Langit berubah warna bukan lagi biru atau kelabu. Tapi merah darah. Merah yang bukan dari matahari tenggelam. Tapi dari sesuatu… yang merangkak naik dari balik dunia.
Raka berdiri di tengah tanah lapang desa, menghadap lubang gerbang. Bersamanya, Ranu menggenggam erat paku hitam yang disebut sebagai "paku daging". Udara di sekeliling mereka dingin, membekukan, meski tak ada angin. Suara-suara dari bawah tanah kembali terdengar. Raka… kami rindu… tubuhmu hangat… suara ibumu menunggu… Ia memejamkan mata, berusaha tidak mendengar. Tapi suara itu seperti berada dalam darahnya. Berdetak bersama jantungnya. Menyusup, menjanjikan kedamaian jika ia menyerah. “Ini baru malam pertama,” ujar Ranu. “Tiga malam. Setelah itu, dunia akan retak seperti kaca.” Raka membuka mata dan menatap lubang gerbang. Kisi-kisi besinya sudah mulai bengkok. Tali merah pengikatnya terbakar sendiri, meninggalkan bau daging busuk terbakar. “Apa yang harus kita lakukan malam ini?” Ranu merogoh kantung jubahnya dan mengeluarkan sehelai kertas kuno, penuh simbol yang menyala samar dalam kegelapan. “Pertahankan garis ini. Jangan biarkan mereka menyentuhmu. Dan apa pun yang terjadi… jangan jawab panggilan mereka. Mereka akan mencoba segala cara untuk membuatmu buka mulut.” Raka menerima kertas itu, dan duduk bersila di dekat gerbang. Ia merasakan getaran di tanah. Seperti sesuatu yang sangat besar bergerak perlahan, naik. Langit menjadi semakin merah, seperti mata raksasa yang menatap dari atas. Kemudian mereka datang. Satu per satu, “warga desa” kembali. Wajah-wajah mereka kini lebih rusak. Beberapa tak memiliki mata. Beberapa memiliki mulut terlalu besar, terbuka hingga ke telinga. Dan satu hal yang pasti: tak seorang pun memiliki bayangan. Mereka berdiri di tepi lingkaran mantra. Diam. Mengelilingi Raka. Dan kemudian, salah satu dari mereka maju. Itu adalah sosok wanita tua penjaga pertama. Tapi kini wajahnya compang-camping, kulitnya robek, dan matanya hitam legam. Ia berkata dengan suara ganda—satu suara perempuan tua, satu lagi suara anak kecil: “Raka... kami datang membawa ibumu...” Dari belakangnya, muncul sosok ibunya atau apa pun itu yang menyerupainya. Tubuhnya terbalut kain kafan setengah terbakar. Tapi wajahnya masih utuh… dan tersenyum padanya. “Raka... Nak, kamu kedinginan, ya? Sini, peluk Ibu…” Suara itu persis seperti yang ia dengar saat kecil, saat demam tinggi di malam badai. Raka menutup mata. Giginya gemeretak. Telinganya berdarah karena tekanan suara. “Jangan jawab…” desis Ranu dari jauh. Tapi bahkan suaranya kini terdengar jauh, seperti datang dari dasar sumur. Sosok “ibu” itu kini merangkak masuk ke batas lingkaran. Ujung jari hitamnya menyentuh tanah suci. Ssssst! Asap meletup. Dagingnya terbakar. Tapi ia tetap memaksa masuk. “Anakku... kau sendiri... kau butuh pelukan Ibu…” Tangan itu menyentuh tepi lingkaran. Raka hampir menjawab hampir. Tapi tepat saat itu, Ranu melempar segenggam garam suci ke arah makhluk itu. Tubuhnya menggelepar, menjerit dalam tiga suara berbeda. Ia meleleh seperti lilin hitam, kembali ke tanah. Namun yang lain mulai berjalan maju. Puluhan. Masing-masing membawa kenangan, suara, dan wajah dari masa lalu Raka. Sahabat masa kecil. Guru favorit. Bahkan mantan kekasih yang sudah mati lima tahun lalu. “Raka… kau masih memikirkan aku?” “Raka… aku rindu caramu tertawa…” “Raka… bantu kami keluar…” Lingkaran