“Tunggu aku di kamar. Ada sedikit hal yang harus aku selesaikan dulu,” kata-kata itu membuat bulu kudukku sampai berjingkat. Fabian sungguh ingin langsung menagih haknya?
“Baik, Mas!” ujarku. Sembari bangkit untuk kembali ke kamar sesuai perintahnya.
Sepertinya itu adalah sebuah kode agar aku mempersiapkan diriku sebaik mungkin.
Karena masih gugup, aku menelpon ibuku. Barangkali bisa membuatku lebih tenang. Sayangnya tidak diangkat.
Lalu kukirim pesan random padanya, [Bu, sudah tidur? Di rumah masak apa?]
Dan pesanku langsung terbaca. Beberapa detik kemudian mendapat balasan.
[Ini aku, Mel. Ponsel ibu aku pinjam dulu. Ponselku rusak. Dia diajak bude jalan-jalan ke mall] Ini pasti Iqdam yang membalas.
Ah, mereka itu. Baru juga pegang uang banyak sudah sok main ke mall saja. Padahal aku di sini tegang setengah mati.
Walau begitu aku masih membalas pesan Iqdam. [Di mana kamu, Dek? Kamu baru sembuh jangan klayapan]
Meski sering berantem seperti tikus dan kucing kalau di rumah, aku juga kakak yang menyayangi dan perhatian pada adikku. Iqdam baru sembuh dari sakit typus. Kalau dia sudah main kluyuran malam-malam begini, takutnya typusnya kambuh.
Sayangnya, perhatianku untuk keluargaku selalu bertepuk sebelah tangan.
[Jangan sok perhatian, deh, Mel. Udah kamu mikir malam pertamamu saja. Aku lagi di showroom mau beli motor dan ponsel]
Bukannya uang yang ditransfer Fabian kemarin sudah habis untuk bayar utang dan beli ini itu oleh ibu? Bagaiaman Iqdam bisa beli motor dan ponsel?
Kuhubungi adik lelakiku itu, dan panggilannya langsung tersambung. “Emang Ibu masih ada banyak uang, Dam?”
“Iya, Mel. Katanya dari pakde karena kau sudah dinikahi pria kaya raya. Jangan perhitungan, ya? biarkan adik kesayanganmu ini beli motor dan ponsel.”
Aku tak menjawab karena masih bingung. Masalah uang, biar nanti aku tanyakan pribadi pada ibuku. Pakde bilang sisanya akan dibayar kalau aku sudah melaksanakan kewajibanku.
Krieeet!
Suara pintu terbuka itu langsung membuatku gelagapan. Aku langsung menutup ponselku.
Bukankah Fabian tadi bilang masih ada urusan? Kenapa dia secepat ini menyusulku ke kamar?
“Permisi, Bu. Saya sudah mengetuk pintu tadi.”
“Dini?”
Aku terhenyak melihat yang datang bukanlah Fabian, tapi Dini pelayan di vila ini.
Tadi karena saking gugupnya aku bahkan tidak mendengarnya mengetuk pintu itu.
Wanita yang mungkin seumuranku itu membawa sebuah kotak yang diserahkan padaku. Katanya itu adalah beberapa baju untukku yang baru datang. Saat aku memeriksanya, ternyata itu adalah pakaian seksi.
“Pak Bian biasanya minta disiapkan berendam air hangat dengan minyak aromatherapi. Tapi karena sekarang sudah ada Anda, tolong nanti ditanyakan apakah beliau ingin itu?” Dini menjelaskan.
Saat kami nanti berdua di kamar, sang pelayan tidak mungkin datang untuk mengganggu.
Apakah Dini tahu tentang tujuan pernikahan ini? Ah, semua orang di vila ini pasti tahu.
“Kalau memang mau, Anda bisa menyiapkannya, kan?” tanya Dini lagi memastikan apakah aku bisa mengatasinya.
Aku hanya mengangguk. Aku pernah kerja di salon dan spa. Jadi hal seperti ini bukan sesuatu yang asing.
Melihat pelayan itu berjalan keluar, aku mulai terbersit, apakah selama ini semua kebutuhan Fabian sampai mandi pun diurus oleh pelayannya?
Kalau begitu, kenapa tidak memintanya sekalian melayani kebutuhan biologisnya?
‘Astaghfirullah!’ batinku segera menghapus pertanyaan yang hanya meletup di pikiranku sendiri.
Pakde sudah pernah menjelaskan Fabian pria berprinsip. Dia tidak mau berzina. Jadi dia memilih menikah sekedar menghalalkan kegiatan itu.
Dia benar-benar pria yang bijak. Hanya saja bijak untuk dirinya sendiri tapi tidak untukku.
