“Kenapa malah balik bertanya?”
Meski jawaban yang dia dapatkan berupa tanya balik dari Jiyya, Joan justru menatap wanita itu dengan sorot menggoda yang kembali hadir pada kedua matanya. Sambil menyeringai, dia kembali menggoda Jiyya dengan sangat entang. “Kau tahu, aku tidak bisa melupakan moment panas kita. Moment dimana aku mengambil keperawananmu, Jiyya.” “A—apa—” Jiyya mendadak tergagap, rona merah mewarnai pipinya. Dan disaat itu pula dia sadar bahwa Joan hanya sedang mengolok-ngolok dirinya. “Kau tahu kalau itu bukan topik yang sedang kita bicarakan disini!” Jiyya menyentakan lengannya dari meja dan berbalik menghadap pria itu sambil mendengus. Melihat seberapa ekspresifnya Jiyya, Joan malah terkekeh tulus. Tawa langka yang jujur saja selalu menular padanya. “Kau sekarang mirip sekali dengan Luna tadi,” ujarnya sambil tertawa pelan, ekspresi geli terpancar di wajah si pria. Jiyya melirik sedikit, berusaha mempertahankan ekspresi kesalnya tetapi tawa Joan justru malah menular padanya. Membuat dia jadi ingin tersenyum, dan sekuat tenaga Jiyya menahan diri. Dia menggenggam kaleng bir miliknya lalu meneguk isinya dengan brutal. “Kau memang menyebalkan.” “Jadi kau sebegitu ingin tahunya soal kehidupan pribadiku?” jawab Joan lagi masih dengan senyum yang sama, lalu mengangkat botol birnya sendiri pula dan meneguknya dengan santai. Keheningan yang damai kembali lagi, sementara Jiyya lebih memilih memperhatikan putrinya yang sedang tertidur. Pikirannya sedikit merasa tenang dan damai, entah bagaimana tetapi seluruh rasa sepi yang selalu menghinggapi hilang begitu saja saat ini. Joan sendiri memperhatikan Jiyya dari posisinya. Setelah beberapa saat, suaranya memecah keheningan. “Selalu ada sesuatu yang lebih penting untukku,” Joan berkata, sembari bersandar di kursinya dan menatap kosong pada kaleng birnya, sembari memiringkan ke arah wajahnya. Jiyya menoleh ke arahnya seketika. “Hm?” tanyanya sebelum teringat pertanyaan yang dia ajukan kepada Joan sebelumnya. “Oh—" Namun sebelum dia bisa mengatakan apa-apa, Joan justru malah melanjutkan pernyataannya. “Aku tidak pernah punya keluarga seperti yang kau tudingkan. Aku masih sendiri hingga hari ini.” “Tapi anak perempuan yang kau gendong waktu itu?” Jiyya mulai protes. Dia jelas masih mengingat detail pertemuan terakhir mereka saat itu. Senyuman Joan dan seberapa bangganya dia ketika menggendong bocah cilik itu masih menghantuinya hingga detik itu. “Dia bukan anakku.” “Ap—” “Ibunya memang Maria, tetapi aku bukan ayahnya dan dia bukan putriku. Aku hanya menggodamu karena kurasa kau lebih suka jawaban itu. Aku melihatnya… cincin di jari manismu sebelum kau memamerkannya padaku.” Pengakuan itu menghantam dada Jiyya. Segalanya bercampur aduk, jadi waktu itu… “Aku bilang padamu bahwa hanya kaulah yang aku inginkan. Aku tidak bisa membawa orang lain dalam duniaku hanya untuk melanjutkan hidup. Aku tidak menginginkan hubungan yang setengah-setengah, Jiyya,” kata Joan dengan tegas. Tanpa Jiyya sangka entah sejak kapan tangannya telah disentuh oleh sang pria sembari ditatap dengan sedemikian intens. Kini Jiyya hanya bisa menatapnya dengan kedua mata terbelalak lebar, setiap untaian kata yang Joan ucapkan kepadanya seakan bergema di kepala. Joan menatapnya dengan cara yang belum pernah dia lakukan sebelumnya ketika mereka bicara. Sentuhan ringan yang dia berikan terasa penuh dengan