mantra mulai retak. Kertas di tangan Raka terbakar separuh. Suara dari bawah tanah kini seperti ratapan janin, seperti sesuatu hendak dilahirkan dengan paksa. Lalu... langit pecah. Petir merah menghantam tengah gerbang. Tanah terbelah sedikit. Uap hitam muncul, dan dari sana sebuah tangan raksasa hampir keluar. Tangannya besar seperti pohon, tapi tak memiliki jari. Hanya kumpulan kuku dan mata yang membuka tutup sendiri. Tangannya menjulur… menyentuh sisi luar gerbang. “RAKA… AKU SUDAH SETENGAH LAHIR…” Darah keluar dari telinga Raka. Matanya nyaris buta. Ia hanya bisa memegang paku hitam dan berteriak: “TIDAK SEKARANG!” Ranu menusuk tanah dengan tongkatnya, dan cahaya biru meledak. Makhluk itu mengaum dan menghilang kembali ke bawah tanah. Para “warga” pun terpental! BERSAMBUNGUdara pagi terasa ganjil. Langit berwarna abu-abu kehijauan, seakan matahari sendiri enggan menyinari tanah yang telah ternoda. Angin berhembus pelan, namun mengirim bau amis yang menusuk seperti darah basi dan tanah lembap yang disiram arwah penasaran. Raka duduk membelakangi api unggun yang hampir padam. Matanya kosong. Tubuhnya lemas, tetapi pikirannya masih terperangkap dalam mimpi neraka tadi malam. Naya menyodorkan secangkir air. “Minumlah. Kau butuh tenaga.” Ia tak menjawab. “Raka,” panggil Pak Jatmiko, lebih tegas. “Apa yang kau lihat… bukan hanya penglihatan. Itu peringatan. Gerbang Kedua memang belum terbentuk, tapi tanda-tandanya akan mulai muncul.” Raka mengangkat lengan bajunya tanpa sadar dan saat itu juga, Naya menjerit pelan. Di bahu kirinya, sebuah simbol berwarna hitam mulai terbentuk. Bentuknya seperti lingkaran dengan cabang menyerupai akar yang menjalar perlahan ke arah jantung. Simbol itu berdenyut, seolah hidup. Seolah bagian dari sesuatu yang sedang
Gelap.Sunyi seperti kematian yang belum sempat menyentuh.Tak ada cahaya, tak ada arah, tak ada tubuh.Hanya kesadaran kosong... dan rasa dingin yang menjalar perlahan dari ujung saraf ke ujung nadi.Raka tak tahu di mana dirinya.Ia hanya… ada.Kemudian dari balik kehampaan itu muncul suara. Dalam. Dalam sekali. Seolah bukan dari luar, tapi dari dalam kepalanya sendiri.“Anak dari darah yang dicuri… akhirnya kau datang.”Raka mencoba bicara, tapi bibirnya tak bisa bergerak. Ia tak memiliki suara. Tak memiliki tubuh. Hanya kesadaran terjebak dalam kehampaan yang kini berdenyut seperti daging.“Lihatlah siapa kau sebenarnya…”Cahaya merah membelah kegelapan.Dunia membentuk dirinya dari serpihan abu, darah, dan tulang.Dan di tengah-tengahnya, berdiri makhluk itu.Bukan manusia. Bukan binatang. Bukan iblis seperti dalam kitab-kitab tua. Ia tak memiliki bentuk tetap. Ia berubah setiap kali dilihat. Kadang seperti ular bersayap. Kadang seperti perempuan bermata seribu. Kadang hanya kabu
Raka berlari tanpa tujuan. Nafasnya sesak, jantungnya menjerit, dan pikirannya seperti dirajam ribuan paku ingatan. Langkah kakinya menghantam lumpur yang menghitam, hingga akhirnya ia jatuh tersungkur di tepian sumur tua, yang dulunya tertutup rapat oleh papan dan jimat daun sirih. Tapi sekarang... sumur itu terbuka. Bau busuk menyeruak, seperti campuran belatung dan darah beku. Di dasar sumur, airnya hitam pekat, dan Raka bisa bersumpah ada sesuatu yang menatap dari bawah. Tapi yang membuatnya tak bisa bergerak... Adalah wajah ibunya, mengambang samar di air. “Ibu...?” bisiknya. Gemetar. Tak percaya. Bayangan itu tidak bicara. Tapi air beriak membentuk kata di permukaannya: "LARI... DARI TAKDIRMU..." Lalu wajah itu menghilang. Digantikan oleh dua mata merah… dan senyum. Raka terdorong ke belakang, berusaha menjauh saat suara langkah kaki mendekat dari arah hutan. Itu Naya. Tubuhnya berlumur darah. Luka di pipinya masih mengalir, tapi sorot matanya sudah tidak sama. Ad
