Beranda / Horor / Gerbang Neraka: Desa Terakhir / Bab 5 Malam Merah Pertama

Share

Bab 5 Malam Merah Pertama

Penulis: Rafi Aditya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-27 11:44:07

Langit berubah warna bukan lagi biru atau kelabu. Tapi merah darah. Merah yang bukan dari matahari tenggelam. Tapi dari sesuatu… yang merangkak naik dari balik dunia.

Raka berdiri di tengah tanah lapang desa, menghadap lubang gerbang. Bersamanya, Ranu menggenggam erat paku hitam yang disebut sebagai "paku daging". Udara di sekeliling mereka dingin, membekukan, meski tak ada angin.

Suara-suara dari bawah tanah kembali terdengar.

Raka… kami rindu… tubuhmu hangat… suara ibumu menunggu…

Ia memejamkan mata, berusaha tidak mendengar. Tapi suara itu seperti berada dalam darahnya. Berdetak bersama jantungnya. Menyusup, menjanjikan kedamaian jika ia menyerah.

“Ini baru malam pertama,” ujar Ranu. “Tiga malam. Setelah itu, dunia akan retak seperti kaca.”

Raka membuka mata dan menatap lubang gerbang. Kisi-kisi besinya sudah mulai bengkok. Tali merah pengikatnya terbakar sendiri, meninggalkan bau daging busuk terbakar.

“Apa yang harus kita lakukan malam ini?”

Ranu merogoh kantung jubahnya dan mengeluarkan sehelai kertas kuno, penuh simbol yang menyala samar dalam kegelapan.

“Pertahankan garis ini. Jangan biarkan mereka menyentuhmu. Dan apa pun yang terjadi… jangan jawab panggilan mereka. Mereka akan mencoba segala cara untuk membuatmu buka mulut.”

Raka menerima kertas itu, dan duduk bersila di dekat gerbang. Ia merasakan getaran di tanah. Seperti sesuatu yang sangat besar bergerak perlahan, naik.

Langit menjadi semakin merah, seperti mata raksasa yang menatap dari atas.

Kemudian mereka datang.

Satu per satu, “warga desa” kembali. Wajah-wajah mereka kini lebih rusak. Beberapa tak memiliki mata. Beberapa memiliki mulut terlalu besar, terbuka hingga ke telinga. Dan satu hal yang pasti: tak seorang pun memiliki bayangan.

Mereka berdiri di tepi lingkaran mantra. Diam. Mengelilingi Raka.

Dan kemudian, salah satu dari mereka maju.

Itu adalah sosok wanita tua penjaga pertama. Tapi kini wajahnya compang-camping, kulitnya robek, dan matanya hitam legam.

Ia berkata dengan suara ganda—satu suara perempuan tua, satu lagi suara anak kecil:

“Raka... kami datang membawa ibumu...”

Dari belakangnya, muncul sosok ibunya atau apa pun itu yang menyerupainya. Tubuhnya terbalut kain kafan setengah terbakar. Tapi wajahnya masih utuh… dan tersenyum padanya.

“Raka... Nak, kamu kedinginan, ya? Sini, peluk Ibu…”

Suara itu persis seperti yang ia dengar saat kecil, saat demam tinggi di malam badai.

Raka menutup mata. Giginya gemeretak. Telinganya berdarah karena tekanan suara.

“Jangan jawab…” desis Ranu dari jauh. Tapi bahkan suaranya kini terdengar jauh, seperti datang dari dasar sumur.

Sosok “ibu” itu kini merangkak masuk ke batas lingkaran. Ujung jari hitamnya menyentuh tanah suci.

Ssssst!

Asap meletup. Dagingnya terbakar. Tapi ia tetap memaksa masuk.

“Anakku... kau sendiri... kau butuh pelukan Ibu…”

Tangan itu menyentuh tepi lingkaran.

Raka hampir menjawab hampir.

Tapi tepat saat itu, Ranu melempar segenggam garam suci ke arah makhluk itu. Tubuhnya menggelepar, menjerit dalam tiga suara berbeda. Ia meleleh seperti lilin hitam, kembali ke tanah.

Namun yang lain mulai berjalan maju. Puluhan. Masing-masing membawa kenangan, suara, dan wajah dari masa lalu Raka.

Sahabat masa kecil. Guru favorit. Bahkan mantan kekasih yang sudah mati lima tahun lalu.

