Raka membuka matanya keesokan paginya dengan rasa ganjil yang menggumpal di dada. Ia terbangun di dalam sebuah rumah kecil, berdinding kayu, dengan jendela tertutup rapat oleh papan. Cahaya matahari merambat tipis dari sela-sela papan itu, tapi tidak cukup untuk menghangatkan ruangan yang berbau tanah basah dan jamur tua.
Ia tidak ingat bagaimana bisa sampai di sana. Yang terakhir ia ingat hanyalah suara bisikan semalam… dan telinga manusia yang tergantung di akar pohon. Dengan kepala masih pening, Raka keluar dari rumah. Tak ada siapa pun. Hening. Hening yang bukan biasa. Hening yang seperti seseorang sedang menahan napas menunggunya berbuat kesalahan. Di tengah jalan, berdiri wanita tua dari malam sebelumnya. Wajahnya tampak lebih keriput di siang hari, tapi matanya tetap sama: seperti liang kubur yang menatap balik. “Pagi telah datang,” katanya. “Gerbang masih tertutup. Tapi tidak untuk waktu lama.” Raka mendekat dengan langkah ragu. “Apa maksud Ibu? Apa sebenarnya yang terjadi di sini?” Wanita itu hanya menunjuk ke arah utara desa. Di sana, ada jalur sempit menuju sebuah tanah lapang yang dipagari batu, seakan-akan membatasi sesuatu. Di tengahnya, ada lubang besar yang tertutup oleh kisi-kisi besi tua, dipaku dan dililit tali kain merah lusuh. “Di sanalah mereka berada,” bisiknya. “Mereka yang menunggu dibebaskan.” “Mereka?” Raka mengulang. Wanita itu berjalan lebih dulu, tanpa memberi kesempatan bertanya lebih jauh. Raka, dengan rasa ingin tahu yang didorong ketakutan samar, mengikutinya. Sesampainya di tepi lubang, hawa di sekitar mereka berubah. Tanah terasa lebih lembap. Angin berhenti. Burung-burung tak berkicau. Bahkan suara detak jantungnya sendiri terdengar keras di telinga. Wanita itu berhenti. “Dengar,” katanya, pelan. Awalnya, Raka hanya mendengar kesunyian. Tapi beberapa detik kemudian, dari dalam lubang, muncul suara seperti... bisikan. Sangat pelan, namun teratur. Seperti nyanyian anak-anak dalam bahasa yang ia tak pahami. Irama itu menyusup ke dalam pikirannya dan perlahan, terasa akrab. Seolah pernah ia dengar, jauh di masa lalu. Di mimpi buruk yang tak pernah ia ceritakan. “Apa itu... nyanyian?” gumamnya. “Panggilan,” sahut wanita tua. “Mereka tahu kau datang.” Tiba-tiba, kisi-kisi besi tua itu bergemetar pelan. Lalu terdengar suara ketukan. Pelan. Dua kali. Tok. Tok. “Jangan jawab,” bisik wanita itu cepat. Namun suara ketukan itu kini berubah menjadi suara yang lebih personal. Suara seorang perempuan. Suara yang sangat Raka kenal. “Raka… tolong buka… Ini Ibu…” Tubuh Raka membeku. Itu suara almarhum ibunya. Persis. Nada, pelafalan... semua sempurna. Mustahil. “T-tidak mungkin…,” desisnya. “Tutup telingamu. Jangan dengarkan,” seru wanita itu lebih keras. Namun suara itu semakin memohon. “Raka… kamu di sana, Nak? Kenapa kamu tinggalkan Ibu sendirian… dingin sekali di sini… tolong buka pintunya...” Tangannya bergetar. Kakinya hampir melangkah maju. Tapi wanita tua itu memegang bahunya, mencengkeram dengan kekuatan yang tak sesuai usia. “Itu bukan ibumu. Itu hanya kulit. Suara pinjaman. Jika kau buka, mereka akan memakai tubuhmu seperti pakaian.” Raka mundur perlahan, menahan air mata. Suara itu terdengar sangat nyata… begitu nyata hingga dadanya terasa remuk. Lalu tiba-tiba, dari dalam lubang itu, terdengar suara tawa kecil. Lirih. Dingin. “Kau memang anak yang baik… itulah mengapa kami pilih kau…” Dan sesaat setelah itu, suara itu berubah. Menjadi lebih dalam. Lebih berat. Seperti suara dari