Share

Dinner Bareng

Author: Rucaramia
last update Last Updated: 2025-10-21 11:28:11

Kurang tidur dan overthingking adalah dua hal yang merupakan sebuah serangan paling mematikan. Tetapi Jiyya sedikit banyak bisa tetap bertahan dan menjalani harinya. Namun sialnya, dia sempat kena serangan jantung gara-gara mengira bahwa pria yang berdiri di sisi gedung sebagai Joan padahal bukan. Tidak heran, semua orang yang mengenalnya jadi khawatir dan menanyakan keadaannya. Jiyya mengabaikan kekhawatiran mereka dengan menunjukan bahwa dia sangat sehat dan baik-baik saja. Setidaknya bila diluar begini Jiyya punya kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran.

Untungnya setelah beberapa lama, dia betulan merasa jauh lebih baik dari pada saat pagi hari tadi. Ketika sudah menunjukan pukul empat sore, Jiyya memutuskan untuk segera pulang. Mengingat putrinya pun pastinya sudah pulang les sekarang dan Jiyya harus sudah menyiapkan makan malam untuk mereka. Dia tidak sabar mendengarkan celotehan putrinya tentang apa saja yang dia pelajari hari ini, dan mulai membayangkan beragam masakan yang perlu dia buat untuk putrinya. Senang pula, selama dia berada di luar Jiyya tidak bertemu dengan Joan sama sekali. Sehingga pikirannya yang sempat tersita oleh pria itu sirna.

***

“Lalu apa yang terjadi?” teriak Luna dari arah dapur, ketika dia sedang mengambil segelas air untuk dirinya sendiri.

Joan berhenti sejenak, menangkap tatapan Jiyya yang melebar begitu dia masuk rumah melalui pintu depan. “… Lalu ibumu masuk ke dalam rumah dan menangkapku seolah dia baru saja menemukan ada tikus dirumahnya,” kata Joan dengan nada kecut.

Mendengar hal itu, Luna berbalik dan mendapati ibunya berjalan menuju ke ruang tamu dimana Joan sedang duduk di salah satu sofa dengan nyaman seolah itu adalah rumahnya sendiri.

Jiyya menarik napas dan memaksakan denyut jantungnya untuk sedikit lebih melambat. Ada beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini, jadi dia tidak ingin stress sendiri. Maka dengan sedikit kemampuan akting, dia menjatuhkan barang bawaannya ke lantai. “Satu-satunya kesamaanmu dengan tikus adalah bakat untukmu yang selalu keluar masuk rumah ini dan meminta makanan dariku.”

“Jangan begitulah, Jiyya. Perkataanmu barusan sedikit pedas dan menyakiti hatiku,” katanya sambil memasang ekspresi cemberut. “Aku kemari karena Luna yang mengajakku masuk.”

“Alasan! Mau benar atau tidak kurasa kau memanipulasi putriku supaya kau bisa punya seribu satu alasan untuk menghindari penghakimanku,” balasnya sambil menatap tajam kearah pria itu. Tetapi bukannya mengkaji diri, Joan justru malah memasang wajah super polos yang menyebalkan.

Ketika Jiyya beranjak ke dapur dimana putrinya berada, dia segera menatap Luna dengan penuh kewaspadaan. “Luna, lain kali jangan biarkan orang tua itu membujukmu untuk masuk ke rumah.”

Luna berbalik cepat. “Tapi Ma, aku tidak enak kalau langsung menyuruhnya pulang padahal dia mengantarkanku pulang.”

“Aku bertemu dia saat sedang dalam perjalanan pulang, jadi aku sekalian mengantarkannya saja kerumah dan dia mengajakku masuk,” tambah Joan untuk memberikan penjelasan secara rinci kepada Jiyya.

Luna sendiri memegang tangan Jiyya untuk memohon sekaligus menariknya untuk sedikit membungkuk sehingga dia bisa berbisik pada ibunya. “Lagipula kalau bareng dengan Om Joan, aku tidak harus berjalan kaki. Dia mengantarkanku dengan motornya. Kenapa kita tidak manfaatkan saja? toh, dia sering numpang makan di rumah kita.”