Nanti, setelah dia tidak lagi butuh aku, pasti aku dibuang seperti sampah.
Aku tentu tidak akan bisa protes karena sudah mendapat kompensasi 1 milyar dari pernikahan ini.
Sedih menggelanyuti diriku saat ini. Ketika aku tegang akan menghadapi pria itu, keluargaku di sana sedang bersenang-senang menikmati uangnya!
“Oh ya, Bu. Silahkan bajunya bisa dicoba.” Dini yang sudah hampir keluar itu menunjuk paperbag yang tadi di bawahnya. Itu adalah kata lain agar aku segera memakainya.
Padahal tadi aku masih ingin banyak bertanya pada wanita itu. Tapi masih segan saja karena belum begitu kenal.
Akupun memilih satu gaun seksi yang dibawakan Dini. Memakainya dan melihat bayanganku di cermin.
Apa karena cerminnya yang bagus atau bagaimana, aku merasa pantulan bayanganku yang terbentuk tampak memukau.
Kulihat wanita cantik berdiri di sana dengan kulit putih dan rambut bergelombang terurai di salah satu sisi bahu. Bagian dadaku yang menyembul pun sudah sukses membuatku malu sendiri hingga harus menutupinya dengan ke dua lenganku.
Ternyata aku lebih terlihat seperti wanita penggoda.
“Ah, bukankah keluargaku sudah menjualku dengan tarif 1 milyar?” gumamku tersenyum getir.
Aku memilih duduk di tepi ranjang mengatur mentalku agar bisa menerima semua ini. Menghela napas dan menghembuskannya berkali-kali agar kutemukan ketenangan. Kalau gugup, semua hanya akan berantakan.
“Sudah terjadi pernikahannya, aku bisa apa?” gumamku sekaligus sebuah pengingat agar tidak lari dari kenyataan. Kalau aku menolak, seharusnya sebelum pernikahan ini, kan?
Ketika pria itu masuk ke dalam kamar, aku langsung berdiri dari dudukku.
Sembari melepas kancing kemejanya, Fabian menatapku lekat. Pandangannya yang intens membuatku panas dingin tak karuan...
Apa aku melakukan hal yang salah?🌹🌹🌹
Bersambung...
*“Mas Bian?” panggilnya, tatapannya lekat ke arahku. Dia mengenaliku.Mau tak mau, kubuka masker dan kacamata. “Astaga, kau cepat sekali mengenaliku, ya?” ujarku pura-pura terkejut.“Emang aku seperti Mas Bian yang tidak pernah mengenaliku? Cara berjalan bahkan helaan napasmu saja aku sudah hafal!” balas Melati, nada sindiran tipisnya terdengar jelas.“Siapa bilang? Buktinya aku mengenalimu di balik cadar itu?” sangkalku cepat.“Hmm, orang tadi di lift lewat begitu saja!” Melati mengingatkanku.“Ya sudah. Kamu mau makan buburnya tidak?” Aku mengalihkan pembicaraan agar kami tidak bertengkar di tengah pasar. Aku tahu Melati sudah sangat ingin menyantap bubur ini, jadi aku mengalah mencari tempat yang nyaman.Dia hanya mengangguk, mungkin saking laparnya. Kuajak dia ke tempat yang agak sepi: sebuah restoran cepat saji. Sekalian aku bisa memesan makanan untuk Vier dan Dini, sembari menunggu ibu hamil ini menyantap Bubur Madura dari cup tinwall-nya.“Kamu ngidam, Sayang?” pura-pura aku be
*Saat pintu lift terbuka, aku bersimpangan dengan seorang wanita bercadar yang menunggu untuk masuk. Langkahku sudah terburu-buru. Aku tak sabar menemui istri dan anakku di unit.Kemarin, Melati sudah mulai membuka suara walau intonasinya masih dingin dan sinis. Hari ini, aku harus mencoba lagi. Pokoknya, aku akan pantang menyerah.Begitu sampai di apartemen, hanya Dini yang kulihat, sedang menemani Vier bermain robot.“Ke mana Melati?” tanyaku pada Dini. Melati tak ada di ruang mana pun.“Baru saja keluar, Pak. Katanya mau cari sesuatu,” Dini memberitahu.Barusan tadi aku bersimpangan dengan wanita bercadar dan memakai topi di lorong. Jangan-jangan… itu dia.“Yang pakai cadar itu?” tanyaku memastikan.“Iya, Pa. Mama bilang biar tidak kepanasan jadi pakai baju besar dan bermasker.” Kali ini Vier yang menyahut, tangannya asyik memainkan robot i-lik-nya. Anak itu pasti sudah menginterogasi mamanya sebelum pergi.Aku mendengus. Wanita itu memang seharusnya diikat saja di ranjang agar ti
