Home / Horor / Gerbang Neraka: Desa Terakhir / Bab 2 Suara dari Bawah Tanah

Share

Bab 2 Suara dari Bawah Tanah

Author: Rafi Aditya
last update Last Updated: 2025-05-27 11:22:33

Raka membuka matanya keesokan paginya dengan rasa ganjil yang menggumpal di dada. Ia terbangun di dalam sebuah rumah kecil, berdinding kayu, dengan jendela tertutup rapat oleh papan. Cahaya matahari merambat tipis dari sela-sela papan itu, tapi tidak cukup untuk menghangatkan ruangan yang berbau tanah basah dan jamur tua.

Ia tidak ingat bagaimana bisa sampai di sana.

Yang terakhir ia ingat hanyalah suara bisikan semalam… dan telinga manusia yang tergantung di akar pohon.

Dengan kepala masih pening, Raka keluar dari rumah. Tak ada siapa pun. Hening. Hening yang bukan biasa. Hening yang seperti seseorang sedang menahan napas menunggunya berbuat kesalahan.

Di tengah jalan, berdiri wanita tua dari malam sebelumnya. Wajahnya tampak lebih keriput di siang hari, tapi matanya tetap sama: seperti liang kubur yang menatap balik.

“Pagi telah datang,” katanya. “Gerbang masih tertutup. Tapi tidak untuk waktu lama.”

Raka mendekat dengan langkah ragu. “Apa maksud Ibu? Apa sebenarnya yang terjadi di sini?”

Wanita itu hanya menunjuk ke arah utara desa. Di sana, ada jalur sempit menuju sebuah tanah lapang yang dipagari batu, seakan-akan membatasi sesuatu. Di tengahnya, ada lubang besar yang tertutup oleh kisi-kisi besi tua, dipaku dan dililit tali kain merah lusuh.

“Di sanalah mereka berada,” bisiknya. “Mereka yang menunggu dibebaskan.”

“Mereka?” Raka mengulang.

Wanita itu berjalan lebih dulu, tanpa memberi kesempatan bertanya lebih jauh. Raka, dengan rasa ingin tahu yang didorong ketakutan samar, mengikutinya.

Sesampainya di tepi lubang, hawa di sekitar mereka berubah. Tanah terasa lebih lembap. Angin berhenti. Burung-burung tak berkicau. Bahkan suara detak jantungnya sendiri terdengar keras di telinga.

Wanita itu berhenti.

“Dengar,” katanya, pelan.

Awalnya, Raka hanya mendengar kesunyian. Tapi beberapa detik kemudian, dari dalam lubang, muncul suara seperti... bisikan. Sangat pelan, namun teratur. Seperti nyanyian anak-anak dalam bahasa yang ia tak pahami. Irama itu menyusup ke dalam pikirannya dan perlahan, terasa akrab. Seolah pernah ia dengar, jauh di masa lalu. Di mimpi buruk yang tak pernah ia ceritakan.

“Apa itu... nyanyian?” gumamnya.

“Panggilan,” sahut wanita tua. “Mereka tahu kau datang.”

Tiba-tiba, kisi-kisi besi tua itu bergemetar pelan. Lalu terdengar suara ketukan. Pelan. Dua kali.

Tok. Tok.

“Jangan jawab,” bisik wanita itu cepat.

Namun suara ketukan itu kini berubah menjadi suara yang lebih personal. Suara seorang perempuan. Suara yang sangat Raka kenal.

“Raka… tolong buka… Ini Ibu…”

Tubuh Raka membeku. Itu suara almarhum ibunya. Persis. Nada, pelafalan... semua sempurna. Mustahil.

“T-tidak mungkin…,” desisnya.

“Tutup telingamu. Jangan dengarkan,” seru wanita itu lebih keras.

Namun suara itu semakin memohon. “Raka… kamu di sana, Nak? Kenapa kamu tinggalkan Ibu sendirian… dingin sekali di sini… tolong buka pintunya...”

Tangannya bergetar. Kakinya hampir melangkah maju.

Tapi wanita tua itu memegang bahunya, mencengkeram dengan kekuatan yang tak sesuai usia. “Itu bukan ibumu. Itu hanya kulit. Suara pinjaman. Jika kau buka, mereka akan memakai tubuhmu seperti pakaian.”

Raka mundur perlahan, menahan air mata. Suara itu terdengar sangat nyata… begitu nyata hingga dadanya terasa remuk.

Lalu tiba-tiba, dari dalam lubang itu, terdengar suara tawa kecil. Lirih. Dingin.