Joan tampak berpura-pura tidak memperhatikan, tetapi Jiyya bisa melihat seberapa berusahanya Luna untuk meyakinkan dirinya tentang hal ini. Sambil menatap mata Joan ketika putrinya berbisik, pelan Jiyya mendudukan dirinya lebih rendah sehingga dia bisa sejajar dengan putrinya. “Dia itu pria yang licik, sayang. Pada akhirnya kau tidak akan sadar kalau sudah dimanfaatkan olehnya.”

Luna memiringkan kepala dan menatap Joan dengan tatapan tajam. Lalu mengetuk-ngetukan jarinya ke mulut beberapa kali. “Nah, kurasa ini kali kedua kau datang kemari untuk makan malam gratis di rumah kami minggu ini,” celetuk Luna pada akhirnya.

Jiyya menganggukan kepala sebagai tanda setuju sekaligus bangga pada putrinya, sementara Joan tampak tersinggung dengan celetukan gadis muda duplikasi Jiyya. “Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama mantan mahasiswi kesayanganku dan putrinya yang cantik jelita,” sahut Joan yang menatap penuh arti pada Jiyya ketika mengatakan kata ‘kesayangan’ yang membuat Jiyya langsung mengalihkan pandangannya. Lagi-lagi Joan begini…

Namun ekspresi Luna berbeda, gadis cilik itu mengangkat sebelah alis dengan ekspresi curiga. “Dan bukannya Papa?”

Jiyya mengambil kesempatan untuk kabur dari situasi dan masuk ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Meninggalkan Joan dan putrinya yang kini sudah beranjak ke ruang tamu. Tampaknya Luna siap dengan seribu pertanyaan introgasi andalannya dan itu memberikan Jiyya cukup banyak waktu untuk menenangkan diri. Namun tampaknya hal itu tidak begitu mudah, sebab baru saja dia melangkah lebih dalam ke dapur dia masih bisa mendengar suara Joan yang serius.

“Hmmm… kurasa itu lebih karena aku melihat diriku sendiri di dalam dirinya.”

Ekspersi wajah Luna semakin menunjukan ketidakpercayaan. “Kau sama sekali tidak mirip dengan Papa.”

Joan mengerutkan kening, suaranya kini sedikit lebih tenang dan matanya tampak fokus ke arah dimana dia bisa melihat Jiyya menghilang. “Yah, karena aku sangat mirip dengan Papa-mu waktu kecil.”

Luna terdiam sejenak sebelum bertanya dengan terus terang, “Apakah itu berarti Papa akan sekonyol kau suatu hari nanti?”

Joan kini bisa mendengar suara tawa tertahan Jiyya dari arah dapur. Pria itu mengusap tengkuknya dan terkekeh garing. “Ah, kurasa tidak ada yang tidak mungkin, Luna.”

***

“Jadi apa yang kalian berdua bicarakan sebelum aku pulang?” tanya Jiyya sambil mengambil sepotong ayam.

“Oh, Om Joan tadi baru saja bercerita tentang dia yang dulu katanya mengajari Mama, Papa, dan Om Dean belajar masuk universitas,” jawab Luna. “Dia bilang kalau Mama yang terbaik.”

“Yah, memang begitulah kenyataannya,” tambah Joan lagi. “Aku hanya perlu menunjukan satu penyelesaian soal. Dean dan Papamu butuh seharian untuk menyelesaikan soal dariku, dan mungkin mereka tidak akan bisa melakukannya kalau saja ibumu tidak memberikan mereka petunjuk. Ah… itulah yang dinamakan kecantikan sejati dari seorang wanita.”

Jiyya bisa merasakan tatapan Joan ketika dia sedang bicara. Mau tidak mau, Jiyya jadi sedikit tersipu atas pujian pria itu untuknya sampai tidak sanggup menatap matanya sedetik pun.

