Share

Midlife Crisis

Author: Rucaramia
last update Last Updated: 2025-10-12 08:52:42

Jiyya tidak menyangka bahwa semua orang menyisakan satu kursi tepat disebelah Silvana, yang tampaknya punya tujuan supaya dirinya merasa lebih nyaman berada dalam lingkup pertemuan setelah sekian lama. Dan begitu Jiyya tiba, sahabatnya itu langsung menghambur memeluknya, lalu menarik dirinya untuk ikut duduk bersama.

“Jiyya, aku benar-benar rindu padamu. Sudah lama aku tidak melihatmu!” katanya dengan dramatis yang khas. Tipikal Silvana, seperti biasa.

“Yang benar saja, kau melihatku dua hari yang lalu saat sedang belanja, Silvana,” jawab Jiyya dengan suara yang terkesan datar.

Silvana hanya terkekeh garing mendengar ucapan sahabatnya. “Ah? Hahaha… kau ini, tidak mengerti kodenya ya?” ujar Silvana dengan menurunkan nada suara pada kalimat terakhir setelah tawa garingnya.

Jiyya menggelengkan kepala dan kemudian dia pun mulai mengedarkan pandangan ke seluruh meja yang telah terisi untuk menyapa semua orang dengan sopan. Ada Leon dan Dean yang memberinya senyum lima jari, dan tak lupa  Jiyya juga menganggukan kepalanya pada Joan yang kebetulan sekali duduk di sebrangnya. Joan membalasnya dengan senyum tipis sembari memiringkan botol bir yang diangkatnya ke arah Jiyya.

“Jadi, Joan kau pilih yang mana?” celetukan dengan seringai licik yang terlontar dari Dean yang tampaknya sudah mulai mabuk, membuat semua mata langsung tertarik pada pria termuda. “Kau suka yang keras tapi cepat, atau lembut dan lambat?”

“Ha?” Joan menatap mantan mahasiswanya dengan ekspresi bingung.

Seluruh isi meja pun menatap Dean seakan kepalanya tumbuh tiga.

Pria itu mendesah seolah sedang mencoba menjelaskan sesuatu yang sederhana kepada seorang bocah yang tidak mengerti apa-apa. “Aku bilang, ‘keras dan cepat’ atau ‘lembut dan lambat’, Kau pilih yang mana?” Kali ini Dean bahkan beberapa kali mengetuk meja mengisyaratkan agar Joan segera memberi jawaban.

Masih dengan ekspresi yang menyiratkan bahwa dia tidak yakin siapa yang mengeluarkan Dean dari rumah sakit jiwa malam itu dan mengapa, Joan mengambil botol bir miliknya seraya memutar-mutar benda itu di udara. Seluruh meja memperhatikan aksinya dengan alis terangkat termasuk Jiyya.

“Langsung saja to the point, tidak usah berbelit-belit. Maksudmu kau bertanya tentang aku suka seks yang kasar atau bercinta dengan penuh gairah sepanjang malam. Begitukan?” kata Joan sembari melirik ke arah Jiyya dengan penuh arti sebelum menyeringai pada semua orang yang ada di meja.

Sebelum yang lain sempat mengomentari celetukan Joan barusan, Jiyya dengan pipi yang agak memerah meninggikan suaranya segera sebagai bentuk protes. “Tunggu… bukankah kita semua sudah terlalu tua untuk main-main begini?”

Silvana langsung angkat bicara dengan kedua mata berbinar. Oh ya, Jiyya lupa kalau sahabatnya itu paling suka dengan topik-topik begini. Bahkan sebelum dia menikah saja dia memang sudah sangat gila. “Oh come on! Jiyya sayang!” tegurnya pada Jiyya. “Kita semua tidak pernah terlalu tua untuk hal ini. Lagipula aku penasaran juga dengan jawaban dari mantan dosen kita yang terkenal hot ini,” katanya dengan penuh semangat sampai birnya sedikit tumpah dari botolnya ketika Silvana menggebrak meja kepalang antusias.

Joan terkekeh, sementara Jiyya hanya bisa mengerang dan menggumamkan sesuatu tentang Silvana yang tidak juga tumbuh dewasa padahal dia sudah punya suami dan anak.

