Beranda / Horor / Gerbang Neraka Desa Terakhir / Bab 1 Kedatangan di Desa Angkara

Share

Gerbang Neraka Desa Terakhir
Gerbang Neraka Desa Terakhir
Penulis: Rafi Aditya

Bab 1 Kedatangan di Desa Angkara

Penulis: Rafi Aditya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-27 11:12:58

Langit senja berubah warna menjadi merah darah saat Raka Prasetya akhirnya sampai di mulut desa Angkara. Debu menempel di wajah dan bajunya setelah dua belas jam perjalanan dari kota, menembus hutan lebat, menumpang truk tua, lalu berjalan kaki menyusuri jalan tanah yang seakan tak berujung.

Desa itu terpencil, tak ada di peta digital mana pun. Ia hanya tahu dari secarik surat yang dikirim tanpa pengirim. Isinya singkat, ditulis dengan tinta merah pudar di atas kertas tua beraroma jamur:

"Datanglah sebelum malam merah tiba. Jika tidak, kau akan datang sebagai arwah."

Awalnya Raka menganggapnya lelucon. Tapi rasa penasaran sebagai jurnalis investigasi dan dorongan aneh yang tak bisa ia jelaskan membuatnya terus mencari keberadaan desa Angkara. Kini ia berdiri di depan gerbang kayu tua yang menggantung miring, separuh patah, dipenuhi simbol tak dikenal yang terukir dalam pola berulang seperti mantera.

“Permisi?” serunya.

Tak ada jawaban. Bahkan suara jangkrik pun tak terdengar.

Ia melangkah masuk. Jalan setapak membelah rumah-rumah kayu tua yang kusam dan reyot. Sebagian rumah tertutup rapat, jendelanya ditutupi papan dari dalam. Tak ada satu pun penghuni terlihat, seolah desa ini ditinggalkan... atau memang tidak pernah dihuni oleh manusia.

Tiba-tiba, suara gesekan halus terdengar dari salah satu rumah di sebelah kanan. Raka berhenti. Perlahan, sebuah jendela terbuka, menampakkan sepasang mata tua yang dalam dan kosong. Mata itu menatapnya tanpa berkedip. Lalu jendela kembali tertutup tanpa suara.

Raka merinding. Langkahnya kembali berjalan, kali ini lebih cepat.

Di tengah desa, ia tiba di sebuah lapangan kecil dengan pohon beringin besar berdiri kokoh di tengah. Akar-akar pohon itu menjulur keluar seperti tangan yang merangkak dari tanah. Di bawah pohon itu berdiri seorang wanita tua berpakaian hitam lusuh, rambutnya panjang menutupi sebagian wajahnya, dan tongkat kayu melengkung di genggamannya.

“Kau Prasetya?” tanyanya lirih.

Raka mengangguk ragu. “Iya. Raka Prasetya. Saya... mendapat surat.”

Wanita itu mengangguk pelan, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Surat itu bukan undangan,” katanya pelan. “Itu peringatan. Tapi kau datang juga.”

“Saya ingin tahu tentang desa ini. Kenapa tak ada informasi apa pun? Kenapa semua orang diam? Apakah ada sesuatu yang”

Wanita itu mengangkat tangannya, menyuruh Raka diam.

“Mereka mendengarmu,” bisiknya.

“Siapa?”

Wanita itu menatap lurus ke matanya, dan saat itulah Raka merasa ada sesuatu yang tak wajar dalam sorot mata itu. Seolah... matanya pernah melihat dunia yang berbeda. Dunia yang lebih gelap. Dunia yang seharusnya tidak pernah dijamah manusia.

“Aku penjaga gerbang,” ucap wanita itu akhirnya. “Dan kau, Raka... kau adalah kuncinya.”

Raka melangkah mundur, jantungnya berdetak cepat. “Apa maksud Ibu? Kunci apa?”

Sebelum wanita itu menjawab, dari arah hutan terdengar suara lolongan panjang. Namun itu bukan lolongan anjing. Suara itu dalam, serak, dan menggema seperti berasal dari tenggorokan makhluk yang tak memiliki bentuk.

Langit perlahan menghitam, bukan karena malam turun, tapi seperti awan kelam menggulung turun menelan langit. Angin bertiup dingin, membawa bau busuk yang menusuk hidung. Daun-daun berjatuhan, dan suara lonceng kecil terdengar berdenting di kejauhan padahal tak ada angin cukup kuat untuk menggoyangkan apa pun.

Wanita tua itu menatap ke langit. “Malam merah hampir tiba.”

