut itu diarahkan dekat dengan kulit lehernya. Seketika Francesca menjauhkan tubuhnya, tetapi tangan Enrico sudah menahan bahu gadis malang itu dengan keras. Francesca meringis menahan panas nya hembusan udara dari pengering rambut.
"Panas? Sakit?" Enrico terkekeh.
Dia kemudian mengarahkan pengering rambut kearah kepala, bermain-main di rambut indah Francesca. Gadis itu segera membungkuk, menghindari pengering rambut tersebut. Dia takut jika mesin pengering itu akan membakar rambutnya.
"Kau takut?" Enrico kembali terkekeh.
"Ingat lah rasa takut ini dalam-dalam. Jika kau berani kabur dari pulau ini, akan aku pastikan untuk mengejar dirimu, menyeretmu kembali dibawah bayanganku ... dan kau akan merasakan rasa sakit berlipat kali ganda dari yang kau rasakan saat ini! Mengerti?!" ancam Enrico dengan menekan setiap kata.
Francesca mengangguk dengan cepat. Lebih baik bersikap patuh saat ini, sambil melihat situasi. Dia hanya punya waktu satu hari untuk bisa mengetahui keadaan pulau ini dan kabur dengan kapal laut. Rencana itu tidak boleh gagal. Setelah berhasil kabur, Francesca akan mencari manusia normal dan memohon mereka untuk mengantarkannya ke kedutaan. Jika bisa, dia akan menghubungi daddy Andrew.
"Bagus! Aku suka melihat sikap patuhmu. lihat, rambutmu sudah rapi. Sekarang kau boleh keluar dan tetap jaga sikap."
Enrico meletakan mesin pengering rambut, kemudian keluar dari kamar Francesca. Begitu pria itu keluar, dengan segera gadis itu mengambil baju ganti ke kamar mandi. Dia merasa lebih aman mengganti baju disana.
Di dalam kamar mandi, Francesca meraba lehernya yang memerah dan terasa perih akibat panas pengering rambut. Sikap kejam Enrico membuat nya bergidik. Dia berusaha menepis rasa takut, keberanian harus diteguhkan untuk bisa pergi dari pria kejam itu.
Francesca kemudian keluar dari kamar dengan mengenakan celana panjang juga sweater. Sesaat sebelumnya dia sempat merasa heran dengan kamar yang dia tempati. Jelas-jelas kamar tersebut adalah bekas kamar wanita. Perlengkapan kecantikan dan pakaian wanita ada disana. Beruntung sekali ukuran pakaian tersebut tidak jauh berbeda dari tubuhnya.
Di luar ruangan Francesca berjalan perlahan dengan sikap normal. Dia melihat ada beberapa cctv di setiap sudut tembok bagian atas. Francesca berjalan hingga menemukan ruang keluarga yang menyatu dengan ruang makan. Dan dari arah berlawanan dapat dia pastikan adalah ruang tamu dimana pintu keluar terletak.
Gadis itu berjalan tenang menuju pintu keluar, dia buka gagang pintu dengan perlahan. Saat pintu terbuka, Francesca menyelinap keluar dengan segera. Udara pulau ini benar-benar dingin meskipun matahari bersinar cerah.
Francesca melangkah keluar melewati taman kecil yang ada di depan Castle. Rumah besar ini tanpa pagar, membuat dirinya mengira bisa dengan mudah keluar. Francesca dengan berharap cemas bergegas melangkah keluar. Sesekali dia menoleh kearah belakang, jikalau ada yang mengikuti.
Tapi dia salah!
Setelah lebih dari tiga puluh meter melewati taman dengan jalan setapak ditengahnya, dibalik pepohonan yang rimbun, Francesca melihat gerbang tinggi besar berwarna hitam. Gerbang itu tertutup rapat dan melingkar lebar tanpa bisa dia lihat ujungnya. Gerbang inilah yang pernah dia lihat dari atas penjara baru.
Gadis itu ragu menentukan arah. Jalan keluarnya terhalang.