makna. Bahkan dulu pun Joan tidak pernah menatapnya seperti ini. Lalu ini apa? "Jadi, kau tidak perlu mengkhawatirkan yang tidak perlu. Aku masih sendiri jadi tidak ada yang menghambatku untuk pergi kemana pun sesukaku. Bahkan kalau kau mau menggunakanku, aku bersedia. Aku akan pastikan jika bersamaku kau tidak akan pernah kesepian, Jiyya," tambah Joan lagi sembari memberi elusan ringan pada punggung tangan Jiyya. Ini sesuatu yang terasa salah dan suara pria itu entah bagaimana berbeda dari yang pernah Jiyya dengar. Jauh lebih rendah, lebih dalam dan sangat serius. Nadanya sama sekali tidak meninggalkan nada riangnya yang familiar. Mengisyaratkan sesuatu yang melanggar batas. Tiba-tiba dengan tajam Jiyya merasakan dadanya sesak. Undangan macam apa yang pria itu gaungkan padanya sekarang? Sadar bahwa sentuhan yang pria itu lakukan padanya terasa berbeda. Segera Jiyya menarik tangannya sendiri. Penolakan dari Jiyya membuat pria itu bereaksi dengan menengadahkan kepala untuk menenggak habis isi kaleng birnya hingga tandas. Lalu meletakannya di atas meja setelah benar-benar kosong. “Sudah malam, aku harus pulang.” Jiyya tidak sanggup mengeluarkan suara sedikitpun, hanya anggukan sederhana tanpa suara ketika dia menyaksikan setiap langkah yang Joan buat untuk membuat jarak diantara mereka. Ketika dia tiba di ujung ruang, dia berbalik sekali untuk menatap Jiyya. Dia sekarang tampak seperti orang asing. “Terima kasih untuk makan malamnya, masakanmu sungguh lezat, Jiyya.” Suaranya masih saja terdengar gelap dan pekat, dan itu membuat Jiyya merasakan kehangatan asing yang tak nyaman. Ketika sosok pria itu betul-betul menghilang dan menyisakan dirinya sendirian. Jiyya menghela napas panjang. Dia tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Tangannya gemetar saat dia kembali mencoba menenggak sisa bir di kalengnya. Apa yang barusan dia dengar? Benarkah itu yang terjadi? Benarkah itu Joan? *** Jiyya menyipitkan mata pada pria yang duduk dihadapannya, dia tampak sangat tekun dan teliti membaca beberapa berkas di atas meja satu persatu. Lalu sesekali pula dia menyisir rambutnya dengan jari dan mengangkat kertas lebih tinggi sehingga dia bisa menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Sejauh ini, belum ada tanda-tanda kemunculan sikap aneh Joan seperti tadi malam. Tidak ada suara berat yang membuat kata-kata yang terucap jadi terngiang di kepala. Tidak ada tatapan tajam yang penuh dengan makna misterius yang ditujukan pada Jiyya. Tidak ada sentuhan menggoda yang membuat Jiyya nyaris memikirkannya semalaman Lucunya, sikap Joan sekarang sangat normal seolah semalam tidak ada yang pernah terjadi. Joan seperti dirinya sendiri, sampai Jiyya berpikir bahwa yang terjadi semalam hanyalah efek dari mabuknya sendiri. Bukan sebuah realita melainkan mimpi. “Kurasa kau bisa melubangi kepalaku kalau kau terus menatapku begitu. Dan oh... aku juga bisa salah tingkah kalau kau mengagumiku terus dengan matamu itu,” celetuk Joan dengan santai tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari kertas yang sedang di abaca. Meskipun suaranya mengejutkan Jiyya, tetapi wanita itu dengan lihai berhasil menutupinya secara sempurna. “Kurasa kau begitu santai sampai bisa bolak-balik datang ke rumahku dan dengan cueknya bekerja seolah kau tinggal disini.” Jiyya kemudian menunjuk pada kertas-kertas yang berantakan di mejanya. “Dan