Ia lalu menunjuk arah barat. Di sana, di balik reruntuhan bangunan tua, terlihat jalan kecil menurun ke arah sebuah bukit.

“Kau akan mulai mendengar suara-suara itu malam ini. Jangan menjawab mereka. Jangan melihat ke mata siapa pun setelah matahari tenggelam. Dan yang paling penting... jangan buka pintu rumahmu, meski yang mengetuk adalah suara ibumu sendiri.”

Raka menatap wanita itu dengan bingung. “Ibu bicara seperti ini... semacam tempat terkutuk.”

“Angkara bukan tempat. Angkara adalah pintu. Dan ketika dibuka, neraka tidak hanya menelan mereka yang berdosa. Tapi juga mereka yang penasaran.”

Seketika itu, terdengar ketukan. Pelan. Tiga kali.

Raka menoleh cepat ke belakang, namun tak ada siapa pun.

Ketika ia kembali menatap wanita tua itu... dia telah menghilang.

Pohon beringin bergoyang pelan. Di salah satu akar menggantung sebuah benda kecil berlumuran darah kering: potongan telinga manusia.

Angin malam berdesir, membawa bisikan samar.

"Selamat datang di Angkara, anak kunci..."

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gerbang Neraka Desa Terakhir    Bab 10 Tanda Yang Muncul di Kulit

    Udara pagi terasa ganjil. Langit berwarna abu-abu kehijauan, seakan matahari sendiri enggan menyinari tanah yang telah ternoda. Angin berhembus pelan, namun mengirim bau amis yang menusuk seperti darah basi dan tanah lembap yang disiram arwah penasaran. Raka duduk membelakangi api unggun yang hampir padam. Matanya kosong. Tubuhnya lemas, tetapi pikirannya masih terperangkap dalam mimpi neraka tadi malam. Naya menyodorkan secangkir air. “Minumlah. Kau butuh tenaga.” Ia tak menjawab. “Raka,” panggil Pak Jatmiko, lebih tegas. “Apa yang kau lihat… bukan hanya penglihatan. Itu peringatan. Gerbang Kedua memang belum terbentuk, tapi tanda-tandanya akan mulai muncul.” Raka mengangkat lengan bajunya tanpa sadar dan saat itu juga, Naya menjerit pelan. Di bahu kirinya, sebuah simbol berwarna hitam mulai terbentuk. Bentuknya seperti lingkaran dengan cabang menyerupai akar yang menjalar perlahan ke arah jantung. Simbol itu berdenyut, seolah hidup. Seolah bagian dari sesuatu yang sedang

  • Gerbang Neraka Desa Terakhir    Bab 9 Gerbang Kedua

    Gelap.Sunyi seperti kematian yang belum sempat menyentuh.Tak ada cahaya, tak ada arah, tak ada tubuh.Hanya kesadaran kosong... dan rasa dingin yang menjalar perlahan dari ujung saraf ke ujung nadi.Raka tak tahu di mana dirinya.Ia hanya… ada.Kemudian dari balik kehampaan itu muncul suara. Dalam. Dalam sekali. Seolah bukan dari luar, tapi dari dalam kepalanya sendiri.“Anak dari darah yang dicuri… akhirnya kau datang.”Raka mencoba bicara, tapi bibirnya tak bisa bergerak. Ia tak memiliki suara. Tak memiliki tubuh. Hanya kesadaran terjebak dalam kehampaan yang kini berdenyut seperti daging.“Lihatlah siapa kau sebenarnya…”Cahaya merah membelah kegelapan.Dunia membentuk dirinya dari serpihan abu, darah, dan tulang.Dan di tengah-tengahnya, berdiri makhluk itu.Bukan manusia. Bukan binatang. Bukan iblis seperti dalam kitab-kitab tua. Ia tak memiliki bentuk tetap. Ia berubah setiap kali dilihat. Kadang seperti ular bersayap. Kadang seperti perempuan bermata seribu. Kadang hanya kabu

  • Gerbang Neraka Desa Terakhir    Bab 8 Kutukan Darah Leluhur

    Raka berlari tanpa tujuan. Nafasnya sesak, jantungnya menjerit, dan pikirannya seperti dirajam ribuan paku ingatan. Langkah kakinya menghantam lumpur yang menghitam, hingga akhirnya ia jatuh tersungkur di tepian sumur tua, yang dulunya tertutup rapat oleh papan dan jimat daun sirih. Tapi sekarang... sumur itu terbuka. Bau busuk menyeruak, seperti campuran belatung dan darah beku. Di dasar sumur, airnya hitam pekat, dan Raka bisa bersumpah ada sesuatu yang menatap dari bawah. Tapi yang membuatnya tak bisa bergerak... Adalah wajah ibunya, mengambang samar di air. “Ibu...?” bisiknya. Gemetar. Tak percaya. Bayangan itu tidak bicara. Tapi air beriak membentuk kata di permukaannya: "LARI... DARI TAKDIRMU..." Lalu wajah itu menghilang. Digantikan oleh dua mata merah… dan senyum. Raka terdorong ke belakang, berusaha menjauh saat suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Itu Naya. Tubuhnya berlumur darah. Luka di pipinya masih mengalir, tapi sorot matanya sudah tidak sama. Ad

