Sadar dirinya membuat bingung Theo, Laura memaksakan sebuah senyuman.
"Y-ya, saya baik-baik saja, maaf ... saya agak gugup." Laura duduk di kursi yang ditunjukkan Theo.Kedua tangan Laura saling terpaut dan meremas. Dia tak bisa menatap ke arah pria di hadapannya. Hingga sepasang manik matanya yang sedang melihat ke arah meja menemukan benda yang tampak familiar.Laura memicingkan mata untuk mengamati kalung yang berada di dekat tangan Asher. Setelah dapat melihatnya dengan jelas, kedua bola matanya membulat lebar.'Kalung itu .…' Laura menyipitkan matanya melihat benda yang familiar yang sedang dipegang oleh Asher.Laura kehilangan kalungnya. Dia mulai ingat ketika beberapa minggu yang lalu, ketika mandi, dirinya sudah mencari kemana-mana, namun belum juga menemukannya. Ketika melihat kalung itu ada di tangan Asher, Laura ingin bertanya untuk memastikan apakah itu benar kalung miliknya.Tanpa Laura ketahui, kalung yang telah dia cari-cari selama beberapa minggu terakhir, ternyata jatuh saat dirinya buru-buru keluar dari kamar hotel itu dan dipungut oleh Asher.Tanpa kalung itu dan meskipun hanyalah sebuah benda tak bernyawa, hidup Laura serasa tak lengkap. Hanya kalung itu yang dapat mengingatkan Laura kepada mendiang ibunya.Kegelisahan Laura rupanya tertangkap oleh Asher. Asher melihat Laura dan kalung tersebut bergantian. Dia sengaja menggeser pelan kalung itu dan iris biru Laura mengikuti pergerakannya.Asher mengangkat salah satu alis keheranan. Mengapa Laura tertarik kepada kalung itu?"Nona Laura Wilson ... kenapa Anda sepertinya terkejut melihat ini?" Asher menggantungkan kalung tersebut di antara jemarinya. "Apa kau mengenali kalung ini?"DEG!Laura tak ingin Asher tahu bahwa dirinya adalah wanita pemilik kalung tersebut. Melihat Asher yang tak mengenali dirinya, juga membawa kalung miliknya, besar kemungkinan jika Asher sedang mencari dirinya.Meskipun Asher hanya ingin mengembalikan kalungnya, Laura tak ingin membahas tentang malam panas itu. Terlebih lagi, dengan pria itu sendiri!"T-tidak. Itu kalung yang sangat indah," jawab Laura.Laura lega setelah Asher mengalihkan pembicaraan pada aturan perusahaan dan pekerjaan yang akan Laura lakukan. Laura hanya mengangguk-angguk dengan pikiran kosong. Hingga dirinya tersentak tatkala Asher menyodorkan kontrak kerja padanya."Ingat baik-baik," Asher sedikit menegakkan posisi tubuhnya seraya menatap netra biru milik Laura, "jika kau keluar sebelum waktunya, kau harus membayar biaya penalti. Baca dan pahami sebelum menandatangani."Laura menelan ludah dengan susah payah. Dia tak pernah mengira jika calon atasannya adalah pria yang telah menghancurkan masa depannya. Akan tetapi, Laura juga tak bisa menyerah sekarang.Alan sudah susah payah mencarikan Laura pekerjaan. Selain itu, Alan juga membantu untuk mengubah nama belakang pada semua dokumen milik Laura dengan nama keluarga ibunya. Laura tak mau mengecewakan orang-orang yang telah banyak menolongnya.Lagi pula, mencari pekerjaan juga tidaklah mudah. Laura tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padanya hanya karena pria di hadapannya.Yang paling penting, Laura perlu mengambil kalungnya kembali. Laura tak rela jika kalung peninggalan ibunya jatuh di tangan pria itu.Dengan coretan mantap, Laura membubuhkan tanda tangan di kertas kontrak kerja itu. "Terima kasih karena sudah menerima saya bekerja di perusahaan ini, Tuan Asher Smith," ucap Laura sambil menunduk untuk menghindari menatap mata lawan bicaranya."Kau bisa mulai kerja sekarang." Asher beralih menatap Theo. "Tunjukkan meja kerjanya.""Baik, Tuan." Laura mengamati kalungnya sekali lagi sebelum keluar dari ruangan.Asher mengangkat tangannya yang sedang memegang kalung itu. Lingkaran dalam kalung sejajar arah dengan punggung Laura yang kian menjauh.Kalung tersebut memang indah. Wanita mana pun pasti ingin memilikinya. Akan tetapi, reaksi Laura terlalu berlebihan untuk wanita yang hanya ingin memiliki perhiasan yang hanya ada dua di negaranya.Dan mata biru itu ... Asher seperti pernah melihatnya. Rasanya begitu familiar dan menghangatkan dada tatkala menatap mata indah itu.Tapi ... di mana dia melihatnya?