*“Laporan tentang pencemaran nama baik Bu Melati sudah masuk ke polisi, Pak. Mungkin prosesnya akan lebih dipercepat,” ujar Pomo.Dia mantan orang kepolisian, punya banyak kenalan dan teman dekat di sana. Pasti urusannya lebih mudah.“Bagus. Terima kasih, Mo,” ujarku pada orang kepercayaanku itu. “Bagaimana dengan kabar video yang katanya akan disebarkan itu?”“Ini masih kita usut, Pak.”"Baik, Mo. Kita bicarakan nanti."Panggilanku kuakhiri, karena orang yang sedang kutunggu datang juga. “Maaf Alicia, kalau aku menganggu waktumu sebentar,” tukasku bangkit memberi hormat pada wanita itu.“Tidak apa, Pak Bian. Papaku kenal baik denganmu. Jadi dia membiarkanku menemuimu.” Alicia langsung duduk setelah kupersilahkan.“Aku bisa kok menemuimu di rumahmu atau di mana yang kau mau aku menemuimu. Kau tidak harus yang datang menemuiku,” ujarku. Aku yang butuh bicara dengannya jadi etikanya akulah yang harus datang.“Jangan segan begitu Pak Bian. dengan kau mau menemuiku sudah membuatku punya
*“Jangan sedih, masih ada harapan. Apalagi Melati hamil. Masa idahnya sampai melahirkan. Selama masa itu, kalau kalian sewaktu-waktu rujuk, keputusan pengadilan agama itu dianggap tidak berlaku lagi,” tutur Om Damar saat malam itu datang ke Surabaya. Sekalian aku minta sarannya.Beruntung beliau tidak banyak tanya kenapa Melati menggugat cerai. Om Damar seorang pria, sama sepertiku. Tidak terlalu ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain, tapi akan selalu siap kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.“Sepi. Tidak ada kabar apa-apa? Tiba-tiba saja kamu bilang sudah cerai,” Om Damar akhirnya menanyakan hal itu. Karena memang mereka sama sekali tidak tahu.“Mungkin pengaruh hormon kehamilannya, Om. Sensitif. Hanya masalah sepele saja langsung dijadikan hal besar,” tukasku. Aku tidak bohong. Alasan yang dijadikan Melati untuk menggugatku adalah karena aku tidak pulang selama tiga hari dan karena cemburu pada kedekatanku dengan Elis.“Bukan hanya hormon kehamilan. Melati juga sedang krisis
“Pak Bian mau apa bawa pistol?” tanya Pomo, panik. Dia bangkit, berusaha menghadang langkahku yang sudah tak bisa dikendalikan.Pomo tahu bagaimana aku. Kalau sudah emosi tak terbendung begini, mati pun aku tidak takut.“Menghabisi pria itu, Mo!”“Pak, jangan gila. Kevin itu tidak sendirian. Dia punya banyak pengawal.”“Aku tidak takut!” bentakku. Kudorong Pomo yang mencoba menahanku dan bergegas keluar mencari mobil.“Kalau begitu, saya ikut!” seru Pomo sambil mengejar.Dia yang menyetir. Kutunjukkan tempat yang mungkin jadi persembunyian Kevin. Tapi aku tahu dia sengaja memperlambat laju mobil, memilih rute yang lebih jauh, memberi waktu agar aku bisa berpikir jernih.“Pikirkan Bu Melati, Pak. Pikirkan Vier. Mereka masih butuh Pak Bian. Banyak
*Kucoba mengaktifkan ponselku dan kulihat beberapa pesan dan panggilan dari Melati yang terbiar terabaikan. Dadaku kembali sesak membayangkan istriku menjerit dalam diam atas semua keputusannya itu.Dia terdesak, dia ditekan, dan diancam. Tapi Melatiku masih memikirkan harga diriku, kepentinganku, juga keselamatan putra kami. Sedangkan aku malah menambahi luka batinnya dengan membuatnya bertambah cemburu atas kedekatanku dengan Elis.Kucoba menghubunginya. Namun tidak ada suara yang tersambung. Sepertinya Melati tidak mengaktifkan ponselnya.“Tadi pagi sidang putusan perceraian, Pak. Aku sendiri yang mengikutinya dari jauh. Bu Melati tampak rapuh dan sembunyi-sembunyi mencari tempat sepi untuk meluapkan kesediahannya dengan menangis.” Pomo bercerita dengan mata memerah.Pomo bisa merasakan bahwa selama ini Melati terbiar tanpa sebuah perlindungan. Dia benar-benar sendi