Share

Get Me Pregnant
Get Me Pregnant
Author: Intan

1). Perjodohan

"Naya pulang!" Suara toa tersebut berasal dari arah pintu masuk. 

Seorang lelaki separuh baya berusia 71 tahun yang sedang duduk di sofa ruang tengah, sambil membaca koran tampak terkejut sebelum menoleh kearah pintu. 

Di sana, Tomi menemukan cucunya. Yang tersenyum ceria menenteng begitu banyak paper bag berisi belanjaan di kedua tangannya. Gadis berusia 19 tahun itu, lagi-lagi baru pulang dari kebiasaan sehari-harinya, yakni belanja. Tomi menggelengkan kepala melihat itu.

"Berapa banyak uang belanja yang kamu habiskan kali ini, Naya?" tanya Tomi, merujuk kepada kebiasaan shopping cucunya.

Naya mengecup sebelah pipi Tomi Sutedja setelah meletakkan seluruh barang belanjaannya terlebih dahulu ke atas sofa, lalu memeluk tubuh tua kakeknya itu dari arah samping dan duduk. Dengan sengaja, Naya menempelkan salah satu telinganya di dada sang kakek, mencuri dengar suara detak jantung kakeknya yang telah lanjut usia itu

Menyadari tingkah laku cucunya itu, Tomi hanya mendengkus.

"Syukurlah. Jantung kakek masih berdetak dengan normal."

Naya langsung merangkul satu lengan kakeknya, dan menyandarkan kepalanya di bahu lelaki tua tersebut.

"Kakek tenang aja, Naya gak akan bikin kakek bangkrut, kok."

Tomi menghela napas, sementara Naya langsung mendongak, menatap wajah kakeknya itu.

"Memang gak akan bikin kakek bangkrut. Tapi, kakek gak suka lihat kamu hambur-hamburin uang begitu. Kamu tahu, diluar sana, banyak orang yang hidupnya serba kekurangan. Mereka harus bekerja keras demi mendapatkan sepeser uang ...."

"Kakek ... hidup itu cuma sekali. Untuk apa peduli kehidupan orang lain. Cukup kita nikmati hidup ini. Toh, kita gak merugikan orang lain kan. Justru kek, aku sedang membantu toko-toko yang menjual barang branded itu secara tidak langsung. Karena berkat aku, barang-barang yang mereka jual itu laku."

Tomi memijit pelan pelipisnya. Sepertinya dia tidak akan menang jika harus berdebat dengan cucu kesayangannya itu.

"Kakek, sakit?"

Tomi menggeleng pelan. Mengulas senyum. Diusapnya lembut rambut panjang Naya sebelum kemudian meraih remote untuk mematikan televisi.

"Kakek sehat, Naya. Hanya saja, kesehatan kakek akhir-akhir ini mulai menurun. Mungkin ajal kakek sudah semakin dekat."

Naya menatap kakeknya dengan protes.

"Kakek jangan bicara begitu. Maut itu rahasia Tuhan. Lagi pula, memangnya kakek mau meninggalkan Naya sendirian di muka bumi ini. Gak kan?"

Tomi tentu saja segera menggeleng.

"Maut memang rahasia Tuhan. Siapa yang tahu jika bisa saja nanti tuhan akan mengambil nyawa kakek keesokan harinya. Dan karena alasan itulah kakek telah mencarikanmu jodoh yang bisa menggantikan kakek dalam menjagamu jika kakek telah tiada nanti Naya."

Naya mulai tidak nyaman dengan topik yang akan mereka bahas kali ini.

"Jika kakek ingin membahas masalah perjodohan itu lagi. Naya gak mau."

Naya langsung berdiri, melangkah untuk memunguti paper bag berisi barang-barang belanjaannya sejenak untuk ia bawa masuk kedalam kamarnya sendiri.

"Kakek butuh cicit."

Naya terdiam kaku, langkah kedua kakinya mendadak terasa berat setelah mendengar kalimat itu.

"Kakek butuh penerus yang bisa mengurus perusahaan keluarga kita, sayang. Dan hanya kamulah satu-satunya harapan kakek."

Tomi berdiri, tentu saja dengan bantuan tongkat kayu. Meski sebenarnya, lelaki separuh baya itu masih cukup mampu berjalan dengan normal tanpa bantuan tongkat kayu, migrain yang akhir-akhir ini kerap kali menyerangnya membuat Tomi mau tak mau harus menggunakan bantuan tongkat kayu dengan alasan takut jika sewaktu-waktu tubuhnya oleng lagi.

Sebab, Tomi sempat beberapa kali hampir terjatuh.

Naya masih diam membeku ditempatnya berdiri. Sementara Tomi Sutedja sudah berdiri tepat dihadapan cucu perempuannya itu.

"Jika tidak dengan menikah, maka kamulah yang harus mengambil alih posisi itu. Meneruskan perusahaan keluarga."

Naya tentu saja tidak mau. Bukannya apa. Tapi jujur saja, Naya itu bodoh. Dia hanya menyelesaikan pendidikan hingga SMA. Dan memimpin perusahaan sebesar Sutedja Company merupakan hal yang terdengar sangat mustahil.