tenggorokan seekor binatang. “KAU... ADALAH PINTU.” Kisi-kisi besi itu berguncang keras. Suara jeritan lebih dari satu muncul serentak dari dalam lubang. Jeritan manusia, anak-anak, wanita, dan suara-suara yang tidak bisa dijelaskan manusia. Jeritan yang membuat tulang belakang Raka nyaris membeku. Wanita tua itu mengangkat tongkatnya dan menggurat tanah dengan mantera. Tiba-tiba suara-suara itu berhenti. Lubang kembali tenang. Namun udara di sekitarnya tak kembali seperti semula. “Kau lihat?” katanya dengan napas berat. “Ini baru awalnya.” Raka menunduk, wajahnya pucat. “Apa yang mereka inginkan dari aku?” Wanita itu menatapnya. Kali ini dengan raut iba. “Mereka tak menginginkanmu, Raka. Mereka memerlukanmu. Tanpa kau... gerbang tak bisa dibuka. Dan malam merah akan gagal.” “Lalu… jika aku pergi?” Ia menggeleng pelan. “Gerbang sudah mengenali darahmu. Kau bisa pergi sejauh apa pun. Tapi mereka akan tetap mengikutimu. Sampai kau terbuka.” BERSAMBUNGHujan turun perlahan, membasahi desa yang baru saja mencoba bangkit dari serangkaian malam penuh darah dan bayangan. Tidak ada lagi simbol bintang enam di langit. Tidak ada lagi tangisan dari dalam tanah. Tapi ada keheningan yang tidak wajar. Keheningan yang seolah menunggu seseorang berbicara lebih dulu. Arkana duduk di pojok kamar bawah tanah yang telah ia ubah menjadi ruang pengamatan. Di hadapannya tergantung puluhan cermin kecil, masing-masing mengarah ke titik-titik penting di desa: pos ronda, sekolah, rumah sakit, bahkan ladang jagung yang kini hangus. Cermin utama cermin yang pernah membawanya ke Gerbang Ketujuh diletakkan di atas meja, kini berubah menjadi hitam pekat seperti obsidian. Namun Arkana tahu: ia belum sendirian. --- Pukul dua pagi, ia terbangun dari tidur singkatnya. Bukan karena suara, tapi karena perasaan ditatap. Ia membuka mata perlahan, dan jantungnya langsung menghentak. Di langit-langit kamarnya, ada mata besar, hitam, dan tanpa kelopak. Tidak berkedip
Ladang gosong itu sunyi. Angin tak lagi berhembus. Bahkan suara jangkrik pun menghilang. Arkana berdiri sendirian, matanya terpaku pada cermin kecil yang setengah tertanam di tanah bekas lingkaran api. Ia menunduk, mengambilnya perlahan, dan membalik permukaannya. Refleksi dirinya muncul samar, namun bukan dirinya yang ia lihat. Refleksi itu mengenakan pakaian serupa, tapi matanya tidak sama. Mereka… kosong. Dan di dahinya, samar-samar, terukir angka Romawi: VII. Arkana menahan napas. “Gerbang ketujuh?” Ia duduk perlahan, membuka kembali Kitab Dua Sisi Cermin. Tapi tak satu halaman pun menyebutkan gerbang ketujuh. Hanya ada catatan kosong, lembaran hitam yang terasa dingin saat disentuh. Ia menekan cermin itu ke halaman hitam, dan seketika, tulisan mulai muncul sendiri, ditulis oleh tangan tak terlihat: Gerbang Ketujuh tidak ditulis karena tidak boleh dikenal. Ia bukan pintu masuk ke neraka. Ia adalah pintu keluar dari semua dimensi. Gerbang yang membalikkan hukum hidup dan m
Langit malam seharusnya gelap, tapi malam itu justru menyala bukan dengan cahaya bulan, melainkan dari lambang bintang enam yang terbakar perlahan di antara awan. Seperti mata raksasa yang menatap ke bumi, lambang itu tidak hanya terlihat… tapi terasa, menekan jantung setiap orang yang menatapnya. Arkana berdiri di puncak menara lonceng sekolah, menatap lambang itu tanpa berkedip. “Seharusnya sudah lenyap…” gumamnya. Ilham berdiri di sampingnya, tangan menggenggam sisa debu dari bayangannya sendiri. “Kau yakin ritualnya selesai?” Arkana menunduk, wajahnya tak yakin. “Itu bukan tentang ritualnya. Masalahnya bukan siapa yang asli atau bayangan… tapi kenapa gerbang keenam muncul sama sekali. Kita hanya menyentuh permukaannya.” Seketika, terdengar bunyi lonceng berdering sendiri. Padahal menara itu tak digunakan selama dua dekade. Suara itu menggema, dan disusul oleh hembusan angin panas dari arah timur. “Apa itu…” Ilham menghentikan kata-katanya. Dari kejauhan, di arah ladang jagu