“Raka… kau masih memikirkan aku?”

“Raka… aku rindu caramu tertawa…”

“Raka… bantu kami keluar…”

Lingkaran mantra mulai retak. Kertas di tangan Raka terbakar separuh. Suara dari bawah tanah kini seperti ratapan janin, seperti sesuatu hendak dilahirkan dengan paksa.

Lalu... langit pecah.

Petir merah menghantam tengah gerbang. Tanah terbelah sedikit. Uap hitam muncul, dan dari sana sebuah tangan raksasa hampir keluar.

Tangannya besar seperti pohon, tapi tak memiliki jari. Hanya kumpulan kuku dan mata yang membuka tutup sendiri. Tangannya menjulur… menyentuh sisi luar gerbang.

“RAKA… AKU SUDAH SETENGAH LAHIR…”

Darah keluar dari telinga Raka. Matanya nyaris buta. Ia hanya bisa memegang paku hitam dan berteriak:

“TIDAK SEKARANG!”

Ranu menusuk tanah dengan tongkatnya, dan cahaya biru meledak.

Makhluk itu mengaum dan menghilang kembali ke bawah tanah.

Para “warga” pun terpental!

BERSAMBUNG

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 132: Mata yang Tidak Bisa Berkedip

    Hujan turun perlahan, membasahi desa yang baru saja mencoba bangkit dari serangkaian malam penuh darah dan bayangan. Tidak ada lagi simbol bintang enam di langit. Tidak ada lagi tangisan dari dalam tanah. Tapi ada keheningan yang tidak wajar. Keheningan yang seolah menunggu seseorang berbicara lebih dulu. Arkana duduk di pojok kamar bawah tanah yang telah ia ubah menjadi ruang pengamatan. Di hadapannya tergantung puluhan cermin kecil, masing-masing mengarah ke titik-titik penting di desa: pos ronda, sekolah, rumah sakit, bahkan ladang jagung yang kini hangus. Cermin utama cermin yang pernah membawanya ke Gerbang Ketujuh diletakkan di atas meja, kini berubah menjadi hitam pekat seperti obsidian. Namun Arkana tahu: ia belum sendirian. --- Pukul dua pagi, ia terbangun dari tidur singkatnya. Bukan karena suara, tapi karena perasaan ditatap. Ia membuka mata perlahan, dan jantungnya langsung menghentak. Di langit-langit kamarnya, ada mata besar, hitam, dan tanpa kelopak. Tidak berkedip

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 131 : Cermin Penjaga

    Ladang gosong itu sunyi. Angin tak lagi berhembus. Bahkan suara jangkrik pun menghilang. Arkana berdiri sendirian, matanya terpaku pada cermin kecil yang setengah tertanam di tanah bekas lingkaran api. Ia menunduk, mengambilnya perlahan, dan membalik permukaannya. Refleksi dirinya muncul samar, namun bukan dirinya yang ia lihat. Refleksi itu mengenakan pakaian serupa, tapi matanya tidak sama. Mereka… kosong. Dan di dahinya, samar-samar, terukir angka Romawi: VII. Arkana menahan napas. “Gerbang ketujuh?” Ia duduk perlahan, membuka kembali Kitab Dua Sisi Cermin. Tapi tak satu halaman pun menyebutkan gerbang ketujuh. Hanya ada catatan kosong, lembaran hitam yang terasa dingin saat disentuh. Ia menekan cermin itu ke halaman hitam, dan seketika, tulisan mulai muncul sendiri, ditulis oleh tangan tak terlihat: Gerbang Ketujuh tidak ditulis karena tidak boleh dikenal. Ia bukan pintu masuk ke neraka. Ia adalah pintu keluar dari semua dimensi. Gerbang yang membalikkan hukum hidup dan m

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 130 : Tumbal Terakhir

    Langit malam seharusnya gelap, tapi malam itu justru menyala bukan dengan cahaya bulan, melainkan dari lambang bintang enam yang terbakar perlahan di antara awan. Seperti mata raksasa yang menatap ke bumi, lambang itu tidak hanya terlihat… tapi terasa, menekan jantung setiap orang yang menatapnya. Arkana berdiri di puncak menara lonceng sekolah, menatap lambang itu tanpa berkedip. “Seharusnya sudah lenyap…” gumamnya. Ilham berdiri di sampingnya, tangan menggenggam sisa debu dari bayangannya sendiri. “Kau yakin ritualnya selesai?” Arkana menunduk, wajahnya tak yakin. “Itu bukan tentang ritualnya. Masalahnya bukan siapa yang asli atau bayangan… tapi kenapa gerbang keenam muncul sama sekali. Kita hanya menyentuh permukaannya.” Seketika, terdengar bunyi lonceng berdering sendiri. Padahal menara itu tak digunakan selama dua dekade. Suara itu menggema, dan disusul oleh hembusan angin panas dari arah timur. “Apa itu…” Ilham menghentikan kata-katanya. Dari kejauhan, di arah ladang jagu