Naya tidak mau perusahaan turun temurun itu jatuh bangkrut nanti hanya karena dirinya yang tidak becus. Namun, Naya juga enggan menerima perjodohan itu. Meski jujur saja di hati kecilnya yang paling dalam, gadis itu terenyuh dan tidak tega melihat kakeknya yang terlihat kian rapuh. Termakan usia masih harus memimpin perusahaan sebesar itu.

Naya benar-benar dilema dengan situasi yang menjeratnya saat ini.

"Kasihanilah kakek, Naya."

Tomi berlalu pergi. Meninggalkan Naya seorang diri di ruang tengah dengan ekspresi raut wajah kaku. Setelah kakeknya menghilang dari pandangannya, saat itulah Naya langsung jatuh duduk lemas di sofa. Kepalanya sakit. Lebih sakit lagi, melihat kakeknya putus asa seperti itu tadi.

***

Mabuk adalah jalan keluar paling basi ketika seseorang mengalami frustasi. Namun, Naya tidak punya pilihan lain daripada harus mengurung diri di dalam kamar lalu menangis seharian seperti gadis lemah saja. Naya juga tidak mau menyiksa diri dengan acara mogok makan.

Jadi, disinilah gadis itu terdampar saat ini.

Duduk disalah satu meja bar, dengan kepala yang sudah ia tidurkan di atas meja karena kepalanya mulai pening. Padahal Naya baru menghabiskan dua gelas alkohol dengan kadar rendah. Mungkin, karena Naya baru pertama kali mabuk-mabukan seperti ini.

"Mau kuberitahu satu solusi."

Naya mengangkat wajahnya, memandang kearah Celine, salah seorang teman yang biasa menemaninya shoping ataupun jalan-jalan. Naya memang tidak datang sendirian ke tempat laknat ini. Dia sengaja mengajak Celine, karena memang kebetulan hanya gadis itu yang memiliki waktu luang.

Celine meletakkan gelas ditangannya hingga menimbulkan suara bantingan yang cukup keras terdengar. Namun suaranya tentu tidak mampu mengalahkan musik yang tengah diputar DJ. Ditambah lagi semakin malam, club malam yang saat ini mereka berdua datangi akan semakin ramai dan penuh. Seperti sekarang ini, contohnya.

"Apa?"

Meskipun kepalanya mulai pening, Naya masih bisa merespon dan menangkap omongan seseorang yang mengajaknya bicara.

"Kamu harus mencari lelaki yang mau menyumbangkan benihnya untukmu. Jika kamu hamil, maka perjodohan itu otomatis akan batal karena keluarga calon suamimu pasti tidak mau punya menantu yang hamil diluar nikah. Dan bayi itu ...."

Celine meminum kembali alkohol yang baru saja diisi oleh bartender.

"... yang akan meneruskan perusahaan keluargamu. Kakekmu dapat cicit, kamu tidak perlu menikah, dan masalah selesai," jelas Celine tanpa dosa.

Naya melongo, menjatuhkan kembali kepalanya diatas meja dan tersenyum.

"Boleh juga."

***

Naya bangkit dari duduknya dengan tubuh sempoyongan. Seperti ada bintang yang berputar putar di atas kepalanya saat ini. Seperti yang Celine katakan, Naya harus mencari seseorang yang mau menyumbangkan benihnya untuk Naya. Dan untuk mendapatkan itu, Naya tentu harus mencari lelaki kaya ... Ah tidak! Yang terpenting tampan. Karena Naya butuh bibit unggul dari lelaki tampan bukan lelaki kaya.

Karena itulah.

Alih-alih mencari lelaki dengan setelan jas mahal dan rapi yang bertebaran di sana malam itu, Naya justru malah menggoda seorang laki-laki asing, duduk seorang diri, mengenakan kaos hitam polos lengan pendek sehingga memperlihatkan otot kekar lengan atasnya.

Meski sempat tersandung beberapa kali, akhirnya Naya tiba di dekat kursi tempat duduk lelaki itu.

"Boleh aku duduk?" Naya bertanya.

Namun belum sempat lelaki itu buka mulut, Naya sudah menjatuhkan lebih dulu tubuhnya, tanpa mau menunggu jawaban dari si lelaki. Dan dengan tidak tahu malunya, bukannya duduk di kursi, Naya malah duduk di atas pangkuan lelaki yang tidak dikenalnya itu.

Lelaki itu, jelas saja sangat terkejut, tubuhnya tampak bergerak tidak nyaman, berusaha menyingkirkan dan mendorong paksa tubuh Naya agar segera bangkit dari atas pangkuannya. Sayangnya, Naya malah mengalungkan kedua lengannya dileher lelaki itu dan langsung menjatuhkan keningnya di bahu sebelah kirinya. Aroma musk yang tercium dari tubuh itu menguar, membuat Naya menghirup aromanya dengan rakus. Sementara jemari tangannya mulai menggerayangi tubuh proposional lelaki yang tubuhnya sudah menegang kaku. Naya tersenyum tanpa sadar.

Oh! Naya tidak bodoh. Dia memang sedang mabuk. Tapi, Naya masih bisa menilai mana lelaki tampan dan mana yang bukan. Dan lelaki yang tengah ia duduki saat ini, lebih dari sekedar tampan. Dan tubuhnya ... Naya meremas lengan atas lelaki itu yang kekar.

"Hei kamu ...."

Naya mendekatkan bibirnya di daun telinga lelaki itu. "Hamili aku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status