“Jangan percaya pada apa yang kau lihat. Jangan percaya pada apa yang kau ingat. Percayalah pada luka yang belum sembuh…” Itu kalimat pertama yang terdengar dari mulut Arkana saat ia menarik Ilham ke lorong bawah perpustakaan lama. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah riuhnya desis simbol-simbol bintang enam yang kini terus bermunculan di seluruh dinding sekolah. Ilham masih menggigil. Wajahnya pucat. Di pikirannya, hanya ada satu bayangan: dirinya sendiri, berdiri di lapangan, memandangi dirinya… seperti ingin menghapus keberadaannya. “Aku… masih aku, kan?” tanyanya lirih. Arkana tak menjawab langsung. Ia membuka peti tua dari bawah lantai kayu, mengeluarkan kitab kecil bersampul kulit manusia yang bernama Dua Sisi Cermin. Kitab itu hanya muncul jika seseorang berada di ambang kehilangan jati dirinya. “Kita harus melakukan Ritual Pembeda,” ucap Arkana. “Kalau kau benar Ilham yang asli, kau akan tetap di sini. Tapi jika kau adalah bayangan… tubuhmu akan hancur menjadi debu.
Langit di atas Sekolah Cahaya Bumi memutih bukan terang, tapi seperti kabut kering yang menggantung tanpa asal. Angin tak lagi terasa seperti angin. Ia diam… menekan. Arkana dan Ilham berdiri di depan dinding batu tempat Gerbang Kelima terbuka. Tapi kini, gerbang itu menghilang, menyatu sempurna kembali dengan batu. Tak ada retakan, tak ada cahaya tersisa. Namun di tengah lantai ruangan itu, terukir lambang baru bintang bersudut enam. Setiap sudutnya bersambung dengan garis-garis berdenyut merah samar, seolah darah mengalir di dalam ukiran batu. “Ini bukan bagian dari lima gerbang,” gumam Arkana, menelusuri simbol itu dengan jari. Ilham menatapnya dalam-dalam. “Aku melihatnya… di langit Ruang Tanpa Nama. Tapi kenapa sekarang muncul di sini?” Sebelum Arkana menjawab, getaran halus menjalar ke seluruh dinding. Batu berderak, seolah sesuatu bergerak… di balik permukaan dunia. --- Malam itu, Revana terbangun dengan peluh dingin membasahi tubuhnya. Ia menjerit, jatuh dari tempat tid
Langkah pertama Ilham di dalam Gerbang Kelima terasa seperti menjejak air tapi bukan air biasa. Lantai tempat ia berdiri seperti permukaan cermin cair, yang mengalir perlahan di bawah kakinya, memantulkan langit yang tidak pernah ada. Arkana di sisinya tampak lebih pucat. Matanya terus bergerak, menelusuri sesuatu yang tidak bisa dilihat orang biasa. “Di sini tidak ada waktu,” katanya pelan. “Apa yang terjadi… sudah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Semua sekaligus.” Ilham mengangguk, walau otaknya berusaha keras memahami. Suasana di ruang ini seperti berada di dalam mimpi yang sadar logika hanya berfungsi sebagian, dan sisanya ditentukan oleh emosi. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Tapi tidak bergema. Tidak pula mendekat. Seolah ruang itu mempermainkan jarak. Kemudian… ia melihatnya. Seorang wanita berdiri dengan punggung menghadap mereka. Rambutnya panjang, mengenakan gaun putih yang basah seperti direndam dalam air mata. Ia berdiri di tengah pusaran cermi