LOGINJiyya tidak bertemu dengan Joan lagi selama beberapa hari setelah kejadian lari pagi waktu itu. Dia bisa saja bilang kalau alasan mengapa mereka tidak bersua adalah karena dirinya sibuk dirumah, tapi itu hanya argumentasi yang setengahnya benar saja.
Bagian lainnya adalah Jiyya memang sengaja menghindari lelaki itu sebisa mungkin. Kata-kata yang Joan ucapkan agak melukai dirinya terlalu dalam lantaran kata-kata itu terlalu dekat dengan apa yang memang Jiyya pikirkan jauh di lubuk hatinya. Dan pria itu berhasil menyuarakannya keras-keras hingga Jiyya tidak sanggup mendengarnya sendiri. Dia tahu bahwa pertemuannya dengan Joan akan sedikit menyulitkan Jiyya untuk kembali menutup diri. Jadi Jiyya sebisa mungkin menjauhi tempat-tempat potensial pertemuan mereka saat keluar rumah, meskipun itu berarti dia harus melalui jalan yang memutar. Jiyya hanya merasa butuh waktu untuk mengingatkan pada dirinya sendiri tentang mengapa hidup yang telah dia pilih adalah opsi terbaik. Tapi sialnya jelas dia tidak bisa menghilang selamanya. Tepatnya ketika menjelang sore, diwaktu dimana putrinya pulang les. Jiyya mengira itu Luna yang mengetuk pintu. Jadi Jiyya segera meletakan pisau, menyeka tangannya yang sedikit kotor dengan celemek lalu pergi ke ruang tengah untuk membuka pintu. Namun begitu pintu terbuka, sosok yang berdiri di hadapannya bukan cuma Luna seorang, melainkan seorang pria yang tersenyum ramah kepadanya. “Kurasa dia milikmu?” kata Joan sembari mendorong Luna pelan masuk ke dalam rumah. Luna tampak cemberut sambil menghentakan kaki dan mendengus lalu menjauh dari pria yang mengantarkannya pulang. Ekspresi yang Joan buat sekarang tampak menjadi sangat serius ketika mereka bertemu pandang. Saat dia tidak mengatakan apapun, Jiyya memutuskan untuk menyela dengan mengangkat alis tak sabar lantaran dipandang dengan cara yang membuatnya tak nyaman. “Jadi?” Joan mengerutkan kening, meluangkan waktu sebentar untuk membangun ketegangan. Jiyya memutar bola mata ketika pria itu tak kunjung bersuara. Namun melihat gelagat Jiyya, Joan segera bicara dengan serius. “Jadi aku tidak sengaja bertemu dengan putrimu dan…” “Dan?” “Dia sedang dikepung anak laki-laki di gang sempit.” Joan berhenti sejenak untuk memberikan efek dramatis, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. Merendahkan suaranya sendiri dan mengungkapkan bagian terburuknya. “Ketika aku bermaksud menyelematkannya dia malah berbalik memukulku.” Erangan frustasi terdengar dari arah si gadis cilik. “Aku cuma sebal karena dia menggangguku, Ma! Kalau tidak ada dia aku sudah akan menumbang anak-anak nakal itu dengan tinjuku,” sela Luna keras, nadanya terdengar sangat marah. Melihat wajah putrinya yang kesal dan tangan terkepal, Jiyya nyaris tertawa terbahak-bahak, dia jadi teringat hari dimana dirinya berkelahi dulu dan sama sepertinya, dulu pun dia kesal lantaran tidak sempat menghabisi semua orang yang mengganggu. Alih-alih dengan keras menertawakan ulah putrinya, dia justru melirik ke arah Joan dan menyadari bahwa pria itu juga tampaknya mengingat moment yang sama dulu. Tatapan mereka bertemu sejenak, lalu keduanya pun mengalihkan pandangan karena Luna kembali angkat bicara. “Dia benar-benar tukang ikut campur. Kalau saja dia bukan teman Papa dan Mama aku pasti sudah menghajarnya sampai terkapar!” kata gadis itu dengan berapi-api. Ketika Jiyya sudah dapat mengatur suaranya untuk tidak menertawakan ulah putrinya, dia pun pada akhirnya angkat bicara. “Aku paham maksudmu, sayang. Tapi kau juga tidak seharusnya menyerang pria tua…” Jiyya bisa merasakan tatapan tak senang dari Joan ketika dia memanggilnya dengan sebutan pria tua. “… yang bermaksud baik padamu.” “Ya, Ma,” gumam Luna. “Sekarang bersihkan dirimu, sebentar lagi makanannya siap.” Luna tidak mengatakan apapun lagi