ini… semua kertas ini, membuat rumahku jadi berantakan. Tidakkah kau seharusnya mencari tempat yang nyaman untuk menyelesaikan pekerjaanmu? Aku heran darimana datangnya kepercayaan dirimu sehingga kau bisa mengartikan caraku menatapmu adalah sedang mengagumimu.” “Oh tidak perlu malu-malu begitu, Jiyya,” sahut Joan. “Hal itu memang selalu terjadi secara alami setiap kali kau memandangku, wajahku memang menarik dan aku tahu kau bisa sekalian mencuci mata karena ada aku. Tidak ada salahnya untuk bersikap jujur,” katanya sembari mengintip dari balik kertas untuk sekadar melihat ekspresi yang Jiyya sedang buat. “… apalagi dengan adanya aku, kau tidak akan kesepian lagi di rumah ini. Bukankah begitu?” “Kau—” “Mengejutkanmu? Ya, aku tahu,” potong Joan sembari melambaikan sebelah tangan. “Jadi, kemarilah Jiya… Kurasa dibandingkan kau menatapku, bagaimana kalau kau membantuku dengan ini? aku sangat tahu kalau kau adalah mahasiswi terpintar di kampus. Kau menyianyiakan kepintaranmu kalau hanya berdiam diri begitu. Dan… Kalau kau memberitahuku apa yang harus kulakukan dengan ini, pekerjaan ini akan jadi lebih cepat selesai.” Matahari hampir terbenam sepenuhnya ketika Joan meletakan pena dan merenggangkan badannya di depan Jiyya. “Baiklah aku harus pergi,” kata pria itu sambil menggerakan lehernya kanan kiri hingga berbunyi. “Aku ada kencan.” Untuk beberapa alasan kepala Jiyya langsung terangkat dan menatap pria itu lekat-lekat. Joan menatapnya sejenak sebelum menambahkan, “… dengan Leon.” “Oh…” Jiyya memutar mata dan merasa sedikit malu lantaran dia bereaksi spontan begitu, jadi untuk menutupi tingkah tak beresnya dia memilih menyibukan diri dengan merapikan kertas yang ada di atas meja. Joan mengangkat sebelah alisnya ketika dia memperhatikan gerak-gerik Jiyya. “Kau tahu, kau bisa bergabung dengan kami.” Jiyya berhenti sejenak untuk menatap Joan lekat-lekat. “Tidak terima kasih, aku tidak mau jadi obat nyamuk di acara kencan kalian,” timpalnya dengan nada pura-pura serius. Joan hanya mengangkat bahu. “Jangan langsung menjudge sebelum kau mencobanya. Bisa saja kita main bertiga.” “Joan!” seru Jiyya, agak tergundang. Nada suara yang keluar dari mulut Joan barusan mungkin ringan, tetapi ada sesuatu yang menyebalkan berikut pula dengan seringai yang dia pasang di wajah. Untuk beberapa alasan Jiyya merasa pipinya memanas. Merasa puas lantaran telah menggoda habis-habisan mantan mahasiswinya itu, Joan pun melembutkan ekspresinya. “Sebenarnya kami tidak keluar berdua, melainkan berkelompok. Kau bisa datang bersamaku. Ngomong-ngomong kapan terakhir kau keluar?” “Aku tidak bisa, Luna mungkin—” “Dia sudah bisa menjaga dirinya sendiri, dia bukan balita, Jiyya. Jangan katakan padaku bahwa selama ini kau tidak pernah bersenang-senang sama sekali dan mengurung dirimu dirumah. Aku bertaruh bahwa Silvana pun akan ikut suaminya dipertemuan kami.” Jiyya menghela napas. Pria itu benar… Entah sudah berapa lama dia tidak melakukan hal itu. Sejak menikah, dia sudah tidak pernah lagi bersenang-senang diluar dan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah meskipun tidak ada yang dia lakukan juga. Seakan dia tidak diizinkan untuk bersenang-senang lagi. Luna memang bukan anak kecil lagi, dia bahkan sudah bisa mengurus dirinya dan melakukan banyak hal sendiri. Jadi… mungkin saja ajakan dari Joan bukan ide yang buruk. “Oke,” ujar Jiyya menyetujui. “Aku