Pagi datang, tapi langit tetap kelabu seperti tubuh yang kehabisan darah. Tak ada suara ayam, tak ada suara angin. Hanya sunyi yang mencekam, membatu di setiap sudut Desa Angkara.
Raka duduk di sudut ruangan, tubuhnya gemetar. Matanya tak berkedip sejak malam itu sejak para “warga” tanpa bayangan berdiri memandangi rumahnya dengan senyum kematian. Ia baru sadar bahwa pada akhirnya... ia sendirian. Namun, sebelum ia benar-benar yakin telah ditinggalkan, pintu rumah terbuka perlahan. Tak ada angin. Tak ada suara. Tapi daun pintu berderit seperti seseorang memanggil dari neraka. Di ambang pintu berdiri sosok baru. Seorang lelaki, mengenakan jubah hitam, dengan rambut panjang kelabu dan wajah penuh luka bakar. Tatapan matanya tajam namun ada sinar kesedihan yang dalam di sana. “Aku Ranu,” katanya dengan suara parau. “Penjaga terakhir paku gerbang.” Raka menatapnya bingung. “Apa maksudmu?” Ranu masuk ke dalam, dan menutup pintu dengan hati-hati. Ia menyalakan sebatang lilin biru dari dalam sakunya, seperti yang dimiliki wanita tua sebelumnya. “Gerbang yang kau lihat di desa itu bukan sekadar lubang. Itu adalah mulut. Mulut dari tubuh raksasa yang terkubur sejak ribuan tahun lalu. Tubuh iblis yang ingin lahir kembali.” Ia duduk perlahan, napasnya berat. “Dan satu-satunya yang menahan gerbang tetap tertutup adalah empat paku: paku darah, paku waktu, paku bayangan… dan paku daging.” Raka merasa tenggorokannya tercekat. “Dan sekarang... berapa yang tersisa?” Ranu menatap ke arah lantai. “Tinggal satu. Paku daging.” Raka mulai memahami arah percakapan ini. Dan ia tak suka ke mana itu menuju. “Kau adalah paku terakhir, Raka.” Ia menelan ludah. “Aku? Kenapa aku?” Ranu menggeleng. “Karena ayahmu.” Kata itu menusuk seperti belati. “Ayahku sudah mati lima tahun lalu,” bantah Raka. “Dia kecelakaan…” “Tidak,” potong Ranu. “Itu yang ingin dunia percaya. Tapi sebenarnya ayahmu adalah penjaga sebelumnya. Ia mengikat tubuhnya sendiri ke tanah suci di bawah gerbang. Ia… adalah paku daging pertama. Dan ketika waktunya tiba, darahnya harus diwarisi.” Raka merasa seperti hendak muntah. Kenangan akan ayahnya muncul perlahan: malam-malam di mana pria itu bicara sendiri, menggambar simbol di tembok, dan terkadang… menangis saat menatap bulan. “Ayahmu tahu waktunya akan datang. Ia mencoba melawan takdir. Tapi… gerbang tidak bisa ditipu.” Ranu menggulung lengan bajunya, menunjukkan kulit yang dipenuhi bekas tusukan. “Kami, para penjaga, mengulur waktu. Kami tempelkan roh, darah, bahkan bayangan kami sendiri untuk menahan celah-celah gerbang. Tapi semua itu hanya sementara. Yang bisa benar-benar menutupnya… adalah kau.” Raka berdiri, mundur. “Tidak! Aku tidak akan menjadi tumbal! Ini bukan tugasku! Ini… ini gila!” Ranu tidak bereaksi. Ia mengangguk pelan, seperti sudah menduga penolakan itu. “Gerbang akan terbuka sepenuhnya dalam tiga malam. Pada malam merah, saat bulan berdarah. Jika itu terjadi… maka desa ini bukan lagi satu-satunya korban. Dunia akan menjadi ladang kelahiran bagi makhluk-makhluk dari dasar hitam.” Ia berdiri perlahan dan meraih sesuatu dari sakunya. Sebuah paku hitam, panjang dan bergerigi, seperti dicetak dari tulang manusia. “Inilah paku terakhir. Paku daging.” “Lalu… bagaimana cara menggunakannya?” tanya Raka dengan suara