Laura tersentak dan sontak meneteskan air mata. Bukan hanya karena rasa sakit di pergelangan tangannya, tetapi kata-kata Asher sangat menyakitkan hati.
Mencuri? Bagaimana mungkin Laura mencuri benda miliknya sendiri?
"Apa kau mau bekerja di sini hanya untuk mencuri?!" Asher menatap Laura nyalang, "Nona Laura, aku akan melaporkanmu ke polisi!" tegasnya seraya menarik Laura menuju pintu.
Laura hanya bisa menggeleng sambil menangis terisak. "Tidak! Lepaskan aku!" teriak Laura, "Aku sama sekali tidak mencuri!"
Ucapan Laura membuat Asher menghentikan langkahnya. "Tidak mencuri?" ulangnya. Kening pria itu berkerut seiring dirinya lanjut bertanya, "Kalau tidak mencuri, apa kalung ini milikmu?"
Pertanyaan Asher membuat Laura terdiam. Haruskah Laura mengatakan kebenarannya?
"Aku …!"
Baru saja Laura ingin mengatakan sesuatu, pening yang sangat mendadak menyerang kepalanya.
"Ugh …."
Asher tampak kaget. "Nona Laura?"
Namun, Laura tak mampu untuk bahkan membalas ucapan Asher. Pandangannya yang buram oleh air mata semakin menggelap. Kepalanya seperti tertusuk ribuan jarum. Hingga akhirnya kegelapan menyelimuti kesadarannya, bersamaan dengan tubuhnya lunglai ke lantai.
"Nona Laura!" Asher langsung menangkap tubuh Laura saat hampir ambruk ke lantai. "Sial!"
Asher menggendong Laura dan membaringkan di atas sofa. Dia segera mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang, "Panggil dokter ke ruanganku, sekarang!"
Setelah mematikan panggilan, Asher melirik kalung di tangan Laura dan berusaha mengambilnya kembali. Namun, kepalan tangan Laura masih menegang, seakan-akan tak sudi melepaskan kalung itu.
Kebingungan menyelimuti Asher. Kenapa Laura begitu menginginkan kalung ini? Apa benda tersebut sungguh miliknya?
Beberapa saat kemudian, dokter perusahaan datang bersama Theo. Dokter itu segera melakukan pemeriksaan lengkap terhadap Laura.
"Bagaimana?" tanya Asher saat melihat sang dokter merapikan peralatannya.
Sang dokter berdiri dan berkata, "Nona ini … sepertinya hamil, Tuan."
Seketika, wajah Asher berubah keruh. "Hamil?"
***
Dua jam kemudian, Laura terbangun dari tidurnya. Mata yang dihiasi manik biru indah itu mengerjap seiring dirinya mendapatkan kembali kesadarannya.
"Di mana …?"
"Sudah bangun?"
Pertanyaan itu membuat Laura tersentak dan langsung menoleh ke kanan, pada sosok Asher yang terduduk di sofa selagi menatapnya tajam.
Laura terkesiap dan gegas mendudukkan diri. Kepalanya masih pening, dan hal itu membuatnya meringis.
'Apa yang … terjadi?' batin Laura dengan bingung seraya mencoba mengingat semuanya.
Laura ingat setelah dirinya mengantar Asher dan Theo pergi, dia masuk ke ruangan pria itu. Kemudian, Laura pun lanjut mengambil kalungnya dari laci Ash–
Kalungnya?!
Laura langsung menunduk, menyadari kalung miliknya tidak lagi di tangan.
"Mencari ini?"
Pertanyaan itu membuat Laura mengangkat pandangan ke arah Asher. Pria itu tengah menunjukkan kalung peninggalan ibu Laura di tangannya.
"Berapa banyak uang yang kau perlukan sehingga kau nekat mencuri benda ini dari tanganku?" tanya Asher dengan pandangan dingin.
Laura menggigit bibirnya. "Saya tidak mencuri …."
Balasan Laura membuat Asher menaikkan alis kanannya. "Tidak mencuri? Lalu, apa kalung ini milikmu?"
Pertanyaan itu membuat Laura mengerutkan kening. Haruskah dia mengaku?
Tidak!
"Mirip … hanya mirip dengan kalungku yang hilang. Sebenarnya aku berniat mengembalikannya tadi sebelum Anda datang kembali ke kantor."
Mengembalikan kalung itu? Ha ha … apa Laura pikir Asher akan percaya?
"Bukan hanya pencuri, tapi kau juga penipu ulung …."
Hinaan Asher membuat ekspresi Laura berubah keruh. "Apa?"