akan menemuimu di pub.” “Kalau kau tidak disana dalam waktu satu jam, aku akan kemari dan menyeretmu keluar dari rumah tak peduli kau suka atau tidak,” ancamnya yang membuat Jiyya tersenyum. “Ya, ya, Sir Joan,” timpal Jiyya. “Kau sudah janji untuk tidak menggunakan embel-embel ‘sir’ lagi, Jiyya,” sanggahnya. Jiyya memberinya senyum tulus, lalu menganggukan kepala. Sementara Joan langsung menyeringai puas sembari membawa berkas yang beberapa saat lalu dia geluti di rumah Jiyya dan mulai bangkit ke arah pintu. “Manusia aneh,” gumam Jiyya. “Hei, aku mendengarnya loh.” Jiyya menjulurkan lidahnya ketika pria itu berbalik di ambang pintu. “Manusia aneh,” katanya lagi dengan keras yang mengundang tawa kecil dari sang pria. Memang beginilah seharusnya mereka, bukankah begitu?Luna telah pergi ke kamarnya, dan melihat dari gerak-gerik gadis cilik itu tampaknya dia akan menyiapkan beberapa materi yang belum dia mengerti untuk diberikan kepada Joan keesokan harinya. Jiyya berdiri di wastafel untuk mencuci piring sementara Joan yang merapikan meja makan.Jiyya bisa mendengar ketika Joan meletakan tumpukan yang tersisa dari meja makan di sebelah kanannya. Namun sebelum sempat menoleh, sebuah tangan menyentuh pinggangnya cukup ringan namun tetap lembut dan tentu saja cukup nyata untuk membuat tubuh Jiyya menegang seketika. Hangatnya dada lelaki itu menyentuh punggungnya, disusul dengan lengan lain yang melingkar dari sisi satunya. Sentuhan yang begitu familiar dahulu yang membuat napas Jiyya langsung tertahan.Pegangan pada pinggangnya sedikit mengencang, seolah memberi jeda sebelum pria itu bersuara. Hembusan napasnya menyentuh pipi Jiyya tatkala dia bicara, “Biar kubantu,” kata Joan dengan suaranya yang dalam tetapi terdengar begitu lembut.Bibirnya menyentuh
Kurang tidur dan overthingking adalah dua hal yang merupakan sebuah serangan paling mematikan. Tetapi Jiyya sedikit banyak bisa tetap bertahan dan menjalani harinya. Namun sialnya, dia sempat kena serangan jantung gara-gara mengira bahwa pria yang berdiri di sisi gedung sebagai Joan padahal bukan. Tidak heran, semua orang yang mengenalnya jadi khawatir dan menanyakan keadaannya. Jiyya mengabaikan kekhawatiran mereka dengan menunjukan bahwa dia sangat sehat dan baik-baik saja. Setidaknya bila diluar begini Jiyya punya kegiatan yang bisa mengalihkan pikiran.Untungnya setelah beberapa lama, dia betulan merasa jauh lebih baik dari pada saat pagi hari tadi. Ketika sudah menunjukan pukul empat sore, Jiyya memutuskan untuk segera pulang. Mengingat putrinya pun pastinya sudah pulang les sekarang dan Jiyya harus sudah menyiapkan makan malam untuk mereka. Dia tidak sabar mendengarkan celotehan putrinya tentang apa saja yang dia pelajari hari ini, dan mulai membayangkan beragam masakan yang per
Jiyya tidak menyangka bahwa semua orang menyisakan satu kursi tepat disebelah Silvana, yang tampaknya punya tujuan supaya dirinya merasa lebih nyaman berada dalam lingkup pertemuan setelah sekian lama. Dan begitu Jiyya tiba, sahabatnya itu langsung menghambur memeluknya, lalu menarik dirinya untuk ikut duduk bersama.“Jiyya, aku benar-benar rindu padamu. Sudah lama aku tidak melihatmu!” katanya dengan dramatis yang khas. Tipikal Silvana, seperti biasa.“Yang benar saja, kau melihatku dua hari yang lalu saat sedang belanja, Silvana,” jawab Jiyya dengan suara yang terkesan datar.Silvana hanya terkekeh garing mendengar ucapan sahabatnya. “Ah? Hahaha… kau ini, tidak mengerti kodenya ya?” ujar Silvana dengan menurunkan nada suara pada kalimat terakhir setelah tawa garingnya.Jiyya menggelengkan kepala dan kemudian dia pun mulai mengedarkan pandangan ke seluruh meja yang telah terisi untuk menyapa semua orang dengan sopan. Ada Leon dan Dean yang memberinya senyum lima jari, dan tak lupa J
