Malam menjelang cepat di Desa Angkara, seolah matahari pun enggan menetap terlalu lama. Langit di atas desa berubah merah tembaga sebelum akhirnya legam seperti arang terbakar. Raka berdiri di depan rumah kayu tempat ia bermalam, tubuhnya gemetar oleh rasa dingin yang tak berasal dari udara.
Ia memandangi jalan setapak di depannya. Masih sepi. Tapi kali ini... sepinya terasa lain. Seolah ada ratusan mata mengintip dari balik celah-celah dinding dan kegelapan hutan. Ia bisa merasakannya. Mereka tahu dia masih di sini. “Jangan keluar rumah malam ini,” pesan wanita tua itu sebelum pergi. “Jika seseorang mengetuk, diamlah. Jika bayanganmu hilang, berlarilah.” Raka belum memahami maksudnya, tapi ia mengunci diri rapat. Lilin-lilin kecil yang diberikan sang penjaga gerbang kini menyala di empat sudut ruangan. Api mereka bukan merah jingga biasa, tapi kebiruan. Dan itu… anehnya memberi rasa tenang. Menjelang tengah malam, suara pertama terdengar. Tok… tok… tok. Seseorang mengetuk pintu dengan ritme yang terlalu lambat untuk manusia. Tok… tok. “Pak… buka, saya dari kantor desa…” Raka tak menjawab. Ia menahan napas, seperti yang diperintahkan. Tapi ketukan itu berlanjut. Suaranya berubah menjadi seperti suara sahabat lamanya, Edo. Kemudian suara seorang anak kecil, lalu ibunya lagi. Semua dengan nada yang tepat. Suara yang hanya bisa ditiru oleh sesuatu… yang telah mendengar mereka dari dalam. Lalu tiba-tiba hening. Raka berpikir mereka sudah pergi. Tapi dari celah bawah pintu, perlahan muncul bayangan. Bayangan sepasang kaki… tapi anehnya, tak ada suara langkah. Bayangan itu berdiri diam. Lalu menghilang. Namun saat Raka melihat sekeliling ruangan, ia membeku. Bayangannya sendiri telah lenyap. Api lilin mulai berkedip-kedip, lalu meredup. Dinding rumah mendadak terasa lebih dekat, udara lebih tebal, dan seketika terdengar… napas. Panjang dan lembap. Tepat di belakang lehernya. Raka berbalik tak ada siapa pun. Tapi saat melihat cermin di dinding, ia melihat dirinya berdiri dengan kepala menunduk, dan bayangan hitam menjulang tinggi di belakangnya. Bayangan itu tidak menyerupai manusia. Tingginya hampir menyentuh atap. Tangannya panjang hingga menyentuh lantai. Tapi wajahnya... tidak ada. Hanya lubang hitam lebar, seperti mulut tanpa ujung. Cermin itu berembun dari dalam. Lalu muncul tulisan dari jari tak terlihat: "Biarkan kami masuk." Raka mundur perlahan. Ia meraih salah satu lilin biru yang masih menyala, dan mengikuti nalurinya melemparkannya ke arah cermin. Api biru meledak seketika. Cermin pecah dan jeritan tajam keluar dari retakan kaca, seperti ribuan serangga sedang dibakar hidup-hidup. Ruangan menjadi hening lagi. Nafas Raka tersengal. Ia jatuh terduduk. Di luar, suara langkah mulai terdengar. Kali ini tidak satu. Tapi banyak. Perlahan, ia membuka jendela kecil di samping, mengintip ke luar. Di bawah sinar bulan yang redup, puluhan warga desa berdiri diam di tengah jalan. Mereka semua menatap ke arah rumahnya. Pakaian mereka lusuh, tubuhnya kaku… dan yang paling mengerikan mereka semua tak memiliki bayangan. Beberapa dari mereka menolehkan kepala ke arah Raka. Dan senyuman perlahan terbentuk di wajah mereka. Senyum yang terlalu lebar, terlalu lama, seperti wajah mereka terikat paksa oleh tali tak terlihat. Di antara mereka, ia melihat sosok wanita tua itu. Namun