"Mengesampingkan masalah kalung ini, dalam data dirimu, tertulis jika kau belum berkeluarga. Kenapa kau berbohong?" tanya Asher dengan mata memicing dan aura yang berubah dingin.
Tuduhan Asher membuat Laura menatapnya kosong. "Berkeluarga …?" Apa maksud pria itu?
Wajah kosong Laura membuat Asher kehilangan kesabaran, mengira wanita itu berpura-pura. "Berhenti berpura-pura di hadapanku. Untuk apa menyembunyikan kenyataan dirimu telah menikah?"
"Menikah?" Laura mengerjapkan matanya dan menjawab lantang, "Saya belum menikah!"
Asher menyodorkan sebuah surat ke hadapan Laura. "Lalu apa ini?” Asher menunjuk satu bagian surat dan berujar, "Dokter mengatakan jika kau positif hamil dan kau mengatakan tidak memiliki suami? Apa janinmu muncul dari udara kosong?"
Mata Laura membesar. Dirinya … hamil?!
“Itu tidak mungkin!" seru Laura seraya berdiri tak terima karena dituduh seperti itu.
Keterkejutan Laura membuat Asher mendengus. "Kau tidak tahu kalau kau sedang mengandung? Atau pura-pura tidak tahu agar tidak disalahkan karena telah memanipulasi data pribadimu?" cibir Asher.
Pelipis Laura kembali berdenyut hebat. Dia merasa sangat pusing.
'Aku sungguh hamil …?' Laura menatap dokumen di atas meja. 'Di perutku ... ada janin pria ini?' Manik biru Laura menatap nanar Asher.
Selagi Laura masih terkejut dengan kenyataan baru yang dia dapatkan, Asher sedang menerka-nerka kebenaran dari pernyataan Laura. Di satu sisi, Asher tak dapat menemukan kebohongan dari gelagat Laura. Namun, di sisi lain, Asher juga teringat perbuatan Laura yang diam-diam hampir mencuri kalungnya.
Wanita ini … adalah masalah.
"Keluar," perintah Asher, membuat Laura tersentak. "Aku tidak ingin memiliki karyawan yang mengancam reputasiku dan perusahaan."
Wajah Laura memucat mendengar ucapan pria tersebut. Dia tidak bisa kehilangan pekerjaannya!
Bukan hanya karena tidak yakin bisa mendapatkan pekerjaan lain, tapi Laura khawatir Alan dan Emma akan kecewa padanya jika dirinya dipecat setelah bekerja hanya beberapa hari!
Selain itu ….
Laura menundukkan pandangan pada perutnya yang masih rata.
Kalau dirinya tidak ada pekerjaan, bagaimana dengan bayi ini?
Melihat Laura diam saja di tempat, Asher mengernyitkan dahi. "Apa kau tidak dengar yang kuucapkan? Kubilang kelu–"
BRUK!
Laura yang tiba-tiba berlutut di depan Asher membuat pria itu tersentak dan menghentikan ucapannya.
"Apa yang kau–"
"Tuan, saya mohon …." Laura tidak lagi peduli jika apa yang sekarang dilakukan sangat memalukan dan merendahkan harga dirinya. "Tolong jangan pecat saya. Saya tidak pernah berniat untuk membohongi Anda, Tuan. Saya bahkan tidak tahu jika saya sedang mengandung," ucap Laura dengan berlinang air mata.
"Tidak tahu?" Alis Asher tertaut. Apa maksudnya wanita itu tidak tahu?
Laura mengepalkan tangan, kepalanya tertunduk selagi dia menggigit bibirnya.
Bagaimana ini? Apa dia harus mengaku kepada Asher tentang bayi dalam kandungannya?
Akan tetapi, bagaimana kalau pria itu memang sering melakukannya dengan banyak wanita dan Laura hanya salah satu di antara mereka? Apakah Asher akan peduli padanya?
Atau jangan-jangan, pria itu malah akan meminta Laura menggugurkan kandungannya!? Tapi … bayi itu tidak bersalah!
Dengan semua ketakutan dan pikiran buruknya, Laura pun hanya bisa berkata, "S-saya ... diperkosa, Tuan."
Apa yang akan kalian lakukan kalau berada di posisi Laura?