Untungnya Joan mengalihkan pandangan matanya dari Jiyya, kepada putrinya. “Oh ya, kudengar Luna juga mewarisi kepintaran ibumu ya,” katanya dengan santai.

Luna mengerutkan kening. “Ya, aku lebih cepat dari teman-temanku saat menyelesaikan soal apapun.”

“Lalu kenapa kau mengerutkan kening?” tanyanya bingung.

“Karena Om Leon mengajari si bodoh Arthur, dan tiba-tiba saja dia jadi lebih cepat mengerjakan soal matematika padahal biasanya dia sangat lambat!” seru Luna, tangan mungilnya tanpa sadar mencengkram cangkirnya lebih erat. Joan diam-diam mengangkat cangkir tersebut dan menjauhkannya, dan tanpa Luna sadari gadis cilik itu kembali melanjutkan omelannya. “Aku tidak mau kalah darinya! Apa gunanya kepintaranku kalau aku tidak bisa mempertahankan rangking satu. Ma, tidak bisakah Mama bilang pada Papa untuk tinggal lebih lama di rumah dan mengajariku sesuatu yang baru? Aku ingin membuktikan bahwa aku juga punya Papa yang mengajariku dirumah.”

Jiyya berhenti mengunyah sesaat, jantungnya berdebar kencang. Dia tahu persis perasaan putrinya, karena dulu sekali dia pun juga sangat bekerja keras untuk mempertahankan prestasinya dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Membuat Jiyya merasakan adanya rasa insekuriti karena sejatinya dia tidak pintar secara bakat bawaan. Melainkan karena usaha dan kerja kerasnya. Itu sebabnya dulu dia tidak bisa menyusul Bestian yang kuliah di luar negeri karena keterbatasannya.

Tetapi permintaannya sekarang rasanya agak…

“Luna, Mama—”

“Aku bisa mengajarimu, itupun kalau kau mau,” sela Joan menyadari bahwa Jiyya tampak sedikit ragu untuk sesaat. “Kebetulan juga aku ini dosen dulu, aku yang mengajari ibu dan ayahmu. Bukankah berarti aku lebih hebat dari orangtuamu?”

Entah bagaimana sekarang Jiyya justru merasa lega dengan penawaran yang diberikan Joan. Padahal sebelum ini dia sangat menentangnya. Kenapa Joan membantunya?

“Jadi itu betulan? Bukan sekadar basa-basi ya, Om Joan?”

“Aku tidak menawarkan pada sembarang orang, loh.”

“Yeay! Dengan begini aku bisa pamer kalau bukan cuma si cerewet Arthur saja yang diajari dosen. Aku juga!” gadis cilik berambut gelap itu bahkan langsung berdiri dengan pose kemenangan.

Jiyya membenamkan wajahnya di telapak tangan, menyadari seberapa banyak kemiripan yang dia punya dengan Luna yang tidak pernah diketahui orang lain. Dia bisa merasakan ekspersi geli yang tampak dari wajah Joan di sebrang meja. Sebagian besar Luna memang tenang dan pendiam seperti ayahnya, tetapi ada kalanya jelas pula siapa ibunya dan yang satu ini adalah salah satunya.

“Luna, tolong jangan teriak di meja makan,” ujar Jiyya sembari mendesah.

Putrinya pun langsung duduk tenang dan kembali melanjutkan sesi makan malamnya, tetapi dia jelas tidak bisa menahan senyuman penuh kegembiraan.

“Baiklah Luna, bagaimana kalau kita bertemu di perpustakaan pukul 8 pagi?” usul Joan.

“Berarti kau harus kesana jam 11 pagi,” celetuk Jiyya yang diabaikan oleh Joan.

“Terima kasih banyak, Om Joan!” Luna menundukan kepalanya dengan sopan.

“Tidak masalah, Luna,” jawab Joan. “Aku tidak bisa membiarkanmu kalah dari anaknya si Leon.”