***Satu hari hampir berlalu tanpa kendala. Asher tak meninggalkan ruang kerjanya barang sekali. Bahkan, makan siang pun diantar oleh Theo ke dalam ruangannya.Laura menjadi semakin gelisah karena sejak tadi, dia menunggu Asher pergi walau hanya sebentar saja. Tentunya, Laura ingin sekali mengambil benda berharga miliknya kembali.Setelah melihat kalung itu, pikiran Laura menjadi semakin gelisah. Laura sampai mengerjakan tugasnya dengan lambat karena sering melamun dan memikirkan kalung yang dipegang oleh Asher adalah kalung miliknya atau bukan.Laura ingin memastikannya lagi, bahwa benda yang selama ini dia cari-cari ada di depan mata, tetapi Laura tak dapat walau hanya memegangnya saja.Kesempatan yang dinantikan Laura pun akhirnya tiba. Pintu ruangan Asher terbuka. Pria itu melangkah keluar meninggalkan ruangannya, melewati meja kerja Laura tanpa melihat ke arahnya.Setelah memastikan Asher masuk ke dalam elevator, juga tak ada orang lain di sana, Laura bergegas masuk ke dalam ruang kerja Asher. Jantungnya berdetak sangat kencang tatkala kedua tangannya mulai membuka laci untuk mencari kalungnya.Telapak tangan Laura sangat gemetaran dan berkeringat tatkala mengobrak-abrik satu persatu laci meja kerja Asher. Hingga akhirnya, matanya menemukan benda mengilat itu di laci terbawah.Laura menutup mulut dengan telapak tangan dan hampir menangis haru kala melihat kalung tersebut ternyata memang benar kalung miliknya, karena ada liontin kecil yang terdapat di bungkusan yang sama dengan kalung tersebut, liontin berbentuk bulan sabit.Sudut mulut Laura terangkat ke atas melihat kalung yang ia keluarkan dari bungkusan tersebut dan saat ini berada dalam genggamannya.Namun, Laura segera sadar jika dirinya harus keluar dari tempat itu secepatnya. Laura bergegas berdiri sambil memegangi lututnya yang terasa sakit. Kepalanya sedikit berputar karena terlalu lama berjongkok.Ketika Laura hendak melangkahkan kaki, di depan meja itu, Asher telah berdiri di hadapannya dengan kedua tangan bersarang di saku celana."Apa yang kau lakukan?" tanya Asher dengan nada dingin.Laura gegas menyembunyikan kedua tangan di belakang badan. Wajahnya memucat dan keringat bercucuran akibat ketakutan yang begitu hebat."S-saya ...." Suara Laura tersekat dalam tenggorokan dan tak mampu melanjutkan ucapan.Asher mengayunkan langkah lebar mendekati Laura. Tangannya menarik tangan kanan Laura yang memegangi kalung itu dengan kasar. Laura meringis kesakitan merasakan cengkeraman Asher begitu kuat di pergelangan tangannya.Mata gelap Asher lurus menatap mata biru yang mulai berair di hadapannya. "Apa ini?"Laura menggeleng-geleng cepat tak mampu menjawab.Jika Laura mengatakan bahwa dirinya pemilik kalung itu, apakah yang akan Asher lakukan padanya? Laura tak ingin Asher melecehkan dirinya seperti malam itu. Namun, jika Laura tak mengatakannya, dia takut akan kehilangan pekerjaan yang baru saja didapatkannya.'Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau kehilangan kalung ini lagi,' rintih Laura dalam hati."Kau mau mencuri kalung ini?!" bentak Asher.Laura tersentak dan sontak meneteskan air mata. Bukan hanya karena rasa sakit di pergelangan tangannya, tetapi kata-kata Asher sangat menyakitkan hati.Mencuri? Bagaimana mungkin Laura mencuri benda miliknya sendiri?"Apa kau mau bekerja di sini hanya untuk mencuri?!" Asher menatap Laura nyalang, "Nona Laura, aku akan melaporkanmu ke polisi!" tegasnya seraya menarik Laura menuju pintu.Laura hanya bisa menggeleng sambil menangis terisak. "Tidak! Lepaskan aku!" teriak Laura, "Aku sama sekali tidak mencuri!"Ucapan Laura membuat Asher menghentikan langkahnya. "Tidak mencuri?" ulangnya. Kening pria itu berkerut seiring dirinya lanjut bertanya, "Kalau tidak mencuri, apa kalung ini milikmu?"Pertanyaan Asher membuat Laura terdiam. Haruskah Laura mengatakan kebenarannya?"Aku …!"Baru saja Laura ingin mengatakan sesuatu, pening yang sangat mendadak menyerang kepalanya. "Ugh …."Asher tampak kaget. "Nona Laura?"Namun, Laura tak mampu untuk bahkan membalas ucapan Asher. Pandangannya yang bur
Hening. Tidak ada yang bersuara.Laura mengangkat pandangan, lalu melihat wajah Asher tampak kebingungan."Diperkosa?" Laura tidak bohong. Dirinya memang tak berdaya di kala Asher merudapaksa dirinya. Hanya saja, pria itu tak mengenalinya … atau bahkan tidak peduli.Dengan air mata yang mengalir turun menuruni wajahnya, Laura pun mulai bercerita, "Ya … saya diperkosa … dan itulah yang membuat saya ditendang keluar dari keluarga saya tanpa harta apa pun." Dia bersujud di hadapan Asher. "Saya tinggal di kediaman teman saya, tapi tidak bisa untuk waktu yang lama. Itulah alasan saya berusaha mencuri kalung itu, untuk mendapatkan uang dengan lebih cepat!"Laura tidak berbohong, tapi juga tidak sepenuhnya jujur. Dia memang diperkosa oleh Asher, juga ditendang keluar oleh Simon. Hanya saja, mengenai alasan dirinya mencuri, itu adalah sebuah kebohongan besar.Asher menatap bagaimana tubuh Laura bergetar selagi bersujud di hadapannya. Sepasang manik hitamnya mempelajari setiap gerak-gerik Laur
Selagi ketiga orang itu saling bertatapan dengan kaget, Asher mengerutkan keningnya dengan bingung. "Kalian saling mengenal?"Pertanyaan Asher mengalihkan fokus semua orang. Laura terlihat sedikit canggung. "Ah … ya, saya–"Belum sempat Laura selesai menjawab, Nora langsung buru-buru berkata, "Kami kenalan lama!" Dia menatap Laura dan memberikan pandangan penuh makna. "Laura adalah mantan karyawan perusahaan keluarga saya."Ucapan Nora sukses membuat Laura dan Noah mengerutkan kening. Kenalan lama? Mereka adalah kakak-adik!Di tempatnya, Noah menatap Nora dengan ekspresi keruh. "Nora, kamu–""Kak Noah …," panggil Nora dengan suara rendah. Pandangan gadis itu tampak menegaskan sesuatu seiring dirinya berucap dengan suara yang hanya bisa didengar Noah. "Jangan mempersulit keadaan."Kalimat Nora membuat Noah bungkam, paham bahwa gadis itu sedang memperingatkan bahwa situasi Laura sudah cukup rumit. Simon sudah menghapusnya dari daftar keluarga, jadi tak ada yang boleh mengungkit latar be
“Lalu kenapa tunanganmu bilang jika Laura adalah kenalannya?” Asher tertawa tanggung. “Tidak bisa dipercaya, selain tidak sopan, dia juga suka berbohong. Apa yang dipikirkan kakakku saat ingin menikahkan kau dengan anak dari Keluarga Hartley itu? Dua-duanya sama-sama penipu ulung.”Noah tak dapat menjawab pertanyaan pamannya itu. Meskipun kecewa terhadap Laura, Noah tak ingin mengumbar aib Laura hingga mantan calon istrinya itu ditendang dari Keluarga Hartley.“Ceritanya panjang, Paman,” jawab Noah.Asher pun tak mau mendesak Noah yang terlihat sedikit kacau. Lagi pula, permasalahan keluarga sekretarisnya bukan masalah bagi dirinya.Di tempat lain, Laura yang baru mengetahui fakta bahwa Asher adalah paman dari Noah sedang melamunkan banyak hal.Apakah semua ini hanya kebetulan saja hingga dirinya berakhir bermalam dengan paman dari mantan tunangannya? Ataukah Noah sengaja menjebak Laura agar dapat memutuskan pertunangan dengan dirinya?“Kak ... Kak Laura baik-baik saja?” Nora menggunca