“Hmmm…” Joan memulai sembari menatap langit-langit seolah sedang mempertimbangkan hal yang paling penting se-alam semesta.

Dean dan Silvana mencondongkan tubuh, bahkan Leon yang kalem pun tampaknya penasaran. Tak seorang pun menyangka bahwa Joan betulan mau menjawab serius pertanyaan konyol tadi. Bahkan Jiyya pun diam-diam memasang kupingnya sendiri meskipun dia adalah orang yang paling menentang hal ini.

“Kurasa aku suka yang agak kasar, cepat dan tepat…”

“Sudah kuduga!” seru Silvana. Leon sebagai suaminya hanya bisa mengusap wajah, dan Dean mengerang.

Tetapi suara Joan berikutnya menghentikan seluruh reaksi berbeda dari semua orang di meja.

“… Tapi aku juga…” lanjutnya perlahan, dengan nada bicara yang semakin gelap lalu menundukan kepala untuk menatap Jiyya. “… aku suka juga yang dilakukan dengan tenang dan perlahan saat melakukannya dengan orang yang aku cinta.”

Dengan itu, Joan kemudian kembali bersandar pada kursinya dan sibuk dengan kudapan di atas meja seolah dia tidak pernah mengatakan apapun.

Semua orang hanya bisa menatap Joan dengan mulut ternganga kaget, termasuk Jiyya yang merasakan jantungnya berhenti berdetak detik itu juga. Tatapan itu, suaranya, dan ekspresi yang Joan buat seketika mengingatkan Jiyya terhadap moment tatkala pria itu memegang tangannya malam itu. Meskipun tatapannya kini hanya bertahan kurang dari dua detik. Waktu yang terlalu singkat untuk bisa disadari oleh siapapun. Namun bagi Jiyya tatapan Joan padanya membuat dirinya tidak bisa bernapas dan membuat pipinya seketika terasa panas.

Seolah-olah Joan mengisyaratkan padanya tentang perkataan dia semalam. Seolah pria itu memberinya tanda bahwa dia serius. Situasi yang mengurung Jiyya pada titik dimana dia kesulitan untuk berpaling darinya. Sial, ini tidak bagus! Apa yang baru saja dia pikirkan? Ini Joan, hanya Joan. Pria yang pernah menjalin hubungan dengannya sebentar dulu. Apa yang membuatnya harus bereaksi lebih? Lagipula dia adalah istri orang, dia milik Bestian. Suaminya.

Satu-satunya pria yang tidak hadir disini.

“Hei, itu curang! Sir Joan!” seru Dean sambil menunjuk pria itu. Terimakasih untuk suara Dean yang menggelegar, Jiyya sedikit bisa menyadarkan dimana dia sekarang sedang berada.

“Kau harus memilih salah satu. Kau tidak bisa mengatakan kau suka dua-duanya begitu saja,” tambah Silvana pula yang tampaknya berbagi pola pikir yang sama dengan Dean.

Suasana meja hening sejenak, bahkan Joan tampak tidak bergeming dari posisinya. “Kenapa tidak? karena yang aku bilang itu jujur.”

“Oh? Yah… maksudku…” Silvana kini agak tergagap, tampaknya dia mengerti kemana arah pembicaraan pria itu.

Leon hanya menyentuh pergelangan tangan istrinya dan menyuruhnya untuk kembali duduk dengan tenang. “Sudah ya, sayang.”

Silvana merosot dengan ekspresi cemberut yang memperlihatkan ketidakpuasan. Sementara Dean yang menjadi orang pertama yang mencetuskan pertanyaan tersebut hanya mengamati semuanya, dengan kepala terkulai di meja.

Jiyya sendiri memang berhasil mengalihkan pandangannya dari Joan, tetapi dia masih sedikit kesulitan mengatur detak jantungnya. Menyadari bahwa semua orang kini sudah teralihkan perhatiannya, Jiyya memanfaatkan kesempatan itu untuk mengeluarkan sejumlah uang dan menaruhnya diatas meja dan berjalan menuju ke pintu keluar. Dia mempertahankan kecepatan langkah kakinya agar terlihat seperti biasa. Tetapi secara tak sadar langkahnya kian cepat begitu dia mencapai pintu keluar, dan dia yakin tidak ada yang terasa senyaman napas pertama yang dia hirup saat dia keluar dari sana.