Tak ada yang bergerak di desa itu hari itu. Bahkan angin pun enggan menyentuh pepohonan tua yang merintih pelan. Kabut tebal menggulung seperti daging busuk yang mendidih perlahan, menyelimuti tanah dengan nafas yang terlalu dingin untuk disebut udara.Raka duduk mematung di luar rumah Ranu. Napasnya berat. Wajahnya pucat. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya, sesuatu yang tak bisa ia pahami.Sejak Naya mengucapkan kata-kata itu semalam, pikirannya tak bisa diam:"Kau harus masuk ke dalam gerbang."Gagasan itu terlalu gila untuk dipercaya… dan terlalu nyata untuk diabaikan.“Kalau kau terus diam, kau akan mati duluan,” suara Ranu terdengar dari belakangnya, tapi tak ada nada lelucon di sana.Raka hanya menunduk. Hatinya terasa lebih gelap dari kabut.Dan entah kenapa, di tengah semua kekacauan itu…ia merasa diperhatikan.Tatapan. Tatapan yang tak asing tapi juga tak manusiawi. Ia mengangkat kepala, dan di kejauhan, di bawah pohon beringin tua di ujung desa...Pak Jatmiko berdiri.
Pagi itu bukanlah pagi.Langit tetap kelabu, dan matahari tak pernah benar-benar muncul.Tapi tanah... tanah itu berdenyut.Raka berdiri di pinggir gerbang, tangannya masih gemetar. Sisa-sisa mimpi buruk semalam terus menghantui pikirannya.Lalu ia melihatnya sesuatu yang ditinggalkan setelah tangan makhluk itu tertarik kembali ke bawah.Benda itu tidak besar, tapi menjijikkan. Seperti segumpal daging hidup, berdenyut perlahan di atas tanah, mengeluarkan uap hitam tipis. Seolah memiliki napas sendiri."Jangan sentuh itu!" Ranu berteriak, melompat menghampiri. Ia menggambar lingkaran pelindung dengan darah ayam hitam dan segera menutupinya dengan kain mantra."Itu... bagian dari tubuhnya," desisnya. "Daging yang tertinggal ketika pintu hampir terbuka. Sangat berbahaya."Raka menelan ludah. “Apa yang akan terjadi kalau seseorang menyentuhnya?”“Dia akan menjadi wadah. Atau makanan. Mungkin keduanya.”Mereka berdua terdiam.Lalu tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah hutan. Rin
Langit berubah warna bukan lagi biru atau kelabu. Tapi merah darah. Merah yang bukan dari matahari tenggelam. Tapi dari sesuatu… yang merangkak naik dari balik dunia. Raka berdiri di tengah tanah lapang desa, menghadap lubang gerbang. Bersamanya, Ranu menggenggam erat paku hitam yang disebut sebagai "paku daging". Udara di sekeliling mereka dingin, membekukan, meski tak ada angin. Suara-suara dari bawah tanah kembali terdengar. Raka… kami rindu… tubuhmu hangat… suara ibumu menunggu… Ia memejamkan mata, berusaha tidak mendengar. Tapi suara itu seperti berada dalam darahnya. Berdetak bersama jantungnya. Menyusup, menjanjikan kedamaian jika ia menyerah. “Ini baru malam pertama,” ujar Ranu. “Tiga malam. Setelah itu, dunia akan retak seperti kaca.” Raka membuka mata dan menatap lubang gerbang. Kisi-kisi besinya sudah mulai bengkok. Tali merah pengikatnya terbakar sendiri, meninggalkan bau daging busuk terbakar. “Apa yang harus kita lakukan malam ini?” Ranu merogoh kantung jubahnya