Langkah Dania berhenti di depan gerbang besi besar yang menjulang tinggi, menghalangi pandangan langsung ke arah rumah megah di dalamnya.
Gerbang itu berdiri kokoh, dicat hitam mengkilap, dengan ukiran-ukiran klasik yang menambah kesan mewahnya. Dari balik sela-sela, Dania bisa melihat sekilas betapa mewahnya rumah yang berdiri cukup jauh dari gerbang. Pandangannya langsung tertuju pada balkon kamar di lantai dua. Balkon indah yang dulu bisa ia nikmati pemandangannya di setiap pagi. Napasnya memburu. Jantungnya berdegup kencang, seakan hendak meledak keluar. Malam itu udara dingin menusuk, tapi telapak tangannya justru berkeringat dingin. Ia berdiri lama, memeluk perutnya yang mulai membesar, matanya menelisik dari balik gerbang. Ada harapan yang tumbuh di sana, harapannya untuk melihat dua wajah yang paling ia rindukan, kedua kakaknya, Axel dan Davin. Namun sebelum sempat melangkah lebih jauh, salah satu satpam yang berjaga di pos dekat gerbang menoleh. Pria paruh baya itu tampak menyipitkan mata, memastikan penglihatannya. Seketika ia berseru setelah yakin bahwa yang ia lihat tidak salah. “Loh, bukannya itu Non Dania?” Sontak tiga satpam lainnya ikut menoleh ke arah yang ditunjuk. “Eh iya! Non Dania!” seru salah satunya dengan suara lantang. Dania tersentak. Dadanya berdegup makin cepat. Ia refleks mundur satu langkah, lalu berbalik, berniat hendak melarikan diri. Tapi baru saja kakinya hendak berlari, deru mesin mobil sport terdengar dari arah jalanan. Dua mobil mewah berhenti mendadak di hadapannya, menghadang langkah kecilnya yang panik. Lampu sorot mobil itu menyilaukan matanya. Dania terhenti, membeku di tengah jalan. Tubuhnya gemetar, seolah waktu menahannya untuk tak kabur lagi. Pintu kedua mobil itu terbuka hampir bersamaan. Dari mobil pertama, Axel turun dengan jas rapi yang membalut tubuh tegapnya. Dari mobil satunya lagi, Davin keluar, dengan gaya lebih santai tapi tak kalah berwibawa. Senyum tipis tersungging di wajah keduanya. Senyum yang tak hanya menenangkan, tapi menyimpan banyak kerinduan yang selama ini sulit mereka ungkapkan. “Akhirnya kau kembali… adikku,” ucap Axel dengan suara tenang, penuh rasa yang sulit dijelaskan. Ia lalu merentangkan kedua tangannya, membuka lebar pelukan yang selama ini begitu dirindukan Dania. Tangis yang sejak tadi ditahan pecah begitu saja. Tanpa ragu, Dania berlari dan langsung memeluk Axel. Tubuhnya bergetar dalam pelukan hangat itu. Tangannya mencengkeram jas Axel seolah takut kehilangan lagi. “Maafkan aku … maafkan aku, Kak,” isaknya, suaranya tersenggal-senggal. Axel mengusap rambut adiknya dengan lembut, tatapannya penuh kasih sayang. “Tidak apa-apa, Dania. Kau sudah kembali. Itu yang terpenting.” Davin mendekat, menepuk lembut bahu adiknya. “Kami menunggumu, Dania. Kami selalu menunggumu.” Di luar dugaan Dania, Axel dan Davin menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Tidak ada amarah, tidak ada cacian karena kesalahannya dulu yang keras kepala mengikuti Reno. Yang ada hanya pelukan, senyum, dan rasa hangat keluarga yang selama ini hilang dari hidupnya. Tangisan Dania belum juga mereda saat Axel dan Davin saling berpandangan, lalu keduanya tersenyum kecil. Malam itu, mereka membawa Dania masuk ke dalam rumah mewah yang