Jiyya membiarkan pintu tertutup di belakang punggung. Langkahnya agak terhunyung sebelum dirinya memutuskan untuk bersandar pada dinding. Wanita itu menatap kosong ke arah lampu jalan dan mencoba menenangkan laju jantungnya yang berbedar terlalu kencang.

Joan melakukannya lagi, persis seperti malam itu. Itu berarti Jiyya tidak sedang berkhayal. Pria itu memang sedang mencoba menggoyahkan hatinya hanya dengan beberapa kata, sentuhan sederhana, dan tatapan mata. Tangannya terangkat ke dada, dengan jemari mencengkram kerah baju yang sedang dia kenakan. Mulanya dia mengira kalau semalam bisa saja hanya sekadar halusinasinya karena dia agak mabuk. Tapi ternyata tidak… itu nyata. Dia mulai bertanya-tanya apakah pria itu benar-benar serius dengan ucapannya? Apakah Jiyya betulan mengenal pria itu seutuhnya?

Laju denyut jantungnya tak kunjung tenang, tetapi pintu pub terbuka dan sumber baru dari semua masalah di dunianya melangkah keluar dari dalam dan berbalik menghadapnya. Makin kencang saja debarannya ketika Jiyya kembali menatap kedua mata pria itu. Jiyya pasti terlihat sangat konyol sekarang, mencoba kabur karena sesuatu yang sangat normal bagi semua orang.

Tatapan hangat kembali pria itu berikan, tidak lagi sekelam saat Jiyya menarik tangannya malam itu… atau saat dia bicara di meja makan tadi. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum kecil, ketika dia memasukan kedua tangannya ke dalam saku. “Selamat malam, Jiyya.” katanya lembut, membiarkan tatapannya berpindah dari mata lalu ke bibir Jiyya, dan kembali lagi ke matanya. Tidak ada kata lainnya, selain langkah yang Joan lakukan guna membuat jarak dan menjauh dari Jiyya.

Tak mampu berkata apa-apa sebagai tanggapan, Jiyya hanya sanggup memperhatikan punggung lelaki itu hingga menghilang dari jangkauan matanya. Ketika dia telah pergi, tangan Jiyya yang semula mencengkram kemejanya mulai mengendur dan terkulai di sisi tubuh.

Ya Tuhan… ada apa dengannya? Jiyya merasa bahwa tingkahnya sekarang persis seperti saat dia masih remaja dulu. Tak habis pikir dia mulai menganalisis setiap detail kecil dari beberapa interaksi yang terjadi antara dirinya dengan sang mantan dosen.

Dari semua hal konyol itu, dulu saja dia pernah menolak fase jatuh cinta pada dosen sendiri macam Silvana. Tapi kenapa sekarang ini dia malah mengalaminya, tepat di usia kepala tiga? Sungguh itu tidak lucu.

Yang lebih penting lagi Jiyya sudah menikah.

Pasti ada yang salah dengan dirinya. Mungkin saja ini hanyalah akibat dari kerinduannya pada suasana rumah tangga yang harmonis dan kebetulan saja Jiyya jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan mantan dosennya akhir-akhir ini. Ya, mungkin begitu…

“Oh, ternyata kau masih disini, Jiyya!” suara Silvana memecah kebisuan pikiran Jiyya ketika dia dan semua orang keluar dari pintu. “Kukira kau sudah pulang tadi.”

Entah bagaimana Jiyya menemukan suaranya lagi saat itu. “Tidak, aku merasa sedikit pusing dan butuh sedikit udara,” sahut Jiyya sambil tersenyum palsu.

“Oh? Tapi dibandingkan kau sendirian disini, bagaimana kalau kau ikut dengan kami? Aku dan suamiku akan masuk ke ronde 2 setelah ini. Tapi setelah mengantar dia pulang sih,” tawarnya seraya menunjuk ke arah Dean yang dipapah oleh Leon.

Jiyya menggeleng. “Kurasa tidak, aku merasa sudah cukup minum malam ini. Aku mau pulang saja.”