setelahnya dan dengan patuh dia mengikuti intruksi sang mama sebelum menatap Joan dengan tatapan tajam. Joan sendiri hanya membalas tatapan itu dengan sebuah senyuman cerah. “Bagaimana kau bisa tahu kalau dia putriku?” tanya Jiyya pada Joan begitu putrinya telah menghilang dan dia yakin kalau Luna tidak akan mendengar percakapan mereka. Oh tentu saja, selama ini dia belum pernah memperkenalkan Luna padanya. Pertemuan mereka juga selalu berlangsung singkat dan hanya berdua saja. Jadi agak aneh baginya ketika Joan tiba-tiba saja mengantarkan putrinya pulang dengan sangat kasual. “Aku memang tahu,” sahut Joan dengan nada ceria. “Itu adalah salah satu kelebihanku.” “Dengan semua hal yang mengejutkan darimu, tidak mengherankan kalau ada orang yang merasa sebal dengan tingkah lakumu,” balas Jiyya. “Termasuk kau?” “Termasuk aku.” Joan lalu melirik ke arah pintu yang hanya terbuka untuk satu orang. Lalu menatap kedua mata Jiyya lagi dengan penuh pengharapan. “Jadi, meski aku sudah menyelamatkan putrimu dari para pengganggu, kau tidak punya niat untuk memberikan ucapan terimakasih yang layak untukku?” Jiyya mendecakan lidahnya, sebelum kemudian dia membuka lebar pintu yang sedang dia pegang sedari tadi. “Kau mau malam disini?” “Dengan senang hati,” sahut Joan sembari bersenandung riang dan berjalan melewati Jiyya menuju ke ruang tamu. Jiyya sendiri mengikuti langkah pria itu, dia bisa merasakan antara rasa kesal dan juga sayang. Percayalah, pria itu berhasil mengejutkannya lagi. Setelah mengatakan sesuatu yang meresahkannya selama beberapa hari, dia bisa-bisanya tiba-tiba muncul disini dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka berdua. *** Beberapa jam kemudian, makan malam telah selesai. Piring dan seluruh alat makan telah dibersihkan dan Luna bahkan telah tertidur di sofa setelah menjalani hari yang sibuk. Jiyya mengambil dua kaleng bir dari dalam kulkas, dan menawarkannya pada Joan. Pria itu tanpa ragu langsung menerima dan keduanya pun larut dalam keheningan di dapur yang terasa damai ketika mereka duduk berhadapan di meja makan sembari menyesap minuman masing-masing. “Dia tampak sangat polos seperti itu,” kata Joan sembari menatap wajah Luna yang sedang tertidur. “Memang,” sahut Jiyya setuju. “Sulit dipercaya aku telah merawatnya hingga dia tumbuh besar, bahkan sekarang dia sudah pandai mengarang cerita untuk membela dirinya sendiri.” Joan mengangguk, senyum tipis tersungging di wajahnya sebelum dia menyesap lagi. Jiyya sendiri malah terkikik geli ketika dia mengingat ekspresi wajah putrinya yang murka beberapa saat lalu. “Aku bisa memahami perasaan putriku, memukulmu bukan kesalahan karena kau memang menyebalkan.” “Tapi tampan dan rupawan,” tambah Joan sembari mengangkat bahu dan tersenyum miring. Jiyya menggelengkan kepala. “Kepedean.” “Itu fakta, tidak bisa terelakan bahkan kau pun pernah terpesona dengan wajah tampan ini.” “Masih berani membahas itu?” “Kenapa tidak berani?” “Dasar brengsek!” “Tidak boleh bicara kasar, Nona Jiyya.” “Memang tidak, tapi kepadamu itu wajar, Sir Joan.” Jiyya menjulurkan lidah padanya. Sementara pria itu hanya terkekeh dan kembali mereka terdiam dalam kenyamanan. Dengan seluruh rumah yang diliputi oleh kegelapan dan sekaleng bir yang menghangatkan perut, segalanya mulai terasa agak mengabur dalam cahaya keemasan di ruang dapur. Jiyya sudah mendapati dirinya memperhatikan jari jemari Joan yang memegang kaleng birnya, sesekali menelusuri pinggirannya. Dia bertanya-tanya dalam hati bahwa jari-jari itu dulu adalah jemari yang pernah dia genggam dan berhasil menghangatkan hatinya. Saat itu, dia merasa terlalu sulit mempercayai bahwa mereka masih bisa bertingkah begini walaupun ada banyak hal yang telah terjadi. Menyadari tatapan Jiyya, Joan lantas melepaskan tangannya dari kaleng dan meletakan