Samudra bergegas keluar dari kamar mandi setelah membalas chat dari gadis yang dua hari ini membuatnya khawatir berkepanjangan. Pikirannya semakin kalut saat melihat foto yang dikirimkan.
Apa gadis itu hendak bunuh diri dengan mengonsumsi obat penenang? Pikir Samudra.Melihat lelaki yang baru saja resmi menjadi suaminya terlihat gusar dan terburu-buru, Jannet tentu bertanya-tanya. Perempuan itu sudah terlihat begitu siap untuk ritual malam pengantin bersama Samudra.Akan tetapi nampaknya sang suami hendak pergi keluar, sebab saat ini sedang menuju ruang ganti. "Sam, kamu mau ke mana?"Pernyataan tersebut terpaksa dilontarkan Jannet karena sekarang ini Samudra sama sekali tak menganggap keberadaannya. Samudra memakai satu persatu pakaiannya, dan tak lupa mengenakan jaket.Jannet mengernyit heran. Samudra tak menjawab pertanyaannya barusan. "Sam, aku lagi nanya, loh?" Wajah Jannet terlihat memerah."Sorry, Jane. Aku harus segera pergi," kata Samudra, menatap sang istri dengan wajah muram."Pergi? Kamu serius mau pergi?" Raut Jannet makin memerah.Bagaimana bisa Samudra dengan entengnya mengatakan itu?"Kamu sadar 'kan? Kamu inget 'kan kalau ini malam—"Samudra buru-buru menyela sederet kalimat protes yang hendak dilontarkan sang istri. "Sorry Jane. Aku tau kalau malam ini adalah malam pengantin kita. Tapi, aku juga gak bisa abai sama nyawa orang.""Nyawa orang? Jadi kamu lebih pentingin orang lain daripada aku yang baru aja resmi jadi istrimu, Sam? Gila kamu, ya!" Jannet sungguh tak percaya jika Samudra akan lebih memilih orang lain ketimbang dirinya. "Ck, gak punya perasaan kamu!" Jannet menghela kesal.Kekesalan Jannet dan segala ucapannya dimaklumi oleh Samudra. "Maafin aku ... Aku gak bermaksud begitu," ucapnya sambil meraih kedua tangan Jannet, lalu merengkuh tubuh ramping itu ke pelukan. "Aku janji bakal kembali secepatnya. Jadi aku mohon izinin aku pergi, biar aku gak menyesal seumur hidupku ke depannya. Oke?"Pelukan Samudra yang hangat dan kata-kata yang meyakinkan cukup memudarkan keresahan di hati Jannet. Kekesalan yang sempat hinggap sirna seketika. "Memangnya kamu mau nemuin siapa? Sampai-sampai kamu rela ninggalin aku."Jannet tentu perlu tahu ke mana dan siapa orang yang hendak ditemui sang suami. Meski Samudra selama ini selalu terbuka perihal apa pun. Namun, khusus malam ini pastinya berbeda situasi. Jannet tidak ingin dilanda kecemasan serta cemburu yang tak berlandaskan, bukan?Samudra mengurai pelukan, menangkup kedua sisi wajah Jannet yang nampak tak rela. Sepasang maniknya menyiratkan rasa ingin tahu yang begitu besar. Akan tetapi, Samudra juga tidak bisa serta merta mengungkap siapa orang yang hendak dia temui."Adikku butuh bantuan. Dia lagi ada masalah. Dan ... aku gak mungkin 'kan gak bantuin?" Samudra terpaksa berbohong dengan membawa-bawa nama sang adik.Jannet mengangguk. Samudra memang sangat menyayangi adiknya—yang merupakan anak dari orang tua kandungnya. Setahunya, jika adik kandung Samudra itu tinggal agak jauh dari keluarga."Tapi kamu janji, kalo masalahnya udah selesai, kamu buruan pulang. Kan gak lucu aku tidur sendirian di malam pertamaku." Bibir Jannet mengerucut sebal."Aku akan usahain pulang cepet," kata Samudra. Kemudian mengecup kening Jannet. "Terimakasih, Sayang karena udah kasih izin."Dalam hati kecil Samudra terselip rasa bersalah begitu besar. Untuk pertama kali dia bahkan membohongi istrinya di malam pengantin mereka. Namun Samudra pun tak punya pilihan lain. Keadaannya sangatlah tidak mendukung."Aku pergi dulu. Kalau udah ngantuk kamu boleh tidur duluan.""Hmm."