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 129 : Yang Asli dan Yang Tertinggal

    “Jangan percaya pada apa yang kau lihat. Jangan percaya pada apa yang kau ingat. Percayalah pada luka yang belum sembuh…” Itu kalimat pertama yang terdengar dari mulut Arkana saat ia menarik Ilham ke lorong bawah perpustakaan lama. Suaranya nyaris tak terdengar di tengah riuhnya desis simbol-simbol bintang enam yang kini terus bermunculan di seluruh dinding sekolah. Ilham masih menggigil. Wajahnya pucat. Di pikirannya, hanya ada satu bayangan: dirinya sendiri, berdiri di lapangan, memandangi dirinya… seperti ingin menghapus keberadaannya. “Aku… masih aku, kan?” tanyanya lirih. Arkana tak menjawab langsung. Ia membuka peti tua dari bawah lantai kayu, mengeluarkan kitab kecil bersampul kulit manusia yang bernama Dua Sisi Cermin. Kitab itu hanya muncul jika seseorang berada di ambang kehilangan jati dirinya. “Kita harus melakukan Ritual Pembeda,” ucap Arkana. “Kalau kau benar Ilham yang asli, kau akan tetap di sini. Tapi jika kau adalah bayangan… tubuhmu akan hancur menjadi debu.

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 128 : Gerbang Keenam

    Langit di atas Sekolah Cahaya Bumi memutih bukan terang, tapi seperti kabut kering yang menggantung tanpa asal. Angin tak lagi terasa seperti angin. Ia diam… menekan. Arkana dan Ilham berdiri di depan dinding batu tempat Gerbang Kelima terbuka. Tapi kini, gerbang itu menghilang, menyatu sempurna kembali dengan batu. Tak ada retakan, tak ada cahaya tersisa. Namun di tengah lantai ruangan itu, terukir lambang baru bintang bersudut enam. Setiap sudutnya bersambung dengan garis-garis berdenyut merah samar, seolah darah mengalir di dalam ukiran batu. “Ini bukan bagian dari lima gerbang,” gumam Arkana, menelusuri simbol itu dengan jari. Ilham menatapnya dalam-dalam. “Aku melihatnya… di langit Ruang Tanpa Nama. Tapi kenapa sekarang muncul di sini?” Sebelum Arkana menjawab, getaran halus menjalar ke seluruh dinding. Batu berderak, seolah sesuatu bergerak… di balik permukaan dunia. --- Malam itu, Revana terbangun dengan peluh dingin membasahi tubuhnya. Ia menjerit, jatuh dari tempat tid

  • Gerbang Neraka: Desa Terakhir    Bab 127 : Ruang Tanpa Nama

    Langkah pertama Ilham di dalam Gerbang Kelima terasa seperti menjejak air tapi bukan air biasa. Lantai tempat ia berdiri seperti permukaan cermin cair, yang mengalir perlahan di bawah kakinya, memantulkan langit yang tidak pernah ada. Arkana di sisinya tampak lebih pucat. Matanya terus bergerak, menelusuri sesuatu yang tidak bisa dilihat orang biasa. “Di sini tidak ada waktu,” katanya pelan. “Apa yang terjadi… sudah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. Semua sekaligus.” Ilham mengangguk, walau otaknya berusaha keras memahami. Suasana di ruang ini seperti berada di dalam mimpi yang sadar logika hanya berfungsi sebagian, dan sisanya ditentukan oleh emosi. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki. Tapi tidak bergema. Tidak pula mendekat. Seolah ruang itu mempermainkan jarak. Kemudian… ia melihatnya. Seorang wanita berdiri dengan punggung menghadap mereka. Rambutnya panjang, mengenakan gaun putih yang basah seperti direndam dalam air mata. Ia berdiri di tengah pusaran cermi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status