“Kau memang anak yang baik… itulah mengapa kami pilih kau…”

Dan sesaat setelah itu, suara itu berubah. Menjadi lebih dalam. Lebih berat. Seperti suara dari tenggorokan seekor binatang.

“KAU... ADALAH PINTU.”

Kisi-kisi besi itu berguncang keras. Suara jeritan lebih dari satu muncul serentak dari dalam lubang. Jeritan manusia, anak-anak, wanita, dan suara-suara yang tidak bisa dijelaskan manusia. Jeritan yang membuat tulang belakang Raka nyaris membeku.

Wanita tua itu mengangkat tongkatnya dan menggurat tanah dengan mantera. Tiba-tiba suara-suara itu berhenti. Lubang kembali tenang. Namun udara di sekitarnya tak kembali seperti semula.

“Kau lihat?” katanya dengan napas berat. “Ini baru awalnya.”

Raka menunduk, wajahnya pucat. “Apa yang mereka inginkan dari aku?”

Wanita itu menatapnya. Kali ini dengan raut iba. “Mereka tak menginginkanmu, Raka. Mereka memerlukanmu. Tanpa kau... gerbang tak bisa dibuka. Dan malam merah akan gagal.”

“Lalu… jika aku pergi?”

Ia menggeleng pelan. “Gerbang sudah mengenali darahmu. Kau bisa pergi sejauh apa pun. Tapi mereka akan tetap mengikutimu. Sampai kau terbuka.”

BERSAMBUNG

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 80 : Jalan Tiga Arah

    Malam menelan langit, tapi cahaya dari Liora terus memancar bagai obor langit yang menolak padam. Udara terasa tegang, seolah dunia sendiri menahan napas. Sang Pengoyak Cahaya mundur selangkah, sayapnya bergetar tak menentu. Ares berdiri di hadapan mereka, separuh tubuhnya terbakar cahaya, separuh lagi diselimuti kegelapan yang bergolak. “Aku datang bukan untuk menyelamatkan,” katanya datar. “Aku datang membawa pilihan.” Raka, yang tubuhnya penuh luka, masih sempat menggertakkan gigi. “Apa maksudmu? Ini bukan saatnya bermain teka-teki, Ares.” Ares menoleh perlahan. Matanya satu biru menyala, satu merah darah memandang semua yang tersisa di medan perang. “Gerbang Kelima sudah separuh terbuka. Satu tarikan napas lagi dari Sang Pengoyak, dan dunia ini akan terbelah dua. Tapi aku tahu cara menghentikannya.” Liora, yang kini melayang lebih tinggi dengan aura suci di sekelilingnya, bertanya lembut, “Apa harga dari caramu?” Ares mengangkat tiga jarinya. “Tiga jalan. Satu, aku membu

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 79 : Sang Pengoyak Cahaya

    Tanah bergetar. Udara mendesis. Dari tengah pusaran awan di langit, sesosok bayangan raksasa perlahan turun. Ia tak memiliki wajah, hanya topeng hitam dengan guratan darah yang terus mengalir. Sayap hitam legam menjulur dari punggungnya, dan setiap kepakan menggulung badai petir di langit. “Dia... dia iblis pemimpin,” bisik Ki Jatmiko, suaranya menggigil. “Dia disebut Sang Pengoyak Cahaya. Dewa kegelapan dari zaman purba, dikurung sebelum manusia menulis sejarah.” Liora tetap melayang di udara, tubuhnya bersinar, tapi jelas sinar itu mulai bergetar. Memanggil Cahaya telah menghubungkannya dengan dimensi roh dan waktu. Ia tidak bisa bergerak ia kini adalah bagian dari menara. Raka mencabut belatinya, tapi sekujur tubuhnya bergetar. “Apa yang bisa kita lakukan melawan sesuatu sebesar itu?” Malini berdiri di sampingnya, menarik napas dalam. “Kita harus menjaga Liora. Kalau jangkar cahaya ini rusak, Gerbang Kelima akan terbuka sepenuhnya.” Sang Pengoyak Cahaya turun hingga menye