“Kenapa malah balik bertanya?” Meski jawaban yang dia dapatkan berupa tanya balik dari Jiyya, Joan justru menatap wanita itu dengan sorot menggoda yang kembali hadir pada kedua matanya. Sambil menyeringai, dia kembali menggoda Jiyya dengan sangat entang. “Kau tahu, aku tidak bisa melupakan moment panas kita. Moment dimana aku mengambil keperawananmu, Jiyya.” “A—apa—” Jiyya mendadak tergagap, rona merah mewarnai pipinya. Dan disaat itu pula dia sadar bahwa Joan hanya sedang mengolok-ngolok dirinya. “Kau tahu kalau itu bukan topik yang sedang kita bicarakan disini!” Jiyya menyentakan lengannya dari meja dan berbalik menghadap pria itu sambil mendengus. Melihat seberapa ekspresifnya Jiyya, Joan malah terkekeh tulus. Tawa langka yang jujur saja selalu menular padanya. “Kau sekarang mirip sekali dengan Luna tadi,” ujarnya sambil tertawa pelan, ekspresi geli terpancar di wajah si pria. Jiyya melirik sedikit, berusaha mempertahankan ekspresi kesalnya tetapi tawa Joan justru malah menular
Jiyya tidak bertemu dengan Joan lagi selama beberapa hari setelah kejadian lari pagi waktu itu. Dia bisa saja bilang kalau alasan mengapa mereka tidak bersua adalah karena dirinya sibuk dirumah, tapi itu hanya argumentasi yang setengahnya benar saja.Bagian lainnya adalah Jiyya memang sengaja menghindari lelaki itu sebisa mungkin.Kata-kata yang Joan ucapkan agak melukai dirinya terlalu dalam lantaran kata-kata itu terlalu dekat dengan apa yang memang Jiyya pikirkan jauh di lubuk hatinya. Dan pria itu berhasil menyuarakannya keras-keras hingga Jiyya tidak sanggup mendengarnya sendiri. Dia tahu bahwa pertemuannya dengan Joan akan sedikit menyulitkan Jiyya untuk kembali menutup diri. Jadi Jiyya sebisa mungkin menjauhi tempat-tempat potensial pertemuan mereka saat keluar rumah, meskipun itu berarti dia harus melalui jalan yang memutar. Jiyya hanya merasa butuh waktu untuk mengingatkan pada dirinya sendiri tentang mengapa hidup yang telah dia pilih adalah opsi terbaik.Tapi sialnya jelas
Udara pagi masih menyisakan embun yang menempel pada dedaunan. Jalan setapak di tepi pemukiman masih tampak lenggang, hanya sesekali terdengar kicau burung dan roda sepeda yang melintas. Tidak banyak memang. Jiyya menarik napas dalam-dalam merasakan segarnya udara menelusup ke dalam paru-paru. Rambutnya terikat ekor kuda bergoyang mengikuti setiap langkahnya yang ringan. Cuma di moment inilah dirinya merasa sedikit lebih hidup dan keluar dari rutinitas membosankan. Jogging pagi menelusuri semua tempat, membuatnya merasa begitu bebas dan seolah pagi ini hanyalah miliknya, tanpa gangguan dari siapapun.Namun diantara bunyi langkahnya sendiri, Jiyya bisa mendengar ada suara ritme lain. Langkah kaki yang terdengar mengikuti di belakang. Agak aneh, lantaran setahunya hanya dia yang punya rutinitas seperti ini di sekitar kediamannya. Jadi pada akhirnya, Jiyya putuskan untuk melirik dan sekali lagi kedua matanya dibuat terkejut atas siapa yang sedang membuntutinya sekarang.“Sir Joan?”Senyu