dagu diatasnya. Kedua mata Jiyya mengikuti gerakan Joan hingga dia menatap rahang Joan yang kini berjanggut. Dia jauh lebih maskulin dengan itu, apalagi dengan rambut pendek dan tambahan kacamata yang membingkai kedua matanya yang indah. Saat itulah kedua mata mereka bertemu dan untuk pertama kalinya tidak ada sedikit pun Jiyya temukan raut menggoda dan main-main darinya. Justru ada kedalaman yang tak terdefinisi yang Jiyya dapati. Jiyya terkejut dengan cara lembut Joan memandangnya, sehingga dia pun langsung mengalihkan pandangan agar dirinya tak goyah. Tetapi kemudian dia mengingat bahwa dia adalah istri orang lain, dia adalah seorang ibu dan pria ini hanyalah cintanya di masa lalu. Jadi dia pun memutuskan untuk mengangkat sikunya sendiri ke meja dan menyandarkan pipinya ke telapak tangan seraya memiringkan wajahnya ke arah Joan. “Aku sering bertanya-tanya bagaimana rasanya tertidur dan bangun di atas ranjang yang sama dengan orang yang kita cintai setiap hari,” renung Jiyya, pandangannya kini tak menentu. Fokusnya beralih dari wajah Joan kemudian ke dinding. Joan menatapnya dengan cara yang tak terbaca sebelum kemudian menghembuskan napas dan bicara. “Entah,” jawabnya singkat. Suaranya tidak menunjukan adanya emosi apapun. Jiyya terdiam beberapa menit, akhirnya karena rasa penasaran dan pertanyaan yang telah dia simpan lama menyeruak keluar dengan mudah. Muncul keberanian yang tidak dia duga. “Kenapa entah? Bukankah kau menikahi wanita cantik itu lebih dulu dan sudah punya anak saat terakhir kali kita bertemu?” “Hmmm… hanya sebatas itukah yang kau tahu tentang aku, Jiyya?”Saat Jiyya tiba di rumah malam itu, ia melihat Luna menyambutnya dengan ekspresi muka merajuk. Tanpa perlu bertanya, Jiyya tahu darimana asal air muka itu tercipta. Terutama ketika ia mendengar suara dari arah dapur dan juga aroma masakan yang baru matang.“Apa yang terjadi selagi aku pergi?” tanya Jiyya kemudian, mengesampingkan kesimpulannya sendiri sembari menghampiri putrinya yang duduk di sofa dengan muka makin ditekuk.“Om Joan bilang Mama mungkin pulang terlambat karena pertemuan dengan editor, jadi dia yang akan menyiapkan makan malam agar Mama tidak perlu kerepotan begitu pulang,” lapor Luna masih dengan wkspresi cemberut dan nada bicara yang terdengar sangat kesal. “Selain itu dia juga bilang merasa agak bersalah karena telah menyuruhku push-up lima belas kali, tapi aku tidak percaya yang satu itu.”Mengabaikan rasa geli yang menerpa atas laporan dari putrinya karena Luna tampak sudah sangat mengenal Joan dengan baik, juga fakta bahwa pria itu kini sedang memasak didapurnya
“Ma?”Jiyya mendongak tatkala suara lembut putrinya memanggil ketika ia sedang sibuk dengan sayuran yang tengah ia potong. “Apa sayang?” sahutnya kemudian dengan senyum secerah matahari yang bahkan tidak ia sadari.Luna mengernyitkan alis, penuh dengan rasa keingintahuan tatkala mendapati sang mama bertingkah tidak seperti biasanya. “Apa ada sesuatu yang bagus, Ma?” tanyanya, lalu seolah menimbang sesuatu ia kembali melanjutkan. “Mama terlihat… bahagia.”Tanpa diminta, segera seluruh kenangan bersama dengan Joan segera terlintas begitu saja dibenak. Tak bisa dipungkiri, ia tersipu malu. Wanita itu sebisa mungkin mencoba untuk terlihat normal dan menyembunyikan apa yang ia rasa dengan mengalihkan perhatian. “Biasa saja, kok,” jawabnya acuh tak acuh. “Oh… dan Sir Joan bilang padaku untuk mengingatkanmu kalau dia akan menunggu di tempat biasa pukul delapan besok pagi.”“Ya, aku ingat kok, Ma. Malah dia yang seharusnya diingatkan karena selalu terlambat saat bertemu denganku,” timpal Luna