“Ah, baiklah kalau begitu,” timpal Silvana lalu menariknya ke dalam pelukan yang erat. “Hati-hati di jalannya, sayangku. Kalau sudah pulang kabari aku.”

“Ya, Silvana,” kata Jiyya dengan suara yang sedikit serak lalu melepaskan diri dari pelukan sahabatnya. Setelah itu dia pun tersenyum pada Sir Leon.

“Kami duluan ya!” kata mereka sambil melambaikan tangan.

“Ya,” gumam Jiyya sambil melakukan hal yang sama meskipun kini isi kepalanya berada di tempat lain.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Hasrat Terlarang   Pendekatan

    Luna telah pergi ke kamarnya, dan melihat dari gerak-gerik gadis cilik itu tampaknya dia akan menyiapkan beberapa materi yang belum dia mengerti untuk diberikan kepada Joan keesokan harinya. Jiyya berdiri di wastafel untuk mencuci piring sementara Joan yang merapikan meja makan.Jiyya bisa mendengar ketika Joan meletakan tumpukan yang tersisa dari meja makan di sebelah kanannya. Namun sebelum sempat menoleh, sebuah tangan menyentuh pinggangnya cukup ringan namun tetap lembut dan tentu saja cukup nyata untuk membuat tubuh Jiyya menegang seketika. Hangatnya dada lelaki itu menyentuh punggungnya, disusul dengan lengan lain yang melingkar dari sisi satunya. Sentuhan yang begitu familiar dahulu yang membuat napas Jiyya langsung tertahan.Pegangan pada pinggangnya sedikit mengencang, seolah memberi jeda sebelum pria itu bersuara. Hembusan napasnya menyentuh pipi Jiyya tatkala dia bicara, “Biar kubantu,” kata Joan dengan suaranya yang dalam tetapi terdengar begitu lembut.Bibirnya menyentuh

  • Gelora Hasrat Terlarang   Dinner Bareng

    Kurang tidur dan overthingking adalah dua hal yang merupakan sebuah serangan paling mematikan. Tetapi Jiyya sedikit banyak bisa tetap bertahan dan menjalani harinya. Namun sialnya, dia sempat kena serangan jantung gara-gara mengira bahwa pria yang berdiri di sisi gedung sebagai Joan padahal bukan. Tidak heran, semua orang yang mengenalnya jadi khawatir dan menanyakan keadaannya. Jiyya mengabaikan kekhawatiran mereka dengan menunjukan bahwa dia sangat sehat dan baik-baik saja. Setidaknya bila diluar begini Jiyya punya kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran.Untungnya setelah beberapa lama, dia betulan merasa jauh lebih baik dari pada saat pagi hari tadi. Ketika sudah menunjukan pukul empat sore, Jiyya memutuskan untuk segera pulang. Mengingat putrinya pun pastinya sudah pulang les sekarang dan Jiyya harus sudah menyiapkan makan malam untuk mereka. Dia tidak sabar mendengarkan celotehan putrinya tentang apa saja yang dia pelajari hari ini, dan mulai membayangkan beragam masakan yang per

  • Gelora Hasrat Terlarang   Midlife Crisis

    Jiyya tidak menyangka bahwa semua orang menyisakan satu kursi tepat disebelah Silvana, yang tampaknya punya tujuan supaya dirinya merasa lebih nyaman berada dalam lingkup pertemuan setelah sekian lama. Dan begitu Jiyya tiba, sahabatnya itu langsung menghambur memeluknya, lalu menarik dirinya untuk ikut duduk bersama.“Jiyya, aku benar-benar rindu padamu. Sudah lama aku tidak melihatmu!” katanya dengan dramatis yang khas. Tipikal Silvana, seperti biasa.“Yang benar saja, kau melihatku dua hari yang lalu saat sedang belanja, Silvana,” jawab Jiyya dengan suara yang terkesan datar.Silvana hanya terkekeh garing mendengar ucapan sahabatnya. “Ah? Hahaha… kau ini, tidak mengerti kodenya ya?” ujar Silvana dengan menurunkan nada suara pada kalimat terakhir setelah tawa garingnya.Jiyya menggelengkan kepala dan kemudian dia pun mulai mengedarkan pandangan ke seluruh meja yang telah terisi untuk menyapa semua orang dengan sopan. Ada Leon dan Dean yang memberinya senyum lima jari, dan tak lupa J

