Share

4. Pria Itu

Selagi semua pertanyaan itu melambung di benak Laura, dia mendengar Emma memaki dengan emosi menggebu.

"Dasar rubah licik! Aku yakin dari dulu Nora sudah mengincar Noah! Ini berarti apa yang menimpa Laura pasti ada hubungan dengannya!" Wanita itu tak lupa menambahkan, "Noah juga! Apa dia tidak tahu apa dampak pengumuman ini kepada Laura? Apa dia tidak memikirkan perasaan Laura?! Kalau aku bertemu dua orang hina itu nanti, akan kuhabisi mereka!"

Suara Emma yang semakin lama semakin tinggi membuat Alan mendelik. "Jangan berteriak-teriak, bodoh! Cepat kecilkan volume suara TV! Laura bisa mendengar–"

Mendadak, ucapan pria itu berhenti saat matanya mendarat pada sosok Laura yang membeku di tangga.

"L-Laura!"

Teriakan Alan membuat Emma mengikuti arah pandang sang kakak dan spontan mematikan televisi. Kakak-adik itu membeku di tempat hingga Laura berjalan mendekat.

Emma dan Alan langsung berdiri dan menghampiri Laura.

"Laura, jangan pedulikan dua orang hina itu, oke? Mereka tidak pantas kau pikirkan!"

"Itu benar! Tidak pantas!"

Sepasang kakak-adik itu tampak menghibur Laura dengan panik. Mereka khawatir jika Laura kembali terpuruk karena berita pertunangan Noah.

Namun, di luar dugaan keduanya, Laura menyunggingkan sebuah senyuman manis. "Bisa carikan aku pekerjaan?"

Emma dan Alan mengerjapkan mata. "Apa?" Rasanya, mereka salah dengar.

Laura tersenyum tak berdaya melihat kedua kakak-beradik di hadapannya. "Aku rasa, sudah waktunya aku melakukan sesuatu. Tidak mungkin aku terus-terusan menyusahkan kalian, bukan? Jadi, aku mau mulai bekerja."

"Lau, kau tidak pernah menyusahkan kami! Jangan bicara seperti itu terus!" sanggah Emma seraya menggenggam kedua tangan Laura.

"Em, kalian sungguh baik, dan aku berterima kasih atas hal itu," balas Laura. "Akan tetapi, hidup terus berlanjut, dan tidak mungkin selamanya aku bergantung kepada dirimu dan keluargamu." Senyuman Laura berubah diselimuti tekad. "Aku ingin bangkit kembali dan berdiri sendiri."

"Lau …." Emma tak bisa berkata-kata.

Wajah Laura terlihat cerah, seakan sama sekali tak peduli dengan berita yang baru saja dia dengar. "Oleh karena itu, bisa bantu carikan pekerjaan untukku?"

Emma dan Alan pun saling menatap. Mereka seakan berkomunikasi tanpa suara sebelum akhirnya mencapai satu keputusan.

Alan berkata dengan senyum tipis, "Kalau kau sungguh tertarik … akan kucarikan satu pekerjaan untukmu."

*Beberapa hari kemudian*

Kantor Presiden Direktur Smith Group.

"Pemesan kamar hotel tidak diketahui, pemilik kalung juga tidak bisa ditemukan. Haruskah aku menilai ulang kinerjamu Theo?" ujar Asher dengan wajah gelap setelah menerima laporan asisten pribadinya terkait permintaannya lebih dari dua minggu lalu.

Asisten pribadi pria itu memasang wajah tak berdaya. "Tuan, pemilik kalung tersebut adalah wanita yang kabur dari rumah keluarganya 26 tahun yang lalu. Demikian, keberadaannya saat ini di mana, tidak ada yang tahu."

Pemilik kalung adalah wanita yang kabur 26 tahun yang lalu. Kalau dihitung, berarti umur wanita itu sudah hampir setengah abad. Hal tersebut tak selaras dengan sosok yang menghabiskan malam dengan Asher malam itu.

Samar-samar, sepasang manik biru indah yang menghipnotis membuat Asher menutup mata. Walau buyar, tapi Asher yakin sosok yang menghabiskan malam dengannya adalah seorang wanita muda. Oleh karena itu, kemungkinan terbesar adalah wanita yang bermalam bersamanya adalah putri dari wanita yang kabur itu.

Rumit. 

Melihat ekspresi gelap sang atasan, Theo mencoba lagi untuk bertanya, "Bagaimana, Tuan? Perlukah saya mengerahkan lebih banyak orang untuk menyelidiki lebih jauh tentang pemilik kalung itu?"

Sudah kabur 26 tahun yang lalu, apa lagi yang mau dicari? Semua jejak pasti sudah pudar dan sulit ditemukan.

Asher pun membuka mata dan meraih sebuah dokumen di atas meja. "Lupakan," ucapnya. "Lebih baik kau terus coba untuk mendapatkan informasi pemesan kamar 501." Pria itu menatap Theo lurus dan berkata, "Kalau perlu menggunakan uang, gunakan sebanyak yang diperlukan. Aku hanya menginginkan wanita itu."

"Saya mengerti, Tuan," balas Theo.

TOK! TOK!

Suara pintu yang diketuk membuat Theo dan Asher memutar kepala ke arah pintu. Tampak sang resepsionis berdiri dan melapor, "Tuan, calon sekretaris baru Anda sudah tiba. Haruskah saya biarkan menunggu atau–"

"Persilakan masuk."

Mendengar hal itu, resepsionis tersebut menoleh ke belakang dan mempersilakan sosok yang terhalang pintu kaca ruangan Asher untuk masuk.

Saat sosok itu berjalan masuk, pandangan Asher langsung terpaku pada sepasang manik biru yang menghipnotis di hadapannya.

Sama seperti dirinya, wanita tersebut juga membeku di tempat, seakan mengenalinya.

Saat dirinya menarik kursi di depan meja kerja Asher untuk sang sekretaris baru, Theo bingung dengan ekspresi terkejut wanita tersebut. 

"Nona Laura Wilson, Anda baik-baik saja?"

Ya, wanita yang baru saja masuk untuk menjalani hari pertamanya sebagai sekretaris Asher adalah Laura!

Laura memutuskan menggunakan nama keluarga ibunya setelah Simon mengusir dan tak mau mengakui dirinya sebagai anak.

Di tempatnya, tubuh Laura bergetar dan ekspresinya yang tadi tenang sekejap berubah diselimuti ketakutan.

'Pria itu … Laura tidak mungkin salah ingat. Dia adalah pria yang merenggut kesuciannya di malam tersebut!'

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
mulai seru
goodnovel comment avatar
RAZKA GRIFFIN ADRIANTO ADRIANTO
bagus juga critanya
goodnovel comment avatar
Umi Sinta
ceritanya bagus ngga bertele tele... lanjutkan ka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status