‘Sekitar tiga minggu yang lalu. Saya tidak ingat tanggal pastinya, Paman.’ Ucapan Nora beberapa menit lalu mengusik pikiran Asher sehingga dirinya tak fokus membaca semua dokumen yang menumpuk di atas meja.Laura bersama seorang pria di kamar Hotel Star sekitar tiga minggu yang lalu. Namun, wanita itu mengaku padanya bahwa dirinya telah diperkosa pria tak dikenal hingga diusir dari rumah.Apakah pria yang dimaksud adalah dirinya?Selain itu, Laura juga ketahuan akan mencuri kalungnya. Bahkan, sejak awal Laura melihat kalung itu, Asher sempat bertanya karena Laura tampak terkejut saat melihatnya.Kalung itu memang bernilai tinggi. Tetapi, ada barang lain yang juga berharga di dalam ruangannya. Untuk apa Laura mengincar kalung itu? Yang pastinya, Laura tak akan bisa menjualnya tanpa surat-surat dari kalung tersebut. Berbanding terbalik dengan alasan Laura mencuri karena membutuhkan uang.Asher pun kembali teringat saat Laura pingsan. Tangan Laura yang menggenggam kalung itu masih menega
Theo terkejut mendengar ocehan atasannya. “Maksud Anda, wanita yang Anda cari adalah Laura Wilson?” “Dia tahu bahwa dirinya sedang mengandung anakku dan tidak meminta pertanggungjawaban dariku? Menarik sekali … apa yang akan kau lakukan ke depannya, Nona Laura?” gumam Asher. Asher cukup takjub oleh sikap Laura. Bukan malah memohon pada Asher agar menikahi dirinya, namun Laura justru memohon agar tidak dipecat dari perusahaannya. Pada umumnya, wanita lain akan segera menuntut pertanggungjawaban Asher. Untuk apa bekerja keras jika Asher dapat memberikan segalanya? “Apa tidak sebaiknya Anda bicara dengan Nona Laura? Jika sampai ada yang tahu jika Anda menghamili seorang wanita, itu akan merusak reputasi Anda, Tuan. Bagaimana jika kita meminta Nona Laura untuk menggugurkan anak itu? Sebagai gantinya, kita bisa memberi Nona Laura-” “Apa kau bilang?!” bentak Asher memotong ucapan Theo yang saat ini sedang panik. “Kau ingin aku melenyapkan keturunanku?” geram Asher tak terima. Theo menun
“Keluar.” Asher segera mengusir Laura sebelum kelepasan bicara karena marah. Bagaimana tidak marah? Laura seenaknya saja akan menikah dengan pria lain, sedangkan wanita itu tengah mengandung anaknya! Asher tak terima dengan keputusan Laura. Akan tetapi, Asher juga tak bisa langsung mengatakan bahwa dirinya adalah pria bejat yang telah merenggut kesucian Laura dengan paksa. Mau ditaruh di mana wajahnya jika tiba-tiba meminta Laura untuk menikah dengannya, setelah mengatakan bahwa Laura adalah pencuri dan penipu ulung? Asher tetap bersikeras bahwa Laura-lah yang seharusnya mendatangi dirinya. Meskipun saat ini, Asher merasa gusar karena mendengar Laura akan segera menikah. Menikah … satu kata yang jauh dari kamus seorang Asher Smith. Pria yang tahun depan menginjak usia kepala empat itu sudah lama tidak memikirkan tentang pernikahan. Bahkan, ketika ibunya terus menjodohkan dirinya, Asher masih tetap nyaman dengan kesendiriannya sehingga dirinya selalu menolak perjodohan itu. Wal
DUK! Kepala Laura tepat membentur pada telapak tangan Asher yang sigap menghalangi di saat dirinya meringkuk dan dahinya hampir mengenai tepi meja. Perut Laura yang tadinya nyeri menjadi kram dan sangat menyakitkan hingga menjalar ke bawah. Asher gegas melangkah lebar dan membantu Laura duduk di sofa. Wanita itu tak menyadari perubahan mimik wajah sang atasan yang menjadi panik seketika. “Apa lagi yang sakit?” Pria yang tak biasa bicara lembut itu, suaranya terdengar seperti sedang mengeluh dan kesal. Laura jadi semakin tertekan karena merasa bahwa Asher sedang menyalahkan dirinya yang membuang-buang waktu berharga sang Presdir itu. “Maaf ... saya akan kembali ke ruangan saya sekarang … ugh …,” rintih Laura saat berusaha bangkit. “Diam di sini dan jangan banyak bergerak!” tegas Asher, kemudian dia segera menghubungi dokter perusahaan agar cepat datang. Melihat sang wanita merintih menahan sakit di perutnya, tangan Asher seperti hendak mengelus untuk meredakan sedikit kesakitanny