Matanya terangkat menatap Jiyya, kehangatan senyum kecilnya terpancar dari balik manik matanya yang gelap. Meskipun isi perut Jiyya terasa bergolak seperti banyak kupu-kupu berterbangan, tetapi sebagai contoh yang baik bagi putrinya Jiyya tak kuasa menahan diri untuk membalas tatapan itu dengan senyum penuh syukur. “Terima kasih ya,” gumamnya yang langsung diberi anggukan dan senyum tulus dari si pria.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Hasrat Terlarang   Bertiga

    Saat Jiyya tiba di rumah malam itu, ia melihat Luna menyambutnya dengan ekspresi muka merajuk. Tanpa perlu bertanya, Jiyya tahu darimana asal air muka itu tercipta. Terutama ketika ia mendengar suara dari arah dapur dan juga aroma masakan yang baru matang.“Apa yang terjadi selagi aku pergi?” tanya Jiyya kemudian, mengesampingkan kesimpulannya sendiri sembari menghampiri putrinya yang duduk di sofa dengan muka makin ditekuk.“Om Joan bilang Mama mungkin pulang terlambat karena pertemuan dengan editor, jadi dia yang akan menyiapkan makan malam agar Mama tidak perlu kerepotan begitu pulang,” lapor Luna masih dengan wkspresi cemberut dan nada bicara yang terdengar sangat kesal. “Selain itu dia juga bilang merasa agak bersalah karena telah menyuruhku push-up lima belas kali, tapi aku tidak percaya yang satu itu.”Mengabaikan rasa geli yang menerpa atas laporan dari putrinya karena Luna tampak sudah sangat mengenal Joan dengan baik, juga fakta bahwa pria itu kini sedang memasak didapurnya

  • Gelora Hasrat Terlarang   Ibu & Anak

    “Ma?”Jiyya mendongak tatkala suara lembut putrinya memanggil ketika ia sedang sibuk dengan sayuran yang tengah ia potong. “Apa sayang?” sahutnya kemudian dengan senyum secerah matahari yang bahkan tidak ia sadari.Luna mengernyitkan alis, penuh dengan rasa keingintahuan tatkala mendapati sang mama bertingkah tidak seperti biasanya. “Apa ada sesuatu yang bagus, Ma?” tanyanya, lalu seolah menimbang sesuatu ia kembali melanjutkan. “Mama terlihat… bahagia.”Tanpa diminta, segera seluruh kenangan bersama dengan Joan segera terlintas begitu saja dibenak. Tak bisa dipungkiri, ia tersipu malu. Wanita itu sebisa mungkin mencoba untuk terlihat normal dan menyembunyikan apa yang ia rasa dengan mengalihkan perhatian. “Biasa saja, kok,” jawabnya acuh tak acuh. “Oh… dan Sir Joan bilang padaku untuk mengingatkanmu kalau dia akan menunggu di tempat biasa pukul delapan besok pagi.”“Ya, aku ingat kok, Ma. Malah dia yang seharusnya diingatkan karena selalu terlambat saat bertemu denganku,” timpal Luna

  • Gelora Hasrat Terlarang   Maybe Someday

    Jiyya tahu pasti akan hal itu, tapi berharap juga bahwa langkah selanjutnya yang ia ambil tidak semata-mata karena keputusannya sendiri. Ia pernah salah mengambil langkah dulu, jadi untuk beberapa alasan Jiyya sedikit takut mengambil keputusan lagi. Ia takut menyakiti siapa pun. Tentang bayangan yang dirasakan oleh Bestian jika ia meninggalkannya terasa menyakitkan. Tetapi pemikiran soal tentang apa yang dirasakan Joan jika ia mengakhiri hubungan terlarang yang ia jalin pun jua menyakitinya dengan cara yang luar biasa menyakitkan dan Jiyya juga tahu bahwa itu pun tidak hanya menyakitinya sendiri, Joan pun akan ikut merasakannya.Joan jelas pria yang membuatnya bahagia, Jiyya tak bisa menyangkalnya. Dan Joan juga telah membuat Jiyya menyadari sendiri betapa bahagianya bila mereka bisa bersama. Ia tak pernah tahu (atau memang sengaja menutup kemungkinan dan enggan mengakui) tentang seberapa tak bahagianya ia dengan rumah tangga yang sedang ia jalani sampai Joan datang dan memberinya war