sejak tadi hanya bisa ia lihat dari kejauhan. Begitu melewati pintu utama, Dania melebarkan senyumannya. Setiap sudut di rumah itu penuh dengan kenangan dan cinta. Bodohnya, dulu ia mau meninggalkan semua itu cuma-cuma hanya demi menikahi seorang pria brengsek. “Duduklah, Dania. Malam ini kau adalah tamu kehormatan,” kata Axel sambil mempersilahkan adiknya duduk di sofa empuk ruang tamu. Pelayan segera datang membawa minuman hangat dan kue ringan. Beberapa menit kemudian, meja panjang di ruang makan sudah dipenuhi hidangan lezat. Semua hidangan yang terlihat cukup membuat air liur Dania menetes, dan cacing dalam perutnya segera berteriak meminta untuk di isi. Dania menatap semua itu dengan mata berkaca-kaca. Ia hampir lupa kapan terakhir kali menikmati makanan enak tanpa rasa takut atau hinaan. Malam itu, setelah perutnya terisi, Axel dan Davin mengajak Dania berbincang di ruang keluarga. Lampu temaram membuat suasana terasa hangat. “Sudah yakin akan kembali tinggal di sini?” tanya Axel, sebelah kakinya menyilang santai, dan tatapannya fokus pada adiknya yang terlihat canggung saat duduk di sofa mewah tempat dulu ia bersantai. Davin menyenggol lengan Axel, khawatir Dania akan berubah pikiran dan pergi lagi. “Tak salah kau bertanya begitu?” Axel tertawa kecil. “Aku hanya ingin memastikan. Supaya semua drama kita segera berakhir,” ucap Axel dengan tenang, seketika membuat kening Dania berkerut. “Drama? Apa maksudnya?” tanyanya penasaran. “Jawab dulu pertanyaanku?” ulangi Axel. Dania menghela nafas panjang. “Tentu saja, jika kalian masih ingin menerimaku di sini.” Davin tersenyum senang. “Syukurlah. Aku sangat rindu bertengkar denganmu, Dania!” Davin terlalu antusias sampai sikap tegasnya luntur di hadapan adik bungsunya. Sikapnya itu tentu membuat suasana sedikit cair. Dania tertawa kecil, sebelah tangannya mengusap air mata yang sejak tadi terus menetes sementara tangan satunya lagi masih memeluk perutnya yang membuncit. “Semua fasilitas, dan warisan bagian kamu tidak benar-benar aku ambil.” Axel mengambil secangkir teh di atas meja, lalu menyeruputnya perlahan. Mata Dania membulat sempurna. “Jadi selama ini ….” “Ya, hanya drama,” timpal Davin. “Tapi … aku sudah mengecewakan kalian. Soal Reno ….” Axel mengangkat sebelah tangannya, kode agar Dania tak melanjutkan ucapannya. “Jangan sebut nama itu lagi. Kau mau kembali pada kehidupanmu, bukan?” Dania mengangguk. Perasaan haru, penyesalan, bahagia, semua bercampur menjadi satu. Tak sekalipun ia pernah bermimpi akan kembali hidup mewah di rumah itu lagi. Sementara itu, jauh dari suasana penuh haru yang dialami Dania, Reno berada dalam dunianya sendiri. Malam itu, setelah menyadari bahwa Dania tidak ada di rumah, ia hanya mengangkat bahu. Ia sama sekali tidak peduli. Dengan semua yang kini ia miliki, jabatan tinggi, uang berlimpah, dan lingkaran pertemanan dari orang-orang terpandang, Reno merasa hidupnya sudah sempurna. Ia meyakini Dania tak akan berani kembali ke rumah keluarganya. Dalam benaknya, Dania adalah wanita lemah yang sudah ia buang, dan tak akan pernah punya keberanian untuk berdiri lagi. “Biarkan saja,” gumam Reno sambil menyesap minumannya di sebuah bar mewah. “Tanpa dia pun aku lebih bahagia.” Reno merapikan pakaiannya, kepalanya