kini, matanya kosong. Ia pun tanpa bayangan. Seseorang, atau sesuatu, telah mengambil alih mereka. Salah satu dari “warga” itu berjalan maju. Tubuhnya gemetar aneh, seperti tali yang digerakkan dari dalam. Ia berhenti tepat di depan rumah Raka, mengangkat tangannya, dan menunjuk… ke jendela. Mereka melihatnya. Raka menutup jendela cepat-cepat. Detak jantungnya seperti genderang perang. Lalu… suara muncul di seluruh dinding rumah. Bukan dari luar. Tapi dari dalam kayu, dari balik dinding itu sendiri. “Kau… sudah dibuka…” Semua lilin mati bersamaan. Dan dalam gelap total itu, suara jeritan mulai terdengar lagi. Tapi kali ini, bukan dari luar. Suara jeritan itu berasal dari dalam dirinya. BERSAMBUNGUdara pagi terasa ganjil. Langit berwarna abu-abu kehijauan, seakan matahari sendiri enggan menyinari tanah yang telah ternoda. Angin berhembus pelan, namun mengirim bau amis yang menusuk seperti darah basi dan tanah lembap yang disiram arwah penasaran. Raka duduk membelakangi api unggun yang hampir padam. Matanya kosong. Tubuhnya lemas, tetapi pikirannya masih terperangkap dalam mimpi neraka tadi malam. Naya menyodorkan secangkir air. “Minumlah. Kau butuh tenaga.” Ia tak menjawab. “Raka,” panggil Pak Jatmiko, lebih tegas. “Apa yang kau lihat… bukan hanya penglihatan. Itu peringatan. Gerbang Kedua memang belum terbentuk, tapi tanda-tandanya akan mulai muncul.” Raka mengangkat lengan bajunya tanpa sadar dan saat itu juga, Naya menjerit pelan. Di bahu kirinya, sebuah simbol berwarna hitam mulai terbentuk. Bentuknya seperti lingkaran dengan cabang menyerupai akar yang menjalar perlahan ke arah jantung. Simbol itu berdenyut, seolah hidup. Seolah bagian dari sesuatu yang sedang
Gelap.Sunyi seperti kematian yang belum sempat menyentuh.Tak ada cahaya, tak ada arah, tak ada tubuh.Hanya kesadaran kosong... dan rasa dingin yang menjalar perlahan dari ujung saraf ke ujung nadi.Raka tak tahu di mana dirinya.Ia hanya… ada.Kemudian dari balik kehampaan itu muncul suara. Dalam. Dalam sekali. Seolah bukan dari luar, tapi dari dalam kepalanya sendiri.“Anak dari darah yang dicuri… akhirnya kau datang.”Raka mencoba bicara, tapi bibirnya tak bisa bergerak. Ia tak memiliki suara. Tak memiliki tubuh. Hanya kesadaran terjebak dalam kehampaan yang kini berdenyut seperti daging.“Lihatlah siapa kau sebenarnya…”Cahaya merah membelah kegelapan.Dunia membentuk dirinya dari serpihan abu, darah, dan tulang.Dan di tengah-tengahnya, berdiri makhluk itu.Bukan manusia. Bukan binatang. Bukan iblis seperti dalam kitab-kitab tua. Ia tak memiliki bentuk tetap. Ia berubah setiap kali dilihat. Kadang seperti ular bersayap. Kadang seperti perempuan bermata seribu. Kadang hanya kabu
Raka berlari tanpa tujuan. Nafasnya sesak, jantungnya menjerit, dan pikirannya seperti dirajam ribuan paku ingatan. Langkah kakinya menghantam lumpur yang menghitam, hingga akhirnya ia jatuh tersungkur di tepian sumur tua, yang dulunya tertutup rapat oleh papan dan jimat daun sirih. Tapi sekarang... sumur itu terbuka. Bau busuk menyeruak, seperti campuran belatung dan darah beku. Di dasar sumur, airnya hitam pekat, dan Raka bisa bersumpah ada sesuatu yang menatap dari bawah. Tapi yang membuatnya tak bisa bergerak... Adalah wajah ibunya, mengambang samar di air. “Ibu...?” bisiknya. Gemetar. Tak percaya. Bayangan itu tidak bicara. Tapi air beriak membentuk kata di permukaannya: "LARI... DARI TAKDIRMU..." Lalu wajah itu menghilang. Digantikan oleh dua mata merah… dan senyum. Raka terdorong ke belakang, berusaha menjauh saat suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Itu Naya. Tubuhnya berlumur darah. Luka di pipinya masih mengalir, tapi sorot matanya sudah tidak sama. Ad