  • Gelora Hasrat Terlarang   Lemme Give You What He Can't Give to You

    Tanpa sadar, kedua mata Jiyya mulai berkaca-kaca. Joan begitu rela berkorban, dan selama ini ia begitu perhatian demi memastikan Jiyya baik-baik saja. Hatinya hancur memikirkan rasa kesepian yang Joan rasakan, sementara Jiyya masih saja berputar-putar tak bisa ambil keputusan.“Joan…,” panggilnya lesu, suaranya berat karena air mata yang berusaha sekuat tenaga ia tahan.Joan mengusap pipinya dengan lembut, memberikan ketenangan yang Jiyya butuhkan sebelum melanjutkan. “Tapi seiring waktu dan tak ada perubahan berarti bahkan suamimu tak pernah kunjung kembali. Aku tidak tahan lagi untuk menjadi sang pengamat. Itu sebabnya aku putuskan untuk maju dan merebutmu kembali dari pria yang tak becus menjagamu. Tak peduli meski orang lihat hubungan kita terlarang.”Saat kedua mata mereka bertemu, tatapan mata Joan tampak begitu serius dan sarat akan emosi yang membuat Jiyya ingin memeluknya dengan erat, air mata yang ia tahan pun mulai tumpah.“Kau berhak bahagia, Jiyya,” katanya sebagai kalima

  • Gelora Hasrat Terlarang   Kau Harus Bahagia

    Joan mengalihkan pandang untuk bisa menatap Jiyya dengan lekat. Cara pandang yang bukan sekadar melihat ke mata tetapi merasuk hingga ke dalam jiwa. Anehnya Jiyya tidak lagi ragu, meski masih sedikit malu karena terekspos bebas oleh pria itu. Malah kini pandangan yang dahulu terasa mengintimidasi kini berubah memberikan rasa aman dan juga dicintai. Sebab jika pria itu bisa melihatnya sedalam itu, tetapi ia tetap menginginkannya seperti ini maka…Merasa kewalahan menatap Joan seperti itu, Jiyya mencoba mengalihkan pandang untuk menutupi diri. Joan sendiri tampak tak keberatan, malah dia memberikan Jyya lebih banyak hal untuk didengar. “Aku tahu bahwa suamimu pergi dan jarang hadir di keluarga kecilmu karena pekerjaan, tapi aku tidak mengerti kenapa dia seolah menelantarkan kalian dengan sering berkunjung atau sesekali menghubungi. Aku memang merasa aneh sejak semula tahu akan hal itu, tapi aku tidak bisa mengintervensimu lebih jauh karena itu bukan urusanku. Karena kulihat kau tampakny

  • Gelora Hasrat Terlarang   Pillow Talk

    “Lima belas tahun lalu,” gumam Joan, bibir sang pria dan napasnya menerpa kulit Jiyya yang tak tertutup apa-apa. Kendati demikian wanita itu lekas menarik pakaian untuk menutupi kulitnya yang terbuka dan terkena udara.Jiyya sendiri berada dalam kondisi membelakangi Joan ketika dirinya berbaring di atas ranjang, memberi sedikit jarak sembari memeluk bantal yang mudah ia jangkau. Diam-diam wanita itu menarik napas mendalam, membaui bantal yang ia peluk lantaran beraroma seperti sang pemilik. Kalau saja Joan tidak ada, mungkin Jiyya akan bertindak bodoh dengan membenamkan wajahnya pada bantal tersebut seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.Namun pria itu jelas ada disana, mengawasi di belakangnya. Ia pun bisa merasakan jemari sang pria merayap pada permukaan kulitnya dibawah pakaian yang Jiyya gunakan untuk menutupi tubuhnya yang polos. Seakan tak rela Jiyya menutupi visualisasi sang pria, sebab di detik berikutnya yang Jiyya rasakan adalah lembutnya bibir Joan yang mengecup

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status