Saat itu Tom Lee datang bersama Elis. Mereka memang ingin menjemputku. Anak-anak pasti sudah ada di rumahku.“Jangan begitu, Bro. Ini rumah sakit keluargaku.” Tom Lee menyinggung Bian yang tak mau menerima kembali biaya administrasi yang sudah dibayarnya.“Kenapa kalau ini rumah sakit keluargamu? Kalaupun negara ini juga milikmu, apa peduliku? Ini sudah menjadi tanggung jawabku, jadi tak perlu repot-repot mengratiskan biaya untuk istriku. Kasih saja pada kaum dhuafa sana!”“Melati itu bukan orang lain kok bagiku, kau juga temanku, jangan menyinggungku dengan menolak biaya yang sudah kubereskan.”“Dia istriku.” Bian kembali menandaskan hal itu.Aku bisa melihat sisi posesif Bian saat mengatakan hal itu.Aku dan Elis jadi tegang karena kedua pria itu berdebat. Kelihatan santai di nada suara mereka, tapi tidak di setiap makna kata yang diucapkan itu.Kusenggol lengan Elis agar perdebatan segera berahir.“Permisi, apa kita tidak jadi pulang?” tukas Elis.Keduanya langsung menoleh ke a
“Jam berapa semalam datang?” tanyaku pada Iqdam.Aku ingat sampai aku tertidur, Iqdam belum datang. Hanya ada Bian yang menungguiku.“Sekitar jam satuan. Aku bantu Faris mengurus pesanan yang overload. Jadi baru bisa datang,” ujar Iqdam yang masih setengah mengantuk.Tadi dia terbangun karena ada dokter yang meninjau kondisiku. Kasihan juga Iqdam, saat ini dia yang lebih repot mengurus online shopku karena aku dikit-dikit sakit. “Tidur saja kalau kamu ngantuk,” ujarku padanya.Tapi Iqdam bukannya tidur malah membuka ponselnya.Dasar anak itu, bilang ngantuk tapi ponselnya tak bisa lepas dari tangannya.Aku teringat Bian. Apa dia sudah balik ke Surabaya? Pasalnya semalam bilang akan langsung pergi setelah Iqdam datang.“Dam?”“Apa?”“Mas Bian semalam bilang langsung ke Surabaya?”Iqdam menoleh ke arahku sembari menjawab, “Bilangnya ke aku sih mau menemui Faris. Tapi aku tidak tahu kalau setelahnya balik ke Surabaya atau tidak?”“Menemui Faris?” tanyaku lagi.“Iya, aku bilang tentan
“Kok tahu aku di sini?” tanyaku pada Elis.Setelah makan aku seudah merasa bertenaga sekarang. Tak cuma untuk mengobrol. Tapi juga duduk dan tak harus sakit kepala lagi.“Pak Bian tadi menghubungi Iqdam. Kebetulan Iqdamnya masih ada kerjaan. Jadi aku dulu yang datang. Kebetulan Flowra dan papanya ke rumah. Jadi sekalian kami sama-sama menengokmu.” Elis menjelaskan.Aku baru menoleh ke arah Tom Lee yang belum kusapa sejak datang itu.Tadi begitu datang dia masih sibuk mengobrol dengan Bian jadi aku kurang memperhatikannya.“Terima kasih, Pak, sudah repot-repot menengok.”“Ah kau ini, Mel. Kaya sama siapa saja.” Tom Lee tidak suka aku masih bersikap seperti orang asing. Padahal anaknya sudah memanggilku mama.Lalu kutatap dua bocah itu, aku bertanya serius pada Elis, “Anak kecil boleh ikut menengok orang sakit?”Seingatku di rumah sakit ini anak kecil tidak boleh ikut masuk.“Kupikir juga begitu, tapi Pak Tom Lee yang mengusahakannya,” ujar Elis sembari menoleh pada Tom Lee agar juga me
Kudorong tubuhnya sekuat tenaga dan aku sungguh tak ingin terlihat lemah hingga selalunya bisa dimanfaatkannya.Kata-katanya yang menyebutku pelacur di rekaman voice note yang dikirim Dini kala itu tak bisa lenyap dan terus membuat gatal telingaku.Menerbitkan kebencianku pada pria ini.Sungguh aku tak rela jika detik-detik aku meminta pisah darinya, malah dibuatnya kesempatan untuk menggauliku lagi.“Hati-hati, kau bisa jatuh!” ujarnya menatapku sedih saat aku menolaknya.“Tolonglah, Mas. Hormatilah aku kali ini. Tak masalah yang ada dalam pandanganmu aku ini pelacur. Tapi sekarang aku mau pisah…”Bian hanya tertegun menatapku serisih itu disentuhnya. Dia tampak sangat bersalah.Tapi masih mencoba menjelaskan padaku, “Maaf untuk kata-kata itu, Mel. Tapi demi Allah aku tidak pernah bermaksud mengatakan hal itu.”“Aku tidak butuh penjelasan, Mas. Aku sudah tidak mau melanjutkan semua ini. Maaf, aku hanya minta dipulangkan saja. Tak masalah kalau aku harus kembali menjadi wanita kamp
Sore hari pun tiba. Bian sudah mengirim pesan bahwa dia sudah di perjalanan menjemputku.Sudah kuputuskan seperti yang kuinginkan ahir-ahir ini. Dan aku tak mau banyak pikiran lagi untuk meragu.Hanya saja aku merasa tidak enak kalau tidak memberitahu Tante Aini. Dia selama ini selalu mendukungku agar tetap bertahan dengan Bian. Jadi kuharap dia memahami situasiku saat ini.Sayangnya, panggilanku tak juga tersambung. Kutunggu sebentar barangkali dia repot ada kajian yang harus diisinya. Aku tahu itu karena sering melihat statusnya di medsosnya. Tante Aini sosok wanita perpengetahuan luas yang sering diminta mengisi kajian di majlis-majlis.Tanganku menyapu layar ponsel dan kebetulan melihat status Tante Aini. Dia memang sedang ada di sebuah acara bersama beberapa wanita berhijab yang lain dengan caption, [Jalan menuju surga untuk wanita muslimah] Mungkin itu tema kajiannya kali ini.Hingga beberapa slide terakhir, aku terkejut ada Miranda yang berfoto bersamanya dan Om Damar.Mirand
"Tidak enak kalau kita ngomong ditelepon Mel, kita ketemu ya?"Terdengar suara Bian masih mencoba membujukku untuk bertemu.Kutarik napas dalam-dalam beberapa kali agar aku kembali tenang. Berasa cengeng sekali kalau di depan Bian. Tapi tak semestinya aku memperlihatkan kerapuhanku ini pada pria yang sama sekali tidak pernah menghargaiku selayaknya wanita pada umumnya.“Aku jemput, ya?” Bian. Baru kusahuti dengan lirih, "Enggak mau, Mas.""Kenapa?" tanyanya dengan setenang mungkin, karena sejak tadi aku tidak berhenti terisak. Mungkin Bian hanya ingin aku kembali tenang dulu agar bisa melanjutkan obrolan kami. "Bisa tidak menjamin bahwa kita hanya bertemu?""Maksudmu?" suaranya terdengar heran.Seharusnya dia tahu apa yang kumaksudkan. Mana bisa dia mengajakku bertemu tanpa meniduriku?"Aku tidak mau berhubungan, Mas. Aku mau pisah." Kujelaskan hal itu sekalian."Oke, kita ketemu dulu, ya?"Akhirnya aku mengiyakan ajakannya untuk bertemu. Biar sekalian kami tuntaskan semuanya.