~~~Sebenarnya jarak tempuh antara apartemen Samudra dan Queen hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Di jam-jam malam seperti ini tidak banyak kendaraan yang melintas, dan tentunya sangat menguntungkan lelaki itu sebab tak menemui hambatan berarti.Samudra yang mengemudikan roda empatnya dengan kecepatan tinggi pun tak perlu berlama-lama berada di jalanan. Waktu tiga puluh menit hanya dilalui dua puluh menit karena dia sudah tidak sabar ingin segera tiba di apartemen Queen.Samudra lantas bergegas turun dari mobil setelah memarkirnya di basemen gedung apartemen yang sudah jarang dia sambangi. Terakhir kalinya dia ke tempat itu kira-kira lima bulan yang lalu."Kenapa aku gak kepikiran dari kemarin-kemarin kalau Queen pasti ada di sini. Apa Tante Suci dan Om Alex tau kalau Queen ada di sini?"Isi kepala Samudra begitu penuh sampai-sampai dia tidak kepikiran bertanya lebih dulu ke orang tua Queen. Tujuannya saat ini hanya ingin segera bertemu dengan gadis manja itu. Semoga saja Queen belum berbuat yang nekad.Sambil berlarian Samudra melewati lorong demi lorong yang cukup lengang. Unit apartemen yang ditempati oleh Queen berada di lantai lima belas. Dia menaiki lift yang kebetulan kosong, sambil berinisiatif menghubungi ponsel Queen."Ayolah Queen angkat teleponku."Perasaan Samudra campur aduk. Takut sekali rasanya jika dia tidak bisa menyelamatkan nyawa Queen. Namun, ketakutan itu pun seketika berubah menjadi umpatan saat ponsel sang gadis rupanya tidak aktif."Ck! Hapenya gak aktif." Samudra berdecak keras, dan memasukkan kembali ponselnya ke saku jaket.Ting!Pintu lift terbuka, dan Samudra tak membuang-buang waktu lagi. Dia keluar dengan tergesa-gesa, lalu melangkah lebar-lebar agar cepat tiba di unit Queen.Begitu tiba dan berdiri di depan pintu unit apartemen Queen, Samudra menatap nanar pintu tersebut sambil berpikir keras."Apa kodenya masih sama?"Dulu Queen sempat memberi tahu kode akses apartemennya ke Samudra yang merupakan tanggal di mana dia pertama kali mendapat ciuman dari gadis itu."Aku coba dulu, deh."Tidak ada salahnya mencoba, bukan?Telunjuk Samudra menekan beberapa tombol angka yang sesuai dengan kode akses yang dia ingat. Dan benar saja. Dengan mudah pintu unit apartemen tersebut terbuka setelah beberapa kali berbunyi."Syukurlah ...." Raut Samudra terlihat lega. Dia lantas melangkah masuk, lalu menutup pintunya kembali. "Queen ...." panggil Samudra, sambil meraba dinding untuk mencari letak saklar lampu.Keadaan unit tersebut saat ini sangat gelap, dan sunyi. Samudra tak merasa ada tanda-tanda sang pemilik di sana.KlekLampu pun berhasil dinyalakan, pandangan Samudra mengedar ke seluruh penjuru ruangan serba berwarna pastel itu. Bau minuman seketika tercium di penciuman Samudra.Apa Queen minum? pikir Samudra, bergegas melangkah, menuju kamar sang gadis."Queen, kamu di dalam?" tanya Samudra sembari mengetuk pintu kamar Queen yang tidak tertutup rapat. Dari luar dia mendengar suara gemericik air. "Apa dia lagi mandi?"Samudra pun memutuskan untuk menunggu Queen selesai mandi, dan dia kembali ke ruang tamu. Namun...prang!Suara benda pecah terdengar begitu nyaring, dan suara itu berasal dari kamar Queen."Queen?"Secepat kilat Samudra bergegas menuju ke kamar Queen untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu. Jangan sampai hal