Tut ... tut ... tut ....
Sebuah klakson mobil golf mendekat. Francesca menoleh ke asal suara dan dia melihat monster menakutkan itu mendekat. Enrico dengan menyetir mobil golf menghampiri Francesca. Dia menyeringai dingin kearah gadis itu.
SATU TAHUN KEMUDIAN "Kau sudah pastikan kalau bekal Frans sudah disiapkan Denisa?" Napas Francesca tersengal ketika menanyakan hal itu. "Iya sudah. Jangan mengkhawatirkan hal itu. Frans akan baik-baik saja." Enrico tampak memegang tangan Francesca dengan cemas. Butiran keringat dingin menghiasi kening wanita cantik yang bertambah pucat itu. Tangan dinginnya dalam genggaman tangan Enrico yang hangat. "Frans … apakah … dia menanyakanku?" Sesaat setelah rasa sakitnya mereda Francesca kembali mengkhawatirkan Frans, anak sulungnya. "Tentu saja. Dia sangat merindukanmu. Kau harus kuat dan sehat ya. Kami memerlukan dirimu." Enrico dengan sabar mengelus rambut Francesca.
"Duh, Kak Francesca cakep banget." Anna menautkan tangannya di lengan kakak perempuannya. "Kau juga cantik sekali Anna dan kau juga sangat menawan. Tak di sangka kalian bisa tampil sangat anggun dan dewasa." Di tengah keluarganya, Francesca merasa kebahagiaannya nyaris sempurna. "Kita 'kan sudah dewasa bukan anak-anak lagi," sahut Anna dan Adelaide bersamaan. "Iya, sudah bisa berpacaran." Francesca menertawakan wajah mereka yang seketika manyun. "Apa ada yang sudah memiliki pacar?" "Anna itu banyak yang 'nembak' tapi dia suka pilih-pilih." "Apaan sih, Adelle!" Semburat merah muda membuat wajah Anna bertambah cantik. "Benarkah? Sssttt pacaran saja, jangan seperti
"Nyonya Francesca Torres? Mari lewat sini." Seorang wanita yang anggun menghampiri Francesca.Francesca menatap heran ke arah seorang wanita tak dikenalnya yang bergaun indah. Sebuah alat terselip di telinga yang membuat dia bisa berkomunikasi dengan orang lain. Wanita itu segera memimpin langkah dan memisahkan Denisa dari Francesca. Meskipun heran Francesca tetap mengikuti langkah wanita yang membawa dirinya ke pintu utama.Anggukan kecil dari wanita tersebut merupakan tanda yang dimengerti oleh pengawal, mereka segera membuatkan pintu.Mata hazel Francesca seketika menyipit ketika melihat kemewahan dan kemeriahan acara di dalamnya. Dia termangu menatap ratusan pasang mata yang seketika menatap ke arahnya seolah mereka sudah menantikan kehadirannya.Musik lembut k
Francesca mematut dirinya di depan cermin, perubahan penampilan yang sangat luar biasa terjadi pada dirinya saat ini. Wajah polos, imut dan manis itu telah berubah penuh riasan memukau yang sangat dewasa dan anggun.Dia hampir tak percaya ketika Leonardo mengirimkan seorang penata rias untuk memoles wajahnya dengan warna-warni yang senada. Kecantikan Francesca tampak lebih menonjol setelah tangan-tangan tampil tersebut menghiasi wajahnya. Wajah mungilnya terlihat sangat berbeda membuatnya merasa seakan menatap sosok lain di pantulan cermin."Anda luar biasa cantik dan sangat anggun, Nyonya. Bagaikan putri dalam dongeng." Perias itu memuji kecantikan Francesca. Dia berulang kali memutari tubuh wanita cantik yang baru saja dia dandani.“Sedikit parfum lagi anda akan spektakuler." Perias itu memilih b