  • Gerbang Neraka Desa Terakhir    Bab 7 Mata Iblis di Dalam Tanah

    Tak ada yang bergerak di desa itu hari itu. Bahkan angin pun enggan menyentuh pepohonan tua yang merintih pelan. Kabut tebal menggulung seperti daging busuk yang mendidih perlahan, menyelimuti tanah dengan nafas yang terlalu dingin untuk disebut udara.Raka duduk mematung di luar rumah Ranu. Napasnya berat. Wajahnya pucat. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang tak bisa ia pahami.Sejak Naya mengucapkan kata-kata itu semalam, pikirannya tak bisa diam:"Kau harus masuk ke dalam gerbang."Gagasan itu terlalu gila untuk dipercaya… dan terlalu nyata untuk diabaikan.“Kalau kau terus diam, kau akan mati duluan,” suara Ranu terdengar dari belakangnya, tapi tak ada nada lelucon di sana.Raka hanya menunduk. Hatinya terasa lebih gelap dari kabut.Dan entah kenapa, di tengah semua kekacauan itu…ia merasa diperhatikan.Tatapan. Tatapan yang tak asing tapi juga tak manusiawi. Ia mengangkat kepala, dan di kejauhan, di bawah pohon beringin tua di ujung desa...Pak Jatmiko berdiri.

  • Gerbang Neraka Desa Terakhir    Bab 6 Daging Iblis yang Tertinggal

    Pagi itu bukanlah pagi.Langit tetap kelabu, dan matahari tak pernah benar-benar muncul.Tapi tanah... tanah itu berdenyut.Raka berdiri di pinggir gerbang, tangannya masih gemetar. Sisa-sisa mimpi buruk semalam terus menghantui pikirannya.Lalu ia melihatnya sesuatu yang ditinggalkan setelah tangan makhluk itu tertarik kembali ke bawah.Benda itu tidak besar, tapi menjijikkan. Seperti segumpal daging hidup, berdenyut perlahan di atas tanah, mengeluarkan uap hitam tipis. Seolah memiliki napas sendiri."Jangan sentuh itu!" Ranu berteriak, melompat menghampiri. Ia menggambar lingkaran pelindung dengan darah ayam hitam dan segera menutupinya dengan kain mantra."Itu... bagian dari tubuhnya," desisnya. "Daging yang tertinggal ketika pintu hampir terbuka. Sangat berbahaya."Raka menelan ludah. “Apa yang akan terjadi kalau seseorang menyentuhnya?”“Dia akan menjadi wadah. Atau makanan. Mungkin keduanya.”Mereka berdua terdiam.Lalu tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah hutan. Rin

  • Gerbang Neraka Desa Terakhir    Bab 5 Malam Merah Pertama

    Langit berubah warna bukan lagi biru atau kelabu. Tapi merah darah. Merah yang bukan dari matahari tenggelam. Tapi dari sesuatu… yang merangkak naik dari balik dunia. Raka berdiri di tengah tanah lapang desa, menghadap lubang gerbang. Bersamanya, Ranu menggenggam erat paku hitam yang disebut sebagai "paku daging". Udara di sekeliling mereka dingin, membekukan, meski tak ada angin. Suara-suara dari bawah tanah kembali terdengar. Raka… kami rindu… tubuhmu hangat… suara ibumu menunggu… Ia memejamkan mata, berusaha tidak mendengar. Tapi suara itu seperti berada dalam darahnya. Berdetak bersama jantungnya. Menyusup, menjanjikan kedamaian jika ia menyerah. “Ini baru malam pertama,” ujar Ranu. “Tiga malam. Setelah itu, dunia akan retak seperti kaca.” Raka membuka mata dan menatap lubang gerbang. Kisi-kisi besinya sudah mulai bengkok. Tali merah pengikatnya terbakar sendiri, meninggalkan bau daging busuk terbakar. “Apa yang harus kita lakukan malam ini?” Ranu merogoh kantung jubahnya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status