buruk yang sedari tadi membayangi benar-benar terjadi.Samudra terkejut ketika memasuki kamar tidur Queen yang sangat berantakan. Benda-benda berserakan. Sama sekali tidak mencerminkan kepribadian Queen yang selalu rapi dan bersih. Akan tetapi untuk sementara dia tidak memedulikan kamar yang kacau itu. Untuk saat ini kondisi Queen yang paling penting.Karenanya, Samudra lekas mendekati pintu kamar mandi yang terbuka sedikit. "Queen?"Lelaki itu nampak ragu ketika hendak membuka pintu kamar mandi, sebab Queen tak menjawab panggilannya. Hanya suara gemericik air yang sedari tadi terdengar."Apa sebaiknya aku cek aja langsung. Aku takut kalau Queen berbuat konyol."Sejenak Samudra menyingkirkan keraguan demi memastikan keadaan Queen. "Aku masuk, Queen."Dengan sangat perlahan, Samudra membuka lebar-lebar pintu kamar mandi. Lalu pemandangan yang tersaji di hadapan benar-benar di luar dugaan. Samudra nampak begitu terkejut."Queen ...."_bersambung..."Maafin aku, Sam. Selama ini aku udah banyak bohong sama kamu," ucap Jannet, menyadari kesalahan yang sudah dia buat di belakang Samudra—pria baik yang sempat singgah di hatinya. Keserakahannya membuat hubungannya dengan Samudra berantakan. "Ya. Aku udah maafin kamu." Samudra mengusap lengan Jannet sebentar. Maniknya menatap pada perut mantan istrinya itu. "Gimana kondisi janinnya? Sehat 'kan?" Jannet mengangguk. "Dia sehat." "Justin mau tanggungjawab 'kan?" Samudra berharap kehidupan Jannet bisa lebih baik lagi setelah ini. "Mau. Minggu depan kami menikah secara siri." "Syukurlah." "Kalau kehamilan Queen, gimana?" Jannet tiba-tiba menanyakan perihal kehamilan Queen, yang sama sekali tidak diketahui oleh siapa pun kecuali orang terdekat. Tentunya Samudra terheran sekaligus terkejut. "Darimana kamu tau kalau ..." Jannet tersenyum, tak ada lagi kebencian di matanya ketika membahas Queen. "Aku sempat lihat dia di rumah sakit. Dan kebetulan, dokter yang menangani kami sama." Samu
Hari yang dinanti-nanti oleh Samudra pun akhirnya tiba. Hari ini merupakan hari di mana dia akan benar-benar berpisah dengan mantan istrinya, Jannet. Setelah ini lelaki yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu sudah memiliki banyak sekali rencana. "Kamu yakin gak mau aku temenin?" Queen mencoba memastikan sekali lagi, meski dia akan mendapat jawaban yang sama dari sang suami, yang sudah siap berangkat pagi ini. Samudra mengangguk, sambil mencolek dagu sang istri. "Iya, Sayang. Kamu gak perlu ikut ke pengadilan. Capek. Lagipula ini adalah urusanku." Bibir bawah Queen mencebik, "Iya, deh. Aku juga males kalo ketemu mantan istrimu. Ngeri." Selanjutnya dia terkikik, sambil menggamit lengan Samudra. "Ayo sarapan dulu. Tadi aku udah siapin sarapan spesial buat suamiku yang ganteng ini." "Wah ... Wah ... Si kriwil udah pinter masak sekarang. Jadi gak sabar aku." "Enak aja kriwil! Ngomong-ngomong aku udah gak kriwil, ya!" sungut Queen, pura-pura kesal, padahal dalam hat
Dua pekan berlalu, semenjak kehamilan Queen diketahui oleh keluarganya, situasi perempuan itu semakin rumit. Kebebasannya seolah direnggut paksa oleh orang-orang yang menurutnya terlalu berlebihan dalam menjaganya. Dengan alibi—ingin melindunginya dan bayinya. Tak hanya itu, dia pun tak lagi bisa bebas bertemu dengan Samudra sebelum lelaki itu resmi bercerai dari istrinya. Lantas, bagaimana kelanjutan hubungannya dengan Samudra? Alex selaku ayah yang mengadopsi Queen mempunyai caranya sendiri. Sama halnya seperti yang lelaki itu lakukan pada Suci dahulu kala. Alex menyarankan agar Queen dan Samudra menikah secara agama terlebih dahulu, sampai bayi yang ada di dalam kandungan lahir. Sambil menunggu status Samudra benar-benar jelas. "Kita ini udah nikah, tapi, kenapa Daddy ngelarang kita tinggal bersama? Apa menurut Bang Sam ini gak terlalu berlebihan, ya? Gak enak banget gak bisa ketemu kamu." Queen terus mengeluh sejak di tiga puluh menit pertama dia dan Samudra melakukan pan