"Bagaimana jika mereka bahagia tanpa kehadiranku?" Francesca mengulang pertanyaan Leonardo dengan putus asa.Hati wanita itu seakan terguncang mendengar perkataan Leonardo. Benarkah kehadirannya selama ini tidak pernah memberikan kebahagian? Bagaimana mungkin semua kebahagiaan yang mereka rasakan selama beberapa bulan ini hanya sandiwara?Apakah Enrico begitu marah padanya sehingga harus pergi begitu saja.Jikalau sedari awal dia menceritakan kepada Enrico mengenai status dirinya, apakah semua ini tidak akan terjadi?"Apakah Enrico berkata seperti itu padamu?" Francesca tampak sangat tertekan.Leonardo mengangkat kedua bahunya acuh seraya menyandarkan punggung ke bangku dan menatap ke arah taman. Dia mengalihkan p
"Dad! Apa passport Anna, Adel dan Archie sudah siap?" Anna menghubungi Andrew Knight melalui video call."Sudah beres, Princes.""Lalu, kapan kita mulai berangkat?" Adelaide tiba-tiba sudah di samping saudara kembarnya."Sudah tidak sabar semua ya, my Princes?" Andrew semakin senang menggoda kedua putri kembarnya yang beranjak dewasa."Iyalah, ini kan pertama kalinya kami bisa keluar negeri." serentak Adel dan Anna menjawab perkataan Daddy Andrew."Bukannya kalian sudah pernah ke Indonesia?""Beda Daddy. Ini pertama kali kita ke Eropa dengan pesawat pribadi." Anna mencibir ke arah Andrew Knight."Benar! Iya kalau kak Conrad
Francesca benar-benar merasa terpuruk. Keadaannya sangat labil dan lemah. Wanita cantik itu terlihat kacau dan terus menangis meskipun tidak sekeras sebelumnya. Serra sudah membawa Francesca kembali ke Mansion utama dan menemani wanita itu untuk berbaring di tempat tidur, tapi Francesca menolak dan bersikeras untuk menanti kedatangan Enrico dan Frans di ruang tamu. Francesca bahkan tidak menyentuh makanan yang tersedia hanya segelas coklat hangat yang dipaksakan oleh Serra. Aroma manis dan rasanya yang legit hanya bisa sedikit saja menenangkan hati Francesca. “Ini sudah malam Serra … mereka tidak juga kembali." Suaranya terdengar serak. "Cobalah berpikir tenang dan positif. Enrico tidak mungkin menjauhkan dirim
"Wah, ada telol ayam di kepala Flans dah sekalang." Tangan mungil Frans menggosok keningnya yang sudah membengkak sebesar telur ayam.Gerakan lucu dari wajah imut yang meringis membuat Enrico tertawa sedangkan Francesca tersenyum lebar. Enrico tak hentinya membelai kepala Frans penuh kasih sayang."Muka Flans jelek ya?" Bibir mungil Flans tampak manyun."Nggak. Frans lucu, Frans tetap tampan meskipun ada telur di sini." Enrico memencet dahi anaknya."Aow! Sakit Pappa." Frans menjerit dengan sorot mata marah."Iya, maafkan Pappa. Frans kalau jalan hati-hati ya, tidak perlu berlari dengan kencang apalagi di atas lantai marmer, licin.""Tadi Flans kangen Pap
Baru saja Devonte berbalik dari pintu ruangan Enrico, dia harus kembali berhadapan dengan Francesca. Tak dapat dia gantikan wajah kecemasan dengan senyuman tenang, karena wanita itu sudah menyadarinya."Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau tampak muram?" pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Francesca hanya dijawab dengan hembusan nafas Devonte."Apa terjadi sesuatu dengan Enrico? Kalian bertengkar? Bagaimana keadaannya saat ini?" Francesca bergerak maju melewati Devonte dan hendak memegang gagang pintu."Jangan masuk."Tangan Francesca berhenti untuk menggerakkan gagang pintu, dia membalikan tubuhnya dan menatap heran ke arah Devonte."Dia sudah tahu." Perkataan sepintas Devonte masih menimbulkan pert