  • Gelora Hasrat Terlarang   Masa Lalu yang Terbongkar

    “Kenapa malah balik bertanya?” Meski jawaban yang dia dapatkan berupa tanya balik dari Jiyya, Joan justru menatap wanita itu dengan sorot menggoda yang kembali hadir pada kedua matanya. Sambil menyeringai, dia kembali menggoda Jiyya dengan sangat entang. “Kau tahu, aku tidak bisa melupakan moment panas kita. Moment dimana aku mengambil keperawananmu, Jiyya.” “A—apa—” Jiyya mendadak tergagap, rona merah mewarnai pipinya. Dan disaat itu pula dia sadar bahwa Joan hanya sedang mengolok-ngolok dirinya. “Kau tahu kalau itu bukan topik yang sedang kita bicarakan disini!” Jiyya menyentakan lengannya dari meja dan berbalik menghadap pria itu sambil mendengus. Melihat seberapa ekspresifnya Jiyya, Joan malah terkekeh tulus. Tawa langka yang jujur saja selalu menular padanya. “Kau sekarang mirip sekali dengan Luna tadi,” ujarnya sambil tertawa pelan, ekspresi geli terpancar di wajah si pria. Jiyya melirik sedikit, berusaha mempertahankan ekspresi kesalnya tetapi tawa Joan justru malah menular

  • Gelora Hasrat Terlarang   Sebatas Itukah yang Kau Tahu?

    Jiyya tidak bertemu dengan Joan lagi selama beberapa hari setelah kejadian lari pagi waktu itu. Dia bisa saja bilang kalau alasan mengapa mereka tidak bersua adalah karena dirinya sibuk dirumah, tapi itu hanya argumentasi yang setengahnya benar saja.Bagian lainnya adalah Jiyya memang sengaja menghindari lelaki itu sebisa mungkin.Kata-kata yang Joan ucapkan agak melukai dirinya terlalu dalam lantaran kata-kata itu terlalu dekat dengan apa yang memang Jiyya pikirkan jauh di lubuk hatinya. Dan pria itu berhasil menyuarakannya keras-keras hingga Jiyya tidak sanggup mendengarnya sendiri. Dia tahu bahwa pertemuannya dengan Joan akan sedikit menyulitkan Jiyya untuk kembali menutup diri. Jadi Jiyya sebisa mungkin menjauhi tempat-tempat potensial pertemuan mereka saat keluar rumah, meskipun itu berarti dia harus melalui jalan yang memutar. Jiyya hanya merasa butuh waktu untuk mengingatkan pada dirinya sendiri tentang mengapa hidup yang telah dia pilih adalah opsi terbaik.Tapi sialnya jelas

  • Gelora Hasrat Terlarang   Menyelami Isi Hati

    Udara pagi masih menyisakan embun yang menempel pada dedaunan. Jalan setapak di tepi pemukiman masih tampak lenggang, hanya sesekali terdengar kicau burung dan roda sepeda yang melintas. Tidak banyak memang. Jiyya menarik napas dalam-dalam merasakan segarnya udara menelusup ke dalam paru-paru. Rambutnya terikat ekor kuda bergoyang mengikuti setiap langkahnya yang ringan. Cuma di moment inilah dirinya merasa sedikit lebih hidup dan keluar dari rutinitas membosankan. Jogging pagi menelusuri semua tempat, membuatnya merasa begitu bebas dan seolah pagi ini hanyalah miliknya, tanpa gangguan dari siapapun.Namun diantara bunyi langkahnya sendiri, Jiyya bisa mendengar ada suara ritme lain. Langkah kaki yang terdengar mengikuti di belakang. Agak aneh, lantaran setahunya hanya dia yang punya rutinitas seperti ini di sekitar kediamannya. Jadi pada akhirnya, Jiyya putuskan untuk melirik dan sekali lagi kedua matanya dibuat terkejut atas siapa yang sedang membuntutinya sekarang.“Sir Joan?”Senyu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status