masih terasa sedikit pusing. Tak lama, Maria datang ke rumah itu dengan pakaian sexy seperti biasa. Tadinya, ia datang ke rumah itu ingin membuat hidup Dania semakin menderita. Namun setibanya di sana, dan mendengar pernyataan dari mulut Reno, ia mulai terlihat khawatir. “Kau yakin dia tak akan kembali pada keluarganya?” tanya Maria penuh keraguan. Reno tersenyum yakin. “Tidak akan. Aku yakin dia tak akan diterima lagi. Kehidupannya akan semakin susah setelah pergi dari sini.”Setelah kepergian Dania, kehidupan Reno berubah drastis. Bukan berubah menjadu lebih baik, melainkan semakin terjerumus dalam kesombongan yang tak terkendali. Rumah kontrakan sederhana yang dulu ia tinggali bersama Dania kini sudah ia tinggalkan. Barang-barang lamanya pun tak lagi ia pedulikan, sebagian ia jual, sebagian lagi ia tinggalkan begitu saja. Reno merasa kehidupannya sudah naik kelas. Ia kini tinggal di sebuah apartemen mewah di pusat kota, dengan pemandangan indah pusat kota yang bisa ia lihat dari atas. Pagi itu, Reno melangkah dengan penuh percaya diri menuju gedung perusahaan tempat ia bekerja. Setelan jas hitamnya tampak mengilap, dasinya berwarna merah menyala, dan sepatunya mengkilap. Sesekali ia membalas sapaan karyawan dengan mengangkat sebelah tangan.Di dalam hatinya, Reno merasa dunia kini berada dalam genggamannya. Jabatan baru yang ia peroleh setelah beberapa bulan bekerja membuatnya semakin congkak. Ia yakin, semua orang di perusahaan itu harus menaruh ho
Langkah Dania berhenti di depan gerbang besi besar yang menjulang tinggi, menghalangi pandangan langsung ke arah rumah megah di dalamnya. Gerbang itu berdiri kokoh, dicat hitam mengkilap, dengan ukiran-ukiran klasik yang menambah kesan mewahnya. Dari balik sela-sela, Dania bisa melihat sekilas betapa mewahnya rumah yang berdiri cukup jauh dari gerbang. Pandangannya langsung tertuju pada balkon kamar di lantai dua. Balkon indah yang dulu bisa ia nikmati pemandangannya di setiap pagi.Napasnya memburu. Jantungnya berdegup kencang, seakan hendak meledak keluar. Malam itu udara dingin menusuk, tapi telapak tangannya justru berkeringat dingin. Ia berdiri lama, memeluk perutnya yang mulai membesar, matanya menelisik dari balik gerbang. Ada harapan yang tumbuh di sana, harapannya untuk melihat dua wajah yang paling ia rindukan, kedua kakaknya, Axel dan Davin.Namun sebelum sempat melangkah lebih jauh, salah satu satpam yang berjaga di pos dekat gerbang menoleh. Pria paruh baya itu tampak
Seorang pria berpakaian rapi turun dari mobil mewah yang baru saja berhenti di depan rumah sederhana itu. Jas hitam yang ia kenakan tampak pas membalut tubuh tegapnya, sepatu kulitnya berkilat, dan wajahnya dihiasi senyum ramah. Tatapannya berwibawa, namun tetap mengundang rasa percaya.Dania, yang baru saja keluar rumah karena penasaran dengan suara mobil mewah itu, tertegun sejenak. Rumah sederhananya nyaris tak pernah disinggahi tamu, apalagi tamu berpenampilan sekelas pria ini. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat.“Nona Dania?” sapa pria itu sopan, membungkukkan sedikit tubuhnya.Dania mengangguk ragu. “Ya, dengan saya sendiri.”“Saya datang untuk menjemput Non Dania. Ada undangan sarapan dari seseorang.”Alis Dania berkerut. “Dari siapa, Pak?”Pria itu hanya tersenyum, tidak menjawab dengan jelas. “Nanti, Non Dania akan tahu.”Dania terdiam. Hatinya menimbang-nimbang. Sempat muncul rasa takut, tetapi keanggunan sikap pria itu menepis sebagian kegelisahannya. Ia berpikir, mungk