Jiyya tahu pasti akan hal itu, tapi berharap juga bahwa langkah selanjutnya yang ia ambil tidak semata-mata karena keputusannya sendiri. Ia pernah salah mengambil langkah dulu, jadi untuk beberapa alasan Jiyya sedikit takut mengambil keputusan lagi. Ia takut menyakiti siapa pun. Tentang bayangan yang dirasakan oleh Bestian jika ia meninggalkannya terasa menyakitkan. Tetapi pemikiran soal tentang apa yang dirasakan Joan jika ia mengakhiri hubungan terlarang yang ia jalin pun jua menyakitinya dengan cara yang luar biasa menyakitkan dan Jiyya juga tahu bahwa itu pun tidak hanya menyakitinya sendiri, Joan pun akan ikut merasakannya.Joan jelas pria yang membuatnya bahagia, Jiyya tak bisa menyangkalnya. Dan Joan juga telah membuat Jiyya menyadari sendiri betapa bahagianya bila mereka bisa bersama. Ia tak pernah tahu (atau memang sengaja menutup kemungkinan dan enggan mengakui) tentang seberapa tak bahagianya ia dengan rumah tangga yang sedang ia jalani sampai Joan datang dan memberinya war
Tanpa sadar, kedua mata Jiyya mulai berkaca-kaca. Joan begitu rela berkorban, dan selama ini ia begitu perhatian demi memastikan Jiyya baik-baik saja. Hatinya hancur memikirkan rasa kesepian yang Joan rasakan, sementara Jiyya masih saja berputar-putar tak bisa ambil keputusan.“Joan…,” panggilnya lesu, suaranya berat karena air mata yang berusaha sekuat tenaga ia tahan.Joan mengusap pipinya dengan lembut, memberikan ketenangan yang Jiyya butuhkan sebelum melanjutkan. “Tapi seiring waktu dan tak ada perubahan berarti bahkan suamimu tak pernah kunjung kembali. Aku tidak tahan lagi untuk menjadi sang pengamat. Itu sebabnya aku putuskan untuk maju dan merebutmu kembali dari pria yang tak becus menjagamu. Tak peduli meski orang lihat hubungan kita terlarang.”Saat kedua mata mereka bertemu, tatapan mata Joan tampak begitu serius dan sarat akan emosi yang membuat Jiyya ingin memeluknya dengan erat, air mata yang ia tahan pun mulai tumpah.“Kau berhak bahagia, Jiyya,” katanya sebagai kalima
Joan mengalihkan pandang untuk bisa menatap Jiyya dengan lekat. Cara pandang yang bukan sekadar melihat ke mata tetapi merasuk hingga ke dalam jiwa. Anehnya Jiyya tidak lagi ragu, meski masih sedikit malu karena terekspos bebas oleh pria itu. Malah kini pandangan yang dahulu terasa mengintimidasi kini berubah memberikan rasa aman dan juga dicintai. Sebab jika pria itu bisa melihatnya sedalam itu, tetapi ia tetap menginginkannya seperti ini maka…Merasa kewalahan menatap Joan seperti itu, Jiyya mencoba mengalihkan pandang untuk menutupi diri. Joan sendiri tampak tak keberatan, malah dia memberikan Jyya lebih banyak hal untuk didengar. “Aku tahu bahwa suamimu pergi dan jarang hadir di keluarga kecilmu karena pekerjaan, tapi aku tidak mengerti kenapa dia seolah menelantarkan kalian dengan sering berkunjung atau sesekali menghubungi. Aku memang merasa aneh sejak semula tahu akan hal itu, tapi aku tidak bisa mengintervensimu lebih jauh karena itu bukan urusanku. Karena kulihat kau tampakny
“Lima belas tahun lalu,” gumam Joan, bibir sang pria dan napasnya menerpa kulit Jiyya yang tak tertutup apa-apa. Kendati demikian wanita itu lekas menarik pakaian untuk menutupi kulitnya yang terbuka dan terkena udara.Jiyya sendiri berada dalam kondisi membelakangi Joan ketika dirinya berbaring di atas ranjang, memberi sedikit jarak sembari memeluk bantal yang mudah ia jangkau. Diam-diam wanita itu menarik napas mendalam, membaui bantal yang ia peluk lantaran beraroma seperti sang pemilik. Kalau saja Joan tidak ada, mungkin Jiyya akan bertindak bodoh dengan membenamkan wajahnya pada bantal tersebut seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.Namun pria itu jelas ada disana, mengawasi di belakangnya. Ia pun bisa merasakan jemari sang pria merayap pada permukaan kulitnya dibawah pakaian yang Jiyya gunakan untuk menutupi tubuhnya yang polos. Seakan tak rela Jiyya menutupi visualisasi sang pria, sebab di detik berikutnya yang Jiyya rasakan adalah lembutnya bibir Joan yang mengecup