pelan. Ranu menatapnya lama. “Kau tak akan menyukainya.” --- Di luar, suara angin mulai terdengar lagi. Tapi angin itu tidak biasa. Ia membawa serta bisikan, jeritan, dan bau busuk dari tanah yang membusuk. Langit mulai menghitam. Awan membentuk pusaran. Dan dari kejauhan, terdengar tangisan bayi namun terlalu dalam, terlalu besar, seperti berasal dari rahim bumi. Raka tahu: waktu mereka tinggal sedikit. Dan dalam hatinya yang penuh amarah dan takut, ia bertanya: Apakah ia akan memilih mati untuk menyelamatkan dunia... atau hidup cukup lama untuk melihat dunia terbakar? BERSAMBUNGMalam menelan langit, tapi cahaya dari Liora terus memancar bagai obor langit yang menolak padam. Udara terasa tegang, seolah dunia sendiri menahan napas. Sang Pengoyak Cahaya mundur selangkah, sayapnya bergetar tak menentu. Ares berdiri di hadapan mereka, separuh tubuhnya terbakar cahaya, separuh lagi diselimuti kegelapan yang bergolak. “Aku datang bukan untuk menyelamatkan,” katanya datar. “Aku datang membawa pilihan.” Raka, yang tubuhnya penuh luka, masih sempat menggertakkan gigi. “Apa maksudmu? Ini bukan saatnya bermain teka-teki, Ares.” Ares menoleh perlahan. Matanya satu biru menyala, satu merah darah memandang semua yang tersisa di medan perang. “Gerbang Kelima sudah separuh terbuka. Satu tarikan napas lagi dari Sang Pengoyak, dan dunia ini akan terbelah dua. Tapi aku tahu cara menghentikannya.” Liora, yang kini melayang lebih tinggi dengan aura suci di sekelilingnya, bertanya lembut, “Apa harga dari caramu?” Ares mengangkat tiga jarinya. “Tiga jalan. Satu, aku membu
Tanah bergetar. Udara mendesis. Dari tengah pusaran awan di langit, sesosok bayangan raksasa perlahan turun. Ia tak memiliki wajah, hanya topeng hitam dengan guratan darah yang terus mengalir. Sayap hitam legam menjulur dari punggungnya, dan setiap kepakan menggulung badai petir di langit. “Dia... dia iblis pemimpin,” bisik Ki Jatmiko, suaranya menggigil. “Dia disebut Sang Pengoyak Cahaya. Dewa kegelapan dari zaman purba, dikurung sebelum manusia menulis sejarah.” Liora tetap melayang di udara, tubuhnya bersinar, tapi jelas sinar itu mulai bergetar. Memanggil Cahaya telah menghubungkannya dengan dimensi roh dan waktu. Ia tidak bisa bergerak ia kini adalah bagian dari menara. Raka mencabut belatinya, tapi sekujur tubuhnya bergetar. “Apa yang bisa kita lakukan melawan sesuatu sebesar itu?” Malini berdiri di sampingnya, menarik napas dalam. “Kita harus menjaga Liora. Kalau jangkar cahaya ini rusak, Gerbang Kelima akan terbuka sepenuhnya.” Sang Pengoyak Cahaya turun hingga menye
Langit kota telah berubah. Awan-awan hitam berputar membentuk pusaran, menyedot cahaya dan menggantinya dengan bayangan tak bernama. Setiap langkah mereka menuju utara terasa seperti menyeberangi dua dunia yang nyata dan yang retak. Jalanan membatu runtuh di belakang mereka, menyisakan jejak api dan bisikan. Raka menggenggam tangan Liora erat. Gadis itu diam, matanya tetap menatap jauh ke depan. Meski tubuhnya menggigil, aura di sekelilingnya terus mengembang. Setiap langkah Liora membuat kabut menghindar, seolah dunia bawah sadar tahu dia adalah Kunci. Malini menyusul dari sisi kanan, napasnya berat. “Kau yakin Menara Satu Cahaya masih berdiri?” Ki Jatmiko yang berjalan di depan menjawab tanpa menoleh, “Bukan menara biasa. Ia tidak dibangun dengan batu atau semen. Menara itu... terbuat dari doa dan darah.” Mereka akhirnya tiba di tempat itu area lapang di pinggiran utara kota, dulunya bekas gereja tua yang terbakar dua dekade lalu. Namun yang mereka temukan bukan reruntuhan,