Dania pulang ke rumah kontrakannya dengan langkah tertatih. Matanya sembab, sudah terlalu lama menangis hingga air matanya kini kering. Wajahnya pucat pasi, sementara kedua tangannya tak pernah lepas dari perutnya yang mulai membesar. Perjalanan menuju kontrakan kecil itu terasa begitu panjang. Satu harapan dalam hatinya, ia hanya ingin anak dalam kandungannya tetap aman dan selamat di tengah badai yang sedang menerpa hidupnya.“Tolong kuat, Nak … Mama janji akan terus berjuang,” bisiknya, suaranya bergetar di tengah udara malam yang menusuk.Sesampainya di rumah, kontrakan sederhana itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram di dapur hanya memantulkan bayangan tubuhnya yang kurus. Ia duduk di kursi reyot sambil menatap kosong meja makan yang kosong. Perutnya kembali berteriak lapar, meski ia mencoba mengabaikannya.Ia berjalan gontai ke arah tempat sampah dapur. Tangannya gemetar ketika ia meraih bungkusan makanan yang siang tadi sempat ia makan dan dibuang suaminya.Bau a
Dania duduk terpaku di sudut ruangan restoran itu sejak setengah jam lalu. Perutnya keroncongan, tetapi ia tak punya nafsu makan. Sejak siang tadi, ia belum menyentuh sesuap nasi pun. Lapar memang menggerogoti tubuhnya, tapi ada yang jauh lebih perih, hatinya yang retak berkeping-keping.Tatapannya yang kosong berubah menjadi kilatan amarah ketika matanya menangkap sosok yang selama ini ia kenal sebagai suaminya, Reno. Pria yang dulu begitu ia percayai, pria yang dahulu rela berlutut memohon restu keluarganya, kini duduk manis bersama seorang wanita lain. Seorang wanita bernama Maria, cantik, anggun, dan jelas bukan dirinya.Yang membuat darah Dania benar-benar mendidih adalah cara Reno memperlakukan wanita itu. Senyum hangat, tatapan lembut, jemari yang nyaris bersentuhan di atas meja bundar. Hal-hal kecil yang sudah lama tak pernah ia rasakan lagi. Reno yang bersamanya hanya tahu cara membentak, mencaci, bahkan mencederai harga dirinya.Langkah Dania semakin cepat. Degup jantungnya
Tamparan keras itu mendarat di pipi kanan Dania, membuat kepala wanita itu terhuyung ke samping. Bunyi tepukannya terdengar jelas di ruangan sempit itu, menyisakan panas yang menjalar di kulit pipinya. Sakitnya seperti terbakar, tapi yang jauh lebih perih adalah rasa sesak di hati. Air mata langsung menggenang di sudut matanya, namun ia tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun untuk membela diri. Tangannya refleks menekan perutnya yang membuncit, seolah ingin melindungi janin yang tengah ia kandung. Nafasnya berat, bibirnya bergetar.“Dasar wanita tak tahu diuntung! Bersyukur aku masih mau menampungmu di sini,” bentak Reno dengan mata menyala, nafasnya terengah akibat emosi yang memuncak.Dania hanya menunduk. Lidahnya kelu, tenggorokannya terasa kering. Semua yang dia lakukan tadi hanyalah meminta buah-buahan saja, keinginan sederhana yang muncul karena rasa ngidamnya. Tetapi di rumah ini, bahkan permintaan sekecil itu bisa menjadi alasan baginya untuk menerima kekerasan.“Aku cuma