Hening. Tidak ada yang bersuara.Laura mengangkat pandangan, lalu melihat wajah Asher tampak kebingungan."Diperkosa?" Laura tidak bohong. Dirinya memang tak berdaya di kala Asher merudapaksa dirinya. Hanya saja, pria itu tak mengenalinya … atau bahkan tidak peduli.Dengan air mata yang mengalir turun menuruni wajahnya, Laura pun mulai bercerita, "Ya … saya diperkosa … dan itulah yang membuat saya ditendang keluar dari keluarga saya tanpa harta apa pun." Dia bersujud di hadapan Asher. "Saya tinggal di kediaman teman saya, tapi tidak bisa untuk waktu yang lama. Itulah alasan saya berusaha mencuri kalung itu, untuk mendapatkan uang dengan lebih cepat!"Laura tidak berbohong, tapi juga tidak sepenuhnya jujur. Dia memang diperkosa oleh Asher, juga ditendang keluar oleh Simon. Hanya saja, mengenai alasan dirinya mencuri, itu adalah sebuah kebohongan besar.Asher menatap bagaimana tubuh Laura bergetar selagi bersujud di hadapannya. Sepasang manik hitamnya mempelajari setiap gerak-gerik Laur
Selagi ketiga orang itu saling bertatapan dengan kaget, Asher mengerutkan keningnya dengan bingung. "Kalian saling mengenal?"Pertanyaan Asher mengalihkan fokus semua orang. Laura terlihat sedikit canggung. "Ah … ya, saya–"Belum sempat Laura selesai menjawab, Nora langsung buru-buru berkata, "Kami kenalan lama!" Dia menatap Laura dan memberikan pandangan penuh makna. "Laura adalah mantan karyawan perusahaan keluarga saya."Ucapan Nora sukses membuat Laura dan Noah mengerutkan kening. Kenalan lama? Mereka adalah kakak-adik!Di tempatnya, Noah menatap Nora dengan ekspresi keruh. "Nora, kamu–""Kak Noah …," panggil Nora dengan suara rendah. Pandangan gadis itu tampak menegaskan sesuatu seiring dirinya berucap dengan suara yang hanya bisa didengar Noah. "Jangan mempersulit keadaan."Kalimat Nora membuat Noah bungkam, paham bahwa gadis itu sedang memperingatkan bahwa situasi Laura sudah cukup rumit. Simon sudah menghapusnya dari daftar keluarga, jadi tak ada yang boleh mengungkit latar be
“Lalu kenapa tunanganmu bilang jika Laura adalah kenalannya?” Asher tertawa tanggung. “Tidak bisa dipercaya, selain tidak sopan, dia juga suka berbohong. Apa yang dipikirkan kakakku saat ingin menikahkan kau dengan anak dari Keluarga Hartley itu? Dua-duanya sama-sama penipu ulung.”Noah tak dapat menjawab pertanyaan pamannya itu. Meskipun kecewa terhadap Laura, Noah tak ingin mengumbar aib Laura hingga mantan calon istrinya itu ditendang dari Keluarga Hartley.“Ceritanya panjang, Paman,” jawab Noah.Asher pun tak mau mendesak Noah yang terlihat sedikit kacau. Lagi pula, permasalahan keluarga sekretarisnya bukan masalah bagi dirinya.Di tempat lain, Laura yang baru mengetahui fakta bahwa Asher adalah paman dari Noah sedang melamunkan banyak hal.Apakah semua ini hanya kebetulan saja hingga dirinya berakhir bermalam dengan paman dari mantan tunangannya? Ataukah Noah sengaja menjebak Laura agar dapat memutuskan pertunangan dengan dirinya?“Kak ... Kak Laura baik-baik saja?” Nora menggunca
‘Sekitar tiga minggu yang lalu. Saya tidak ingat tanggal pastinya, Paman.’ Ucapan Nora beberapa menit lalu mengusik pikiran Asher sehingga dirinya tak fokus membaca semua dokumen yang menumpuk di atas meja.Laura bersama seorang pria di kamar Hotel Star sekitar tiga minggu yang lalu. Namun, wanita itu mengaku padanya bahwa dirinya telah diperkosa pria tak dikenal hingga diusir dari rumah.Apakah pria yang dimaksud adalah dirinya?Selain itu, Laura juga ketahuan akan mencuri kalungnya. Bahkan, sejak awal Laura melihat kalung itu, Asher sempat bertanya karena Laura tampak terkejut saat melihatnya.Kalung itu memang bernilai tinggi. Tetapi, ada barang lain yang juga berharga di dalam ruangannya. Untuk apa Laura mengincar kalung itu? Yang pastinya, Laura tak akan bisa menjualnya tanpa surat-surat dari kalung tersebut. Berbanding terbalik dengan alasan Laura mencuri karena membutuhkan uang.Asher pun kembali teringat saat Laura pingsan. Tangan Laura yang menggenggam kalung itu masih menega