Bagi Suci, hal paling terburuk dalam hidupnya ialah gagal menjadi orang tua. Dia merasa gagal sebab kini masa lalu kelamnya seperti terulang kembali. Ya, entah Suci akan menganggapnya sebagai apa. Yang jelas, hatinya saat ini hancur lebur. 'Queen hamil ...' Dua kalimat tersebut tak berhenti berdengung di telinga Suci. Mengakibatkan air matanya kian deras mengalir membasahi pipi. "Bunda ...." Panggilan dari sang anak yang menjadi penyebab kesedihannya menyadarkan Suci. "Queen?" Suara Suci nyaris tak terdengar, karena cekat di tenggorokan yang kian menghimpit. Sesak di dadanya makin terasa. Pandangannya sedikit mengabur. Kedua bola matanya menatap nyalang sang anak yang berdiri berdampingan dengan Samudra. Alex yang sedari tadi kebingungan serta bertanya-tanya berinisiatif menghapus jejak basah di pipi Suci. "Sayang ...." Suara khas Alex mampu mengalihkan perhatian Suci. Kini, dia bisa melihat dan merasakan—kekecewaan dari sorot manik bulat itu. "Mas ...." Kelopak m
Beberapa menit sebelumnya.... Suci menghempas punggungnya ke sandaran kursi sambil menghela panjang. "Akhirnya selesai juga. Tinggal cari bahan sama pesen payet," gumamnya, setelah berhasil menyelesaikan sketsa gaun pengantin pelanggannya. Seharian ini Suci lumayan sibuk sebab dia akan mempersiapkan koleksi-koleksi terbarunya di tahun ini. Masih banyak yang belum sempat dia selesaikan. Ditambah dengan pesanan gaun yang tak pernah berhenti. Suci cukup kewalahan. "Si Niken berangkat gak, sih hari ini? Kenapa seharian aku gak liat dia?" Saking sibuknya, Suci sampai tidak beranjak sedetik pun dari ruangannya. Sampai-sampai dia baru menyadari jika dia belum melihat Niken seharian ini. "Apa dia gak berangkat, ya?" pikir Suci, mengira jika sang sahabat tidak masuk kerja. "Coba aku cek aja, deh." Daripada penasaran, lebih baik dia memastikannya saja langsung. Tanpa menunggu lagi, Suci bergegas beranjak dari tempatnya, lalu keluar ruangan, dan menuju ruangan Niken. Ketika di
Sore-sore begini, tidak biasanya Queen baru bangun tidur. Dia bahkan terbilang jarang sekali betah berada di rumah jika sedang tidak ada pekerjaan. Biasanya, Queen akan menghabiskan waktu di berbagai tempat—mencari inspirasi untuk konten-kontennya. Ah, mengenai konten. Queen sudah lama tidak mengunggah postingan di laman private-nya. Akun rahasia yang tidak ada satu orang pun yang tahu. Termasuk Samudra. Queen sangat berhati-hati untuk hal yang satu itu. "Jam berapa sekarang?" Queen bergumam sambil beranjak dari kasur ternyaman, lalu melangkah menuju kamar mandi. Dia berencana mandi, sebab dari sejak pagi rasanya sangat malas sekali untuk sekadar mencuci muka. "Astaga mukaku!" Ketika bercermin, Queen nampak syok dengan kondisi wajahnya yang sangat kucel. Rambutnya pun sangat lepek. Apalagi di beberapa bagian tubuh seperti ada yang berubah. "Kayaknya aku tambah gemuk, deh? Payudaraku kayak tambah gede," cicit Queen, meraba-raba bagian dada yang dia rasa berubah bentuk. "