Tak ada yang bergerak di desa itu hari itu. Bahkan angin pun enggan menyentuh pepohonan tua yang merintih pelan. Kabut tebal menggulung seperti daging busuk yang mendidih perlahan, menyelimuti tanah dengan nafas yang terlalu dingin untuk disebut udara.Raka duduk mematung di luar rumah Ranu. Napasnya berat. Wajahnya pucat. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang tak bisa ia pahami.Sejak Naya mengucapkan kata-kata itu semalam, pikirannya tak bisa diam:"Kau harus masuk ke dalam gerbang."Gagasan itu terlalu gila untuk dipercaya… dan terlalu nyata untuk diabaikan.“Kalau kau terus diam, kau akan mati duluan,” suara Ranu terdengar dari belakangnya, tapi tak ada nada lelucon di sana.Raka hanya menunduk. Hatinya terasa lebih gelap dari kabut.Dan entah kenapa, di tengah semua kekacauan itu…ia merasa diperhatikan.Tatapan. Tatapan yang tak asing tapi juga tak manusiawi. Ia mengangkat kepala, dan di kejauhan, di bawah pohon beringin tua di ujung desa...Pak Jatmiko berdiri.
Pagi itu bukanlah pagi.Langit tetap kelabu, dan matahari tak pernah benar-benar muncul.Tapi tanah... tanah itu berdenyut.Raka berdiri di pinggir gerbang, tangannya masih gemetar. Sisa-sisa mimpi buruk semalam terus menghantui pikirannya.Lalu ia melihatnya sesuatu yang ditinggalkan setelah tangan makhluk itu tertarik kembali ke bawah.Benda itu tidak besar, tapi menjijikkan. Seperti segumpal daging hidup, berdenyut perlahan di atas tanah, mengeluarkan uap hitam tipis. Seolah memiliki napas sendiri."Jangan sentuh itu!" Ranu berteriak, melompat menghampiri. Ia menggambar lingkaran pelindung dengan darah ayam hitam dan segera menutupinya dengan kain mantra."Itu... bagian dari tubuhnya," desisnya. "Daging yang tertinggal ketika pintu hampir terbuka. Sangat berbahaya."Raka menelan ludah. “Apa yang akan terjadi kalau seseorang menyentuhnya?”“Dia akan menjadi wadah. Atau makanan. Mungkin keduanya.”Mereka berdua terdiam.Lalu tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah hutan. Rin
Langit berubah warna bukan lagi biru atau kelabu. Tapi merah darah. Merah yang bukan dari matahari tenggelam. Tapi dari sesuatu… yang merangkak naik dari balik dunia. Raka berdiri di tengah tanah lapang desa, menghadap lubang gerbang. Bersamanya, Ranu menggenggam erat paku hitam yang disebut sebagai "paku daging". Udara di sekeliling mereka dingin, membekukan, meski tak ada angin. Suara-suara dari bawah tanah kembali terdengar. Raka… kami rindu… tubuhmu hangat… suara ibumu menunggu… Ia memejamkan mata, berusaha tidak mendengar. Tapi suara itu seperti berada dalam darahnya. Berdetak bersama jantungnya. Menyusup, menjanjikan kedamaian jika ia menyerah. “Ini baru malam pertama,” ujar Ranu. “Tiga malam. Setelah itu, dunia akan retak seperti kaca.” Raka membuka mata dan menatap lubang gerbang. Kisi-kisi besinya sudah mulai bengkok. Tali merah pengikatnya terbakar sendiri, meninggalkan bau daging busuk terbakar. “Apa yang harus kita lakukan malam ini?” Ranu merogoh kantung jubahnya