Theo terkejut mendengar ocehan atasannya. “Maksud Anda, wanita yang Anda cari adalah Laura Wilson?” “Dia tahu bahwa dirinya sedang mengandung anakku dan tidak meminta pertanggungjawaban dariku? Menarik sekali … apa yang akan kau lakukan ke depannya, Nona Laura?” gumam Asher. Asher cukup takjub oleh sikap Laura. Bukan malah memohon pada Asher agar menikahi dirinya, namun Laura justru memohon agar tidak dipecat dari perusahaannya. Pada umumnya, wanita lain akan segera menuntut pertanggungjawaban Asher. Untuk apa bekerja keras jika Asher dapat memberikan segalanya? “Apa tidak sebaiknya Anda bicara dengan Nona Laura? Jika sampai ada yang tahu jika Anda menghamili seorang wanita, itu akan merusak reputasi Anda, Tuan. Bagaimana jika kita meminta Nona Laura untuk menggugurkan anak itu? Sebagai gantinya, kita bisa memberi Nona Laura-” “Apa kau bilang?!” bentak Asher memotong ucapan Theo yang saat ini sedang panik. “Kau ingin aku melenyapkan keturunanku?” geram Asher tak terima. Theo menun
“Keluar.” Asher segera mengusir Laura sebelum kelepasan bicara karena marah. Bagaimana tidak marah? Laura seenaknya saja akan menikah dengan pria lain, sedangkan wanita itu tengah mengandung anaknya! Asher tak terima dengan keputusan Laura. Akan tetapi, Asher juga tak bisa langsung mengatakan bahwa dirinya adalah pria bejat yang telah merenggut kesucian Laura dengan paksa. Mau ditaruh di mana wajahnya jika tiba-tiba meminta Laura untuk menikah dengannya, setelah mengatakan bahwa Laura adalah pencuri dan penipu ulung? Asher tetap bersikeras bahwa Laura-lah yang seharusnya mendatangi dirinya. Meskipun saat ini, Asher merasa gusar karena mendengar Laura akan segera menikah. Menikah … satu kata yang jauh dari kamus seorang Asher Smith. Pria yang tahun depan menginjak usia kepala empat itu sudah lama tidak memikirkan tentang pernikahan. Bahkan, ketika ibunya terus menjodohkan dirinya, Asher masih tetap nyaman dengan kesendiriannya sehingga dirinya selalu menolak perjodohan itu. Wal
DUK! Kepala Laura tepat membentur pada telapak tangan Asher yang sigap menghalangi di saat dirinya meringkuk dan dahinya hampir mengenai tepi meja. Perut Laura yang tadinya nyeri menjadi kram dan sangat menyakitkan hingga menjalar ke bawah. Asher gegas melangkah lebar dan membantu Laura duduk di sofa. Wanita itu tak menyadari perubahan mimik wajah sang atasan yang menjadi panik seketika. “Apa lagi yang sakit?” Pria yang tak biasa bicara lembut itu, suaranya terdengar seperti sedang mengeluh dan kesal. Laura jadi semakin tertekan karena merasa bahwa Asher sedang menyalahkan dirinya yang membuang-buang waktu berharga sang Presdir itu. “Maaf ... saya akan kembali ke ruangan saya sekarang … ugh …,” rintih Laura saat berusaha bangkit. “Diam di sini dan jangan banyak bergerak!” tegas Asher, kemudian dia segera menghubungi dokter perusahaan agar cepat datang. Melihat sang wanita merintih menahan sakit di perutnya, tangan Asher seperti hendak mengelus untuk meredakan sedikit kesakitanny
“Mama … Papa … Emma! Aku punya berita bagus!” seru Alan. Laura ingin menghentikan Alan karena malu. Tetapi, Alan terlihat sangat bahagia. Laura pun membuntuti Alan yang kini sedang mencari-cari seluruh anggota keluarganya. Emma yang mendengar teriakan Alan bergegas turun dari lantai dua dan menghampiri mereka. “Ada apa? Papa dan Mama sedang keluar menghadiri pertemuan dengan orang penting.” Alan berlari kecil, lalu memeluk Emma setengah mengangkat badannya. Emma meronta-ronta sambil memaki kakaknya. “Laura akan menjadi adik iparmu sebentar lagi, Em!” seru Alan. “Sungguh?” Senyuman terbit di wajah Emma. Dia sampai menjambak kecil rambut kakaknya karena berhasil membujuk sahabatnya. “Tapi … kenapa kau kelihatan bahagia sekali? Bukankah kau bilang kalau Laura hanya boc- um ….” Alan segera membekap mulut adiknya dengan telapak tangan. Dia ingat pernah mengatakan pada Emma jika Laura hanya bocah ingusan dan dia tak akan pernah tertarik atau menggodanya. Tentu saja, Alan mengatakan i