Cahaya merah membelah langit saat Gerbang Kelima akhirnya menunjukkan tanda kelahirannya. Tapi bukan di desa, melainkan di tengah kota tempat yang dihuni jutaan manusia, hiruk pikuk teknologi, dan kepongahan peradaban. Sebuah tempat yang ironis, karena di sanalah rasa takut, keserakahan, dan keputusasaan tumbuh subur di balik tembok kaca dan beton menjulang. Raka berdiri di tepi bukit, memandang ke arah kota yang berjarak beberapa kilometer dari Desa Terakhir. Di kejauhan, cahaya hitam tampak menggeliat di antara gedung pencakar langit. Seperti cacing raksasa yang muncul dari bawah tanah, melingkari fondasi-fondasi megah, menelannya perlahan. Malini mendekat, wajahnya pucat. “Itu... Jakarta?” Ki Jatmiko menatap langit yang bergemuruh. “Bukan lagi. Itu adalah versi kota yang telah ditandai oleh kegelapan. Gerbang Kelima memilih tempat dengan luka terbuka yang tak pernah sembuh. Dan kota besar... penuh luka.” Angin berembus dingin. Di kejauhan, sirene meraung dan api tampak meny
Langit di atas Desa Terakhir tampak terbelah dua. Sebelah barat tampak kelabu seperti jelaga, dan sebelah timur memancarkan warna merah keunguan yang menyilaukan. Burung-burung tak lagi berkicau, dan suara angin seolah ditelan kehampaan. Segala sesuatu terasa salah seolah dunia itu sendiri lupa bagaimana cara bernapas. Raka berdiri di atas tanah yang mulai merekah. Di sekelilingnya, akar-akar hitam merambat dari retakan tanah, seperti jemari raksasa yang ingin mencengkeram permukaan dunia. Malini berdiri di belakangnya, tubuhnya masih lemas namun sorot matanya tajam. Mereka tahu, ini bukan sekadar pertanda. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. “Kau dengar itu?” tanya Raka pelan. Malini mengangguk. “Teriakan dari bawah tanah. Mereka belum puas.” Dari kejauhan, terdengar dentuman. Bukan suara ledakan, melainkan seperti detak jantung raksasa dari dalam perut bumi. Suara itu datang berulang, teratur, dan semakin keras. Setiap dentuman membuat udara bergetar, membuat bulu
Ketika cahaya itu mereda, Raka terbaring di tengah pusaran debu. Tubuhnya terasa ringan, hampir tak berbobot. Ia membuka mata dengan susah payah, menyesuaikan pandangan yang dipenuhi siluet-siluet kabur. Di sampingnya, Malini tergeletak dengan napas terengah, darah mengucur dari pelipisnya. “Malini... kau... masih hidup?” gumam Raka. Perempuan itu mengangguk lemah. “Tapi... bukan seperti sebelumnya. Kita telah mengikat sesuatu yang seharusnya tetap terpisah.” Raka bangkit pelan. Ruangan bawah tanah itu kini telah berubah bentuk. Dinding-dinding batu runtuh, dan tanah di sekitarnya menghitam seperti arang terbakar. Tak ada tanda-tanda Pak Lurah. Tak ada tanda-tanda hati kristal. Hanya keheningan yang menindih segalanya. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Dari balik puing-puing reruntuhan, terdengar suara langkah. Raka segera menegakkan tubuhnya, bersiap jika iblis atau entitas lain muncul. Tapi sosok yang muncul kali ini berbeda. Tubuhnya tinggi, berjubah kain comp