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 78 : Menara Satu Cahaya

    Langit kota telah berubah. Awan-awan hitam berputar membentuk pusaran, menyedot cahaya dan menggantinya dengan bayangan tak bernama. Setiap langkah mereka menuju utara terasa seperti menyeberangi dua dunia yang nyata dan yang retak. Jalanan membatu runtuh di belakang mereka, menyisakan jejak api dan bisikan. Raka menggenggam tangan Liora erat. Gadis itu diam, matanya tetap menatap jauh ke depan. Meski tubuhnya menggigil, aura di sekelilingnya terus mengembang. Setiap langkah Liora membuat kabut menghindar, seolah dunia bawah sadar tahu dia adalah Kunci. Malini menyusul dari sisi kanan, napasnya berat. “Kau yakin Menara Satu Cahaya masih berdiri?” Ki Jatmiko yang berjalan di depan menjawab tanpa menoleh, “Bukan menara biasa. Ia tidak dibangun dengan batu atau semen. Menara itu... terbuat dari doa dan darah.” Mereka akhirnya tiba di tempat itu area lapang di pinggiran utara kota, dulunya bekas gereja tua yang terbakar dua dekade lalu. Namun yang mereka temukan bukan reruntuhan,

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 77 : Kota yang Menanti Neraka

    Cahaya merah membelah langit saat Gerbang Kelima akhirnya menunjukkan tanda kelahirannya. Tapi bukan di desa, melainkan di tengah kota tempat yang dihuni jutaan manusia, hiruk pikuk teknologi, dan kepongahan peradaban. Sebuah tempat yang ironis, karena di sanalah rasa takut, keserakahan, dan keputusasaan tumbuh subur di balik tembok kaca dan beton menjulang. Raka berdiri di tepi bukit, memandang ke arah kota yang berjarak beberapa kilometer dari Desa Terakhir. Di kejauhan, cahaya hitam tampak menggeliat di antara gedung pencakar langit. Seperti cacing raksasa yang muncul dari bawah tanah, melingkari fondasi-fondasi megah, menelannya perlahan. Malini mendekat, wajahnya pucat. “Itu... Jakarta?” Ki Jatmiko menatap langit yang bergemuruh. “Bukan lagi. Itu adalah versi kota yang telah ditandai oleh kegelapan. Gerbang Kelima memilih tempat dengan luka terbuka yang tak pernah sembuh. Dan kota besar... penuh luka.” Angin berembus dingin. Di kejauhan, sirene meraung dan api tampak meny

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 76 : Tanda dari Langit Terbelah

    Langit di atas Desa Terakhir tampak terbelah dua. Sebelah barat tampak kelabu seperti jelaga, dan sebelah timur memancarkan warna merah keunguan yang menyilaukan. Burung-burung tak lagi berkicau, dan suara angin seolah ditelan kehampaan. Segala sesuatu terasa salah seolah dunia itu sendiri lupa bagaimana cara bernapas. Raka berdiri di atas tanah yang mulai merekah. Di sekelilingnya, akar-akar hitam merambat dari retakan tanah, seperti jemari raksasa yang ingin mencengkeram permukaan dunia. Malini berdiri di belakangnya, tubuhnya masih lemas namun sorot matanya tajam. Mereka tahu, ini bukan sekadar pertanda. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. “Kau dengar itu?” tanya Raka pelan. Malini mengangguk. “Teriakan dari bawah tanah. Mereka belum puas.” Dari kejauhan, terdengar dentuman. Bukan suara ledakan, melainkan seperti detak jantung raksasa dari dalam perut bumi. Suara itu datang berulang, teratur, dan semakin keras. Setiap dentuman membuat udara bergetar, membuat bulu

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 75 : Kelam Setelah Cahaya

    Ketika cahaya itu mereda, Raka terbaring di tengah pusaran debu. Tubuhnya terasa ringan, hampir tak berbobot. Ia membuka mata dengan susah payah, menyesuaikan pandangan yang dipenuhi siluet-siluet kabur. Di sampingnya, Malini tergeletak dengan napas terengah, darah mengucur dari pelipisnya. “Malini... kau... masih hidup?” gumam Raka. Perempuan itu mengangguk lemah. “Tapi... bukan seperti sebelumnya. Kita telah mengikat sesuatu yang seharusnya tetap terpisah.” Raka bangkit pelan. Ruangan bawah tanah itu kini telah berubah bentuk. Dinding-dinding batu runtuh, dan tanah di sekitarnya menghitam seperti arang terbakar. Tak ada tanda-tanda Pak Lurah. Tak ada tanda-tanda hati kristal. Hanya keheningan yang menindih segalanya. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Dari balik puing-puing reruntuhan, terdengar suara langkah. Raka segera menegakkan tubuhnya, bersiap jika iblis atau entitas lain muncul. Tapi sosok yang muncul kali ini berbeda. Tubuhnya tinggi, berjubah kain comp

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status